Kenangan Masa Kecil Bersama Eyang Titiek Puspa: Obituari Pribadi dari Anak Desa

Beberapa hari lalu, Indonesia kehilangan salah satu suara emasnya—Eyang Titiek Puspa. Bagi bangsa ini, beliau adalah legenda. Namun bagi saya, seorang anak desa yang tumbuh jauh dari gemerlap kota, kehilangan ini terasa sangat pribadi, seakan sepotong kenangan masa kecil ikut pergi bersamanya.

Di masa kecilku, televisi belum banyak hadir di desa kami. Hiburan datang dari radio tua yang selalu setia menemani pagi dan senja. Suara Eyang Titiek, dengan lagu-lagu seperti Bing dan Marilah Kemari, mengalun dari corong radio dan membawa kegembiraan yang sederhana namun tulus bagi anak-anak desa. Lagu-lagu itu menyatukan kami dalam tarian kecil di halaman, tawa lepas tanpa beban, dan semangat hidup yang polos. Suara beliau menjadi teman setia yang menghangatkan hati kami, bahkan ketika listrik mati dan dunia serasa sunyi.

Ketika beranjak remaja, aku mendengarkan Kupu-Kupu Malam. Lagu itu berbeda. Tidak seperti lagu-lagu masa kecil yang ceria, lagu ini sunyi namun dalam. Ia mengajak merenung, memahami sisi lain dari kehidupan yang jarang diajarkan di sekolah. Aku terdiam, mendengarkan, dan perlahan mengerti bahwa dunia tak selalu hitam-putih. Ada manusia-manusia yang hanya ingin bertahan hidup, dengan caranya sendiri. Lagu itu menyentuhku—bukan hanya karena suara Eyang yang tetap hangat, tapi karena kasih dan empati yang terbungkus dalam setiap baitnya.

Eyang Titiek bukan hanya penyanyi. Beliau adalah penjaga kenangan, guru kehidupan lewat lagu, dan sahabat dalam kesunyian radio kami.

Terima kasih, Eyang, atas suara dan cinta yang telah Engkau wariskan. Lagu-lagu itu tetap hidup dalam hati kami, anak-anak desa yang dulu menari dalam terang matahari dan suara radio.

Selamat jalan, swargi langgeng, Eyang Titiek. Doa kami menyertaimu.

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

“Mereka Sedang Bekerja”

BERBAGI TAK PERNAH RUGI