LAMENTASI PANCASILA
LAMENTASI PANCASILA[1]
Pengantar
Bangsa kita sesungguhnya adalah
bangsa yang patut bersyukur karena memiliki satu falsafah
yang kaya makna. Falsafah ini memiliki jiwa yang mampu mempersatukan dan merasuk di dalam hati rakyat Indonesiaa,
falsafah itu adalah Pancasila. Kita boleh bangga karena tidak
ada satu falsafah bangsa yang sekaya Pancasila. Pancasila
dasar yang mempersatukan, memberi roh dalam mencapai perjuangan dan melawan imperialism,[2]dan di
atas dasar inilah Negara kita didirikan sebagai bangsa dan memperoleh
kemerdekaannya. Pancasila adalah jiwa dan pijakan seluruh bangsa Indonesia dalam usahanya membangun bangsa. Pancasila juga menjadi arah kemana
bangsa ini hendak melangkah. Sebagai pijakan, arah,
tentunya ia memiliki kekokohan dan dasar yang tidak mudah digoyahkan. Dasar ini
mengandikan senantiasa mampu menopang apa yang berdiri di atasnya. Inilah
kiranya esensi Pancasila yang menjadi kekayaan bangsa kita. Tulisan
ini adalah usaha untuk merefleksikan kembali arti Pancasila
sekaligus mengurai
realitas yang dialami Pancasila yang saat
ini mengalami penderitaan. Pancasila yang memiliki roh dan selalu menjiwai bangsa ini pelan-pelan mulai dikoyak,
dicabik-cabik dengan segala apa yang tumbuh di atasnya. Bangsa kita melupakan pijakan
utama dalam melangkahkan kakinya. Pancasila teraniaya dan terluka oleh cara
berpikir dan bertutur kita sampai akhirnya ia hanya mampu meratap. Ia meratapi
bangsa yang berdiri diatasnya karena mulai melupakan dan tidak lagi berpijak
pada dirinya. Nafsu dan kekuasaan yang
menguasai para pemimpin negeri ini melukai Pancasila dan mambuatnya menangis.
Panorama Lahirnya Pancasila
Pancasila sesunggunya merupakan “bumi” dimana
setiap pribadi yang mengaku sebagai bangsa Indonesia berpijak dan medasarkan
seluruh hidupnya padanya. Sebagai “bumi” maka Pancasila menjadi
pijakan, menjadi tempat dimana setiap tindakan dan apapun yang dibuat oleh
bangsa ini tidak bisa dilepaskan dari padanya. Pancasila dirumuskan dari
sejarah panjang purgumulan mencari identitas bangsa ini. Ia
merangkum keseluruhan isi dari roh yang hidup dalam diri para pendiri bangsa dan mendorongnya untuk berani mengambil keputusan untuk merdeka sampai
akhirnya menjadi bangsa. Pancasila tidak sekedar uraian sila-sila
yang cukup dihafalkan ketika duduk di bangku SD dan dibukukan
dalam pelajaran P4. Pancasila melampaui hal-hal itu karena Pancasila sejatinya
adalah filsafat hidup. Sebagai sebuah filsafat Pancasila
mengandung roh dari bangsa ini yang mampu memandang realitas sedalam-dalamnya.[3]
Lahirnya Pancasila merupakan proses panjang bangsa ini dalam usahanya menjadi
sebuah bangsa. Jika kita kembali pada peristiwa sejarah bangsa
ini, proses mencari dan menentukan dasar Negara rupanya cukup rumit dan
melewati banyak perdebatan sengit. Perdebatan yang
terjadi tidak sekeder antar pribadi, melainkan juga antar golongan, agama, suku
dan kepentingan-kepentingan lain dari orang-orang yang merumuskannya.
Latar belakang historis
kemerdekaan Indonesia ialah Perang Dunia II. Pada masa itu, Jepang menduduki
Indonesia, bahkan menguasai Asia. Namun Sekutu terus-menerus mendesak dan ingin
melumpuhkan Jepang. Pada tahun 1945 Jepang semakin terdesak oleh tentara
sekutu. Setelah Pearl Harbor dibom Jepang, tentara Sekutu terus-menerus
menggempur Jepang. Nampaknya Jepang sudah menduga kekalahan mereka akan datang.
Dalam situasi itu, pada tanggal 1 Maret 1945, Saiko Syikikan Kumakici Harada
mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI)[4]
BPUPKI mengadakan sidang pada tanggal 28 Mei-1 Juni
1945. Persoalan yang sangat penting yang hendak dijawab dalam sidang itu ialah:
Apa yang akan menjadi dasar Negara
Indonesia? Ada banyak tokoh yang memberikan pendapatnya terhadap pertanyaan itu.
Dalam usahanya menjawab hal ini, masing-masing masing
wakil dari golongan dan agama berkumpul dalam sidang. Mereka membicarakan berbagai macamhal tentang persiapan Indonesia
Merdeka. Sebagai usaha untuk menjawab apakah yang akan menjadi dasar Negera
Indonesia di pilihlah 3 orang yaitu Muh. Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Muh.Yamin dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945
mengemukakan dasar negara yang ia usulkan. Ia mengatakan bahsa “pokok-pkok
aturan dasar negara Indonesia haruslah di susun menurut watak peradaban
Indonesia,”[5] Di dalam pidato yang
diucapkan tanggal 29 Mei 1945 ini Muh. Yamin membicarakan juga tentang
perikemanusiaan, Ketuhanan, permusyawaratan dan perwakilan, ditegaskan delapan
paham negara Indonesia Merdeka, dan disinggung pula hal-hal yang berkenan
dengan kehidupan ekonomi. Sebagai kelengkapan pada pidato itu, Muh. Yamin
melampirkan suatu rancangan sementara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
yang dirumuskannya:
“Habislah
pembitjaraan tentang aza kemanusiaan, kebangsaan, kesedjahteraan dan dasar jang
tiga, jang diberkati kerachmatan Tuhan, jang semuanja akan mendjadi tiang
negara keselamatan jang akan di bentuk. Dengan ini saja mempersembahkan kepada
sidang sebagai lampiran suatu rantjangan sementara berisi perumusan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”[6]
Muh. Yamin dengan
ringkas menerangkan hal ini dalam lima hal yaitu: Ke-Tuhanan Yang Esa,
Kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah Muh. Yamin berikutnya
giliran Soepomo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945. Berkaitan dengan dasar
negara, Soepomo terlebih dahulu mengatakan bahwa: Pertanyaan mengenai dasar
negara pada hakikatnya adalah pertanyaan tentang cita-cita negara (Staatsidee). Negara menurut dasar
pengertian ini adalah soal apa yang akan dianut oleh negara Indonesia merdeka
nanti. Dalam rangka merumuskan apa yang dianut Soepomo memberikan uraian
tentang tiga teori negara: teori perseorangan,
teori golongan, dan teori integralistik. Kemudian Soepomo
menjelaskan struktur masyarakat Indonesia yang asli sebagai hasil ciptaan
kebudayaan Indonesia yang memiliki ciri-ciri alam pikiran kebudayaan Indonesia
diantaranya: cita-cita persatuan hidup, keseimbangan lahir batin, pemimpin yang
bersatu jiwa dengan rakyat, musyawarah, suasana persatuan antara rakyat dan
pemimpinya, antara golongan rakyat yang satu dengan yang lain, dan segala
golongan diliputi oleh semangat gotong royong, serta semangat kekeluargaan.
Lalu ia menegaskan dasar ini demikian:
“Maka
teranglah tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan Negara
Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat da corak masyarakat Indonesia,
maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya
dalam lapangan apapun.”[7]
Setelah pernyataan ini Soepomo lalu
menjelaskan juga mengenai nasional yang bersatu yang mengatasi golongan, Islam
atau golongan lain yang berusaha mendirikan negara di atas dasar agama. Baginya
negara yang bersatu itu tidak berarti tidak religius atau a-religius. Setelah pidato Soepomo selanjutnya giliran
Soekarno. Rumusan mengenai dasar negara yang Soekarno ungkapkan akan di bahas
di uarain berikutnya yang menyangkut secara langsung uraian tentang Pancasila.
Uraian di atas
merupakan perjalanan kecil bagaimana embrio yang mengarah pada Pancasila mulai
di pikirkan. Sejarah lahirnya Pancasila
secara lebih menyeluruh diuraikan oleh Yudi Latif dalam
bukunya Negara Paripurna kedalam tiga fase. Fase pembuahan, fase ini menandai bahwa sebenarnya ide mengenai dasar Negara sudah
diperbincangkan pada masa-masa munculnya Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda
yang dipelopori oleh orang-orang muda yang sedang belajar di Belanda sekitar
tahun 1924. Pada masa ini ide mengenai dasar sebuah bngsa sudah menjadi bagian
dari ideology-ideologi yang di usung oleh perhimpunan-perhimpunan yang sudah
menyebar di seluruh pelosok negeri ini. Sebagai contoh Tjokroaminoto mulai
membuat suatu sintesis antar Islam, sosialisme dan demokrasi. Juga Soekarno
yang pada mulai menuangkan gagasanya dalam esai di majalah Indonesia Moeda dengan judul
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.Dilanjutkan
juga oleh golongan pemuda yang medeklarasikan sumpah pemuda pada 18 Oktober
1928.
Setelah itu muncul fase perumusan, fase ini terjadi
ketika perumusan dasar Negara Indonesia merdeka mulai di bicarakan pada
persidangan pertama BPUPKI ( 29 Mei - 1
Juni 1945). Pada fase pertama ini dihadiri oleh 69 orang wakil dari golongan,
pemerintahan dan peranakan.[8]
Pada persidangan ini ketua sidang yang waktu itu dijabat oleh Rajiman
Wedyodiningrat meminta beberapa angggota BPUPKI untuk membawakan pidato perihal
dasar Negara apa yang akan di pakai untuk Negera Indonesia. Pidato pertama dibawakan oleh Muhamad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.[9]
Selanjutnya oleh Supomo, dan pidato terakhir dibawakan oleh Soekarno. Yamin dan
Soepomo mengemukakan pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai dasar
Negara. Bagaimanapun juga pandangan-pandangan
ini mencerminkan apa sesungguhnya yang diharapkan oleh semua pihak tentang
kemerdekaan. Pandangan-pandangan yang
diuraikan oleh Yamin dan Soepomo sesungguhnya mendapat kelengkapanya di dalam
pandangan Soekarno pada 1 Juni. Dia dengan sedikit lebih gamblang dan lengkap
menguraikan dasar Negara sebagaimana yang di kehendaki oleh ketua BPUPKI.
Apa yang dimaksudkan oleh Radjiman mengenai dasar
Negara sebagai falsafah dasar diuraikan Soekarno
demikian:
“Maaf,
beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang
mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan
Ketua yang mulia, ialah, dalam bahasa Belanda: ”Philosofische
grondslag”
daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk
diatasnya di didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. “[10]
Bagi
Soekarno apa yang dimaksud dengan dasar Negara tidak sekedar dasar yang
menjelaskan mengenai Indonesia harus berdiri dan merdeka tetapi dasar yang
menjadi roh dan jiwa bangsa. Soekarno dalam pidatonya
menguraikan kelima prinsip atau dasar yang akan menjad jiwa dari pendirian
negara Indonesia dengan menyebutnya Pancasila.
Nama Pancasila diperoleh Soekarno lewat petunjuk temanya seorang ahli
bahasa. Sukarno menamakan dasar ini bukan tanpa alasan ia menguraikan hal ini
demikian:
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya.
Inilah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma
berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saa senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima
setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang lima bilangannya? (seorang
yang hadir: Pandawa Lima). Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya
prinsip. Kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejateraan dan ke-Tuhanan,
lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca-Sila. Sila
artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi. (tepuk tangan
riuh)[11]
Kelima dasar ini menjadi bagian akhir penentuan dasar Negara Indonesia dan
dasar inilah yang akhirnya di pakai dan disepakati bersama. Pidato Soekarno ini menjadi penutup masa
persidangan pertama. Selanjutnya ketua BPUPKI membentuk padnitia kecil yang
bertugas untuk mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan digunakan sebagai
bahan sidang berikutnya.
Fase selanjutnya adalah fase
pengesahan. Fase ini menandai
selesainya perumusan dasar negara dan mulai dengan perumusan UUD serta
pengesahan keduanya. Perumusan undang-undang memang sedikit menemui banyak
hambatan karena adanya perbedaan pendapat dari para anggota secara khusus Muh.
Yamin. Namun demikian semua itu dapat
terselesaikan. Dalam sidang pleno BPUPKI
tanggal 10 Juli 1945 Soekarno melaporkan bahwa Panitia Sembilan telah bersidang
dan berhasil merumuskan suatu modus atau persetujuan antara pihak Isalam dan
pihak kebangsaan (tanggal 22 Juni 1945 yang oleh Yamin disebut Piagam
Jakarta). Fase pengesahan ini terjadi
dan di mulai sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam
kehiduapn bernegara.[12]
Produk Kebersamaan.
Kelahiran Pancasila sesungguhnya adalah produk
dari kebersamaan. Kebersamaan atara sekian banyak orang yang mendaku diri
sebagai bangsa Indonesia dan menginginkan kemerdekaan. Kiranya tanpa ada
kebersaamaan Pancasila tidak akan lahir sebagai sebuah dasar negara. Kebersamaan
ini terwakili oleh 69 orang dari berbagai latar belakang, pendidikan, suku,
agama dan golongan. Apakah dengan 69 orang yang hadir dalam sidang BPUPKI sudah
terwakili? Meski sebenarnya jumlah ini dinilai oleh beberapa sejarawan masih
kurang memadai untuk merumuskan sebuah dasar negara dari Sabang sampai Merauke
namun apa yang menjadi cita-cita bersama rakyat Indonesia dirasa sudah cukup.
Sebagai produk kebersamaan
Pancasila mengandung sebuah knsekuensi bahwa apa yang terkadung di dalamnya
diharapkan mewakili apa yang menjadi kerinduan dan tekad bersama seluruh rakyat
Indonesia. Di atas kebersamaan inilah para pendiri bangsa ini berusaha
memikirkan dan mensarikan apa yang menjadi bagian dari perjuangan dan jerih
payah seluruh bangsa untuk segera memperoleh kemerdekaan. Sesungguhnya tidak
bisa di pungkiri bahwa dalam setiap pergumulan merumuskan dasar atau falsafah
ini ada pihak-pihak tertentu yang dengan kepentinganya sendiri berusaha
memasukan gagasan-gagasan pribadi atau golongan. Kepentingan-kepentingan ini
pada akhirnya mau tidak mau menuntun para pendiri bangsa kita untuk melihat
lebih jauh nilai tertinggi yang harus dipegang yaitu bahwa lahirnya Pancasila
harus mengakomodir dan mengandung apa yang menjadi keinginan bersama. Dalam
situasi ini menjadi amat menarik karena dari setiap orang yang menjadi wakil
untuk merumuskan kembali gagasan yang di susun oleh Soekarno ini menahan diri
untuk tidak memaksakan keinginan pribadi. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Pancasila
selaian lahir dari produk kebersamaan juga lahir dari sebuah asketisme ideologis pribadi dan golongan
yang terlibat dalam merumuskannya.
Kebersamaan yang
digambarkan dalam situasi ini adalah, kebersamaan dimana para pendiri bangsa
yang berasal dari latar belakang budaya, agama, ras, suku berkumpul untuk satu
tujuan bersama yaitu mewujudkan Indonesia yang merdeka. Kebersamaan ini menjadi
tanda bahwa apa yang mereka rumuskan dan formulasikan dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar didirikan di diatas dasar Kebangsaan.
Lamentasi Pancasila
Merefleksikan kembali sejarah
kelahiran Pancasila merupakan sebuah usaha untuk melawan lupa dan masuk kedalam
nurani pribadi sebagai bagian dari
bangsa ini. Ada sisi-sisi romantisme historis yang tidak sekedar mengandung
sikap melankolis ketika melihat sejarah panjang Pancasila. Di luar keadaan ini
secara jujur kita diajak untuk melihat masa kini dan memikirakan kembali sudah
sejauh mana bangsa ini berjalan dan berpijak pada “ bumi” yang menjadi roh dan
jiwa seluruh pribadi yang diam di negeri ini.
Ada banyak realitas yang
disajikan di depan mata dan mungkin juga terlibat dalam pengalaman keseharian
kita yang sama sekali jauh dari pijakan yang sesungguhnya. Realitas yang tidak
lagi berpijak pada “bumi” dimana kita menimba dasar untuk menjadi bijak, menjadi
adil, hidup dalam kebersamaan dan mementingkan kesejahteraan bersama. Setiap
hari kita disuguhi di depan layar televisi sebuah peristiwa yang tidak sekedar
berita tetapi sesungguhnya mengandung sebuah ratapan. Kita melihat begitu
banyaknya ketidakadilan di negeri ini, korupsi di tubuh instansi hukum dan
negara semakin hari semakin memprihatinkan. Kasus Prita, Mbok Minah dan korban
lainnya menunjukkan ketimpangan hukum yang dialami oleh mereka yang lemah
tatkala para koruptor dan pejabat yang terjerat hukum dengan santai keluar penjara
untuk sekedar belanja atau jalan-jalan ke Singapura.
Bangsa kita adalah bangsa
yang kaya akan sumber alam, Kalimantan, Sumatera, Papua semuanya menyediakan
kelimpahan untuk dinikmati bersama. Tetapi yang terjadi kita di sodorkan pada
realitas yang memilukan yang kontras dari arti yang sesungguhnya. Hutan-hutan
di Kalimantan menjadi semakin sempit dan berganti dengan usaha-usaha produksi kelapa
sawit dan tanaman produksi lainya yang tidak memikirkan kelangsungan ekosistem.
Bahkan baru-baru ini ada saudara-saudara kita di Papua yang mulai menjerit
karena para pemimpin negeri ini tidak pernah mengerti dan memahami maksud
mereka. Jeritan mereka seolah-oleh hanya angin lalu dan dianggap biasa bahkan
dituduh sparatis. Tatkala telinga sudah menjadi tuli, hati sudah tidak lagi mau
mendengar, rasanya sulit menemukan sebuah kebenaran yang bisa memulihkan carut
marut bangsa ini. Semuanya menjadi banal karena setiap orang di negeri ini
bertindak tidak berdsarkan nilai-nilai bangsa. Mereka bertindak sesuai dorongan
nafsu dan keinginan mereka. Situasi
seperti ini akhirnya dimaknai dalam dua sisi, ada kelompk atau pribadi-pribadi
yang bersikap acuh tak acuh dan mengganggapnya biasa. Tetapi ada yang berusaha
berpikir sebaliknya hanya saja sedikit keliru. Kekeliruan ini bisa kita amati
degan semakin maraknya kelompok-kelompok yang berlomba-lomba mencari ideologi
baru dengan mengatasnamakan agama dengan mengeluarkan produk-produk hukum
berdasarkan hukum agama yaitu dengan mengadopsi
atau menerapkan syariat Islam.
Realitas yang demikian
seharunya menimbulkan pertanyaan di dalam diri kita, pertama apa yang sedang
terjadi di negeri ini? Kedua kemana roh Pancasila
yang menjadi “ bumi” untuk negeri ini? Pertanyaan – pertanyaan ini kiranya
tidak hanya membutuhkan sekedar jawaban yang sederhana. Pada akhirnya
pertanyaan ini harus menghantar kita pada permenungan bahwa Pancasila kini
sedang menangis meratapi nasib bangsanya tempat dimana setiap orang bisa
menyusu dan menikmati rengkuhan keibuannya. Situasi yang sedang terjadi di
negeri ini sesungguhnya membuat Pancasila meratap dan menangis.
Ratapan ini semestinya
menjadi sebuah refleksi bersama yang menumbuhkan kesadaran untuk kembali kepada
nilai-nilai Pancasila yang sejati. Ratapan Pancasila mengajak kita kembali
mengumuli nilai-nilai awal ketika dasar ini dirumuskan oleh para pendiri bangsa
yang tidak sekedar dirumuskan begitu saja, karena rumusan Pancasila dirumuskan
dalam pergumualan panjang. Usaha merefleksikan hal ini tidaklah
mudah.
Pancasila dari Identitas ke Realitas[13]
Sebagai
sebuah dasar negara Pancasila tidak hanya merumuskan soal tata politik sebuah
Negara, tetapi lebih jauh dari itu. Soekarno mencoba menguraikan dasar Negara
ini tidak secara lengsung menyentuh dan mengumuli politik Negara tetapi
Soekarno masuk dalam dimensi yang lebih dalam yaitu roh yang menyatukan sebagai
sebuah bangsa. Selain itu Pancasila juga
sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir
atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara Pancasila
menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa setiap
gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-sila
yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari
warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya tidak
bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sila Kedua:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,Sila Ketiga: Persatuan Indonesia, Sila
Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Dengan demikian sejatinya
Pancasila adalah Identitas kita semua sebagai bangsa. Tatkala setiap orang yang
ada di negeri ini mulai menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila yang sudah
dijelaskan oleh Soekarno dengan panjang lebar dan mendalam maka maka bangsa ini
kehilangan identitas. Identias tidak sekedar tanda atau pengenal bahwa bangsa
ini memiliki dasar negara, tetapi identias adalah roh,darah dan nafas yang
membuat bangsa ini hidup dan mendapat tempat yang sejajar dengan bangsa lain.
Identitas harus mengatasi apa yang
primordial. Artinya identitas tidak
dimaknai secara personal malainkan inter-personal; tidak pergolongan atau antar
golongan, melainkan keseluruhan; tidak agamis, melainkan
transendental-kultural-religius; tidak rasial, melainkan cita rasa bangsa;
tidak historis dominasi mayoritas, melainkan peradaban kehidupan.[14]
Jika identitas adalah ciri
yang mengatasi yang primordial dengan sendirinya realitas yang hidup di negeri
ini adalah realitas asketis ideologis. Setiap orang tidak melulu memikirkan
kepentingan pribadi atau golongan atau mengusung ideologinya masing-masing
melainkan ideologi kebangsaan. Tanpa hal ini realitas yang terjadi adalah
kekacauan pada tata politik, tata hukum, tata berkebangsaan dan Pancasila yang tak kunjung berhenti meratap.
Apa yang sedang diratapi oleh Pancasila sesungguhnya dapat diatasi dengan
mengembalikan disposisi ideologis pribadi kita pada Pancasila sendiri.
Pancasila inilah yang menjadi identitas, pemersatu dari segala carut-marut
negeri ini.
Penutup
Lamentasi Pancasila
sesungguhnya adalah pergumulan semua orang yang hidup di negeri ini untuk
kembali pada identitas. Ratapan ini digambarakan pada rapuhnya tata kehidupan
yang ada di negeri ini dalam mengelola segala apa yang diwariskan para pendiri
bangsa. Kita semua sejatinnya harus sadar bahwa kita gagal mempertahankan
Ke-Esaan Tuhan dalam sila pertama, karena banyak dari antara kita merasa
memiliki “Tuhan” yang benar dan menghalangi keyakinan orang lain. Kita juga
telah gagal memelihara keadilan dan kemanusiaan karena ketidakadilan dan
pelangaran akan nilai-nilai kemanusian banyak terjadi di negeri ini, dari Aceh
sampai Papua. Sehingga nilai-nilai persatuan yang dulu mempersatukan seluruh
golongan untuk duduk dalam sidang BPUPKI dalam usaha merumuskan dasar negara
semakin pudar dan hilang. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan menjadi semakin ambigu karena setiap wakil
rakyat tidak lagi dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan tetapi oleh uang dan
kekuasaan. Parahnya lagi apa yang disebut Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia adalah isapan jempol untuk rakyat kecil dan kelimpahan untuk mereka
yang duduk di pemerintahan. Usaha membangun gedung-gedung baru dan kendaraan
super mewah adalah cerminan bahwa yang namanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat negeri ini hanya mimpi. Masihkah kita membiarkan Pancasila meratap dan
berurai air mata?
Sumber Bacaan
-
Armada Riyanto, Berfilsafat
Politik, Yogyakarta: Kanisius.2011
-
A.M.W. Pranarka, Sejarah
Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS.1985
-
Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, Jakarta: Gramedia.
2011
-
Ir. Soekarno, Tjamkan Pantja Sila: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara, Jakarta:
Panitia Nasional Peringatan Pantja Sila. 1964
-
Ir. Soekarno, Pantja Sila Sebagai Dasar Negara,(Naskah kuliah umum), Yogyakarta;
Pendamar.1959
-
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: C.V. Pantjuran
Tudjuh.1974
-
Nugroho notosusanto, Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan
Pancasila yang Otentik, Jakarta: Balai Pustaka.1978
-
P.J. Suwarno,
Pancasila Budaya Bangsa Indonesia,Yogyakarta: Kanisius.1993
[1] Judul Lamentasi Pancasila ini sesungguhnya hendak menggambarkan
tidak hanya sekedar ratapan yang keluar
dari “bagian terdalam” tetapi juga kesedihan dan bahkan penderitaan yang
dialami Pancasila.
[2] Soekarno menulis hal ini demikian, “ Tetapi kecuali Pancasila
adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu-satunya
alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinya Bangsa Indonesia dari Sabang
sampai Merauke hanyalah dapat bersatupadu di atas dasar Pancasila itu. Dan
bukan saja alat memeprsatu untuk di atasnya di letakkan Negara Republik
Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoeangan
kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun
yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme. Perjoangan suatu bangsa,
perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan
suatu bangsa yang melawan corak sendiri-sendiri Tidak ada dua bangsa yang cara
berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai
karateristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya , bangsa sebagai individu
mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang terwujud dalam pelbagai hal,
dalam kebudayaanya, dalam perekonomianya, dalam wataknya dan lain sebagainya”
(Soekarno, 1958) Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitasm Rasionalitas dan
aktualitas Pancasila,Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 1
[3]
Bdk. Driyarkara, Driyarkara Tentang Negara dan
Bangsa, Yogyakarta: Kanisius, 1980. hlm. 53
[4]
P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa
Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 43.
[5] A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Pancasila, Jakarta:
CSIS.1985, hlm.27: bdk juga dengan Naskah
Persiapan UUD 1945 jilid 1 versi Muh. Yamin. hlm. 92
[6] Ibid., hlm.106
[7] Ibid., hlm.66-67, bdk
juga dengan Naskah Pidato edisi revisi. 1995
[8]
Yudi Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia. 2011.
hlm. 9
[9] Perihal pidato Muhamad Yamin yang dibawakan pada tanggal 29 Juni
ini ada sedikit peroalan dan kerancuan, karena dalam risahlah Sidang BPUPKI
edisi revisi III pidato ini ditempatkan pada urutan pertama, sebelumnya pidato
ini ditempatkan sesudah pidato Soekarno tanggal 1 Juni. Ada kesan dari beberapa orang bahwa sebenarnya
Pancasila lahir dari gagasan Yamin, tetapi pernyataan ini ditepis oleh Hatta
bahwa sebenarnya Soekarnolah yang dengan gamblang merumuskan panca-sila secara sistematis.
[10] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. hlm. 63
[11] Ibid. hlm. 81
[12] Bdk. Yudi Latif. hlm. 39
[13] Meminjam istilah yang dipakai Yudi Latif, (Negera Paripurna
hlm.609)
[14] Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta:
Kanisius.2011, hlm.124
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!