Mendidik Dengan Hati
“Educating the mind without educating the heart is no education at all.”
~Aristotle ~
Ketika saya studi filsafat kalimat ini menarik hati saya yang saat itu mempersiapkan diri untuk menjalani aktifitas praktik lapangan (KKN) selama 1 tahun. Setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk menjadi pengajari di sekolah-sekolah Katolik mulai dari TK sampai SMA. Tidak ada waktu khusus seperti hanya program pada kampus lain, tahun praktek lapangan ini saya jalani setiap hari Kamis selama satu tahun. Sebelum saya dan mahasiswa lain diterjunkan untuk menjadi pengajar, kami diberi pembekalan terlebih dahulu. Salah satu dosen pengampu studi pastoral memberi pesan apa yang dikatakan oleh Aristoteles. “ Ukuran kalian berhasil dalam mengajar di sekolah nantinya bukan nilai 80 atau 100 tetapi anak didik kalian memiliki hati untuk berbuat dan berbuah lebih banyak! Mendidik pikiran tanpa mendidik hati berarti tidak mendidik sama sekali” Begitulah pesan singkat yang mendorong saya untuk mantap dalam menjalani tahun paraktik lapangan.
Pengalaman menjadi pengajar bagi saya luar biasa mengejutkan. Ada banyak “kejutan” yang saya alami ketika mengajar anak-anak yang memiliki latar belakang dan sosio kultural yang berbeda-beda. Latar belakang kehidupan mereka yang hampir mayoritas dari pemukiman sederhana, gang-gang sempit dan agak kumuh mempengaruhi karakter mereka. Mulai dari cara memahami pesan, komunikasi dan juga etika selama mengikuti proses belajar.
Selama studi, saya hanya mendapatkan teori-teori dan metodologi pastoral pengajaran yang hampir semuanya tidak kontekstual. Sebagai seorang pemula ternyata saya tak siap dengan realitas aneh yang terjadi di dalam kelas. Salah satu contoh sederhana adalah soal mengendalikan perilaku anak yang terlalu aktif begerak, naik di atas meja, rasis bahkan prilaku asusila anak didik. Banyak juga anak didik yang tak mampu menyerap materi yang saya berikan karena kurangnya perhatian orangtua ketika di rumah.
Baca juga :Filsafat pendidikan : John Dewey dan Instrumentalisme
Apa yang saya alami pada waktu itu sampai saat ini masih ada di sekolah-sekolah di negeri ini. Lebih-lebih dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin tak bisa dibendung. Anak-anak yang bersentuhan dengan teknologi modern semakin tak mudah menerima didikan dan perilaku mereka semakin sulit dipahami. Mendidik generasi millennial tak cukup dengan mentransfer pengetahuan tetapi juga harus mendidik mereka memiliki hati yang berdampak dan berbuah bagi kehidupan.
Terminologi mendidik memang berbeda dengan mengajar. Banyak guru dan juga pengajar tidak sepenuhnya memahami akan dua hal ini. Mendidik bagi saya berbeda sama sekali dengan mengajar. Mengajar itu cukup di depan kelas, mentransfer pengetahuan dan selesai dengan nilai-nilai yang terwakili dalam rapor tiap semester. Sedangkan mendidik memiliki dimensi mistagogis yaitu selain mengajar juga mendampingi dan memberi bimbingan. Biasanya guru-guru yang mengerti akan hal ini mendorong anak didiknya untuk terlibat dalam pengalaman konkrit. Menumbuhkan budaya reflektif, empati dan belarasa. Mereka diajak untuk memahami keberagaman bukan sebagai perbedaan tetapi sebagai keunikan. Harapan untuk sebuah generasi yang hidup dalam kemajuan teknologi dewasa ini ada pada guru-guru yang memiliki disposisi batin untuk mendidik dengan hati. Pengetahuan bisa dengan mudah diakses oleh anak didik tetapi kebijaksanaan, empati, belarasa dan religiusitas tak dengan mudah mereka dapatakan tanpa melalui pribadi lain yang disebut guru.
Generasi millennial harus mendapatkan pendidikan hati untuk mengimbangi majunya teknologi. Mendidik pikiran itu sangat mudah karena pengetahuan bisa diakses melalui teknologi tetapi mendidik hati memerlukan pribadi yang berani mendampingi, membimbing dan menjadi sahabat dalam memahami kehidupan. Misi lembaga pendidikan modern di abad ini tak cukup hanya menyiapkan sarana dan teknologi yang menjawab kebutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan, berupa gedung megah, laboratorium terkini, dan kurikulum modern, tetapi juga menyiapkan guru-guru yang memiliki karakter dan integritas yang bersumber dari hati. Guru adalah harapan untuk pendidikan para generasi millennial di masa depan, karena hanya merekalah yang mampu mendidik hati. Inilah pesan Aristoteles yang tetap relevan sampai saat ini. ( Aris Kurniyawan)
<!– adsense –>
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!