TANGGUNGJAWAB: KONFUSIANISME DAN PEMIKIRAN LEVINAS (filsafat perbandingan)
TANGGUNGJAWAB:
KONFUSIANISME
DAN PEMIKIRAN LEVINAS
KONFUSIANISME
Pertanyaan pokok yang mendasari Konfusianisme adalah “bagaimana manusia
menjadi baik?” Inti jawaban terhadap
pertanyaan itu meskipun terdapat perbedaan penting di antara pemikir Konfusianis, ialah bahwa kebaikan manusia dicapai melalui pengolahan kebajikan
moral, suatu proses perkembangan moral, yang dengannya pribadi manusia belajar
untuk sungguh-sungguh bersifat manusiawi. Keyakinan bahwa manusia bisa
mentransformasi dirinya dan seluruh masyarakat melalui pengolahan kebajikan dan
bahwa transformasi itu adalah sangat perlu jika masyarakat dan individu mau berkembang, diterima dan dihayati
oleh semua penganut Konfusianisme, kendatipun di antara mereka terdapat ketidaksepakatan tentang apa
persisnya kebajikan itu dan bagaimana cara kebajikan itu diolah.
KONFUSIUS
LATAR BELAKANG
Konfusius hidup pada zaman yang ditandai oleh disintegrasi sosial, politik dan kemerosotan moral
dimana-mana. Ketika bertumbuh dewasa, ia sendiri mengalami kemiskinan, penindasan politik dan
kesulitan yang menimpa hidup orang biasa. Melalui studinya, ia berkenalan
dengan cita-cita mulia termasuk cita-cita kebajikan yang sudah memberi ilham
kepada para penguasa di masa lampau. Dengan adanya kondisi-kondisi tersebut yang dialami
Konfusius secara pribadi dan dengan keyakinannya bahwa cita-cita mulia dari
dinasti-dinasti sebelumnya telah menuntun jalan untuk untuk membarui tata
tertib masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka wajar bila ia
memalingkan perhatianya pada studi tentang cita-cita “zaman keemasan”.
Bagaimana ia bisa mewujudkan pembaruan sosial itu? Prinsip-prinsip apa
yang hendak menuntun pembaruan ini? Bagaimana prinsip-prinsip itu diterapkan?
Jawaban Konfusius terdapat dalam
filsafatnya, yakni dalam satu filsafat sosial yang Humanistis. Apa artinya? 1)
Satu filsafat tentang manusia dan masyarakat ketimbang filsafat atau
pengetahuan alam. 2) Ia memandang komunitas manusia sebagai sumber nilai-nilai
manusiawi dan sosial. Oleh karena keyakinan inilah, maka filsafat Konfusius
biasanya dipahami semacam humanisme sosial. Artinya: manusia merupakan sumber
tertinggi nilai-nilai. Maka menyebut Konfusianisme sebagai filsafat humanisme
hendak menjawab pertanyaan, “Bagaimana kebaikan dan kebahagiaan itu dicapai?”
KEMANUSIAAN (JEN)
Kekhasan manusiawi manusia
menurut Konfusius adalah Jen. Inilah
sebabnya mengapa jalan Konfusius pada dasarnya adalah jalan jen. Kata Jen diterjemahkan secara berbeda, di antaranya: “Kebajikan”,
“kemanusiaan”, “kemurahan hati”, “sosok manusia yang benar”, “belas kasih”.
Kata Inggris human heartedness (belas
kasih) tampaknya memuat arti penting kata “jen”,
karena ia menyatakan bahwa Jen adalah
apa yang membuat kita menjadi manusiawi, bahwa ia adalah perkara rasa dan
pikiran, dan merupakan dasar bagi semua relasi manusia. Jen sebagai human heartedness
juga lebih menyingkapkan penekanan
bahwa hatilah yang menjadi sosok sentral
kodrat manusia ketimbang pada kepala.
Dalam Sayings-nya (Lun-yu), Konfusius tidak
memberi dan memertahankan satu definisi tentang Jen. Hal ini mungkin mencerminkan pemahamannya bahwa jalan jen itu bersifat sangat personal, bahwa
ia terletak dalam setiap manusia dan harus diwujudkan dalam hidup pribadi
seorang dan dalam hubungan pribadinya
dengan sesamanya. Menjadikannya suatu karakter
objektif atau sosok dunia akan merupakan satu distorsi terhadap jen. Kendatipun Konfusius tidak
mendefinisikan jen, namun ia tetap
berbicara tentangnya dan menolong muridnya untuk mewujudkan maknanya dalam
kehidupan mereka sendiri. Misalnya, ketika Fan Ch’ih bertanya tentang apa itu jen,
Konfusius menjawab, ”Ia adalah mencintai manusia” dan menyatakan bahwa kemampuan untuk mencintai justru membentuk inti kodrat manusia.
Kemampuan manusia untuk mencintai yang lain memiliki implikasi moral
yang penting, dimana jen itu juga
harus dipikirkan dalam arti moral. Maka, Konfusius berkata:
Kekayaan dan kehormatan adalah apa yang dirindukan setiap manusia. Namun
jika mereka dicapai dengan cara melanggar prinsip-prinsip moral, maka mereka
tidak perlu dipertahankan. Kemiskinan dan sikap rendah hati adalah apa yang
tidak disukai oleh setiap orang. Namun jika mereka bisa dihindari hanya dengan
cara melanggar prinsip-prinsip moral, maka mereka tidak perlu dihindari. Jika
manusia unggul terputus dari kemanusiaannya (jen), bagaimana ia bisa mewujudkan nama itu? Seorang manusia unggul
tidak pernah mengabaikan kemanusiaan (jen),
malah ketika ia kekurangan makanan sekali pun. Dalam saat-saat yang gawat itu,
ia perlu bertindak menurut kemanusiaan itu. Dalam saat-saat kesulitan atau
kebingungan, ia juga bertindak menurutnya.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa jen merupakan prinsip tertinggi perbuatan manusia.
Seorang manusia sejati tidak pernah berpisah dari jen; seorang yang terpisah dari jalan jen tidak pernah mengungkapkan kepenuhan kemanusiaannya. Kata yang
diterjemahkan sebagai “prinsip-prinsip
moral” adalah tao atau “jalan”, yang mengandung arti bahwa
jalan yang benar bagi perbuatan manusia
bukan jalan untuk memenuhi perasaan suka atau untuk mengelakkan perasaan tidak
suka, tetapi jalan untuk bertindak
sesuai prinsip yang lebih dalam, yakni prinsip jen.
Oleh karena jen itu begitu
penting, maka hidup tanpa jen adalah
satu hidup yang tidak bernilai. Menurut Konfusius, “seorang cendekiawan yang
teguh dan seorang yang memiliki kemanusiaan (jen)
tidak pernah berusaha hidup dengan melukai kemanusiaan (jen). Ia tentunya ingin berkorban untuk mewujudkan kemanusiaan (jen). Jen membuat kita manusiawi sepenuhnya, maka mengabaikan jen berarti membuang hidup manusiawi yang sesungguhnya. Jen adalah nilai pengorbanan hidup
seseorang; dialah basis semua nilai dan harkat manusia. Jen itulah yang akhirnya membuat hidup manusia menjadi bernilai.
Para pengikut Konfusius memahami hidup menurut jen menuntut perkembangan rasa belas kasih seorang dan perwujudan
rasa belas kasih itu pada orang-orang lain. Maka, Tzeng Tzu mengingatkan para
pengikut Konfusius bahwa, “Jalan guru tidak lain dari penyadaran hati nurani (Chung) dan altruisme (shu)”. Chung berupa
perkembangan yang cermat dan pengungkapan kemanusiaannya sendiri, sementara altruisme shu berarti mempraktikkan jen
kepada orang lain. Jalan Chung dan shu memadukan prinsip hubungan timbal
balik yang mendasari Hukum Emas terkenal Konfusius, yaitu perlakukanlah orang
lain sebagaimana yang engkau inginkan untuk diperlakukan atau “jangan melakukan
untuk orang lain apa yang engkau tidak ingin orang lain lakukan itu untukmu”
TATA CARA HIDUP, ADAT ISTIADAT, SOPAN SANTUN (LI)
Meskipun jen adalah dasar
kemanusiaan dan pedoman tertinggi untuk tindakan manusia, tetapi Konfusius
mengakui bahwa pedoman langsung dan konkret untuk perbuatan manusia dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman-pedoman konkret itu ia temukan dalam tata
cara hidup (li) yang meliputi
kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara dan hubungan-hubungan yang dibentuk oleh
praktik hidup manusia berabad-abad. Li
merujuk pada arti seremonial atau ritual; dengan li potensi kemanusiaan (jen)
diwujudkan.
Ketika Yen Yuan bertanya tentang jen,
Konfusius menjawab, ”berguru pada
diri sendiri dan berpaling kepada tata cara hidup (li) adalah kemanusiaan (jen). Berguru pada diri sendiri merujuk pada perkembangan diri
yang mengatasi sikap ingat diri dan yang mengolah kualitas batiniah kemanusiaan
yang meliputi kejujuran dan ketulusan hati pribadi. Konfusius memandangnya
sebagai dasar li, dan hal itu tampak
jelas karena ia langsung menambahkan, “Jika seorang (pemimpin) dapat menguasai
diri pada satu hari dan berpaling pada tata cara hidup, maka segala sesuatu di
bawah langit akan beralih kepada
kemanusiaan (jen). Memraktikkan kemanusiaan bergantung pada diri sendiri.” Hal ini
menunjukkan bahwa jen adalah dasar li, bahwa apa yang menjadikan li sebagai ukuran tingkah laku adalah
kenyataan bahwa li sejalan
dengan jen. Li yang sejati adalah tata cara perbuatan yang pantas, yang mewujudkan jen. Tata cara itu
ditekankan oleh Konfusius sebagai sarana yang kita gunakan untuk menjinakkan
dorongan-dorongan kita yang tidak teratur dengan mentransformasi mereka ke
dalam pengungkapan-pengungkapan yang beradab dari kodrat manusia.
Untuk memahami kepentingan yang dikenakan Konfusius pada li, kita perlu meneliti makna konsep ini baginya dan bagi para pendahulunya. Kata li berarti banyak hal. Karena Li memiliki kepentingan yang demikian
dalam filsafat Konfusius, maka layaklah bahwa konsep itu
harus diteliti baik dari sudut pandang sejarah maupun dari sudut pandang isinya.
Pengertian paling awal dari li
bersifat religius, dikaitkan dengan upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh
sang kaisar untuk memohon berkat dari langit dan dukungan roh-roh terhadap
kerajaannya. Pengertian li ini sejalan dengan rangkaian tata tertib dan kesepakatan yang teliti dan
teratur, tata tertib dan kesepakatan yang menuntut pengamatan ketat terhadap
kegiatan-kegiatan publik. Pengertian kedua li dikenakan pada kode
umum tingkah laku sosial. Li adalah
hukum kebiasaan atau moralitas umum. Dalam arti ini, Li mengambil alih hukum tertulis, meskipun ia berbeda dari hukum
tertulis dalam arti bahwa sifat positif ketimbang bersifat negatif (“lakukanlah
ini”, ketimbang “jangan melakukan ini”). Ia
tidak membawa hukum otomatis tetapi merujuk pada tingkah laku kaum bangsawan
ketimbang tingkah laku orang biasa. Pengertian li yang ketiga dan sudah
diperluas adalah sesuatu yang wajar dalam arti bahwa ia sesuai dengan
norma-norma kemanusiaan (jen).
Pengertian ketiga li ini sngat
penting untuk memahami Konfusius, meskipun Konfusius menggunkan istilah li dalam segala artinya, juga
yang berkaitan dengan upacara dan ritual. Tindakan-tindakan
ritual memiliki dimensi seremonial yang menekankan karakter sosial dan publik
dari tindakan manusia. Upacara dengan sendirinya bersifat publik dalam arti bahwa ia paling kurang melibatkan dua
orang dalam relasi timbal balik keduanya. Selanjutnya, karena perbuatan
seremonial bersifat terbuka di muka umum dan privat atau rahasia, maka ia menekankan keterbukaan para
peserta satu sama lain. Jika kita berpikir tentang jen sebagai bibit kemanusiaan yang hadir dalam semua manusia, maka
kita dapat memandang li sebagai yang menciptakan kondisi dan dukungan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan
bibit itu.
CINTA FILIAL (HSIAO)
Karena keluarga membentuk lingkungan sosial anak secara langsung, maka Konfusius menekankan pentingnya mengembangkan jen di
dalamnya. Dalam keluarga anak belajar menghargai
dan mencintai orang lain, pertama-tama orangtuanya, saudara dan saudarinya, kenalan-kenalan lalu
perlahan-lahan secara lebih luas mengormati dan mencintai semua manusia.
Hsiao
adalah
keutamaan menghormati dan menghargai keluarga. Pertama-tama orang tua yang
dihormati karena hidup berasal dari mereka. Jika tidak mungkin menghormati nama orangtua, maka paling kurang mereka
tidak dipermalukan. Hsiao tidak hanya memberi perhatian fisik
kepada orang tua, tetapi melengkapi mereka dengan kekayaan spiritual dan
emosional.
Hsiao
tidak semata-mata satu kebajikan keluarga. Dengan bermula dari keluarga, kebajikan
ini memengaruhi
tindakan-tindakan di luar lingkungan keluarga. Secara lebih luas, ia menjadi satu kebajikan moral dan sosial. Jadi awal
mula jen ditemukan dalam Hsiao.
KEADILAN
(YI)
Keadilan (Yi) merupakan salah satu dari
kebajikan yang ditekankan
oleh Konfusius untuk mengembangkan Jen. Keadilan (Yi) memberikan informasi/petunjuk
kepada kita tentang jalan yang benar
untuk bertindak, yang sejalan dengan Jen.
Dengan kata lain Yi merupakan suatu disposisi moral untuk melakukan apa yang adil dan apa yang benar. Kadang kemampuan itu dimengerti sebagai karakter moral
atau intuisi. Seorang yang memiliki karakter moral yang kuat, ketika melihat suatu kesempatan dalam hidupnya yang akan menguntungkan dirinya secara pribadi, pertama-tama
ia akan berpikir: Apakah secara moral adil (yi)
jika kesempatan itu diambilnya.
Orang yang memiliki karakter seperti itulah yang disebut oleh Konfusius sebagai
“manusia unggul”. Manusia unggul ialah seorang yang memandang keadilan (Yi) sebagai substansi setiap hal. Ia
mempraktikkannya seturut prinsip tata cara adat (Li). Ia menghayati itu semua dengan sikap rendah hati. Dan ia
membawa dampaknya pada iman.
Menurut Yi, ada realitas tak bersyarat dan mutlak,
yaitu bahwa beberapa tindakan harus dilakukan hanya dengan alasan bahwa
tindakan itu benar dan adil. Tindakan-tindakan lain mungkin dilaksanakan demi
kepentingan sesuatu yang bernilai sebagai akibat dari tindakan itu, misalnya
demi kepentingan keuntungan. Tindakan seperti itu justru bertentangan dengan
tindakan yang dilaksanakan menurut Yi.
Seseorang yang bertindak seturut Yi, karena tindakan itu merupakan sesuatu yang benar dan adil
untuk dilakukan, tentu tidak jauh dari jen.
Memraktikkan Jen berarti
bertindak berdasarkan cinta dan hormat kepada kemanusiaan
tanpa alasan lain daripada alasan bahwa hal itu merupakan jalan yang benar dan adil untuk dilakukan, atau jalan
manusiawi.
Li, Hsiao dan
Yi merupakan karakter pribadi unggul yang kemanusiaannya berkembang dan yang pribadinya secara
moral diolah dan disadarkan. Pribadi unggul berlawanan dengan pribadi yang
secara moral tidak diolah dengan baik.
Pengolahan jen
melalui li, hsiao dan yi akan
menuntun orang kepada perwujudan kebajikan pribadi dan berakibat pada tata
tertib masyarakat. Tidak ada perbedaan tajam antara etika dan politik. Jika
rakyat bersikap benar dan adil dengan dirinya dan memiliki iman yang baik atau
kejujuran hati, maka mereka akan mampu mewujudkan berbagai macam kebajikan. Dan
jika setiap orang melakukan hal itu, maka akan suatu pemerintahan yang baik dan tata
tertib sosial yang harmonis
akan terjamin.
PEMBETULAN
NAMA (CHENG-MING)
Salah satu dari kunci untuk mengolah
kebajikan dasar yang ditekankan Konfusius adalah pemakaian kata-kata dengan
benar (cheng-ming), yang biasanya
merujuk kepada “pembetulan nama”. Pemakaian yang benar berarti bahwa kata-kata
harus sesuai dengan realitas yang dinamai. Meskipun pemakaian kata-kata dengan
benar dapat dikenakan kepada semua pemakaian bahasa, dalam Konfusianisme
pemakaian yang benar pertama-tama dikenakan kepada tindakan-tindakan dan
hubungan manusia.
Dengan demikian membetulkan nama berarti bukan soal memilih kata-kata yang tepat untuk melukiskan sesuatu, melainkan menyesuaikan karakter
dan tindakan seseorang dengan cita-cita normatif yang terkandung
dalam nama-nama relasi
fundamental manusia. Ketika setiap nama dibetulkan, semua relasi manusia akan sejalan dengan ideal yang terkandung dalam nama itu. Itulah
sebabnya mengapa, menurut konfusianisme, ketika nama-nama dibetulkan masyarakat
akan harmonis dan rakyat akan bahagia.
MEMERINTAH
DENGAN KEBAJIKAN
Konfusius yakin bahwa kesejahteraan
masyarakat bergantung pada pemberdayaan dan pengungkapan keteladanan jen oleh para penguasa. Pernyataan
paling komprehensif dari filsafat Konfusius berbunyi, “Cara belajar yang lebih
hebat terletak dalam usaha menjaga kebajikan seorang agar tetap bercahaya dalam
kodrat pembawaannya, menjaga kebajikan tidak kabur, terletak dalam usaha
membarui rakyat, dan dalam usaha mencapai kebaikan sempurna.”
Para murid Konfusius memahami bahwa
damai dalam suatu negara dan damai antara negar-negara yang bertetangga bergantung
pada banyak faktor besar, yang berhubungan dengan faktor kecukupan materil dan
rohaniah. Namun kekayaan materil yang cukup dan sarana serta kesempatan yang
luas bagi perkembangan dan ekspresi rohaniah, bila dipandang sebagai kondisi
penting bagi damai dan tata tertib, tidak dipandang sebagai kondisi yang layak.
Para murid Konfusius berpendirian bahwa kesejahteraan masyarakat tergantung pada
pemberdayaan jen. Dan karena
merupakan tugas pemerintah untuk menjamin kesejahteraan sosial, maka mereka
berpikir bahwa fungsi yang paling penting dari pemerintah adalah untuk
memromosikan pemberdayaan jen dan
memraktikkan kebajikan di seluruh masyarakat.
Tidak seperti konsep modern tentang
pemerintahan sebagai kebijakan politik, konsep Konfusius tentang pemerintahan
adalah konsep tentang suatu komunitas moral. Bila segala relasi antara rakyat
didasarkan pada kebajikan (jen), dan
bila tindakan-tindakan dilakukan sejalan dengan li, maka masyarakat akan tertata baik dan rakyat akan bahagia.
Belajar
Konfusianisme menekankan suatu
filsafat pendidikan tertentu yang menekankan bahwa tujuan yang palng penting
adalah untuk mengenal kemanusiaan secara lebih dekat. Perlu untuk mengetahui
apa itu kemanusiaan dan mengetahui apa itu sesuatu, sehingga hidup bisa diatur
atas cara yang kondusif untuk kesejahteraan manusia, cara yang memanfaatkan
segala sesuatu di dunia dengan sebaik-baiknya. Hanya dengan pendidikan orang
akan mengetahui diri mereka dan dunia secara lebih baik. Tanpa pengetahuan ini
sangat sulit untuk menata hidup sehingga hidup akan berada dalam keselarasan
dengan segala sesuatu dari dunia ini; hanya ketika hidup ini berada dalam
keselarasan dengan dunia akan terdapat damai dan kebahagiaan.
Pengetahuan yang paling penting
adalah pengenalan diri; lebih penting ketimbang pengenalan akan hal-hal
lahiriah, seperti kondisi dan institusi sosial. “Memiliki pengetahuan” di atas
segalanya berarti mengetahui siapa seseorang itu dan apa sesuatu itu, dan itu
berarti mengetahui bagaimana membangun relasi dengan orang-orang lain dan
mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari tindakannya. Sejalan dengan itu,
pengetahuan yang benar diperoleh hanya apabila ada pengenalan diri, karena
dalam Konfusianisme selalu ada self
sosial dan moral yang diangkat sebagai nilai tertinggi.
Hubungan
Kekeluargaan
Keyakinan Konfusius ialah bahwa jika
orangtua sudah mengolah hidup pribadinya, maka mereka mampu menjadi satu
keluarga yang menjadi model relasi yang pantas. Dengan teladan hidup mereka
sendiri, orangtua dapat memerlihatkan jalan jen kepada anak-anak mereka. Bila
keluarga mengikuti jalan jen, maka akan ada jalan jena dalam kelurga. Dan jika
ada harmoni di setiap keluarga, maka akan ada harmoni di seluruh negeri.
Penekanan terhadap relasi yang
pantas dalam keluarga merupakan suatu ide terpenting Konfusius. Andaikan bahwa
anak-anak lahir dalam suatu keluarga di mana cinta dan kebaikan meraja.
Anak-anak ini akan bertumbuh sambil melihat orangtua yang mencintai dan menghargai
satu sama lain sebagai suatu model untuk berkembangnya hormat dan cinta. Di
sini anak-anak melihat orangtuanya menghormati orang dewasa, menghargai
berbagai macam jabatan dan pejabat pemerintah, dan memelihara moralitas dan
hukum. Bukan hanya ada kemungkinan bahwa orangtua mampu menuntun keluarga
secara layak, tapi juga dari kodratnya anak-anak akan hormat dan taat.
Kodrat
Manusia
Sementara Konfusius tidak menegaskan
secara eksplisit bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik, ia mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk mencapai kebajikan. Perkembangan potensi yang dicapai lewat pengolahan diri yang
bersifat moral
merupakan keprihatinan sentral pemerintah. Perkembangan kebajikan moral justru merupakan tugas
pokok masyarakat.
Dewasa ini di dunia Barat, apakah
manusia pada dasarnya dipandang baik atau jahat, tujuan pendidikan adalah
menguasai satu keterampilan atau kemampuan berdagang untuk menghasilkan
barang-barang materil secukupnya. Ini memerlihatkan perbedaan fundamental
antara filsafat pendidikan dewasa ini dengan pandangan Konfusius tentang
pendidikan sebagai pengembangan karakter moral.
Jika harus ada damai dan
kesejahteraan, tanpa hukum positif yang ditegakkan, maka adalah kewajiban
setiap orang untuk bertindak pantas, atau melaksanakan kebajikan li. Untuk bertindak pantas, orang harus
menghargai dan memerhatikan orang lain, atau melaksanakan kebajikan jen, dan semangat menghargai ini
dipelajari sejak awal melalui menghargai orangtua dengan melaksanakan kebajikan
hsiao. Melalui pengolahan
kebajikan-kebajikan dasar ini, perwujudan kodrat yang benar seseorang (jen) menjadi mungkin. Ketika kodrat
manusia yang benar terwujud, maka orang itu berada dalam harmoni dengan orang
lain dan dengan segala sesuatu. Maka akan ada damai dan kesejahteraan menurut
visi Konfusius.
MENSIUS
Mensius sependapat dengan Konfusius
bahwa Jen adalah sumber dan dasar
semua kebaikan dan kebajikan. Dan ia juga sependapat dengan konfusius bahwa li, atau tata sopan santun, dituntut
untuk mengembangkan dan mewujudkan jen.
Tambahan lagi Hsiao diakui sebagai
titik awal untuk kebaikan. Namun Mensius lebih mementingkan peran Yi dari pada Konfusius. Yi
atau keadilanlah yang merupakan kunci di atas segalanya untuk mengembangkan dan
mengolah jen, demikian Mensius.
Alasan mengapa Mensius menekankan Yi adalah pengakuan akan perbedaan
antara kebaikan dan kebenaran. Jen
merujuk pada kebaikan yang mendasari kodrat manusia. Namun Yi merujuk pada kebenaran
serta keadilan tindakan manusia. Kebutuhan untuk membedakan keduanya berasal
dari fakta bahwa meskipun semua orang memiliki jen, tidak semua orang bertindak adil dan benar. Meskipun ada
kebaikan, manusia bisa bertindak salah dan dengan itu membawa kejahatan ke dalam
dunia. Karena ini terjadi begitu, maka orang harus menekankan Yi, yaitu tindakan yang benar, untuk
menghilangkan dunia kejahatan. Mensius berpikir bahwa jika jen dikembangkan secara penuh,
Yi akan sendirinya terwujud.
Dan jika semua tindakan manusia sesuai dengan Yi, maka jen akan dikembangkan. Namun karena adalah lebih mudah dan lebih
berhasil bagi manusia untuk mulai mengembangkan kodrat manusia melalui
ketepatan tindakan pribadi manusia, maka Mensius menekankan Yi.
Argumen
untuk Kebaikan dalam Manusia
Mensius menghadirkan argumen-argumen
untuk pandangan bahwa manusia memiliki kebaikan dalam pembawaan kodratinya: (1)
semua manusia dari kodratnya sama; (2) si bijak yang dari kodratnya baik adalah
seorang manusia; (3) karena itu, semua manusia dari kodratnya baik.
Menurut argumen kedua, kebaikan
manusia bersifat eviden dalam kebajikan jen, yi, li dan chih (kebijaksanaan moral). Semua manusia memiliki sumber-sumber
awal kebajikan-kebajikan itu seperti yang dapat terlihat dalam universalitas
perasaan dasar yang membentuk dasar-dasar awalnya. Argumen Mensius ialah
mengidentifikasi perasaan-perasaan yang membentuk dasar-dasar awal dari setiap
kebajikan itu dengan memperlihatkan mereka melalui keteladanan.
Belas kasih adalah sumber awal jen. Pribadi siapa pun akan menaruh
belas kasih terhadap seorang anak yang jatuh dalam sebuah sumur dan akan mencoba menyelamatkan anak itu.
Rasa malu adalah akar dari Yi.
Setiap pribadi yang merampok orang yang lain dan menyebabkan kematian
orang itu akan menanggung rasa malu dan mencoba membayar ganti rugi.
Rasa hormat adalah awal mula li. Universalitas perasaan dasar ini
dapat terlihat dalam fakta bahwa semua anak dari kodratnya menaruh hormat
terhadap orangtua mereka, dan di depan atasan, semua orang merasa kurang layak
dan bersikap rendah hati serta hormat.
Pengetahuan akan yang benar dan yang
salah adalah akar dari kebajikan chih
(kebijaksanaan moral). Karena setiap manusia mengungkapkan ide tentang benarnya
dan salahnya perbuatan berkat refleksi pikirannya, maka itu berarti bahwa dari
kodratnya ide-ide tentang yang benar dan yang salah itu harus ditemukan dalam
diri setiap orang.
Kesimpulan dari argumentasi ini ialah
bahwa manusia dari kodratnya bersifat moral. Karena manusia dari pembawaannya
adalah baik, maka manusia mengetahui yang benar dan salah; memiliki rasa belas
kasih; bersikap hormat dan rendah hati; dan mengenal rasa malu. Ini berarti
bahwa karena manusia memiliki dasar penilaian moral, maka manusia dapat
membedakan yang benar dan salah dan hal itu mungkin untuk menyempurnakan kodrat
manusiawinya.
Sumber
kejahatan
Menurut Mensius, ada tiga
sumber utama kejahatan. Pertama, karena lingkungan eksternal. Karena
persaingan dalam masyarakat memberi peluang besar untuk kelobaan dan ingat diri,
maka masyarakat sendiri sebagiannya
bertanggungjawab atas kehadiran tindakan yang salah dan kehadiran kejahatan dalam
dunia kendatipun kebaikan hadir dalam kodrat manusianya. Kedua, kejahatan ada karena pengabaian self:
orang mengabaikan kebaikannya yang secara kodrati ada dalam dirinya. Itu timbul
karena manusia sendiri mengabaikan kebaikan dalam dirinya. Ketiga, kejahatan ada karena gagal dalam mengolah rasa aman dan
pemahaman. Artinya, meskipun niat-niat itu baik, tetapi orang tidak mampu
melakukan hal-hal yang benar oleh karena kekurangan pengetahuan yang
menuntunnya untuk membuat keputusan yang tepat dan benar.
HSUN TZU
Beberapa hal dalam pandangan Hsun Tzu sangat bertentangan dengan
Mensius. Menurutnya dari kodratnya manusia itu jahat. Melalui pendidikan dan partisipasi dalam institusi sosial dan kebudayaan, manusia menjadi baik. Manusia
bukan hanya kekurangan sumber awal empat keutamaan itu yang diklaim oleh Mensius, tetapi juga secara nyata memiliki sumber awal
kejahatan dalam nafsu bawaan untuk mengejar keuntungan dan kenikmatan. Namun setiap
orang bisa menjadi orang yang bijaksana karena setiap orang memiliki
intelegensi, dan melalui pengembangan intelegensinnya kebaikan dapat terwujud.
Sumber-sumber Kebaikan
Bagi Hsun Tzu kebaikan tercipta
dari organisasi sosial dan kebudayaan
yang merupakan akibat dari dorongan untuk hidup lebih baik dan kebutuhan untuk mengatasi
makhluk-mahkluk hidup
yang lain. Argumen-argumennya
ialah bahwa manusia tidak dapat menyiapkan barang-barang yang
dibutuhkannya untuk hidup dan hidup
baik kecuali melalui kerja sama dengan manusia lain, dan manusia tidak mampu membuat dirinya aman dari berbagai
ancaman makhluk-mahkluk hidup yang lain dan kekuatan alam tanpa saling kerja sama.
Organisasi sosial memerlukan tata
aturan tingkah laku dan bahwa mengikuti tata aturan ini justru berarti
menghasilkan kebaikan. Teorinya adalah bahwa manusia dilahirkan dengan penuh
keinginan dan hasrat, dan beberapa dari keinginan dan hasrat itu biasanya tidak
terpuaskan. Ketika keinginan dan hasrat itu tinggal tak terpuaskan, orang lalu berusaha memuaskannya. Dan ketika
banyak orang berusaha untuk memuaskan hasrat dan keinginan mereka yang saling
bersaing tanpa aturan atau pembatasannya, maka di sana ada percekcokan dan perselisihan yang melahirkan kekacauan dan menyakitkan hati
setiap orang. Karena itu raja-raja awal menegakkan aturan tingkah laku yang mengatur kegitan-kegiatan yang memuaskan
hasrat dan keinginan itu, dan hal ini mengarah kepada terciptanya berbagai macam
aturan untuk hidup dan sosial. Dalam
jalur alasan itu, kebaikan moral tercipta sebagai akibat dari regulasi
yang diperlukan untuk hidup sosial, regulasi terhadap tingkah laku manusia.
Hsun Tzu juga menegaskan terciptanya kebaikan melalui penggunaan
intelegensi manusia. Kemampuan
manusialah yang membedakannya dari binatang. Intelegensi manusia terlihat dalam kemampuannya yang melahirkan
perbedaan sosial. Karena hal yang membedakan manusia dari
burung-burung dan binatang adalah kemampuan manusia dalam
menciptakan perbedaan sosial yang
diatur oleh li, maka manusia harus
bertindak menurut li supaya mengatasi
kecenderungan jahatnya dan mewujudkan kebajikan.
KESIMPULAN
Konfusianisme merujuk terutama
kepada pemikiran Konfusius. Tetapi tak dapat diragukan bahwa realisme Hsun Tzu
dan idealisme Mensius memengaruhi perkembangan dari pemikiran Konfusius ke
Konfusianisme. Konfusius menekankan jen
dan memandang li, yi, dan hsiao sebagai sesuatu yang perlu untuk mencapai pribadi yang
berkembang baik dan masyarakat yang bertata-tertib baik, tapi ia tidak membahas
persoalan mengapa seorang harus
memraktikkan kebajikan-kebajikan itu dalam arti bakat-bakat alamiah dari kodrat
manusia. Ia hanya melihat bahwa untuk mencapai hubungan manusia yang harmonis,
masyarakat yang bertata tertib baik dan stabil, dan untuk mencapai kebahagiaan
pribadi, orang perlu melaksanakan pengolahan diri yang bersifat moral. Namun
Mensius dan Hsun Tzu sangat peduli terhadap persoalan mengapa seorang harus
hidup sesuai dengan jen dengan
memraktikkan yi dan hsiao. Mensius berpendirian bahwa untuk
mengembangkan kodrat manusia yang pada awalnya dan pada dasarnya baik, orang
harus memraktikkan kebajikan-kebajikan yang ditekankan Konfusius. Sebaliknya,
Hsun Tzu berpendirian bahwa karena kodrat manusia pada awalnya jahat, orang
harus memraktikkan kebajikan-kebajikan itu untuk menghilangkan
tendensi-tendensi jahat dari pembawaannya dan menggantikan mereka dengan kebajikan
moral.
Dua perbedaan yang signifikan antara Konfusius
dan Mensius ditemukan dalam pandangan mereka tentang kodrat manusia dan
hubungan antara kebaikan dan kebenaran. Konfusius mengklaim bahwa manusia
memiliki potensi untuk mencapai kebaikan,
sementara, menurut Mensius, manusia memiliki kebaikan aktual sebagai bagian
dari kodrat manusia. Selanjutnya Konfusius tidak membedakan kebaikan dan kebenaran, tetapi bagi Mensius
perbedaan antara keduanya penting.
Jika seseorang menerima
argumen-argumen Mensius tentang kebaikan sebagai satu bahwaan dari kodrat
manusia dan sependapat dengan penjelasannya tentang sumber kejahatan dalam
dunia, maka keseimpulannya ialah bahwa manusia harus hidup menurut jen, yi,
dan li karena dengan bertindak benar
orang mengembangkan kemanusiaannya yang mengantar orang kepada hubungan sosial
yang harmonis dan kepada satu masyarakat yang bertata tertib. Selanjutnya,
mengatur tindakan-tindakan seorang dengan li
adalah hidup menurut kebaikan yang merupakan bawaan dan dasar kodrat manusia.
Singkatnya, orang harus menempuh jalan Konfusius karena itulah jalan untuk
memenuhi kodrat manusia.
Kedua jalur argumen yang diberi Hsun
Tzu menekankan bahwa kebaikan adalah hasil ciptaan manusia, atau melalui
pengolahan inteligensi atau juga melalui penciptaan perbedaan sosial. Tidak
seperti Mensius yang menekankan pentingnya usaha untuk mengembangkan kodrat
awal kebaikan yang sudah ada dalam manusia, Hsun Tzu menekankan pentingnya
usaha untuk mengatasi tendensi alamiah manusia kepada kejahatan melalui proses
pendidikan dan sosialisasi yang akan memberi satu kodrat kebajikan kepada
manusia. Hsun Tzu berbeda dengan Konfusius, terutama dalam pikiran yang
membedakan kebaikan dan inteligensi dan menekankan kejahatan aktual yang hadir
dalam kodrat manusia. Namun ketiga pemikir ini sependapat bahwa pengolahan
kebajikan moral merupakan kunci untuk kesejahteraan individual dan sosial.
Baik idealisme Mensius maupun
realisme Hsun Tzu ditambahkan pada filsafat konfusius, keduanya melengkapi
konfusianisme. Dalam gagasan Mensius, tekanan
jatuh pada usaha untuk menentukan ketepatan tindakan sebagai sarana untuk mengembangkan
kemanusiaan. Sedangkan dalam gagasan Hsun Tzu, tekanannya jatuh pada tata
aturan tingkah laku untuk mengembangkan kodrat manusia. Dengan mengadopsi kedua
pandangan ini, konfusianisme mendukung
kuat penghargaan baik terhadap sanksi internal yang menggunakan perasaan
batiniah untuk menuntun tingkah laku maupun terhadap sanksi eksternal yang
menggunakan tata aturan sosial untuk
menuntun tingkah laku juga. Keduanya
sama-sama cocok untuk mengolah baik kriteria internal suara hati maupun
kriteria eksternal hukum dalam menentukan bagaimana orang harus hidup. Tentu saja
suara hati mendapat prioritas dalam jalan Konfusius, karena hanya tata aturan
sosial yang sesuai dengan jen merupakan
bagian dari jalan moral.
Konfusianisme masih terus menekankan bahwa setiap pribadi memiliki dasar
untuk menentukan tindakan yang benar, karena setiap orang memiliki jen,
atau kemanusiaan. Semua yang dituntut ialah bahwa prinsip relasi timbal balik, yaitu Kaidah Emas harus
diterapkan: jika engkau
tidak menghendaki sesuatu yang dilakukan orang lain kepadamu, maka janganlah
melakukan itu kepada siapa pun juga. Barangkali penekanan pada moral atas dasar ukuran humanistis itulah yang
menentukan esensi kekal konfusianisme.
PEMIKIRAN
LEVINAS
LATAR BELAKANG
Emmanuel Levinas (1906 – 1995) adalah Profesor Filsafat di
Universitas Paris. Seperti Gadamer dan Ricoeur, ia memerluas fenomenologi
melampaui Husserl dan Heidegger, dan ia berbagi beberapa kesamaan dengan
praktik hermeneutik mereka. Karyanya juga berpengaruh terhadap Jacques Derrida.
Lahir di Lithuania tahun 1906 dari orangtua Yahudi, Emmanuel Levinas pindah ke
Strasbourg tahun 1923. Ia mengikuti kuliah Husserl dan Heidegger di Freiburg,
dan tahun 1930 menerbitkan The Theory of
Intuition in Husserl’s Phenomenology, buku pertama tentang Husserl dalam
bahasa Perancis. Meski banyak dari karya awal Levinas berpusat pada diskusi
tentang Husserl dan Heidegger, ia menjadi semakin kritis terhadap kegagalan
mereka memberikan penjelasan yang memadai tentang apa yang ia sebut
“Liyan”/”yang Lain” (“the Other”). Husserl, seperti telah kita lihat, berusaha
untuk menyediakan suatu dasar bagi filsasat sebagai ilmu pengetahuan yang tegas
(rigorous) dengan cara memberi kurung
terhadap dunia di luar kesadaran, dan menggantinya dengan suatu dunia objek
yang tersusun oleh kesadaran. Levinas dengan cermat membedakan idealisme
Husserl dari milik Berkeley, tapi ia menjadi semakin kritis terhadap abstraksi
tentang kesadaran dari waktu dan pengalaman.
LEVINAS DAN METAFISIKA
Levinas memahami Being
and Time Heidegger untuk memulai sebuah langkah maju dalam hal ini.
Heidegger menggantikan kesadaran abstrak Husserl dengan ada dari eksistensi
manusia sebagaimana selalu sudah di dunia dalam hubungan dengan pribadi-pribadi
dan hal-hal lain. Namun, dalam analisis akhir Levinas percaya bahwa Heidegger
menempatkan “yang Lain” dalam bahasa eksistensi dan ada (being). Dasein secara
esensial menyoal pemahaman Ada. Dan seperti filsafat barat pada umumnya, Dasein dan Being dipahami sebagai bagian dari apa yang oleh Levinas disebut
suatu totalitas yang di dalamnya kita berusaha menjadikan yang Lain milik kita,
membawa yang Lain ke dalam batas-batas atau kendali diri (the self). Menurut Levinas, hal itu menyebabkan hilangnya yang Lain
(yang ada di luar dan tidak diketahui) dalam dunia diri (self) dan ada (being).
Yang dikerjakannya adalah menganggap sang Lain sebagai yang Lain, memikirkan
sang Lain yang berdiri di luar semua sistem diri yang ada dan memasukkannya ke
dalam pembahasan. Ini bukan semata latihan akademis bagi Levinas. Ia
mengembangkan banyak dari ide-idenya di Eropa selama PD II, dan ia berkata di
awal karya besarnya, Totalitas dan Infinitas, “Wajah (the visage) dari ada yang menunjukkan dirinya dalam perang
ditetapkan (fixed) dalam konsep
totalitas, yang mendominasi filsafat Barat.” Hanya dengan menantang cara ada
yang mentotalkan (totalizing), dengan
menempatkan diri berhadapan dengan sang Lain (yang mengeksklusi dirinya dari
sistem) bisa terdapat etika. Jika fokus Heidegger boleh disebut pada
ketersembunyian ada, fokus Levinas adalah pada ketersembunyian yang baik (the good). Ke-berlain-an (otherness) menuntut suatu respon etis.
Sejarah metafisika, menurut Levinas, menunjukkan bahwa ia
adalah gerakan dari sebuah dunia yang akrab dengan kita menuju dunia yang di luar
kita, menuju suatu makhluk asing (alien)
di-luar-diri atau suatu yang Lain. Ini bukanlah lain dari roti yang aku makan
atau tanah dimana aku tinggal yang ke-berlain-an atau ke-berbeda-annya dapat
diserap ke dalam identitasku sebagai sebuah diri dan suatu pemikir. “Hasrat
metafisis cenderung menuju sesuatu yang
lain seluruhnya, menuju yang sungguh lain.” Hasrat metafisis terletak bukan
pada hubungan sebelumnya, dan ia tidak dapat dipuaskan. Hasrat berbeda dari
kebutuhan yang melibatkan suatu kekurangan dan berasal dari subjek. Hasrat
dianimasi oleh sang Lain, oleh Infinitas yang diungkapkan dan tidak dapat
merupakan objek pemikiran. Levinas menggunakan term transendensi atau
tranasendensi untuk merujuk kepada eksterioritas absolut dari sang Lain dari hasrat
metafisis. Sang Lain tidak dapat digenggam dalam suatu sistem pemikiran, dalam
suatu totalisasi. Sang metafisikawan secara absolut terpisah dari transendensi
atau sang Lain. Filsafat Barat, kata Levinas, sering kali merupakan suatu
ontologi. Itu berarti bahwa ia (fils. Barat) berusaha membawa totalitas ada-ada
ke dalam lingkup unitas dan pemikiran, untuk menghubungkan semua ada dalam
sebuah diskurs yang “sama” atau tunggal. Dalam cara ini sang Lain direduksi ke
yang sama. Levinas menyebut ini “imperialisme ontologis" yang mengalir di
seluruh filsafat Barat mulai Socrates hingga Husserl dan Heidegger. Dalam
tradisi Barat, menurut Levinas, kebebasan terikat erat pada akal budi yang di
dalamnya orang berusaha menetralkan dan mencakup sang Lain. Tak ada yang Lain
yang menetapkan batasan bagi kebebasan akal budi tertinggi. Bahkan Heidegger,
yang berpikir bahwa kebebasan berasal dari ketaatan kepada Ada, bergantung pada
pemikiran bahwa tidak ada being (there being nothing) di luar relasi
ada-ada dengan Ada.
“YANG LAIN”
Tujuan dari karya besarnya, Totalitas dan Infinitas, adalah
untuk membalik relasi antara yang sama dengan sang Lain. Relasi ini digugat
oleh sang Lain (yang menimbulkan hasrat metafisis). Etika dan metafisika dalam
arti ini sebangun. Etika muncul dari kehadiran sang Lain yang menggugat usaha
manusia untuk mencakup sang Lain ke dalam suatu totalitas dari subjek. Mencoba
untuk menurunkan pengetahuan etis dari pengetahuan teoretis, dari sistem
pengetahuan yang men-total, berarti menghapus transendensi etis. “Keunikan sang
Lain, irreduktibilitasnya (ke-tak-tereduksi-an) ke dalam aku, ke pemikiran dan
pemilikanku, persis dicapai sebagai suatu tindak menggugat spontanitasku,
sebagai etika.” Bukanlah maksud Levinas untuk menghapus diri dan aktivitasnya,
melainkan untuk mengubahnya dalam relasi dengan sang Lain sebagai yang Lain. Di
sini ia mengambil petunjuk dari Descartes. Di akhir meditasi ketiga Descartes, cogito ditemukan berdiri (supported) di atas kepastian akan Allah
atau sang Tak Terbatas, dalam relasi yang dengannya cogito yang terbatas dapat dibayangkan. Namun, Infinitas atau Allah
tidak bisa menjadi objek pemikiran atau pengalaman. Ia tetaplah yang Lain.
“Descartes, lebih baik dari seorang idealis atau realis, menemukan relasi
dengan suatu ke-berlain-an total yang tak tereduksi ke interioritas, yang meski
begitu tidak melakukan kekerasan terhadap interioritas – suatu reseptivitas
tanpa pasivitas, suatu relasi antar kebebasan.” Bagi Descartes, relasi dengan
Infinitas membanjiri pemikiran dan menjadi relasi personal. Kontemplasi berubah
menjadi kekaguman, penghormatan dan sukacita.
Levinas membedakan antara yang Lain (Autre) dan yang Lain yang dipribadikan (Autrui). Dalam relasi dengan pribadi-pribadi lain terdapat
kemungkinan pengungkapan lain yang absolut, yang selalu mengeksklusi dirinya
dari gerakan men-total. Levinas menggunakan terminologi wajah untuk menamai cara pribadi lain menghadirkan dirinya kepadaku
sementara menghancurkan dan membanjiri ide apapun tentang lain yang kupunyai.
Sang Lain mengekspresikan dirinya
sendiri. Sebelum dan di bawah semua ekspresi, terdapat ekspresi seperti itu,
yaitu ketakberdayaan (defencelessness)
dan kerapuhan itu sendiri. “Tetapi, dalam ekspresinya, dalam mortalitasnya,
wajah di hadapanku, memanggil aku, memohon kehadiranku, seolah kematian yang
tak terlihat yang harus dihadapi oleh sang Lain, ke-berlain-an murni, terpisah,
dalam cara tertentu, dari keseluruhan manapun, adalah urusanku. … Sang Lain
menjadi sesamaku persis lewat cara wajah memanggil aku, memintaku, memohon
kehadiranku, dan dalam melakukan itu mengingatkan tanggungjawabku, dan menggugat
aku.” Hubungan dengan sang Lain ini muncul bukan dengan modifikasi tertentu
terhadap pengetahuanku tentang sesama, tapi lewat percakapan (conversation). “Mendekati sang Lain
dalam percakapan berarti menyambut ekspresinya, yang di dalamnya dalam setiap
kesempatan ia membanjiri ide yang dibawa menjauh darinya oleh pemikiran.
Karenanya, itu berarti menerima dari
sang Lain melebihi kapasitas dari sang Aku, yang persis berarti: memiliki ide
tentang infinitas.” Bagi Levinas ini merupakan sebuah relasi etis. Infinitas,
yang tidak dapat digenggam dalam pemikiran kita, menggugat kebebasan dan
subjektivitas kita. Infinitas memerintahkan dan menilai dan membawanya kepada
kebenaran. Infinitas menyatakan dirinya dalam sebuah wajah dan memanggil aku
kepada tanggungjawab. Panggilan itu langsung dan melampaui justifikasi dan
representasi rasional. Itu tak dapat dibawa dalam totalisasi tanpa suatu
kehilangan transendensi, kehilangan akan yang lain.
Pemikiran Levinas di sini mengingatkan akan pemahaman Martin
Buber tentang relasi aku-engkau yang dibahas dalam bab tentang Personalisme.
Relasi aku-engkau bagi Buber merupakan sebuah pertemuan atau perjumpaan, suatu
dialog yang memelihara integritas diri dan yang lain. Bagi Buber, dalam setiap
perjumpaan aku-engkau terletak kemungkinan suatu perjumpaan dengan engkau yang
abadi. Tetapi Levinas berpendapat bahwa pemahaman formal Buber tentang
resiprositas dalam relasi aku-engkau mencegahnya memberi cukup perhatian kepada
relasi etis. Spiritualisme murni dari persahabatan tidak berkaitan langsung
dengan fakta-fakta ideal etis yang di dalamnya aku bertanggung jawab kepada
pihak lain dengan cara yang asimetris. Liyan yang transenden adalah tuanku. Ia
menaruh tanggungjawab di atasku yang melampaui batas kontrak sosial atau
justifikasi rasional apapun. Tetapi juga menghadapi aku dalam kedekatan wajah
orang asing, janda dan yatim-piatu. Levinas mengandaikan bahwa “memberi pakaian
kepada yang telanjang dan memberi makan mereka yang kelaparan merupakan cara
yang lebih otentik untuk menemukan akses kepada sang Lain daripada kepada Lain
yang tidak jelas dari persahabatan spiritual.
LEVINAS DAN ALLAH
Orang tidak dapat membaca banyak tulisan Levinas tanpa
mendengar langsung dan tidak langsung kata-kata dari Kitab Suci dan Mazmur.
Filsafat dan agama baginya merupakan dua momen dalam proses spiritual yang
sama, dan agama didefinisikan sebagai “ikatan yang terjalin antara yang sama
dan liyan tanpa membentuk totalitas.” Persoalan-persoalan dalam memikirkan dan
membicarakan Allah kebanyakan sama dengan persoalan yang terkait dengan
alteritas dan yang lain. Ia menulis sebagai seorang filsuf, tapi ia menolak
pembedaan tajam antara Allah para filsuf dan Allah iman, dan dalam karyanya
kemudian ia mencari cara untuk berbicara secara rasional tentang Allah yang
menghindarkan kesulitan-kesulitan yang diasosiasikan dengan cara-cara ontologi
dan iman. Diskurs filosofis, katanya, mestinya mampu mencakup Allah yang
dibicarakan oleh Kitab Suci. Namun, secara tradisional, begitu Allah
dibayangkan, Ia dibayangkan sebagai ada par
excellence (dalam derajat tertinggi). Allah dibawa ke dalam wilayah ada.
Sebaliknya, Allah Kitab Suci, transendensi, melampaui bahasa dan pikiran ada.
Teologi rasional berusaha memerhitungkan transendensi dalam wilayah ada dengan
menerapkan atribut ketinggian kepada kata kerja to be (menjadi).Tetapi bahasa ini, yang pada dasarnya ontologisme,
mengeksklusi transendensi dari yang terpikirkan (thinkable). Sejarah filsafat Barat, Levinas berpendapat, merupakan
penghancuran transendensi.
Sebagian orang berpendapat bahwa Allah KS tidak memunyai
makna, bahwa konsep tentang Allah bukanlah sebuah konsep sama sekali. Tetapi,
Levinas bertanya, bukankah makna dari filsafat sudah merupakan suatu pembatasan
makna? “Kita harus bertanya tidakkah ke-penanda-an (signifyingness), rasionalitas dan rasionalisme transendensi
dipahami di luar inteligibilitas dan rasionalisme identitas kesadaran, masa
kini dan ada - di luar inteligibilitas imanensi? Di atas dan di luar ada,
tidakkah suatu makna yang prioritasnya diterjemahkan ke dalam bahasa ontologis,
akan disebut pendahulu[an] (antecedent)
terhadap ada, menunjukkan dirinya?” Itu tidak berarti baginya bahwa kita menggantikan
Allah filsafat dengan Allah iman. Tak ada yang kurang berlawanan dengan
ontologi daripada pendapat dan iman, katanya. Cara pengalaman religius juga
ditolak. Dalam fakta bahwa ia didirikan di atas pengalaman, agama dipahami
sebagai merujuk kepada “Aku berpikir” dan karenanya seluruhnya terhubung dengan
ontologi. Mereka yang menuntut revelasi tak punya konsepsi apapun tentang makna
selain konsep dalam tradisi ontologis. Maka mereka mengasimiliasi revelasi ke
dalam pengungkapan filosofis. Meskipun tulisan Levinas di banyak tempat
merupakan pengingat akan teologi dialektis abad pertengahan, ia berpendapat
bahwa ia tetap membuka jalan kepada asimilasi ini. Ini selalu merupakan
persoalan suatu ada religius yang menginterpretasi apa yang telah dihidupinya. “Alih-alih
dirinya, ia sudah menginterpretasi Allah, yang tentangnya ia mengklaim sudah
punya pengalaman, dalam arti ada, kehadiran dan imanensi.”
Dalam pergumulannya untuk memikirkan Allah melampaui ontologi
dan iman, Levinas lagi-lagi merujuk kepada meditasi ketiga Descartes. Bukan
bukti-bukti Descartes tentang eksistensi Allah yang penting bagi Levinas,
melainkan goncangannya terhadap fondasi kesadaran. Yang Tak Berhingga bukanlah
komprehensi dari sebuah objek oleh sebuah subjek. Ia sepenuhnya melampaui apa
yang bisa dipikirkan oleh sebuah subjek. Ide tentang Infinitas atau Allah dalam
cara tertentu ada di dalamku sebelum ide tentang yang terbatas, sebelum ide
tentang diriku, dan, menurut Descartes, sejajar dengan penciptaanku. Otoritas
terakhir kesadaran digoncang. Ia bergantung pada apa yang melampaui
genggamannya. Infinitas memertanyakan pengetahuan dan pengalaman. Suku kata in dalam Infinitas membangkitkan hasrat
yang tidak dapat dipenuhi dan tidak menunjuk suatu akhir. Itu adalah suatu
hasrat tanpa akhir akan apa yang melampaui semua ada. Itu bukanlah hasrat untuk
memenuhi suatu kebutuhan. Itu adalah hasrat akan yang Baik melampaui semua ada.
Ke-baik-an dari yang Baik mengubah hasrat ini dari yang Baik dan mengarahkannya
menuju yang lain. Hanya dengan cara ini kita sampai ke yang Baik. Transendensi
Allah berubah menjadi tanggung jawabku terhadap yang lain. Dalam analisis ini,
“Allah bukanlah semata ‘lain yang pertama,’ yang ‘lain par excellence,’ atau yang ‘lain absolut’, “melainkan lain dari
yang lain (autre qu’autrui), jika
tidak (otherwise) yang lain, yang
lain dengan suatu keberlainan sebelum keberlainan dari yang lain, sebelum
ikatan etis dengan sesama dan berbeda dari semua sesama, transenden ke titik
ketidakhadiran (absence), ke titik
kebingungan yang mungkin dengan pengarahan dari yang ada (there is).” Allah semacam itu tidak bisa dipikirkan atau diwakili
dalam cara tradisional manapun. Bahkan jalan teologi negatif bergantung pada
ontologi yang mengeliminasi transendensi Allah. Diskurs religius utamanya bukan
diskurs tentang Allah, maupun kepercayaan akan Allah. “Diskurs religius yang
mendahului semua diskurs religius bukanlah suatu dialog. Itu merupakan suatu
‘inilah aku’ yang dikatakan kepada sesama yang kepadanya aku diberikan, dengan
mana aku menyatakan damai, yaitu, tanggung jawabku terhadap yang lain.”
TITIK SINGGUNG
ANTARA KONFUSIANISME DAN PEMIKIRAN LEVINAS
1. Tujuan filsafat. Konfusianisme dengan cukup jelas menampilkan
cita-cita Konfusius akan suatu masyarakat dan pemerintahan yang baik. Ini
dimulai dengan pengembangan kebaikan diri sehingga orang bisa berelasi dengan
baik dengan sesamanya, dan pada gilirannya terjadi suatu masyarakat dengan
relasi yang baik antar anggotanya. Levinas memang tidak tampak menyebut secara
tegas cita-cita atau tujuannya. Namun dari latar belakang zaman dan
religiusnya, kita bisa menduga-duga suatu hal. Nampak bahwa Levinas
menginginkan suatu relasi yang lebih bertanggung jawab dengan sesama. Meski
terdapat perbedaan latar belakang dan penekanan, dapat kita tarik suatu benang
merah bahwa pemikiran keduanya menyoal relasi dengan sesama, dengan harapan
terciptalah masyarakat yang baik, yang bertanggung jawab.
2. Bangunan filsafat dari keduanya berbeda.
Konfusianisme lebih pada humanisme karena memandang manusia
sebagai sumber tertinggi nilai-nilai, sedangkan Levinas
dengan jelas mengakui
keberadaan Sesuatu yang lain yang melampaui alam dan manusia, yang menjadi prinsip tindakan dan hidup manusia, suatu
‘kekuatan yang menuntut’ tanggung jawab atau respon etis. Dalam skema ini nampaknya Levinas lebih sesuai ditempatkan dalam kelompok
supranaturalisme.
3. Adanya perbedaan pandangan dalam hal golden rule dan relasi asimetris. Konfusius percaya pada kekuatan golden rule atau Kaidah Emas yang
berbunyi jika engkau tidak menghendaki sesuatu yang dilakukan orang lain
kepadamu, janganlah melakukan hal itu kepada siapapun juga. Hal ini menandakan
tuntutan pada prinsip relasi timbal balik. Prinsip ini nampak jelas perbedaannya
dengan relasi asimetris yang dipikirkan Levinas. Ia mengatakan bahwa sang Lain
yang menyatakan dirinya dalam diri sesama menuntut aku untuk ikut bertanggung
jawab atas situasi sesamaku, tanpa aku menuntut hal yang sama darinya.
4. Kata kunci yang patut dijadikan titik singgung adalah
tanggungjawab. Konfusianisme mengarahkan semua filsafatnya atau bentuk
tanggungjawabnya pada transformasi diri, sementara Levinas memahami
tanggungjawab dalam bentuk pemberian diri untuk yang lain. Penekanan pada
pengolahan moral tiap pribadi atas dasar ukuran humanistis yang membentuk
esensi kekal Konfusianisme. Sementara Levinas melihat pemberian diri menjadi
bentuk tanggung jawab terhadap sesama dan masyarakat, sebagai respon etis dari
tuntutan sang Lain.
5. Masih soal tanggung jawab, tapi kali ini dalam kaitan dengan
sumbernya. Levinas dengan jelas memerlihatkan bahwa tanggungjawab manusia
berasal dari suatu hal eksternal, tuntutan sang Lain yang menyatakan diri dalam
sesama. Dalam konfusianisme tidak ditemukan pernyataan eksplisit dari tuntutan
tanggung jawab ini berasal. Pertanyaan pokok Konfusianisme “Bagaimana caranya
manusia menjadi baik?” mengandaikan bahwa memang setiap orang harus menjadi
baik dan bertanggung jawab.
6. Perbedaan lain terkait dengan latar belakang pemikiran
keduanya. Latar belakang terbentuknya filsafat Konfusianisme adalah situasi real yang chaos, maka filsafatnya tumbuh dari realitas. Sementara, pemikiran
Levinas merupakan kritik terhadap filsafat Barat, seperti pada Husserl,
Heidegger dan Buber, meski kritik itu juga memeroleh inspirasinya pada situasi
konkret Perang Dunia II.
7. Satu hal lain yang membedakan kedua filsafat ini adalah soal
kodrat dan kebaikan dalam diri manusia. Pandangan Konfusianisme bervariasi
dalam hal ini. Konfusius tidak menyatakan dengan tegas soal kodrat manusia.
Namun ia mengakui bahwa manusia memunyai potensi kebaikan dalam dirinya, dan
potensi itu harus ditumbuhkembangkan. Mensius menyatakan dengan tegas bahwa
manusia memiliki kodrat yang baik. Sebaliknya Hsun Tzu justru berkata bahwa
pada dasarnya kodrat manusia itu jahat. Dalam konteks ini, Levinas menyatakan
bahwa ide tentang Sang Lain, Infinitas, yang Baik, atau Allah, ada dalam diri
manusia sebelum ide tentang ada-ada atau tentang dirinya sendiri. Ide itu
sejajar dengan penciptaan. Dari sini kita bisa menarik suatu gagasan bahwa
kebaikan itu pun ada dalam diri manusia sejajar dengan penciptaannya, ada
secara kodrati dalam diri manusia.
Bagi saya ini adalah informasi yang sangat bagus, karena ini membuat kita lebih mengenal dan belajar lebih banyak tentang dunia yang luas, sehingga akan menambah wawasan bagi saya, untuk itulah saya mengucapkan banyak terima kasih
ReplyDelete