Summa Theologica dan Cerita Dayang Katak: Konsep Analogia Entis


Summa Theologica dan Cerita Dayang Katak: Konsep Analogia Entis

Kesadaran akan adanya pribadi yang disebut Allah yang mengatasi hidup manusia merupakan ranah yang berusaha dipahami oleh manusia. Hal yang sama juga menjadi lahan pemikiran masyarakat tradisional. Salah satu kelompok masyarakat yang berusaha memahami realitas itu adalah suku Dayak Bukit yang mendiami pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Kehidupan suku Dayak Bukit yang dekat dengan alam dan bisa dikatakan hidup dari alam mencetuskan bentuk pendekatan yang berbeda dengan kelompok masyarakat tradisional yang lain. Suku Dayak Bukit berusaha mendekati Pribadi yang mengatasi hidup manusia lewat penghayatan mereka atas alam lingkungan di mana mereka berada. Penghayatan ini terus diwariskan lewat cerita lisan, salah satu cerita itu adalah cerita Dayang Katak. Cerita ini adalah cerita yang senantiasa hadir sebagai peringatan sekaligus sebagai kesadaran manusia Dayak, khususnya suku dayak bukit bahwa ada Pribadi yang menguasai dan menciptakana alam semesta. Pribadi itu mengatasi segala sesuatu yang ada di muka bumi.
 Pemahaman akan adanya Pribadi yang mengatasi hidup manusia dalam masyarakat tradisional khususnya suku Dayak Bukit, akan didekati dengan konsep Analogia Entis yang dicetuskan oleh Santo Thomas Aquinas dalam karya teologinya yaitu Summa Theologica. Pendekatan yang dilakukan dalam tulisan ini adalah usaha untuk mempertemukan konsep pemahaman tradisional tentang realitas Allah dalam masyarakat tradisional dengan konsep analogia Entis Thomas Aquinas dalam mendekati  pribadi Allah. Pertemuan ini juga merupakan usaha untuk melihat bahwa dalam masyarakat tradisional pemahaman akan adanya pribadi yang mengatasi manusia dan usaha untuk mendekati pribadi itu sudah ada meskipun belum dalam bentuk yang tersistematisasi seperti teologi-teologi agama yang sudah mapan, terutama dalam hal ini adalah teologi Kristen.

Analogia Entis [1]
            Cara mengerti dan memahami realitas Ada mengindikasikan bahwa realitas ada tersebut merupakan realitas yang tidak sama dengan realitas yang lain. Realitas yang berbeda itu adalah realitas yang memiliki karakter yang berbeda dengan realitas yang ada nyata seperti yang bisa ditangkap oleh indera manusia. Realitas yang ada itu memiliki bagian-bagian yang menegaskan keberadaannya. Ia berbeda namun tidak terpisah dari ada yang lain. Ia adalah asal dari ada-ada yang lain. Nah, dengan memberikan perhatian yang besar pada prinsip-prinsip Aristotelian dan mendasarkan pemikirannya kepada prinsip-prinsip itu, Thomas Aquinas berusaha memberikan pemahaman bagaimana akal budi manusia mampu mencapai pemahaman atas pribadi itu.[2] Pemahaman itu selanjutnya dipaparkan oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologica.
            Pertanyaan yang mendasar yang dapat dilihat dari usaha Thomas untuk mendekati pribadi yang mengatasi hidup manusia adalah bagaimana akal budi manusia dapat sampai kepada pribadi itu? Usaha Thomas untuk menjawab pertanyaan ini nyata dalam konsep analogia Entis yang dicetuskannya. Konsep ini memberikan kemungkinan akal budi manusia dapat mencapai pengetahuan yang lebih dari sekedar penangkapan indera manusia atas apa yang dilihat dan dialaminya dalam alam lingkungan di mana manusia itu hidup. Dengan konsep anologia Entis ini manusia tidak hanya tinggal dalam pengetahuan akan apa yang dapat ditangkap oleh inderanya saja, namun lebih dari itu manusia meraih pengetahuan dan pemahaman yang lebih dari itu.
            Manusia hidup dalam alam lingkungannya dan setiap hari manusia bersentuhan dengan segala sesuatu yang hadir di sekitarnya dan indera manusia dapat menangkap itu semua. Nah ketika manusia melihat sesuatu yang indah, sesuatu yang cantik dan memesona, akal budi manusia tidak hanya berhenti pada pemahaman bahwa itu indah, itu cantik, itu menarik dan mempesona. Berhadapan dan bersentuhan dengan realitas-realitas yang demikian akal budi manusia berangkat dan memasuki pengetahuan yang baru yaitu bahwa sesuatu atau pribadi yang mengadakan atau menciptakan itu semua pasti lebih dari itu. Ia lebih cantik, lebih indah, lebih menarik dan lebih memesona. Dengan pemahaman ini dalam pemahaman Thomas pengetahuan manusia tentang pribadi yang mengatasi manusia atau sang Ada itu dapat diperoleh dari kenyataan hidup sehari-hari atau dengan kata lain pengalaman manusia bersentuhan dengan realitas yang kongkrit setiap hari membawa manusia kepada pemahaman tentang Dia atau sang Ada yang menciptakan itu semua.     
            Analogia berasal dari bahasa Yunani, “ana” (upon or according to) dan “logos” (ratio or speech or reckoning).[3] Jadi, analogia merupakan sebuah aktivitas akal budi dalam mengerti sesuatu yang mengatasi apa yang bisa ditangkap oleh indera.[4] Dengan kata lain analogi adalah sebuah cara berfikir dalam usaha memahami sesuatu yang lebih tinggi yang melebihi realitas yang bisa ditangkap oleh mata. Konsep analogia Entis dengan demikian menunjukkan bahwa antara pencipta dan ciptaannya saling mengisi. Antara pencipta dan ciptaannya terdapat unsur yang sama dan pada tempat yang sama terdapat unsur yang berbeda. Sebagian sama sebagian berbeda tetapi tidak setengah-setengah. Kenyataan alam yang teratur dan memesona dengan demikan pastilah mengatakan yang menciptakan itu semua adalah sang keteraturan dan yang sangat memesona. Untuk melengkapi pandangannya Thomas memberikan contoh dalam hal “sehat”. Sehat dikenakan pada tubuh, hewan, kencing. Kata sehat tidak ditempatkan menurut arti dan konsep yang sepenuhnya sama, namun tidak juga sepenuhnya berbeda.
Analogi yang berarti tidak sama sekali berlainan, tetapi juga tidak sama membawa kepada pemahaman untuk menjelaskan relasi Allah dan ciptaan-Nya.[5] Misalnya Allah ada dan manusia ada. Ada manusia dan ada Allah tidak sepenuhnya sama karena memang secara kodrati Allah dan manusia berbeda, namun juga tidak berbeda sama sekali berbeda. Karena dalam beberapa hal ada itu dapat dikenakan pada Allah dan manusia. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kehadiran atau adanya manusia dengan sendiri mengatakan ada Allah yang menciptakan manusia, namun pada tempat yang sama Allah dan manusia tidak juga dapat dikatakan sama. Contoh lain adalah Allah itu baik. Hal ini bukan saja memaksudkan bahwa Allah adalah penyebab kebaikan dalam ciptaan, lebih dari itu, terminologi baik secara esensial menunjukkan Allah sendiri. Allah adalah kebaikan itu sendiri. 
Dengan demikian realitas Allah yang tidak bisa dicapai dan dilihat oleh manusia melalui inderanya menjadi mungkin dan nyata lewat konsep analogia Entis. Allah dalam hal ini dapat didekati dan dikenal lewat ciptaan-Nya. Kehidupan manusia dalam alam lingkungannya bukanlah sesuatu yang sia-sia. Lewat pengalaman hidup sehari-hari manusia dapat melihat Allah yang menjadi aktor utama dalam segala ciptaan.

Dayang Katak [6]
            Cerita Dayang Katak adalah cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Dayak Bukit yang berada di Kalimantan Barat. Cerita ini berkembang dan dituturkan dalam tradisi lisan suku Dayak Bukit. Cerita ini dalam kebudayaan suku Dayak Bukit dapat dikategorikan dalam Gesah[7]. Lewat cerita yang disampaikan melalui tradisi lisan, masyarakat suku Dayak Bukit melestarikan nilai-nilai luhur dan norma-norma kehidupan yang berkaitan dengan relasi manusia dengan pribadi yang mengatasi hidup manusia, relasi antar manusia dan relasi manusia dengan alam. Hal serupa juga berlaku dalam cerita Dayang Katak. Dengan demikian cerita lisan yang berkembang dalam kebudayaan suku Dayak khususnya suku Dayak Bukit, bukanlah cerita yang kosong sekedar untuk menghibur, tetapi lebih dari itu lewat cerita yang disampaikan secara lisan tersebut realitas yang mengatasi hidup manusia hendak dikatakan. Adapun cerita Dayang Katak dan terjemahan[8] dalam bahasa aslinya tersebut adalah sebagai berikut:
(Cerita Dayang Katak ini tidak semuanya ditampilkan dalam tulisan ini mengingat keterbatasan halaman untuk itu. Penulis  hanya menampilkan bagian cerita yang secara spesifik berkaitan dengan tema yang diusung dalam tulisan ini.)




Matahari bersinar indah terbit dari celah perbukitan hijau. Di kaki perbukitan itu mengalir sungai yang jernih. Di dekat sungai itu terdapatlah sebuah kampung yang asri. Di sanalah hidup seorang pemuda tampan, namanya Si Bungsu. Ia dipanggil demikian karena memang dia anak bungsu di dalam keluarganya. Ia tinggal bersama dengan ibunya. Ayah dan abangnya telah meninggal dunia. Ia dan ibunya hidup sederhana dan saling mengasihi.

Pada suatu hari, pergilah Si Bungsu ke sungai, yang tidak jauh dari kampung mereka, untuk memasang sukatn (bubu kecil). Setelah menemukan tempat yang cocok, maka sukatn itu dipasangnya.

Tiga hari kemudian Si Bungsu kembali ke sungai, tempat di mana ia memasang sukatnnya. Ia memeriksa apakah ada ikan terperangkap di dalam sukatn itu. Akan tetapi, Si Bungsu kecewa karena di dalam sukatnnya tidak ada ikan yang terperangkap, melainkan berisi sampah. Setelah itu, sukatnnya  itu dipasang kembali.

Pada hari yang kelima, kembali Si Bungsu memeriksa sukatnnya tersebut. Namun, betapa terkejutnya ia karena di dalam sukatnnya berisi seekor katak besar.

“Wah, bagus sekali katak ini. Aku tidak akan membunuhnya. Ia akan kupelihara saja. Mungkin ia bisa menjelma menjadi seorang gadis cantik,” katanya mengkhayal.

Katak itu meronta-ronta dalam gengamannya. Si Bungsu mengamati
sesaat katak itu. Lalu, diarahkannya pandangannya ke atas. Kemudian kedua tangannya mengangkat katak itu ke atas sambil mengucapkan mantera: “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, engkau kupersembahkan kepada bulan dan  matahari.
Mata ari basinar edo’, tarabit ka’ tea bukit ijo. Ka’ singkakng ngalir neng ai’nya calikng. Ka’ samak sunge koa nda kampokng nang edo. Ka’ dikoalah idup nang bujakng sidi tarigas. Damanya Si Bungsu. Ia dinyaru lea koa barang ia nang bunsu ka’ kaluarganya. Ia idup man we’nya saadanya man bapariatn.




Ari koa, Si Bunsu mpus ka’ sunge, nang na jauh dari kampokngnya, nto nahatn sukatn. Saudah ia namuan tampat nang cocok nto nahatn sukatn, ia pun nahatn sukatnnya.


            Ka’ tiga arinya, Si Bunsu mulakng ka’ sunge, ia ngmpusi tampat ia nahatn sukatnnya koa. Ia ngayah sukatnnya nele’ nda ke’ ahe ulih, tapi Si Bunsu sidi kasal ka’ dalapm sukatnnya nana ulih ikatn, tapi manyak pangkauh. Nele’ lea koa, sukatnnya ia nahatn agi’.


Ka’ lima arinya, Si Bunsu mulakng agi ngayaha’ sukatnnya. Tapi, ia sidi takajut. Ka’ dalapm sukatnnya ulih bikatak nang sidi aya’.

            “Gajah, sidi edo bikatak nian. Bai’ ku munuha’nya. Ia nian ku idupia’ ma’an. Sae nu’an ia bisa manjadi nang dara cega’,” jakata Si Bunsu menghayal.

Bikatak koa malawan ka’ ganggamannya. Si Bunsu nele’atn bikatak sabantaratn. Udah koa, ia ningkadah. Kokotnnya ia ngangkat ka’ atas sambil basampakng: “asa’, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh,  
aku ngantaratn kao ka’ bulatn man mata ari.

Kalau memang benar aku ini anak orang sakti, anak Daniang, anak Yang Kuasa; kalau benar aku orang sakti, aku minta katak ini menjadi manusia!”

”Si Bungsu melepaskan katak itu. Keajaiban pun terjadi. Tiba-tiba katak itu menjelma menjadi seorang gadis cantik, cantik sekali. Kulitnya mulus, putih-kuning. Karena sang gadis masih dalam keadaan telanjang, Si Bungsu membuatkannya sehelai pakaian dengan cara merajut daun-daun yang berserakan di tanah.

“Ah, mengapa Abang berdoa seperti itu? Saya malu tidak berpakaian begini,” kata gadis itu.
“Tidak apa-apa. Di rumah nanti, akan kuberikan pakaian...Oya, siapa namamu?” tanya Si Bungsu.
“Saya tidak punya nama. Terserah Abang sajalah memberinama apa,” jawab gadis itu.
“Kau kuberi nama Dayang Katak saja,” kata Si Bungsu.

           
Lalu, Si Bungsu dan gadis itu pulang ke rumahnya. Ibunya belum pulang dari ladang. Ketika pulang dan tiba di rumah, ibunya sangat tekejut dan keheranan karena melihat ada seorang gadis cantik di rumahnya.



Kade’ banar aku nak Urakng sakti, nak Daniang, nak Jubata; kade’ banar aku
urakng sakti, aku minta bikatak nia manjadi talino!”

Si Bunsu ngalapasatn bikatak. Ka’ anehatn terjadi. Tiba-tiba bikatak barubah manjadi dara cega’, tarigas, kulitnnya alus, putih-kuning. Nang dara tadi koa gi’ baranjong, Si Bunsu muatatnnya pakean sabalah dari dauntn kayu nang balamparatn ka’ tanah.



“Ngahe’ abakng basampakng lea koa? Aku tabe’ nana’ bapakean lea nian,” jakata nang dara koa.
“Na ahe-ahe. Nae ka’ rumah ku mare’ kao pakean...Oh ao, sae damanyu?” Si Bunsu batanya.
“Aku nana’ badama. Tasarah abakng mare’ dama ahe ma’an,” jakata nang dara koa.
“Kade’ lea koa, ku bare’ kao dama Dayakng Bikatak,” jakata Si Bunsu.


Si Bunsu man dara cega’ pulakng ka’ rumahnya. We’nya nape’ pulakng dari uma. Sapulakng man sampenya ka’ rumah, we’nya sidi takajut man heran nele’ nang dara cega’ ka’ rumahnya.


Analisis atas Cerita
            Cerita Dayang Katak ini menampilkan beberapa tokoh yang hadir dalam keseluruhan cerita. Tokoh-tokoh ini masing-masing memiliki peran yang membangun cerita lewat tingkah laku/kegiatan dan lewat dialog verbal di antara tokoh-tokoh yang ada. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Dayang Katak. Tokoh Dayang Katak ini memiliki peran penting dalam keseluruhan cerita. Di samping itu ada tokoh si bungsu dan ibu (Raja dan permaisuri dalam cerita selanjutnya). Dialog, tingkah laku /kegiatan yang terjadi dalam cerita ini, terutama dalam tokoh si bungsu memberikan gambaran tentang tokoh lain. Tokoh ini hadir sebagai figur yang tidak kelihatan namun memiliki kekuatan. Tokoh tersebut adalah tokoh Ene Daniang.  Ene Daniang, merupakan tokoh yang sangat sakti dan kepadanya tokoh-tokoh lain meminta sesuatu, karena itu sifatnya adalah apapun yang termasuk dalam kategori sempurna (maha), yang dalam cerita ini disebutkan, yaitu kuat, sakti, kuasa, benar, murah hati. Bahkan si bungsu menegaskan identitas Ene Daniang dengan mengatakan “kalau aku ini anak Daniang, anak Yang kuasa”.
            Dayang Katak dalam cerita ini adalah tokoh utama selanjutnya akan membangun cerita dengan kecantikan, daya tarik, keberanian dan kekuatan yang dimilikinya. Namun tokoh si bungsu dalam tindakannya mengatakan bahwa hidupnya (hidup manusia) tunduk kepada kekuatan yang melebihi manusia, yang kepadanya manusia meminta dan memohonkan sesuatu.  Dalam penggalan cerita ini kita bisa melihat kenyataan itu “Si Bungsu mengamati sesaat katak itu. Lalu, diarahkannya pandangannya ke atas. Kemudian kedua tangannya mengangkat katak itu ke atas sambil mengucapkan mantera: “satu, dua, tiga , empat, lima, enam, tujuh, engkau kupersembahkan kepada bulan dan matahari. Kalau memang benar aku ini anak orang sakti, anak Daniang, anak Yang Kuasa; kalau benar aku orang sakti, aku minta katak ini menjadi manusia!” ini adalah doa si bungsu.
            Katak yang ditemukan oleh si bungsu dalam sukant (bubu kecil) kemudian dipersembahkan kepada bulan dan matahari. Bulan, matahari dan burung enggang adalah sesuatu yang dianggap memiliki karakter lebih.[9] Karakter lebih ini menunjukkan kehadiran suatu pribadi yang mengatasi manusia. Pribadi ini, dalam kepercayaan suku Dayak Bukit berada di dunia atas, yaitu dunia yang melebihi dunia manusia.[10] Selanjutnya Karakter yang dipandang lebih tinggi dan sakti ini digunakan oleh suku Dayak terutama Dayak bukit untuk mengatakan sang Ene Daniang yang merupakan pribadi tertinggi dalam alam semesta, karena. Dengan kata lain burung enggang, bulan dan matahari adalah realitas yang dalam penghayatan suku Dayak Bukit mampu mengatakan realitas atau figur Ene Daniang.

Pertemuan Konsep Analogi
            Konsep anologia Entis merupakan cetusan usaha Thomas Aquinas untuk menjelaskan relasi Allah dan ciptaan  serta bagaimana relasi itu harus dikatakan. Lewat pendekatan analogi kita akan menemukan Allah yang hadir dalam ciptaan. Kehadiran Allah dalam ciptakan menunjukkan bahwa Allah dalam beberapa kategori memiliki keserupaan dengan dengan ciptaan, namun Allah juga tidak bisa dikatakan sama dengan ciptaan.  Ciptaan dalam hal ini selalu merujuk pada pribadi Allah yang menjadi sumber dari apa yang ada pada ciptaan.
            Matahari dan bulan adalah ciptaan. Matahari dan bulan merupakan dua hal yang disebutkan dalam doa si bungsu dalam cerita Dayang Katak. Suku Dayak Bukit bukanlah suku yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai suku yang memandang bahwa matahari dan bulan adalah yang patut disembah.  Namun figure Ene Daniang yang merupakan figur yang transenden berusaha didekati dengan melihat kenyataan itu dari karakter tinggi yang dapat dilihat dari matahari dan bulan. Matahari dan bulan berada di tempat yang tinggi, kemudian matahari adalah sumber cahaya yang dapat menghidupkan sedangkan bulan adalah sumber cahaya pada waktu malam di mana manusia berada dalam kegelapan. Kenyataan dari keduanya ini merupakan bentuk kehadiran Ene Daniang yang memiliki kekuatan yang menyertai kehidupan manusia di bumi, namun realitas Ene Daniang dalam hal ini tidak sama dengan realitas matahari dan bulan. Bentuk penghayatan ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Dayak yang begitu dengan dengan alam lingkungan tempat mereka menggantungkan kehidupannya.
            Di mana letak analogia Entis menjadi nyata dalam cerita Dayang Katak ini? Analog yang berarti sebagian sama sebagian berbeda namun tidak setengah-setengah, setengah sama setengah berbeda. Nampak dalam bagaimana suku Dayak Bukit melihat matahari dan bulan dalam beberapa kategori mampu mengatakan pribadi atau figur Ene Daniang, namun bukan berarti matahari dan bulan adalah Ene Daniang. Dengan kata lain dalam matahari dan bulan ada yang sama dengan karakter Ene Daniang, namun ada juga yang berbeda yang tidak bisa dimasukkan dalam kodrat Ene Daniang yang transenden, karena matahari dan bulan adalah ciptaan Ene Daniang yang sakti dan kuasa. Ene Daniang bukan matahari dan bulan itu sendiri, namun pengalaman dan persentuhan suku Dayak Bukit dan alam dalam pengalaman keseharian mereka, terutama berkenaan dengan matahari dan bulan mencetuskan pemahaman dan pengetahuan baru tentang figur Ene Daniang yang menciptakannya. Figure itu dapat didekati dan dirasakan kehadirannya dengan mengacu kepada matahari dan bulan. Ene Daniang adalah penyebab adanya matahari dan bulan. Karakter-karakter yang dimiliki oleh matahari dan bulan muncul dari penyebab pertama yaitu Ene Daniang. Dengan demikian suku Dayak Bukit tidak hanya tinggal dalam pemahaman mereka bahwa matahari dan bulan itu memiliki karakter yang tinggi, tetapi lebih dari itu mereka mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang realitas yang menciptakan itu semua, yaitu Ene Daniang.

Nilai Kearifan Lokal
            Cetusan pemikiran Thomas Aquinas dalam konsep analogia Entis membuka pemahaman baru tentang Allah yang menjadi penyebab dari ada-ada (ciptaan) yang lain. Allah sebagai ada yang pertama ini tidak akan pernah dapat dimasukkan dalam ada-ada (ciptaan) yang lain. Apabila ada yang pertama dengan begitu saja disamakan dengan ada-ada yang lain maka, Allah itu hanya ditempatkan sebagai lawan dari situasi ketiadaan Allah. Padahal yang Allah itu juga memiliki bagian-bagian yang  menegaskan keberadaannya. Sebaliknya juga Allah sebagai ada yang pertama tidak bisa disimpulkan berbeda dengan ciptaan. Karena dalam bagian-bagian yang menegaskan pribadi Allah juga memiliki keserupaan. Dengan konsep analogia Entis ini realitas Allah dapat semakin dipahami karena Allah dalam beberapa kategori sama dengan ciptaan dan dalam beberapa kategori juga berbeda.
            Dalam cerita Dayang Katak indikasi dan bahkan realisasi dari konsep analogi Entis menjadi nyata bagi kita. Suku Dayak Bukit yang sangat dekat dengan alam dan hidup dari alam menyadari dan meyakini bahwa Ene Daniang (mungkin dapat kita katakan Allah dalam pemahaman suku Dayak Bukit) adalah penyebab utama dari semua ciptaan. Dalam pemahaman ini kekuatan Ene Daniang yang mengatasi kekuatan manusia dapat dilihat dan dialami lewat ciptaannya yaitu matahari dan bulan, meskipun matahari dan bulan bukan atau tidak sama dengan Ene Daniang, namun beberapa karakter Ene Daniang dapat dilihat dalam apa yang bisa diinderai oleh manusia yaitu matahari dan bulan. Sebagian sama sebagian berbeda.
            Penghayatan atas realitas Allah merupakan penghayatan yang ada dalam semua kelompok masyarakat. Penghayatan ini mengalir dari kenyataan bahwa manusia itu pada dasarnya mahluk religius “homo Religiosus” yang memiliki bakat-bakat religius.[11] Bahkan, dalam kelompok masyarakat yang sekular sekalipun penghayatan akan realitas Allah masih dapat kita temukan. Hal serupa juga dimiliki oleh suku Dayak khususnya suku Dayak Bukit yang berada di Kalimantan Barat. Cerita Dayang Katak ini adalah salah satu dari cerita yang terdapat dalam tradisi lisan suku dayak Bukit yang mulai dicatat sebagai kekayaan nilai budaya Dayak di Kalimantan Barat. Lewat cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat Dayak ini kita dapat menemukan bagaimana sebenarnya kehidupan masyarakat tradisional yang religius, meskipun semapan agama-agama besar yang dihidupi oleh sebagian masyarakat dunia.
            Cerita Dayang Katak adalah salah satu dari sekian banyak cerita yang ada dalam tradisi lisan suku Dayak khususnya suku Dayak bukit. Cerita  ini merupakan bentuk kearifan lokal yang dapat membawa kepada pemahaman bagaimana sebenarnya kehidupan religius itu sudah berkembang dalam kehidupan manusia, walaupun hanya tersirat dalam penggalan-penggalan cerita kecil, namun bermakna. Harus diakui bahwa kebudayaan masyarakat Dayak tidak semapan masyarakat pada kebudayaan lain yang sudah mapan dengan tradisi tulisan, sehingga banyak nilai-nilai budaya yang bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan yang baik dan selalu siap untuk dikaji oleh siapa saja. Suku Dayak yang merupakan masyarakat egaliter yang bermukim dalam rumah panjang[12] memungkinkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan disampaikan dalam bentuk cerita yang disampaikan secara lisan. Hal ini bisa dipahami karena dengan hidup bersama dalam satu rumah  interaksi di antara mereka akan selalu terjadi dan kedekatan satu sama lain selalu terjaga. Dengan demikian nilai-nilai budaya dalam kehidupan mereka, tidak menuntut untuk dipelihara dalam bentuk tulisan tetapi cukup dengan penyampaian secara lisan dan turun -temurun.
            Nilai-nilai Kearifan lokal merupakan salah satu jalan untuk dapat mengenal suatu masyarakat secara lebih mendalam. Kearifan lokal suatu masyarakat yang tercetus dalam kebudayaannya dalam bentuk apapun tidak dapat dengan seenaknya dipandang sebagai sesuatu yang primitif dan membahayakan. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri  banyak fakta tentang bagaimana kebudayaan masyarakat dianggap membahayakan dan mengancam stabilitas nasional.[13] Fakta yang terjadi pada pemerintahan presiden Soekarno di tahun 1950an atas permintaan para pemegang otoritas agama-agama resmi yang dipangku Negara mengeluarkan kebijakan pemusnahan rajah/menato tubuh yang ada pada beberapa masyarakat tradisional seperti Mentawai, Dayak dan beberapa suku tradisional lainnya di Indonesia.[14] Padahal dalam kebudayaan masyarakat tradisional khususnya Mentawai dan Dayak, tato merupakan simbol yang menunjukkan relasi manusia dengan pribadi yang mengatasi hidup manusia, relasi dengan alam semesta dan relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Fakta-fakta ini menunjukkan bagaimana Negara dan Agama langsung maupun tidak langsung “berperan” dalam menghancurkan kekayaan dan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat tradisional di Indonesia.
            Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tradisional kita adalah kekayaan yang luar biasa yang harus terus dilestarikan dan “dibaca” secara baru dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan beradab. Karena dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam suatu kelompok masyarakat, kita akan menemukan karakter, tata kehidupan dan model penghayatan  iman mereka. Kenyataan ini menuntut keterbukaan untuk berani dan menerima budaya lain sebagai kekayaan yang luar biasa bagi siapa saja yang mau mempelajarinya. Nah, pemahaman ini bisa berguna bagi pemerintah dan agama secara khusus dalam hal ini gereja dalam mengkontekstualisasikan nilai-nilai iman Kristiani dalam kebudayaan masyarakat tradisional, khususnya suku Dayak. Dengan mengkontekstualisasikan nilai-nilai iman dalam kearifan lokal masyarakat tradisional tertentu, maka gereja akan mampu menyentuh sisi terdalam dalam kehidupan mereka. Sehingga nilai-nilai iman Kristiani tidak menjadi nilai pewarisan belaka yang tidak mendarat dalam kehidupan iman masyarakat yang menerima dan menghayatinya. Nilai-nilai iman yang dapat masuk dalam kebudayaan dan kearifan  lokal tertentu akan lebih mudah diterima dan dihayati dari pada bentuk penyampaian yang “wah” dan terkesan arogan.
           

Alfonsus Nahak
Mahasiswa program Magister 
STFT Widya Sasana-Malang

















[1] Summa Theologica. I-II. Q. 13. Art 6
ebooksclub.org__The_Summa_Theologica_of_St__Thomas_Aquinas__Five_Volumes_ (9/7/2011, Pukul 8;57)
[2] Bdk, K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 36.
[3] F.X Eko Armada Riyanto, Era Multimedia (Iman dan Pewartaan di Era Multimedia), Seri Filsafat Teologi Widya Sasana vol. 20 No. Seri 19, 2010: Malang, STFT Widya Sasana, 2010, hlm. 93.
[4] Ibid.
[5] Bdk, Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 190.
[6] Cerita ini merupakan hasil penuturan Bpk. Kilim, seorang Dayak Bukit, yang direkam oleh Tim Peneliti IDRD Pontianak, dan dimuatkan dalam Kalimantan Review, No. 12  Thn. IV Juli-September 1995.
[7] Gesah merupakan jenis cerita yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama lama rakyat akan suatu tempat, seorang pahlawan, asal-usul dunia Kanayatn, kehidupan, manusia, dan kegiatan-kegiatan hidup seperti bercocok tanam . Selain itu, gesah berhubungan pula dengan kehidupan yang fantastis dan magis antara di langit (atas) dan di bumi; kehidupan jadi-jadian (contohnya, manusia berasal dari jenis hewan besar di hutan belantara). Merujuk kepada Nico Andasputra, Sastra Lisan Orang Bukit, dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (eds), hlm. 97-102;  Stefanus Djuweng, dkk (eds), Tradisi Lisan Dayak: yang tergusur dan terlupakan, Pontianak: Institut Dayakologi, 2003, hlm. 59.
[8] Cerita “Dayang Katak” dalam bahasa asli, yaitu bahasa Dayak Bukit, yang disebut Bahasa Banana/Baahe’ diterjemahkan oleh Andreas, seorang  Dayak Bukit yang sedang menempuh pendidikan di IPI Malang.
[9] J.U. Lontaan, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pontianak: Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, 1975, hlm. 450.
[10] Bdk, Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2006, hlm. 214. Keberadaan dunia atas ini dalam kepercayaan suku Dayak pada umumnya juga dihayati dalam simbol tato yang dirajah pada tubuh.
[11] Bdk, Donatus Sermada, Pengantar Ilmu Perbandingan Agama, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2011, hlm. 97.
[12] Bdk, Yanto, Makna Antropologis dan Religius Rumah Panjang Orang Dayak (Skripsi), Malang: STFT Widya Sasana, 2001, hlm. 15-16. Rumah Panjang ini dibagi dalam kamar-kamar yang disebut bilek. Setiap keluarga yang tinggal di rumah panjang ini menempati bilek-bilek tersebut dan berkuasa penuh atas bileknya. Bilek in di bagi dalam tiga ruangan yang digunakan sebagai dapur, tempat menghidangkan makanan dan ruang duduk keluarga dan selanjutnya ruangan untuk tidur. Rumah panjang ini juga mempunyai ruangan yang disebut ruai. Ruai adalah tempat menerima tamu, tempat mengadakan pertunjukan kesenian, tempat mengadakan upacara keagamaan, mengadakan pertemuan dan tempat tidur laki-laki dewasa dan tamu laki-laki. Selain itu juga terdapat serambi yang disebut tanju, yang merupakan lantai terbuka dan berpagar keliling yang digunakan untuk menjemur padi dan tempat bermain anak-anak.
[13] Bdk, Raymundus Sudhiarsa, Lingkungan Alam, Lingkungan Sosial dan Pastoral Gereja  (Minum dari Sumber Sendiri: dari alam menuju Tuhan), Seri Filsafat Teologi, Edisi khusus 40 tahun STFT Widya Sasana: Malang, STFT Widya Sasana, 2011, hlm. 239. Misalnya, era Orba selama paruh kedua abad XX dengan sistem sosio-politik-religiusnya. Selama tiga decade kepada bangsa Indonesia yang majemuk ini dipromosikan cara beradab yang baru atas nilai-nilainya yang baru pula. Politik sentralisasi Orba dengan jargon “kebudayaan nasional” yang mengedepankan pendekatan keamanan dan stabilitas nasional dengan senjata anti NKRI, bersifat SARA dan separatis telah membuat kebudayaan kampung halaman sesak nafas dan/atau mati lemas.
[14] Farida Indriastuti, Rajah Demi Tuhan, Hutan dan Laut, Intisari-April 2011, hlm 69.

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato