Tantangan Kepemimpinan Para Religius
Tantangan Kepemimpinan Para Religius
Pengantar
Menjadi seorang pemimpin adalah
bagian dari hidup setiap orang lebih-lebih hidup religius. Dalam banyak aspek
kehidupan religius, mereka tidak bisa dilepaskan dari tugas menjadi seorang
pemimpin, menjadi kepala sekolah, pengurus rumah tangga, bahkan menjadi
pimpinan tarekat atau kongregasi. Semua bidang yang digeluti para religus akan
senantiasa bersentuhan dengan kepemimpinan. Besar kecil skala tugas yang mereka
emban tentunya memiliki dimensi kepemimpinan.
Sebagai seorang pemimpin para
religius dihadapkan dalam situasi dunia yang sedang berubah. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menantang religius untuk tidak ikut arus dan hanyut
didalamnya. Pesatnya kemajuan teknologi yang setiap saat berubah-ubah membuat
manusia memaknai hidupnya secara dangkap. Para religius yang diberi tugas
sebagai pemimpin mau-tidak mau senantiasa bersentuhan dengan segala kemajuan
ini dan tidak bisa dihindari. Untuk
membendung situasi yang demikian harus ada model kepemimpinan yang tepat dan
sesuai. Selama ini kepemimpinan yang dilakukan oleh banyak religius adalah
kepemimpinan model tradisional yang cenderung otokratis[1].
Banyak pemimpin di kalangan religius dijumpai sebagai pribadi yang terlalu
otoriter dalam memimpin. Akibatnya proses kepemimpinan yang harusnya mengarahkan
pada komitemn bersama antara pemimpin dan aggotanya tidak berjalan dengan
baik.
Salah satu
persoalan yang dihadapi oleh pemimpin adalah kurangnya pemahaman diri tentang
tujuan dan arti sebagai seorang pemimpin. Salah satu yang mungkin terlupakan
sebagai pokok dan pegangan para religus adalah teladan Yesus sendiri yang
pertama-tama adalah melayani. Kiranya gaya kepemimpinan Yesus sebagai pelayan
inilah yang mampu membendung arus kepalsuan jaman. Tulisan ini akan memberikan panorama
tantangan kepemimpinan yang dihadapi para religius dengan mengembangkan model
kepemimpinan pelayan dari pemikiran Robert Greenleaf. Pemikiran ini diharapkan
mampu menjadi sumbangan untuk para religius dalam menjalankan kepemimpinannya
ditengah jaman yang sedang berubah.
Situasi
Dunia Dewasa Ini
Sebuah
perubahan besar terjadi pada awal Milenium ketiga, yaitu semakin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi yang mengalir deras membanjiri ruang-ruang
hidup manusia. Dalam situasi semacam ini
realitas dan ruang hidup manusia yang mampu dirasakan dengan sentuhan dengan
percakapan ringan menjadi semakin kecil bahkan lenyap tergantikan ruang yang
melampaui realitas. Inilah realitas baru yang dialami manusia. Realitas baru
ini melukiskan metamorfosis yang dialami manusia, dari apa yang disebut
realitas bergerak menjadi dunia postrealitas.
Kondisi posrealitas adalah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas
itu sendiri telah dilampaui dan diambil alih oleh subtansi yang diciptakan
secara artifisial lewat sarana ilmu pengetahuan, teknologi informasi yang
menghancurkan pendapat sosial tentang apa yang disebut nyata.[2]
Sepintas kemajuan pengetahuan khusunya teknologi informasi memang memiliki
implikasi positif dalam hidup manusia dan menolong untuk semakin memudahkan
aktivitas hidup manusia. Namun demikian pengaruh negatif didalamnya tidak bisa di hiraukan begitu saja.
Derasnya arus teknologi informasi
ini mengaburkan seluruh realitas hidup manusia. Mengaburkan tidak hanya apa
yang fisik seperti ruang pertemuan, cafe, taman yang biasa digunakan untuk
membangun komunikasi tetapi juga cara berpikir dan aspek-aspek psikologis dalam
membangun relasi dengan sesama. Serbuan informasi
yang begitu deras ini membuat manusia tidak sempat berhenti untuk bergulat dan
memaknai dirinya karena sudah disodorkan informasi baru dan pengalaman baru.[3]
Menurunnya daya reflektif ini membuat setiap pribadi tidak lagi memiliki
kedalaman dalam bertindak dan memaknai hidupnya.
Era ini ini juga ditandai pergeseran
ruang dari yang faktual menjadi ruang maya, dari “layar” yang bisa terjadi
canda, cengkrama dan dialog menjadi layar yang hanya menampilkan monolog antara
pribadi dengan layar maya (komputer, TV, iPad,
dll). Dalam situasi ini relasi antara sahabat, keluarga yang biasa terjalin
dengan tatap muka menjadi tidak penting. Banyak orang lebih mementingkan gadget yang mereka miliki daripada
relasi personal melalui orang di sekitarnya. Betapa dunia menjadi begitu
“dekat” dengan kehadiran piranti-piranti seperti BlackBerry, iPhone, dan jenis hanphone
(HP) lainnya yang mampu mendekatakan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Selain itu dunia juga menjadi bising dengan begitu banyak suara di Mall-Mall, tempat karaoke, GameZone, dan piranti mungil Mp3, dan iPood.
Hidup
manusia pelan-pelan terdistorsi oleh era baru yang menandai pergantian fase
modern menuju postmodern dan dari realitas menuju postrealitas. Dalam situasi
semacam ini mungkin kita bertanya masih perlukah kita mendengarkan orang lain,
berempati dan membangun relasi dengan orang lain? Apakah kehadiran orang lain
masih diperlukan? Dalam situasi dunia yang sedang melompat jauh dari realitas
yang sesungguhnya kepemimpinan yang dijalankan oleh para religius berada di
tengah-tengah situasi ini.
Realitas Kehidupan Religius
Kehidupan
religius dewasa ini sejatinya memiliki banyak sekali tantangan. Dalam banyak
hal tawaran untuk tidak lagi menghayati hidup seturut teladan Yesus semakin
besar. Dalam Perfectæ Caritatis (Dekrit tentang
pembaharuan dan penyesuaian hidup religius) dijelaskan bahwa tujuan hidup religius pertama-tama yakni:
supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat
Injil. Maka perlu dipertimbangkan dengan serius, bahwa penyesuaian-penyesuain
yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kita sekarang pun tidak
akan memperbuahkan hasil, bila tidak dijiwai oleh pembaharuan rohani.
Hendaknya pembaharuan rohani itu dalam pengembangan karya-karya di luarpun
selalu diutamakan.[4] Sebagaimana
dijelaskan dalam PC 2-e di atas hidup religius hendaknya diberi tekanan pada
hidup yang dijiwai oleh pembaharuan rohani. Mengikuti Yesus yang diwujudkan
dalam mentaati ketiga nasihat Injili tentunya memiliki implikasi bahwa hidup
religius adalah hidup yang didasarkan pada hidup Yesus sendiri yaitu miskin,
taat dan murni. Hidup religius,
sebagai pembaktian seluruh pribadi, menampakkan di dalam Gereja pernikahan yang
mengagumkan yang diadakan oleh Allah, pertanda dari zaman yang akan datang. Demikianlah
hendaknya religius menyempurnakan
penyerahan diri seutuhnya bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah;
dengan itu seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat yang terus-menerus kepada
Allah dalam cintakasih. [5]
Dimensi hidup religius sesungguhnya adalah tanda akan dimensi eskatologis
jika hal ini sungguh-sungguh
dihayati. Oleh karena itu tuntutan hidup
religius menjadi begitu berat karena situasi jaman “menghendaki” untuk meninggalkan
nilai-nilai di atas. Dalam kenyataan keseharian, semakin-hari kehidupan
religius mulai terserat pada arus dunia. Situasi dunia dengan sendirinya masuk
dalam hidup religus karena memang ruang dimana para religus hidup tidak bisa
dilepaskan oleh situasi dunia. Maka tidak jarang jika saat ini ada begitu
banyak tren dan gaya hidup para religius mengikuti apa yang di kehendaki dunia.
Munculnya alat-alat komunikasi seperti HP beberapa tahun yang lalu juga menjadi
ajang perlombaan prestise di kalangan religius. Setiap religius berlomba-lomba
untuk lebih dahulu mendapatkan BlackBerry
atau iPhone yang terbaru. Bahkan tren
saat ini untuk berlomba memiliki iPad
terbaru. Selain itu distorsi ruang nyata menjadi ruang maya. Jika dua atau tiga tahun lalu di dalam situs
jejaring sosial Facebook (FB) hanya ada 100 religius yang membuat account di FB, kini ada ribuan account
religius dengan foto profilnya terpampang di FB. Lain halnya dengan di
kota-kota besar di Jakarta atau Surabaya, kehidupan religius beberapa tahun
lalu masih diwarnai dengan pertemuan bulanan atau rapat di biara atau
komunitas-komunitas sekarang sudah bergeser di wilayah yang lebih santai
seperti di Mall, cafe dengan
fasilitas Wifi atau hotspot.
Semuanya itu dilakukan hanya untuk mengusahakan kenyataan bahwa hidup
religius tidak tampak ‘kuno’ atau ketinggalan jaman.
Apa yang dialami oleh para religius saat ini adalah
bagian dari sejarah penjang kemajuan jaman. Apakah yang terjadi sekarang itu
salah? Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab, karena setiap hal yang
dikerjakan oleh para religius tentunya memiliki pertimbangan dan alasan
tertentu sesuai dengan kebutuhan bersama. Hanya ada satu barometer yang bisa
dijadikan tanda untuk mengenali situasi ini yaitu ketika kehidupan religius
mulai meninggalkan hal rohani saat itulah cara hidup mereka sudah larut dalam
dunia.
Tantangan
Kepemimpinan Para Religius
Di tengah situasi dunia seperti yang
diuaraikan diatas kepemimpinan para religius mendapat tantangan yang berat.
Tawaran dunia yang terus menerus
mengedepankan budaya instan dan derasnya arus informasi, para religius
yang menjadi pemimpin di tantang untuk
memiliki disposisi batin sebagai pribadi yang berani menentang dan tidak larut
dalam budaya ini. Salah satu tawaran yang tidak mudah di lakukan adalah mampu
memulihakan dan mempertahankan kepemimpinan sebagai pelayan. Teladan Yesus “Barangsiapa ingin
menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,” (Mat.20:26)
menjadi dasar bahwa kepemimpinan kaum religius mencontoh semangat kepemimpinan Yesus. Hidup Yesus dalam misi
pewartaan Kerajaan Allah juga tidak lepas dari tawaran dan godaan dunia,[6] namun
demikian Yesus tidak ikut arus dunia.
Kepemimpinan pelayan yang sejati
membutuhkan radikalitas dan prinsip hidup seperti Yesus, juga bahwa kehadiran
para religius pertama-tama untuk melayani bukan untuk dilayani. Salah satu aspek yang menjadi kunci utama
dalam menjalankan kepemimpinan dewasa ini adalah kemampuan menangkap apa yang
sedang dialami dan terjadi di dunia. Kepemimpinan yang dihadapi oleh para
religius adalah kepemimpinan yang berada di tengah-tengah situasi dunia yang
semakin berubah. Ditengah kemajuan teknologi informasi dan sarana lainnya para
religius ditantang untuk tidak larut dalam situasi dunia yang serba berubah.
Gaya kepemimpinan yang otoriter dan menekankan aspek pemimpin sebagai penentu
kebijakan pelan-pelan mulai ditinggalkan. Kepemimpinan semacam ini sering
disebut sebagai kepemimpinan model komando dan kontrol. Kepemimpinan ini
cenderung bersifat hierarkis, formal dan komunikasinya bersifat satu arah,
atas-bawah.[7]
Model kepemimpinan semacam ini dinilai terlalu lamban dan kurang dinamis dalam
sebuah lembaga atau perusahaan. Oleh karena itu situasi dunia yang dinamis juga
turut menetukan pola-pola kepemimpinan yang sama. Jika para religius tidak
berusaha menangkap situasi semacam ini dengan sendirinya kepemimpinan yang
dijalankan pasti tidak akan berhasil.
Pesatnya akses informasi yang sampai
pada setiap individu dewasa ini membuat kebutuhan akan informasi semakin mudah
didapatkan. Sebagai seorang pemimpin tentunya harus jeli dalam melihat perkembangan
kepribadian dan kinerja anggotanya. Dalam setiap institusi tentunya akses
internet selalu tersedia dan para anggota atau bawahan tentunya dengan mudah
memanfaatkan sarana ini untuk membantu dalam meningkatkan kinerja mereka. Namun
demikian bisa sebaliknya, yang terjadi adalah kinerja para anggota menjadi
semakin menurun. Sebagai contoh, adanya jejaring sosial seperti Facebook, Twiter, dan media Youtube tetentunya memiliki pengaruh
bagi kinerja anggotanya. Tidak sedikit waktu untuk bekerja digunakan untuk
mengakses informasi yang tidak sepenuhnya perlu dan sesuai dengan kebutuhan institusi
yang dipimpinnya.
Segala sesuatu yang serba cepat
ditandai dengan arus informasi yang deras ini tentunya menuntut kinerja
pemimpin yang menguasai segala bidang. Model-model kepemimpinan yang baru harus
segera diusahakan untuk mengimbangi arus informasi ini. Salah satu model yang mampu
mengimbangi arus dunia adalah kepemimpinan pelayan.
Kepemimpinan
Pelayan Robert Greenleaf
Salah satu cara membendung kepemimpinan para religius
untuk tidak larut dalam situasi dunia yang sarat akan instanitas maka setiap
religius diminta mempertahankan kepemimpinan pelayan. Yesus datang ke dunia
untuk melayani maka para religius yang memiliki jabatan sebagai pemimpin
hendaknya mempertahankan kepemimpinan model ini. Kepemimpinan pelayan adalah
sebuah konsep kepemimpinan etis yang diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf
mula-mula pada tahun 1970. Robert K. Greenleaf sendiri menghabiskan sebagian
besar kariernya di bidang penelitian manajemen, pengembangan dan pendidikan di
AT&T selama 40 tahun. Kemudian, selama 25 tahun ia bekerja sebagai konsultan
penting bagi sejumlah organisasi besar, seperti Universitas Ohio, MIT, Ford
Foundation. Pada tahun 1964 ia mendirikan Center for Applied Ethics yang
berganti nama menjadi Robert K. Greenleaf pada tahun 1985 di Indianapolis,
Indiana.[8]
Greenleaf menjelaskan gagasan tentang kepemimpinan
pelayan ini dengan menekankan bahwa pemimpin pelayan pertama-tama adalah
seorang pelayan. Pemimpin pelayan adalah pribadi yang mampu melihat
pribadi-pribadi yang dilayaninya menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih
bebas, mandiri, berkembang dan bertumbuh dengan sadar untuk menjadi pelayan
bagi orang lain. Konsep kepemimpinan pelayan ini secara keseluruhan mencoba
mengubah pendekatan kepemimpinan yang bersifat hirarkis dan tradisional. Menurut Greenleaf para pemimpin pelayan harus
memiliki sikap mampu mendengarkan terlebih dahulu sehingga dapat memahami
situasi. Mampu mengembangkan intuisi dan kemampuan mereka untuk “melihat apa
yang tidak terlihat”. Mampu memimpin dengan mempengaruhi, melakukan perubahan
dengan “meyakinkan daripada memaksakan”. Mengkonseptualisasikan perubahan yang
mereka perjuangkan dan mengajak orang lain untuk melihat kemungkinan itu juga.
Memberdayakan dengan menciptakan peluang dan alternatif untuk mereka yang di
layani.[9]
Ada sepuluh ciri khas penting mengenai
kepemimpinan pelayan, sebagaimana hasil studi Larry Spears atas tulisan-tulisan
Greenleaf, yaitu:
1.
Mau Mendengarkan
Pemimpin pelayan mengembangkan kemampuan dan komitmen
untuk mengenali serta memahami secara jelas kata-kata orang lain. Mereka berusaha
mendengarkan secara tanggap apa yang dikatakan dan tidak dikatakan.
Mendengarkan juga melampaui upaya memahami suara batinnya sendiri, serta
berusaha memahami apa yang dikomunikasikan oleh tubuh, jiwa, dan pikiran.
Mendengarkan, dipadukan dengan perenungan yang teratur, mutlak penting bagi
pertumbuhan pemimpin pelayan. Keberanian pelayan untuk berani mendengarkan
orang lain adalah salah satu usaha untuk mempertahankan jalinan relasi yang
nyata. Dengan mendengarkan setiap pemimpin diajak untuk merasakan apa yang
orang lain rasakan sehingga dialog dari hati menjadi satu kekuatan untuk
membangun sebuah intitusi tertentu tetap bertahan dalam budaya nyata. Situasi batin seseorang yang
mungkin dalam banyak kesempatan diaktualisasikan di dalam dunia maya untuk memperolah kepuasan diri pada
akhirnya akan lebih berarti jika usaha untuk mendengarkan ini dikembangkan
terus menerus.
2.Memiliki
Empati
Pemimpin pelayan berusaha keras memahami dan
memberikan empati kepada orang lain. Orang perlu diterima dan diakui untuk jiwa
mereka yang unik. Mereka akan menunjukkan itikad dan kerja baik jika diakui
sebagai manusia. Pemimpin pelayan paling berhasil adalah mereka yang menjadi
pendengar ahli penuh empati. Ketika perhatian yang melibatkan empati ini tidak
ditemukan didalam realitas keseharian maka orang cenderung untuk lari dan
berusaha mengalihkan perhatian pada aktivitas dan sarana-sarana modren jaman
ini. Orang bisa menghabiskan waktu hanya untuk “bertatap muka” dengan HP dan
mengirim ratusan SMS kepada orang lain supaya mendapat perhatian. Ada juga yang
menulis komentar-komentar bernada meminta perhatian di FB atau Twiter, tujuanya hanya satu yaitu
mendapatkan empati dari orang lain. Seorang pemimpin pelayan harus memiliki
kejelian dalam menangkap situasi ini sehingga membuat anggota yang dipimpinya
tidak lari pada sesuatu di luar realitas yang sesungguhnya. Sikap empati dan
perhatian yang diberikan oleh pemimpin pelayan mampu mengubah anggotanya untuk
memperolah kepercayaan diri. Oleh karena itu pemimpin pelayan harus berusaha
sedikit mungkin untuk banyak berbicara dan memerintah, sehingga waktu untuk
menjadi pendengar yang penuh empati menjadi semakin banyak.
3. Menyembuhkan
Salah satu kekuatan besar kepemimpinan pelayan adalah
kemungkinan untuk menyembuhkan diri sendiri dan orang lain. Banyak orang yang
patah semangat dan menderita akibat rasa sakit emosional. Maka belajar untuk
menyembuhkan merupakan daya yang kuat untuk perubahan dan integrasi. Pemimpin
pelayan mengakui bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk membantu pemberian
kesehatan bagi orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Seringkali dimensi
menyembuhkan ini tidak pernah disadari oleh kebanyakan pemimpin. Dari
pengalaman banyak orang kebanyakan pemimpin lebih sering membuat orang lain
atau anggotanya sakit hati. Tekanan pekerjaan seringkali menjadi alasan
kebanyakan orang untuk mencari kepuasan diri pada hal-hal lahiriah yang
sifatnya sementara, pergi dugem atau
berbelanja banyak barang, bermain game berjam-jam dan lain sebagianya. Pemimpin yang
sungguh-sungguh melayani adalah pemimpin yang berani untuk melihat kedalam
dirinya bahwa ia mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan orang lain bukan malah
lari dan mencari kesembuhan di luar dirinya. Banyak pemimpin religius yang
cenderung kurang mampu mengendalikan emosi dan psikospiritual di dalam dirinya
sehingga mudah goyah dan lari dari kenyataan. Sebagai seorang pemimpin pelayan
para religius harus berani mengusahakan diri untuk mau menyembuhkan orang lain.
4. Kesadaran/Awareness
Kesadaran, terutama kesadaran diri, memperkuat
pemimpin pelayan. Kesadaran membantu memahami persoalan yang melibatkan etika
dan nilai-nilai. Ini memungkinkan orang bisa melihat persoalan-persoalan dari
posisi yang lebih terintegrasi. Menurut Greenleaf, "Pemimpin pelayan
senantiasa memiliki ketenangan batinnya sendiri." Dewasa ini banyak orang
mengalami kegelisahan batin. Hal ini juga sering dalami juga oleh banyak
religius yang memimpin sebuah lembaga yang besar dengan jumlah anggota yang
banyak. Para pemimpin menjadi mudah patah semangat, menghindar dari hidup
rohani dan lari pada banyak hal yang dianggap mampu menenteramkan batinnya.
Seorang religius bisa menghabisakan banyak waktu di depan komputer untuk
mengakses internet yang tidak berkaitan dengan tugas yang diembanya atau
melakukan aktifitas yang tidak produktif sama sekali. Jika pemimpin terlalu
larut dalam situasi ini maka yang terjadi adalah mereka kehilangan kesadaran
padahal kesadaran ini penting sekali dalam tugasnya. Jika pemimpin itu memiliki
kesadaran dan menjalankan tugasnya dengan kesadaran maka sudah dengan pasti
segala tujuan yang ingin dicapai dalam menjalankan kepemimpinannya pasti
berjalan lancar.
5. Berani
Mengajak
Ciri khas pemimpin pelayan lainnya adalah mengandalkan
kemampuan membujuk, bukannya wewenang karena kedudukan, dalam membuat keputusan
di dalam organisasi. Pemimpin pelayan berusaha meyakinkan orang lain, bukannya
memaksakan kepatuhan. Ini merupakan ciri pembeda antara model wewenang
tradisional dan model kepemimpinan pelayan. Kepemimpinan pelayan efektif dalam
membangun konsensus kelompok. Keberanian mengajak atau membujuk ini menjadi
kunci untuk bergerak bersama-sama. Dalam situasi dunia yang memaksa orang lain
untuk menjadi lebih individualistis ini kepemimpinan pelayan menawarkan arus
lain yaitu bekerja sebagai tim. Keberanian pemimpin untuk mengajak anggotanya
bertumbuh dan mengembangkan kepemimpinan dalam lembaga yang dipimpinya mematahkan
kesan bahwa pemimpin itu bukanlah pribadi yang selalu menuntut untuk dipatuhi
perintahnya. Usaha berani mengajak orang lain mencermikan pemimpin pelayan yang
terbuka pada anggotanya.
6. Konseptualisasi
Pemimpin pelayan berusaha menjaga kemampuan mereka
untuk melihat suatu masalah dari perspektif yang melampaui realita dari hari ke
hari. Banyak orang yang disibukkan oleh kebutuhan untuk meraih tujuan
operasional jangka pendek. Pemimpin pelayan harus meregangkan pemikirannya
hingga mencakup pemikiran konseptual yang mempunyai landasan yang lebih luas.
Ini berarti pemimpin pelayan harus mengusahakan keseimbangan yang rumit antara
konseptualisasi dan fokus operasional sehari-hari. Spontanitas seringkali membantu orang lain
untuk menampilkan diri secara natural dan terkesan bebas, namun tidak
seluruhnya tepat. Seorang pemimpin pelayan hendaknya memiliki sikap yang tidak
hanya sekedar spontan melainkan memiliki konsep dalam menjalankan
kepemimpinannya. Pemimpin tidak hanya berpikir untuk kebutuhan pasar dan apa
yang diinginkan orang lain. Kepemimpinan pelayan yang konseptual adalah
kepemimpinan yang mengedepankan pemaknaan pada proyek atau program-program yang
mau dikerjakan sehingga tidak asal jadi dan mengikuti selera pasar. Arus deras
yang membanjiri hidup manusia saat ini adalah hedonisme yang memaksa setiap
orang untuk mencari kenikmatan sesaat, hal ini harus di bendung dengan kejelasan
konsep.
7. Kemampuan meramalkan
Kemampuan untuk memperhitungkan sebelumnya, atau
meramalkan hasil satu situasi sulit didefinsikan, tetapi mudah dikenali. Orang
mengetahuinya bila mereka melihatnya. Kemampuan meramalkan adalah ciri khas
yang memungkinkan pemimpin pelayan bisa memahami pelajaran dari masa lalu,
realita masa sekarang, dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa
datang. Ini menanamkan akarnya sampai jauh ke wilayah intuitif. Ini juga
berarti ciri khas ini merupakan bawaan sejak lahirnya pemimpin tersebut. Inilah
pergulatan pemimpin dewasa ini. Kemampan membaca situasi dunia yang terus
menerus berubah menjadi penting sekali. Hanya dengan kemampuan inilah seorang
pemimpin mampu mempertahankan pelayananan yang sejati. Kemampun ini hendaknya
terus dikembangkan supaya dimensi pelayanan religius tetap bertahan.
8. Mau
Melayani
Melayani, atau stewardship, menurut Peter Block,
adalah "memegang sesuatu dengan kepercayaan kepada orang lain."
Kepemimpinan pelayan haruslah mempunyai kemampuan untuk melayani, dan terutama
komitmen untuk melayani kebutuhan orang lain. Ini juga menekankan penggunaan
keterbukaan dan bujukan, bukannya pengendalian. Menurut Greenleaf, semua apa
yang ada dalam sebuah organisasi memainkan peranan penting dalam menjalankan
organisasi tersebut dengan kepercayaan kepada kebaikan masyarakat yang lebih
besar. Semakin hari sikap melayani menjadi semakin sulit dijumpai. Banyak orang
lebih senang dilayani. Kehidupan religiuspun tidak lepas dari ini semua. Maka
dimensi mau melayani ini menjadi pergulatan tersendiri bagi kebanyakan
religius. Seorang pemimpin pertama-tama haruslah menjadi pelayan. Hanya dengan
melayani orang lainlah setiap pribadi bertumbuh dan berkembang. Melayani
sesungguhnya tidak membutuhkan banyak hal yang besar tetapi hanya satu hal
yaitu rendah hati. Jika setiap pemimpin dewasa ini mengedepankan pelayanan
sudah dengan sendirinya orang lain disekitarnya juga akan bertumbuh menjadi
pelayan-pelayan untuk orang lain.
9. Komitmen
pada pertumbuhan anggotanya
Pemimpin pelayan berkeyakinan bahwa manusia mempunyai
nilai intrinsik melampaui sumbangan nyata mereka sebagai pekerja. Dalam hal
ini, pemimpin pelayan sangat berkomitmen terhadap pertumbuhan pribadi,
profesional, dan spiritual setiap individu dalam organisasi itu. Banyak
pemimpin selalu mengangap orang lain yang dipimpinnya atau para anggotanya
sebagai mesin pekerja. Mereka dituntut untuk berkerja lebih bahkan melebihi
kemampuannya. Jika situasi ini masih terjadi maka tujuan atau komitmen yang
ingin dicapai bersama tidak akan terjadi. Mengapa? Karena anggota-anggotanya
tidak mengalami pertumbuhan pribadi. Kepemimpinan yang semacam ini tidak
membuat orang menjadi nyaman dalam bekerja dan tidak menjadi profesional.
Pemimpin yang sejati tidak memperlakukan anggotanya seperti mesin cangih atau
robot yang bermunculan saat ini. Pemimpin pelayan adalah pribadi yang
menumbuhkan anggotanya untuk menjadi berkembang dan menyadar nilai hidupnya.
10. Membangun
Komunitas
Pemimpin pelayan berusaha mengenali satu sarana untuk
membangun komunitas di kalangan mereka yang bekerja dalam organisasi tersebut.
Kepemimpinan pelayan menyatakan bahwa komunitas yang sesungguhnya bisa
diciptakan di kalangan mereka yang bekerja dalam bisnis dan lembaga lainnya.
Yang diperlukan untuk membangun kembali komunitas sebagai bentuk kehidupan yang
bisa dihayati bagi jumlah besar orang adlaah sejumlah cukup pemimpin pelayan
yang menunjukkan jalan, bukan dengan gerakan masal, melainkan dengan cara
setiap pemimpin pelayan memperlihatkan kemampuan yang tidak terbatas untuk
kelompok spesifik yang berhubungan dengan anggota komunitas. Tempat dimana
kepemimpinan itu dijalankan sesungguhnya adalah komunitas kecil yang di
dalamnya terdiri dari bermacam-macam pribadi. Keseluruhan sebuah lembaga tempat
dimana pemimpin menjalankan tugasnya sebenarnya adalah keluarga. Di tempat
itulah semua orang bertumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin pelayan harus
mengedepankan bahwa komunitas yang dia pimpin adalah tempat dimana orang lain
menyadari perkembangan hidupnya sehingga setiap orang menjadi kerasan atau
nyaman. Inilah jalan untuk memulihkan benteng-benteng individualitas ditengah
dunia yang serba bergerak cepat.
Penutup
Kepemimpinan Robert Greenleaf sesungguhnya
adalah model kepemimpinan yang membantu setiap religius untuk kembali kepada
kepemimpinan Yesus sendiri yaitu melayani. Sesungguhnya kepemimpinan model ini
adalah sumbangan untuk menjadi pemimpin otentik ditengah pertarungan dunia
dimana makna menjadi dangkal.[10]
Kehidupan para religius yang menjadi pemimpin tidak berada ditengah-tengah
situasi ini dan dituntut untuk tetap seutuhnya menjadi pelayan. Itulah makna
mengikuti Kristus, menjadi pelayan.
[1] Bdk.
A.M. Mangunhardjana S.J. Kepemimpinan,Yogyakarta: Kanisisu. 1976.
hlm.21
[2] Yasraf
Amir Piliang, Posrealitas: Realitas kebudyaan dalam Era
Posmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra. 2004. hlm. 53
[3] Antonius
Sad Budianto, “Pewartaan di Era Multimedia” dalam Iman dan Pewartaan di Era Multimedia,
Robertus Wijanarko & Adi Saptowidodo (ed), Malang: STFT Widya
Sasana.2010. hlm. 25
[4] PC. 2-e
(Perfectæ Caritatis)
[6] Bdk. Mat
4:1-11
[7] DR. Antony D’Souza, Ennoble Enable Empower,
Kepemimpinan Yesus Sang Almasih, Jakarta: Gramedia. 2009. hlm. 8
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Robert_K._Greenleaf
diakses 20 November 2011
[9] Antony
D’Souza. Hlm. 13
[10] Armada
Riyanto, “Era Multimedia” dalam Iman dan
Pewartaan di Era Multimedi. hlm. 107
http://katolisitas.org/2011/12/08/aku-percaya/
http://katolisitas.org/2011/12/08/aku-percaya/
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!