Telling
The Story of Jesus
Misi
di Asia : Menceriterakan Kisah Yesus
“Telling
The Story of Jesus”
By
: Mgr. Luis Antonio G. Tagle, Uskup Imus, Philiphina
Kongres
Misi Asia, Chiang Mai, Thailand, 19 Oktober 2006.
Diterjemahkan
oleh : B.S. Mardiatmadja, SJ.
Kongres Misi Asia adalah suatu
kesempatan untuk merayakan panggilan Gereja menjadi misioner. Kongres ini
mengenangkan dengan penuh syukur jalan-jalan misioner yang telah diambil oleh
Gereja di Asia. Kongres ini bersukacita atas upaya terus-menerus dalam misi,
dengan menjadi saksi dari kekuatan iman dan cinta kasih. Kongres mengundang
kita untuk melibatkan diri sekali lagi kepada panggilan abadi Yesus Kristus
agar kita membawa Kabar Baik mengenai Kerajaan Allah ke seluruh dunia. Kongres
juga mendesak kita untuk mencari jalan-jalan baru guna memahami dan menjalani
misi, dalam kesetiaan kepada Tradisi Gereja yang kaya, tetapi dengan peka
terhadap realitas yang dihadapi oleh rakyat Asia.
Dapat dikatakan bahwa sejarah Gereja
adalah sejarah misi. Sejarah yang berlapis-lapis dan beraneka warna ini,
bermula dari jaman Perjanjian Baru, menjadi saksi dari banyak jalan yang
dipergunakan oleh Gereja untuk memahami dan melaksanakan misi. Kita dapat
menambahkan kenyataan bahwa sementara Gereja yang satu ini bersifat universal,
dia pun hadir dalam gereja-2 setempat, yang memiliki sejarah dan situasi-2 yang
sangat unik, dan karena itu juga mempunyai pengalaman-pengalaman dan
pengertian-pengertian tentang misi yang unik pula. Paus Johannes Paulus II
meneguhkan dalam Redemptoris Missio suatu pemahaman dasar Ad Gentes, bahwa
misi, memang merupakan satu realitas tetapi sekaligus juga kompleks, serta
berkembang dalam cara yang beraneka warna. Melanjutkan dinamika Gereja mencari
jalan-2 untuk melaksanakan misi yang selaras dengan waktu dan tempat yang
tertentu, kongres kita mengusulkan suatu pemahaman dan praktek misi yang
berfokus pada Kisah Yesus di Asia.
Sebuah kisah tidaklah sekedar suatu
ceritera. Sebuah ceritera adalah suatu kisah yang sejati apabila diceriterakan
atau dinarasikan, dan mudah-mudahan didengarkan. Pada masa sekarang, salah satu
sebutan dari ber-kisah adalah “sharing”. Dalam Ecclesia in Asia, Paus Johannes
Paulus II melukiskan misi sebagai sharing tentang cahaya iman dalam Yesus,
suatu anugerah yang diterima dan suatu karunia yang dibagikan kepada rakyat
Asia. Sharing itu dapat mengambil bentuk berupa menceriterakan kisah Yesus.
Saya yakin bahwa, menceriterakan kisah Yesus menyediakan suatu kerangka yang
kreatif untuk memahami misi di Asia, suatu benua yang kebudayaan dan
agama-agamanya berakar pada kisah-2 besar atau “epos”. Paus Johannes Paulus II
juga mengakui bahwa metode berkisah itu serasi dengan bentuk-bentuk budaya yang
disukai untuk mewartakan Yesus di Asia (E.A no.20).
Memahami
kisah dan menceriterakan kisah
Hidup
manusia tak terbayangkan tanpa kisah. Hidup sendiri memiliki sebuah struktur
kisah. Kisah menjadi medium dari hidup dan maknanya. Menceriterakan kisah terjadi
secara alamiah bagi kita sehingga kita tidak cukup merefleksikan maknanya bagi
hidup kita. Pada tahun-tahun terakhir ini, para ahli telah menemukan kembali
peranan kisah dalam disiplin ilmu mereka masing-masing. Teologi dan
spiritualitas telah memanfaatkan “kembalinya peran kisah ini”. Misi dapat
diperkaya juga olehnya. Marilah kita gunakan waktu sebentar untuk merefleksikan
kisah dan menceriterakan kisah. Presentasi saya tidak akan mencakup segalanya.
Sebagai undangan untuk refleksi lebih lanjut dan diskusi, paper ini hanya akan
mencermati aspek-aspek, yang mungkin mempengaruhi pemahaman misi sebagai
menceriterakan kisah Yesus :
Kisah
yang baik berdasar pada pengalaman. Ada kisah yang baik dan ada kisah yang
tidak baik. Perbedaan antara keduanya tidak selalu bergantung pada gaya orang
yang menceriterakan atau akhir dari kisah itu. Pada akhirnya kita menginginkan
suatu ceritera yang memiliki kredibilitas, suatu ceritera yang dapat dipercaya
karena memang itu benar adanya. Dasar terkuat dari kebenaran adalah penga-laman
langsung dari orang yang berceritera. Seorang reporter yang bisa dipercaya
mengenai pengalaman orang lain memang dapat meyakinkan, namun tak akan dapat
menandingi kisah seseorang yang sungguh-2 berada di tempat pada saat suatu
peristiwa terjadi, sebab peristiwa itu sekarang menjadi bagian dari si pribadi.
Kita menceriterakan kisah-2 yang paling bagus bila semua itu merupakan
pengalaman kita sendiri. Kisah-2 yang terbagus adalah mengenai diri kita
sendiri.
Kisah-2
menyingkapkan identitas pribadi dan orang serta peristiwa-2 yang membentuk
identitas tersebut. Kisah-2 menyingkapkan siapakah kita ini, arus dan makna
hidup kita, serta kemana kita menuju. Kisah saya adalah riwayat hidup saya,
identitas saya dalam kerangka besar hal-2 di sekitar saya. Tatkala saya
menceriterakan kisah-2 kecil saya, riwayat hidup saya yang paling mendasar
disingkapkan tidak hanya bagi si pendengar tetapi juga dan terutama bagi diri
saya sendiri sebagai orang yang berceritera. Saya memahami diri saya sendiri.
Tetapi saya menyadari dalam proses bahwa kisah tidaklah sekedar mengenai diri
saya. Kisah selalu juga mengenai orang lain, keluarga dan teman-2 saya,
masyarakat, kebudayaan dan ekonomi, atau yang kita sebut ‘jaman saya’. Kisah
saya tidak berkembang di suatu ruang hampa. Saya adalah saya ini, karena saya
merupakan bagian dari kisah-2 orang lain dan kisah-2 jaman saya. Apabila saya
mengabaikan atau menyangkalnya, saya tidak menemukan kisah pribadi yang dapat
saya ceriterakan. Dalam menceriterakan kisah saya, saya juga menangkap makna
dari dunia tempat saya tinggal.
Kisah-2
bersifat dinamis, terbuka terhadap tafsir baru dan ceritera baru serta membawa
transformasi. Identitas pribadi dibentuk oleh interaksi dengan dunia yang
dikenal. Ingatan adalah vital jika kita ingin tumbuh dalam mengenal diri
sendiri. Tetapi kita mengenangkannya dengan menceriterakan kisah-2. Kenangan
terdiri dari kisah-2, lebih daripada sekedar urutan ceritera yang mengungkap
kembali pengalaman dalam diri kita. Dengan mengingat-2, kita menyadari bahwa,
masa silam sama sekali tidaklah ‘statis’. Kenangan itu terus membentuk diri
kita. Kenangan itu juga dapat dilihat dengan cahaya baru dari sudut pandangan
yang disediakan oleh pengalaman-2 baru. Sebenarnya kita malah menceriterakan
kisah yang sama dengan cara-2 yang berlain-lainan. Kisah-2 menyingkapkan apa
yang membentuk kita sehingga menjadi seperti sekarang, dengan membedakan kita
saat ini dari kita waktu dulu, dan membuka kemungkinan-2 bagi masa depan.
Melalui kisah-2 kita bersentuhan dengan dinamika transformasi dari identitas
pribadi : betapa banyak kita sudah berubah dan betapa banyak kita masih harus
berubah.
Kisah-2
adalah dasar dari pemahaman spiritual, doktrinal dan simbol-2 etis. Kisah-2
membuka identitas personal dengan memunculkan nilai-nilai, norma-norma moral
dan prioritas-prioritas seorang pribadi. Spiritualitas seorang pribadi tampil
dalam kisah-2nya. Simbol-2 etis, spiritual dan doktrinal yang berharga bagi
seseorang dilahirkan dari kisah-2 hidup pribadi itu. Simbol-2 yang mendalam dan
hidup pada diri manusia hanya dipahami apabila kisahnya dikenal dan
didengarkan. Kisah-2 tak dapat diabaikan apabila kita ingin memahami arti dari
iman seseorang dan simbol-simbol moralnya.
Kisah-2
membentuk komunitas. Apa yang sudah kita katakan sejauh ini mengenai kisah dan
identitas personal juga dapat dikatakan mengenai identitas sebuah komunitas.
Pengalaman bersama dan kenangan bersama mempersatukan individu-2 yang tertentu
menjadi sebuah badan yang baru dan kompak. Ceritera tentang kisah-2 yang khas
bagi sebuah komunitas menjadi inti dari nilai-2 etik dan spiritualitasnya.
Keyakinan-2 khas sebuah komunitas, ritus-2, perayaan-2, adat dan gaya hidupnya
akan jelas artinya bagi kita hanya apabila kita kembali kepada kisah-2, yang
dipegang teguh dan dicintai bersama oleh komunitas itu.
Kisah-2
kalau disambut dapat membawa transformasi bagi si pendengar. Pengalaman-2
penting disebut dan diceriterakan dalam kisah-2. Apabila kita mengalami sesuatu
yang penting baik dari sudut positif maupun negatif, kita mau cepat-2
menceriterakannya kepada orang lain. Dinamika ini menyatakan kepada kita bahwa
kisah menuntut adanya seorang pendengar, seseorang yang mau kita berikan
sharing kita. Kisah seseorang dapat membangkitkan kenangan akan pengalaman-2
yang serupa dalam diri seorang pendengar, membuka makna baru, menciptakan
mukjizat dan membangungkan seseorang yang ‘tertidur’. Kesungguhan dan tanggapan
dari seorang pendengar sudah muncul tatkala orang yang berceritera mengakhiri
kisahnya. Kisah orang yang berceritera terjalin dengan kisah si pendengar untuk
menciptakan kisah-2 baru. Seorang pendengar yang baik biasanya akan menjadi
seorang yang baik juga untuk menceriterakan kisah. Orang yang telah mengalami
bagaimana memintal kisah-2 orang lain ke dalam kisah-2nya sendiri dengan
mendengarkan, akan cukup merasa aman untuk membagikan kisahnya sendiri menjadi
bahan pintalan untuk kisah orang lain lagi.
Kisah-2
dapat diceriterakan dengan pelbagai macam cara. Sebuah kisah dapat
diceriterakan dengan pelbagai macam cara, pun kalau bentuknya tidak secara
harafiah dapat disebut berkisah. Berkisah secara lisan masih merupakan hal yang
umum. Tetapi kisah-2 dapat diceriterakan dengan menulis surat, novel atau
puisi. Foto dan video adalah berceritera tentang kisah dengan mempergunakan
cara-2 tehnologis. Isyarat seseorang, caranya bergerak, nada suara, mimik
wajah, dan gerak tubuhnya sama perannya dengan setiap pokok dalam suatu kisah.
Diamnya seseorang dapat kuat juga untuk menceriterakan suatu kisah. Lebih
lanjut lagi, sikap seorang pribadi, gaya hidup dan relasi-relasinya
menceriterakan kisah-2 dan melahirkan kisah-2 baru. Tarian sebuah komunitas,
musiknya, seni, arsitektur dan makanan adalah unsur-unsur hakiki untuk
kisahnya. Kisah-2 terjalin secara kaya sehingga terbuka untuk diceriterakan
kembali dengan banyak cara.
Kisah-2
dapat ditekan sehingga tidak diceriterakan. Pun kalau menceriterakan kisah itu
terjadi secara spontan dalam diri kita, beberapa faktor dapat sedemikian
menekan sehingga kita tidak menceritera-kannya. Rasa sakit yang dibawa oleh
ingatan yang penuh trauma, rasa malu atau rasa salah dapat menghalangi seorang
korban untuk menceriterakan kisahnya secara utuh. Untuk menyimpan sedikit harga
diri sesudah suatu pengalaman yang merendahkan, seorang korban dapat menyangkal
bahwa suatu kisah adalah bagian dari identitas pribadinya dan kenangannya. Para
diktator melarang kisah-2 korupsi, penindasan, pembunuhan dan penghancuran,
agar tidak meggagalkan rejim mereka. Mereka menyuap orang media dan mengancam
mereka yang mau membuka kebenaran. Mereka memaksakan suatu ceritera nasional
resmi, yang menghapus ingatan yang mungkin dapat menaruh mereka dalam cahaya
kejahatan. Beberapa kisah terlalu berbahaya untuk diceriterakan karena si
pendengar mungkin dapat menangkap panggilan untuk mengadakan transformasi.
Pertempuran-2 paling keji yang tersimpan dalam benak orang hanya menjadi
kisah-2 tersisa yang tidak terungkap. Tetapi sebenarnya dapat disembuhkan.
Manakala korban-2 diijinkan untuk menceriterakan kisah-2 mereka kepada para
sahabat, konselor atau ahli yang memperlihatkan bela rasa dan pengertian, harga
dirinya perlahan-lahan kembali. Komunitas-2 yang menceriterakan kisah-2 mereka
yang sebenarnya, kembali memperoleh kekuatan mereka untuk mengadakan
transformasi masyarakat.
Kita
baru saja memakai waktu untuk merefleksikan kisah dan berceritera tentang kisah
untuk menemukan potensinya guna memahami dan melaksanakan misi.
Misi
sebagai menceriterakan kisah Yesus di Asia.
Pada
awal, kita menegaskan bersama dengan Ad Gentes (AG) dari Vatikan 2 bahwa ziarah
gereja itu secara kodrati bersifat misioner karena berasal dari misi Yesus
Kristus dan misi Roh Kudus yang selaras dengan kehendak Allah untuk
menyelamatkan (AG 2). Apa yang telah diselesaikan oleh Yesus bagi keselamatan
semua orang sekarang ini tepat waktunya untuk diselesaikan seluruhnya : Yesus
mengirim Roh Kudus dari Bapa untuk melaksanakan karya penyelamatanNya dalam
Gereja (AG 3-4). Memang tepat untuk menyebut Roh Kudus sebagai pelaku utama
misi, sebagaimana dilakukan oleh Paus Johannes Paulus II (lihat Redemptoris
Missio bab III). Roh Kudus-lah yang memampukan Gereja menyelesaikan misi yang
dipercayakan kepadaNya (EA 43).
Dari
perspektif ini misi Yesus Kristus dan Roh Kudus dapat dipandang sebagai kisah
Allah sendiri. Allah adalah ‘Yang menceriterakan kisahNya’. Roh Kudus mau
menceriterakan kisah Yesus kepada Gereja. Yesus berjanji, “Sang Penghibur, Roh
Kudus, yang dikirim Bapa atas NamaKu, akan mengajarkan kepadamu segala sesuatu
dan mengingatkan kepadamu segala sesuatu yang telah kukatakan kepadamu”
(Yoh.14,26). Ketiga Pribadi Tritunggal dilukiskan oleh Yesus sebagai saling
menceriterakan kisah kepada satu sama lain. “Tetapi apabila Ia datang, yaitu
Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak
akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu
hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan
kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya,
adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang
diterima-Nya dari pada-Ku."
(Yoh.16:13-15). Misi Gereja adalah buah dari kisah yang dikisahkan oleh
Roh Kudus dari Yesus dan Bapa. Asal mula misi Gereja adalah pribadi yang
menjadi penceritera agung dari kisah, yakni Roh Kudus : kepadaNya Gereja harus
mendengarkan agar dapat ikut ambil bagian dalam apa yang didengarkannya. Gereja
menceriterakan kisah Bapa tentang Yesus Kristus pada waktu Gereja
mendengarkannya dari Roh Kudus.
Tentu
saja Gereja harus menceriterakan kisah Yesus. Pertanyaan besar bagi Asia adalah
bagaimana membagikan kisah itu sebagaimana secara tepat dikatakan oleh Paus
Johannes Paulus II (EA 19). Segi ‘bagaimana’ dari misi sudah menjadi
keprihatinan dari banyak teolog Asia seperti misalnya Michael Amaladoss SJ.
Dengan menggunakan beberapa dari refleksi kita mengenai pemahaman tentang
menceriterakan kisah, marilah sekarang kita melihat misi sebagai menceriterakan
kisah Yesus dalam bimbingan Roh Kudus.
Gereja
menceriterakan kisah Yesus dari pengalamannya tentang Yesus. Menceriterakan
kisah Yesus di Asia itu lebih berhasilguna apabila timbul dari pengalaman kita
sendiri yang berceritera. Catatan Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi
bahwa orang sekarang lebih percaya kepada saksi daripada kepada guru, itu
secara universal benar tetapi lebih benar lagi di Asia, sebab disini kebudayaan
secara khusus mementingkan arti pengalaman untuk mengakui kebenaran seorang
saksi. Rasul-rasul yang pertama, semua orang Asia, berbicara tentang pengalaman
mereka – apa yang sudah mereka dengar, apa yang sudah mereka lihat dengan mata,
apa yang mereka sudah tatap dan sudah mereka sentuh dengan tangan mereka :
perihal Sabda Kehidupan (1 Yoh 1,1-4). Tak ada cara lain bagi gereja masa kini
di Asia. Tanpa kenal seara mendalam akan Yesus Sang Penebus, bagaimana saya dapat
menceriterakan kisahNya secara meyakinkan sebagai kisah pribadi saya ?
Pengalaman St Paulus benar-benar menjadi akar dari misi pada waktu ia berkata
“namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus
yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan
menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal.2,20). Menceriterakan kisah Yesus di Asia
menuntut dari Gereja suatu perjumpaan yang hidup dengan Yesus dalam doa,
ibadat, interaksi dengan manusia, khususnya yang miskin, dan peristiwa-2 yang
merupakan ‘tanda-2 jaman’.
Kisah
Yesus memperlihatkan identitas gereja di antara orang miskin, kebudayaan dan
agama-2 Asia. Sebagaimana suatu kisah menyingkapkan identitas seorang pribadi,
suatu kisah iman dalam Yesus menyingkapkan juga identitas dari orang yang
berceritera sebagai orang beriman. Seorang saksi yang menceriterakan kisahnya
dalam berjumpa dengan Yesus tidak dapat dan tidak boleh menyembunyikan identitasnya
sebagai seorang murid Sang Penebus. Tetapi sebagaimana suatu jaringan relasi
dengan manusia, kebudayaan, masyarakat dan aliran-2 masyarakat membentuk kisah
atau identitas pribadi, demikian pula kisah tentang Yesus di Asia dilakukan
dalam relasi dengan sesama. Identitas kristiani dan kisah di Asia selalulah
bersama dan tak terpisah dari kisah kebudayaan-2 dan agama. Kisah Yesus
haruslah diceriterakan oleh umat kristiani Asia yang bersama dan diantara orang
miskin, kebudayaan-kebudayaan yang beraneka dan pelbagai agama di Asia, yang
sebagian menentukan identitasnya dan kisahnya sebagai orang Asia. Kenyataan
Asia telah mendorong Jonathan Yun-Ka Tan untuk mengusulkan agar misio ad
(kepada) gentes dipahami sekarang sesuai dengan paradigma baru menjadi misio
inter (diantara) gentes. Saya berpegang teguh bahwa misio ad gentes jangan
disingkirkan, tetapi harus dilaksanakan diantara bangsa-bangsa (inter gentes).
Tak ada suatu misi yang sejati kepada bangsa-2 tanpa sekaligus juga misi dengan
bangsa-2. Dan misi sejati dengan bangsa-2 mendorong misi kepada bangsa-2.
Dengan dan diantara orang miskin, kebudayaan-2 dan agama-2, umat kristiani Asia
adalah orang Asia. Kepada dan bagi orang-2 miskin, kebudayaan dan agama-2,
orang kristiani Asia adalah orang kristiani. Pemaduan kisah-2 itu, saya yakin,
dapat sedemikian memperkaya refleksi-2 FABC tentang misi sebagai dialog dengan
orang miskin, kebudayaan-2 dan agama-2 Asia.
Gereja
secara dinamis menyimpan kenangan akan Yesus Kristus yang hidup. Diantara dan
bagi sesama orang Asia, Gereja menceriterakan tentang kisah Yesus dengan cara
menyimpan kenangan hidup akan Yesus. Menyimpan kenangan akan Yesus tidak
berarti menguncinya dalam suatu bagian hidup yang tak dapat disentuh lagi.
Kenangan itu disimpan apabila dijadikan milik pribadi dan dibagikan. Percaya
kepada Roh Kudus dan setia kepada kenangan yang dijamin dalam Tradisi Gereja
universal, Gereja di Asia harus memiliki keberanian menemukan jalan-2 baru
untuk menceriterakan kisah Yesus, menggali vitalitas dan menemukan potensinya
untuk membaharui kenyataan-2 Asia. Kisah Yesus, bila disimpan sebagai benda
museum, akan gagal untuk memberi hidup kepada kita. Dalam EA 19-20, 22, Paus
Johannes Paulus II memberikan tantangan untuk menemukan cara pendidikan yang
akan dapat membuat kisah Yesus semakin dekat dengan hal-2 yang penting bagi
Asia : khususnya kepada para teolog. Ia yakin bahwa kisah yang sama itu dapat
diceriterakan dengan perspektif baru dan dalam terang lingkungan yang baru.
Kisah
Yesus menyediakan makna bagi simbol-2 iman Gereja. Kita berkata bahwa kisah-2
berisi makna dari spiritualitas, etika dan keyakinan-2 yang dipeluk oleh
seseorang. Dapat terjadi bahwa Gereja dapat diidentifikasikan dengan beberapa
simbol doktrin, etika dan ibadat yang telah distandarisasikan : kisah itu dapat
memberi dorongan apabila tradisi dilupakan. Lalu simbol-2 sendiri dapat
kehilangan kekuatannya untuk menyentuh umat. Simbol-2 iman harus berakar pada
kisah-2 Yesus yang paling mendasar. Misalnya pemecahan roti pada ekaristi harus
dilihat dalam banyak kisah mengenai ‘sharing’, perhatian dan persekutuan :
tanpa itu semua ritus kehilangan maknanya. Cincin seorang uskup harus muncul
dari suatu kisah hidup tentang pelayanan bagi komunitas : tanpa itu cincin itu
disempitkan menjadi sepotong batu berharga. Simbol seorang imam sebagai
kehadiran Yesus harus muncul dari kisah hidup mengenai sikap siap sedia bagi
umat : tanpa itu imamat menjadi suatu status, bukannya suatu panggilan.
Simbol-2 iman harus dapat dilacak sampai kepada kisah Yesus yang mendasar.
Kembali kepada kisah Yesus dapat memungkinkan Gereja di Asia untuk mengkoreksi
tentang asingnya Gereja dari sudut ajaran, ritus dan simbol (EA 20). Bila dilepaskan
dari kisah Yesus yang melahirkan-nya, simbol-2 tentang Gereja dapat saja
menceriterakan suatu kisah yang asing dari kisah Yesus sendiri.
Kisah
Yesus melahirkan Gereja. Kisah-2 juga membentuk suatu komunitas sebagaimana
telah kita nyatakan tadi. Dalam pengalaman dan kenangan bersama,
komunitas-komunitas menemukan kedekatan dan nilai bersamanya. Kenangan yang
sama akan kisah Yesus yang dilahirkan oleh Roh Kudus harus menjadi sumber
perdana dari persekutuan dan identitas dalam iman bagi Gereja di Asia. Alkitab,
sakramen-2 khususnya ekaristi, ajaran-2, ritus-2 dan seluruh tradisi adalah
cara-2 untuk terus-menerus menceriterakan kisah Yesus untuk dapat menyimpan
kenangan tentang Tuhan sebagai inti dari komunitas kristiani. Namun ‘sense of
community’ ini bukanlah dalih untuk mengisolasi gereja sehingga dapat
membekukan identitasnya. Kisah Yesus yang menjadikannya suatu komunitas
kristiani adalah kisah yang sama yang harus dimiliki oleh seluruh komunitas.
Dalam paradigma menceriterakan kisah, gereja akan kehilangan identitasnya
apabila ia gagal dalam menceriterakan kisah yang merupakan identitasnya
sendiri. “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan
nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil,
ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi
ia kehilangan nyawanya” (Mark 8:35-36). FABC yakin bahwa seluruh Gerejalah yang
dipanggil untuk misi. Gereja-2 setempat perlu menegaskan dan memperkembangkan
talenta-2 beraneka yang diberikan oleh Roh Kudus supaya mereka dapat menyumbang
pada proses menceriterakan kisah Yesus. Seluruh Gereja, buah dari kisah Yesus,
menjadi komunitas yang menceriterakan kisah Yesus.
Gereja
mendengarkan lalu menceriterakan kisah Yesus. Kisah-2 menemukan pemenuhannya
dalam si pendengar. Namun kisah-2 yang dipaksakan tidak didengarkan. Gereja di
Asia harus mempercayai vitalitas kisah yang diwartakannya, tanpa memaksakannya
kepada orang lain. Kisah itu sudah merupa-kan kisah yang indah sehingga pasti
akan dapat menyentuh orang yang memiliki keterbukaan. Paus Johannes Paulus II
dalam EA mengatakan kepada kita bahwa kita ikut ambil bagian dalam sikap Yesus
untuk tidak memaksa orang masuk agama; itu karena taat kepada Tuhan dan sebagai
tindak pelayanan kepada rakyat Asia (EA 20). Biarkan kisah itu berbicara dan
menyentuh. Biarkanlah Roh Kudus membuka hati dan ingatan para pendengar serta
mengundang mereka melakukan transformasi. Kumpulan banyak orang miskin Asia
dapat menemukan bela rasa dan harapan dalam kisah Yesus. Kebudayaan-2 Asia akan
bergema dengan tantangan-2 yang ‘menggoncangkan’ ke arah kemerdekaan sejati
dalam kisah Yesus. Pelbagai agama Asia akan tercengang pada hormat dan
penghargaan terhadap Allah yang mencari manusia dan kekudusan sejati dalam kisah
Yesus. Gereja di Asia terpanggil untuk dengan rendah hati membiarkan Roh Kudus
menyentuh pendengar-2rnya. Sebagai yang berceritera tentang Roh Kudus Gereja di
Asia hendaknya masuk ke dalam dunia dan bahasa-2 dari pendengarnya dan dari
dalam menceriterakan kisah Yesus seperti pada Pentakosta. Namun hal itu berarti
bahwa Gereja di Asia harus menjadi pendengar yang baik bagi Roh Kudus, orang
miskin, kebudayaan-2 dan agama-2, apabila mau dimengerti bila berbicara. Gereja
yang mewartakan Kabar Baik harus menjadi Gereja yang dapat mendengarkan.
Gereja
menceriterakan kisah Yesus dengan cara yang beraneka. Kisah-2 dapat
diceriterakan dengan pelbagai cara, demikian pula kisah Yesus. Gereja di Asia
dengan warisannya yang kaya akan menceriterakan kisah-2 sebagaimana diperoleh
dari keluarga-2 Asia, tetangga, agama-2 dan kebijaksanaan-2 tradisional, dapat
menjadi kreatif dalam menceriterakan kisah Yesus. Menjadi saksi dari hidup yang
suci, hidup etis dan jujur masih tetap merupakan kisah terbaik tentang Yesus di
Asia. Hidup orang-2 suci dan saksi-2 iman menunjukkan bagaimanakah kisah Yesus
ditulis dalam pribadi dan komunitas-2. Orang-2 yang mempersembahkan diri,
melayani sesama seperti Beata Teresa dari Calcutta adalah kisah-2 hidup yang
disukai dan didengarkan oleh orang-2 Asia. Membela orang miskin, bekerja bagi
keadilan, mempromosikan hidup, merawat orang sakit, mendidik anak-2 dan orang
muda, membangun perdamaian, meringankan beban hutang dan melestarikan ciptaan
adalah beberapa cara yang menceriterakan kembali kisah Yesus masa kini. Tetapi
gereja masih juga harus siap untuk menerima cara-2 Roh Kudus yang tak terduga
untuk menceriterakan kisah Yesus.
Gereja
adalah suara dari kisah-2 yang tersembunyi. Adalah merupakan suatu skandal
bahwa penindasan kisah merupakan hal harian di banyak tempat di Asia.
Orang-orang miskin, anak perempuan dan wanita, pengungsi, orang migran,
minoritas, rakyat terpencil, korban aneka bentuk kekerasan domestik, politis,
etnis dan lingkungan, adalah beberapa dari kisah-2 yang tertindas. Banyak yang
takut untuk menceriterakan kisah-2 mereka atau mereka takut untuk mendengarkan
kebenaran dan tuntutan kebenaran ? Gereja menceriterakan kisah Yesus, yang
kata-katanya sering jatuh ke telinga yang tuli dan yang diadili agar ia dapat
dihalang-halangi untuk menceriterakan kisahnya. Maka gereja di Asia menghormati
Yesus apabila membiarkan dirinya menjadi yang menceriterakan kisah orang-orang
yang tak dapat bersuara, supaya suara Yesus dapat terdengar dalam kisah-2
mereka yang tertindas.
Kesimpulan
Misi
adalah menceriterakan kisah Yesus yang sudah terlaksana di Asia. Kita merayakan
orang-2 yang menceriterakan kisah Roh Kudus, yang ceriteranya, walaupn
tersembunyi, telah melahirkan kisah-2 baru dalam hidup banyak orang Asia.
Saya
menutup dengan berpaling kepada Yesus Sang Logos atau kisah Allah dan Yang
menjadi Penceritera Agung mengenai Kerajaan Allah. Marilah kita memandang Dia.
Marilah kita mendengarkan Dia. Marilah kita belajar dari Dia. Marilah kita
membuka diri kita pada kisah yang diceriterakanNya. Kisahnya adalah mengenai
Abba yang dialamiNya dan kepenuhan hidup yang ditawarkan oleh Abba. HidupNya
dan identitasNya berakar dalam kesatuan tetap dengan Abba. Namun Ia hidup
sebagai seorang Yahudi biasa, seorang Asia biasa, dengan keluarga, sahabat-2, wanita-2,
anak-2, orang-2 asing, pejabat-2 kenisah, pengajar-2 hukum, si miskin, si
sakit, orang yang tak berteman, para pendosa dan para musuh. Mereka semua
adalah bagian dari DiriNya. Ia mengumpulkan suatu komunitas, suatu keluarga
baru yang mau mendengarkan Sabda Allah dan bertindak sesuai denganNya. Ia
menceriterakan kisah dari Abba dan hidup dalam Abba. Ia mempergunakan bahasa
mereka, perumpamaan-2Nya sederhana namun jelas. Ia berceritera kepada mereka
tentang Abba melalui makanNya, penyembuhanNya, bela-rasaNya, belas kasihNya,
pengampunanNya, dan kritikNya terhadap religiositas yang semu. KisahNya membawa
Dia kepada santap malam : di sana Ia menjadi santapan dan di sana Ia membasuh
kaki sahabat-2Nya. Tak sesuatupun dapat menghentikan Dia dari menceriterakan
kisahNya, bahkan waktu di salib. KematianNya dengan cara yang sangat ‘terhina’
seharusnya menjadi akhir dari kisahNya. Namun Abba mengatakan yang lain lagi :
“AnakKu – Ia sungguh bangkit”. Dengan mencurahkan karunia Roh Kudus ke dalam
hati kita, Yesus mempercayakan kisahNya kepada kita. Saya mendengar Ia
mengatakan : “Dengarlah kisahKu. Pergilah dan ceriterakanlah kisahKu lagi dan
lagi di tempat dimana segala sesuatunya mulai – di rumahKu yaitu di Asia yang
Kucintai !”.
Diterjemahkan
oleh : B.S. Mardiatmadja SJ
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!