Jalan Alamiah Kebebasan ; Usaha mengerti Ada
JALAN
ALAMIAH KEBEBASAN
Dalam Taoisme dan Derrida
Pengantar
Jalan
alamiah kebebasan merupakan sebuah analisis terhadap keterbatasan manusia untuk
memahami realitas alam dan Ada[i]. Dalam
tulisan ini kami mencoba mendialogkan pemikiran Taoisme dalam pemikiran Timur dan Derrida dalam pemikiran Barat. Konsep
jalan alamiah ini adalah usaha atau jalan untuk menggambarkan betapa realitas
Ada itu begitu sulit dimengerti dan dipahami. Jalan alamiah kebebasan adalah
“pilihan terakhir” yang harus ditempuh tatkala manusia tidak mampu memikirkan
realitas Ada. Ketidakmampuan akal budi ini menghantar manusia untuk bersikap
diam dan mengalami Ada itu sebagai hal yang alamiah.
Taoisme
Taoisme
menemukan pedoman hidup manusia dalam alam, dan bukan dalam praktek moral untuk
mengembangkan kebajikan. Taoisme menekankan kebebasan yang diperoleh dengan
mengikuti jalan alam. Taoisme di bagi dalam dua traktat dengan dua tokoh yakni:
え
Filsafat Lao Tzu
え
Visi Chuang Tzu yang menarik implikasi epistemologis dan
mistis dari Taoisme.
Taoisme adalah salah satu aliran filsafat Cina yang dikembangkan oleh Lao
Tzu dan Chuang Tzu. Dua pemikir ini merupakan pelopor yang secara serius dan
konseptual mengenalkan Taoisme sebagai sebuah ajaran mengenai harmoni alam
semesta. Dengan caranya masing-masing Taoisme mendapat tempat dalam pemikiran
timur.
Lao Tzu
Taoisme menawarkan pandangan tentang alam semesta dan manusia sebagai satu
kesatuan. Pengetahuan manusia melampaui batas-batas persepsi dan konsep. Ia
bersifat langsung dan segera, dan tidak bergantung pada dualitas yang salah
antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Prinsip
yang harus mengatur tindakan manusia adalah prinsip yang mengatur kodrat alam.
Jadi hidup yang baik adalah hidup yang dijalani selaras dengan alam semesta,
membiarkan ada secara kodrati.
Tujuan pengetahuan adalah untuk menuntun manusia kepada persatuan dengan alam
melalui iluminasi Tao (jalan /lorong)
(道德經) alam
semesta. Ketika tao kemanusian dan tao alam bersatu, maka manusia menyadari
kodratnya yang tak terbatas. Ajaran Lao Tzu menghadirkan kembali usaha
kontruktif untuk memelihara dan membuat hidup manusia menjadi luhur dan agung. Usaha
ini ditempuh dengan mengikuti jalan alamiah segala sesuatu, yakni selaras
dengan Tao. Ajaran tentang tao hidup manusia dalam masyarakat dirangkum dalam 9
prinsip:
え
Manusia bertindak untuk memenuhi hasrat-hasrat hatinya.
え
Akibat yang muncul
adalah persaingan dan konflik.
え
Supaya terdapat damai dan harmoni, maka dirancang standar
kebenaran dan moralitas manusia.
え
Namun, standar moral tidak memecahkan persoalan. konflik
tetap ada, karena standar peraturan itu juga dilanggar, sehingga kejahatan
tetap ada.
え
institusi standar moral dan peraturan tidak memecahkan
persoalan, terus mengapa orang tidak
mengabaikannya?
え
Standar moral dapat diabaikan, hanya apabila hasrat-hasrat
hati sebagai sumber tindakan disingkirkan.
え
Tindakan yang keluar dari hati dapat disingkirkan,
apabila orang mengadopsi jalan alamiah semua hal.
え
Mengikuti jalan alamiah mengandaikan hidup selaras dengan
alam semesta dan bertindak sesuai dengan Tao universal.
え
Masyarakat yang dipimpin oleh penguasa harus sesuai Tao
alam semesta.
Untuk menghilangkan kejahatan dalam masyarakat, perlu mengetahui sebab
utama kejahatan itu. Ini penting untuk mengetahui sumber-sumber dan tuntunan
perbuatan manusia. Lao Tzu melihat perbuatan manusia lebih bersumber pada
pemenuhan dan pemuasan hasrat hatinya. Pertemuan pemenuhan hasrat hati pribadi
dan hasrat pribadi orang lain terhadap hal yang sama namun terbatas menyebabkan
munculnya persaingan dan konflik. Untuk menekan persaingan dan konflik tersebut
dibuatlah aturan-aturan moral. Fungsi aturan moral adalah untuk menata
tindakan-tindakan manusia supaya memberi kepuasan maksimum dari hasrat setiap
orang. Lao Tzu kemudian mempersoalkan, apakah orang dapat mencapai tujuan ini melalui
pengaturan persaingan dan konflik?
Lao Tzu mengamati penyebab
tidak adanya persaingan dan konflik adalah adanya Tao Agung. Tetapi bila Tao
Agung menyusut, akan lahir kemanusiaan dan kebenaran. Doktrin kemanusiaan (jen) dan kebenaran (yi) merupakan dasar moralitas Konghucu[ii].
Lao Tzu melihat moralitas tidak memadai untuk memecahkan persoalan, karena
moralitas ada sebagai akibat dari merosotnya Tao agung kodrat alam. Moralitas
tidak menyerang akar masalahnya. Karena moralitas tidak mampu membawa damai dan
kebahagiaan, maka ia dilihat sebagai jalan yang gagal untuk mencapai masyarakat
yang ideal. Namun moralitas tidak dapat diabaikan begitu saja karena tindakan
untuk memuaskan keinginan hati melahirkan kondisi-kondisi yang menuntut
moralitas.
Lao Tzu juga mengatakan alasan tindakan yang keluar dari keinginan hati
mengarah kepada kejahatan disebabakan oleh tindakan itu bertentangan dengan Tao (jalan), karena Tao agung hadir tanpa keinginan hati, tetapi oleh non-aksi (wu-wei) (无为). Ini berarti tidak bertindak apapun kecuali apa yang muncul secara bebas
dan spontan dari kodrat alamiah seseorang. Wu-wei
seekor burung adalah terbang, bukan merayap. Sedangkan ular adalah merayap
bukan terbang.
Tao Dan Manifestasinya
Sebelumnya Lao Tzu sudah terdapat Yin
(阴) dan Yang(阳) sebagai sebuah keadaan berlawanan. Karena keadaan
berlawanan dituntut unsure ketiga untuk menjadi dasar dan konteks untuk
interaksi Yin dan Yang itu. Unsur ketiga itulah Tao. Tao
berfungsi sebagai dasar untuk interaksi yin dan yang. Sebagai prinsip absolut pertama dari eksistensi, Tao ada tanpa karakter, tapi merupakan sumber utama dan kondisi
semua karakter. Ia adalah non-being,
namun bukan berarti ketiadaan, karena ia adalah sumber segala sesuatu. Selain
itu Tao tidak diberi nama, karena ia
tak terbagi, tanpa distingsi dan tanpa karakter.
Jika Tao tidak dapat
dinamakan/ditangkap, apa yang dinamakan oleh kata Tao? Tao tidak menamakan sesuatu. Ia merujuk pada sesuatu yang memampukan
segala sesuatu untuk ada sebagaimana adanya. Tao berfungsi sebagai kata “itu”. Maka ketika dikatakan keituan “itulah” yang menjadi asal usul realitas
Ada dan tidak Ada. Tao tanpa nama itu
sumber berbagai macam benda partikular yang ada. Ia-lah yang pempersatukan
semua benda itu dan yang menentukan fungsi semua benda itu.
Meskipun “Apa itu Tao“ tidak
dapat dikatakan tetapi ia dapat
dimengerti dengan memandang fungsinya. Tao terwujud dalam kodrat alam. Tao
sebagai satu sumber menyuguhkan eksistensi utama pada semua benda tetapi
fungsinya sekaligus memberi perbedaan dan pemisahan pada semua benda.
Lao Tzu kemudian melihat non-aksi (wu
wei) sebagai apa yang diwariskan kepada benda-benda dari tao sebagai fungsi
mereka. Non–aksi (wu wei) bukan
berusaha sekuat tenaga dan mencari akal untuk mengerjakannya sampai selesai,
tetapi membiarkan segala sesuatu terlaksana dalam jalan alamiah dan spontan. Ia
mencontohkan dalam menjadi seorang pemimpin. Tugas pemimpin adalah membiarkan Tao beroperasi dengan bebas ketimbang
mencoba melawan dan mengubah fungsinya. Sehingga keamanan dan ketertiban dapat
tercipta.
Apa itu Tao dan Bagaimana ia berfungsi tertuang
dalam bab keempat Tao Te Ching:
え
Tao itu kosong (seperti sebuah mangkuk)
え
Ia bisa digunakan tapi isi muatannya tak pernah terkuras habis.
え
Ia ada tanpa alas, barangkali leluhur segala sesuatu.
え
Ia menumpulkan ketajamannya.
え
Ia menguraikan simpul-simpul talinya.
え
Ia melembutkan terang cahayanya. Ia menjadi satu dgn dunia yg berdebu.
え
Dalam dan tenang, ia tampak ada selama-lamanya.
Tao itu kosong berarti ia tanpa karakter, kosong dari segala partikularitas.
Seperti sebuah rumah, kekosongan ruangannya adalah sangat berguna, demikian
juga sesuatu yang sangat berguna pada Tao
adalah kekosongannya pada karakter, sehingga muatannya tak terbatas. Jadi,
kekosongan Tao sinonim dengan keberadaannya sebagai sumber yg tak terbatas dari
segala sesuatu.
Berfungsinya Tao bersifat kekal
dan tetap berulang. Ketika sesuatu hal
mencapai satu ekstrem, ia akan bergerak balik dan beralih ke ekstrem
yang lain. Ketika udara sangat dingin, maka ia akan bergerak balik dan mulai
menjadi hangat. Begitu sebaliknya. Inilah yg disebut kodrat alam seperti
peralihan musim. Mis: ketika seorang menjadi sombong dan congkak, maka
kemalangan dan kerendahan hati akan menyusul. Gerak balik itu merupakan jalan
kedamaian dan kepuasan. Tao tdak
bersifat transenden, tetapi imanen. Tao
tidak tinggal jauh dari dunia, tapi berfungsi melalui dunia. Tao tidak
ditemukan di luar hidup, tapi di dalam hidup. Jadi nasihat Lao Tzu adalah
melepaskan keinginan hati dan membiarkan seseorang melebur dalam Tao, sehingga mampu mengatasi perbedaan
baik dan buruk.
Chuang Tzu
Hidup ± 369-286 SM. Ia mengembangkan filsafat yang serupa dengan Lao Tzu.
Perbedaan adalah ia tidak memberi nasihat kepada para pemimpin, karena
kepemimpinan adalah bagian dari problem, maka ia menganjurkan bahwa untuk
mengikuti Tao, orang harus menarik diri
dari masyarakat. Ia juga mengembangkan spontanitas total kodrat alam (kegiatan
segala sesuatu yg tak pernah berhenti, dan kesatuan yang mendasari seluruh
eksistensi). Tekanannya adalah kebebasan tertinggi dicapai dengan
mengidentifikasi diri dengan Tao dan
bukan melalui usaha memainkan peran dan fungsi sosial secara penuh. Menurut
Chuang Tzu kebahagiaan sejati itu tergantung pada proses melampaui dunia
pengalaman, pengenalan yang biasa dan pada proses mengidentifikasi diri dengan
ketakterbatasan alam semesta. Titik pandang yang terbatas
yang bergantung pada persepsi biasa dan distingsi konseptual, harus ditukar
dengan titik pandang yang tidak terbatas, yakni bersatu dengan Tao.
Argumen-argumen yang melawan sikap untuk menerima skema kognitif biasa
untuk berpikir tentang satu titik pandang yang tidak terbatas adalah:
え
Argumen yang bertolak dari relativitas distingsi
え
Argumen yang bertolak dari sifat saling melengkapi
unsur-unsur yang bertentangan
え
Argumen yang bertolak dari perspektif-perspektif.
え
Argumen yang berasal dari skeptisisme umum.
Relativitas Distingsi
Penilaian tentang nilai dan soal rasa bersifat subjektif karena itu ia
bersifat relatif. Contoh: jeruk bisa masam untuk A, dan manis untuk B. Tao
mengidentifikasi semua perbedaan sebagai satu. Sebaliknya Chuang Tzu mengklaim
semua distingsi itu bersifat relatif dalam perspektif tertentu,
perbedaan-perbedaan itu sah hanya dalam satu perspektif tertentu. Dalam
perspektif Tao, tidak ada perbedaan
semua hal tersebut dan semua perbedaan itu tidak punya arti.
Alasan perbedaan itu bersifat relatif adalah karakter-karakter yang
dikenakan pada semua hal atau peristiwa-peristiwa dalam menciptakan
perbedaan-perbedaan, justru diturunkan oleh pikiran, yang dipandang bersifat
independen dari apa yang dikatakan karakter segala sesuatu.Mis: sebuah jalan
dikatakan jalan ketika orang berjalan di atasnya, dan segala sesuatu menjadi
demikian, karena manusia menyebutnya demikian. Semua itu untuk membuktikan
relativitas pengetahuan. Jika konsep-konsep tentang baik, benar, manis, dan
besar bersifat relatif, maka pengetahuan tentang apa itu sifat baik, atau
benar, atau besar hanya relatif.
Argumen ini untuk melawan pengikut Konghucu dan Mohis, yang mengklaim bahwa
mereka memiliki pengetahuan yang sejati tentang yang benar dan yang salah. Kaum
Mohis adalah orang-orang pragmatis yang menerima praktek hidup sebagai kriteria
pengetahuan. Pandangannya bahwa pengetahuan itu bisa ada, karena manusia
menjalani satu cara hidup untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan. Jadi
pengetahuan atas yang baik dan yang buruk berdasarkan pada pengalaman tindakan
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Sebaliknya, penganut Konghucu menyatakan
bahwa pengetahuan yang benar dan salah secara langsung dan intuitif berasal dari
rasa moral batiniah.
Chuang Tzu melihat hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan adalah
konsep-konsep yang bersifat relatif. manusia tampil baik dalam hidup ini,
tetapi mungkin hanya penampakan lahiriah semata dan bukan soal penampilannya
ini. Jadi tidak jelas bagaimana cara praktik dapat dijadikan kriteria
pengetahuan. Cara praktik bisa berhasil satu waktu dan gagal diwaktu yang lain.
Cara praktik tidak bisa dijadikan ukuran pengetahuan.
Jika apa yang benar ditentukan oleh praktek hidup yang berhasil dan apa yang
salah ditentukan oleh praktek hidup yang tak berhasil, maka berjuang untuk
memperoleh posisi kaisar dan menunggu diberinya posisi itu kadang-kadang
sama-sama benar tetapi kadang-kadang sama-sama salah.
Chuang Tzu
menggunakan relativitas pengetahuan untuk mendukung posisi skeptis yg mustahil
mengetahui bahwa apa yang diklaim sebagai pengetahuan sungguh-sungguh merupakan
pengetahuan. Chuang Tzu ragu atas klaim yang diungkapkan oleh Mencius bahwa
kehendak baik dan kewajiban dapat dikenal oleh intuisi moral. Klaim “itu benar
dan itu salah” tidak bisa ditunjuk sebagai benar. Chuang Tzu bertolak dari
argumen skeptisismenya bahwa pengetahuan yang pasti dan tak diragukan adalah
mustahil.
Sifat Saling Melengkapi Dari Sisi-Sisi Yang Berlawanan
Setiap konsep melibatkan negasinya, tanpa negasi satu konsep tidak dapat
ada. Jika A adalah A, maka A bukan bukan-A.
Atau negasi terhadap A adalah afirmasi terhadap bukan-A. Benar dan salah adalah hal yang sama tapi dipandang secara
berbeda. Dengan kata lain, apa yang ada melibatkan apa yang tidak ada. Chuang
Tzu berkata ketika ada hidup di sana ada kematian, dan ketika ada kematian di
sana ada kehidupan.
Chuang Tzu berpikir dalam arti pasangan istilah yang bersifat korelatif.
Contoh: jika tidak ada konsep tentang atas, maka tidak bisa ada konsep tentang
bawah. Eksistensi yang satu mengandaikan yang lain, menghilangkan yang satu
berarti menghilangkan yang lain. Chuang Tzu berargumen bahwa justru satu konsep
seperti kuda mengandaikan secara
implisit melibatkan konsep bukan-kuda, karena seandainya tidak didukung konsep
bukan kuda, maka konsep kuda tidak bisa ditentukan secara pasti dan berbeda.
Ketidakmampuan menentukan secara pasti dan berbeda menunjukkan bahwa seseorang
tidak memiliki konsep apapun. Apabila argumen ini digabung dengan argumen yang
bertolak dari skeptisisme, argumen ini bukan memuat bahwa tidak ada pengetahuan
yang riil, bukan juga memuat bahwa pengetahuan yang riil adalah mustahil.
Tetapi memuat bahwa kita tidak pernah dapat mengetahui apakah pengetahuan itu
sungguh-sungguh berupa ini atau itu. Kita tidak pernah dapat mengetahui apakah
kita sungguh memilki pengetahuan atau tidak.
Argumen yang Bertolak dari Perspektif-Perspektif
Bertolak dari perspektif-persepektif. Hal yang sama tampak berbeda pada
orang yang berbeda, jika perspektif mereka berbeda. Hal yang sama memiliki
banyak penampilan bergantung pada orang yang mempersepsikannya. Jadi penampilan
yang mana sebagai penampilan yang benar?
Chuang Tzu berpendapat bahwa setiap hal itu apa adanya dan bukan sesuatu yang
lain. Ia termuat dalam dirinya sendiri dan jalan untuk melihatnya melampaui
perspektif kita.Memandang dengan perspektif yang berbeda berarti
mendistorsikannya. Klaim pengetahuan dan moralitas selalu dihasilkan dari
perspektif manusia. Perspektif manusia ini selalu mendistorsi realitas karena
klaim itu selalu relatif atau bergantung pada satu perspektif khusus. Maka,
penilaian atas yang benar dan yang salah hanya bergantung pd perspektif
tentangmanusia.
Benda-benda tidak mengetahui bahwa mereka adalah itunya dari yang lain,
mereka hanya mengetahui apakah mereka mengetahui diri mereka sendiri. Ct:
Chuang Tzu bermimpi menjadi kupu-kupu. Ketika ia terjaga, ia tidak tahu bahwa
ia adalah Chou yang bermimpi menjadi kupu-kupu atau kupu-kupu yang bermimpi
bahwa ia adalah Chou.
Orang bijaksana menyadari bahwa apa yang menjadi milik bersama mengikuti
jalannya sendiri yang diberi Tao kepada mereka. Chuang Tzu mengatakan hanya
orang cerdas yang mengetahui cara mengidentifikasi semua hal sebagai satu.
Orang dituntut untuk melepaskan perspektifnya dan mengadopsi perspektif
universal.
Menghilangkan perspektif yang terbatas adalah menghilangkan perselisihan
yang ditimbulkannya. Mengadopsi perspektif yang tak terbatas adalah menikmati
kedamaian dan ketenangan hal yang tak terbatas dengan sukacita. Butir argumen
yang bertolak dari perspekti-perspektif adalah kita tak pernah tahu
sungguh-sungguh apa itu sesuatu dalam dirinya.
Argumen yang berasal dari skeptisisme
Argumen ini mengedepankan pertanyaan “Apakah hal itu sungguh-sungguh
demikian?” sebuah pertanyaan yang tidak pernah dapat dijawab. Mis: A mengatakan
bahwa X itu merah. Namun bagaimana X itu dapat diketahui sungguh-sungguh merah?
Apakah dengan membandingkan dengan fakta yang diandaikan bahwa X berwarna
merah.Hal ini justru diragukan. Membandingkan klaim X berwarna merah dengan
fakta yang diandaikan tentang warna merahnya X, hanya membandingkan satu klaim yang diragukan
dengan klaim lain yang dirgukan juga.
Chuang Tzu kemudian mengemukakan juga argument skeptis dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut “Bagaimana
dapat diketahui bahwa apa yang saya sebut tahu tidak sungguh-sungguh tidak tahu
dan apa yang saya tidak tahu tidak sungguh-sungguh tahu?” selain itu ia
juga mengajukan argumen dan pertanyaan sebagai berikut karena pengetahuan
bergantung pada sesuatu yang harus tepat, tapi apa yang padanya pengetahuan itu
bergantung tidak pasti dan berubah. Bagaimana kita mengetahui bahwa apa yang
saya sebut alam kodrat bukan manusia sesungguhnya, dan apa yang saya sebut
manusia bukan alam kodrat sesungguhnya.
Argumen Chuang Tzu yang bertolak dari skeptisisme didasarkan pada pemahaman
bahwa tidak ada kriteria yang tidak dapat diragukan, kriteria yang dapat
digunakan untuk membuktikan bahwa apa yang diklaim sebagai yang benar
sungguh-sungguh benar. Dalam contoh Kupu-kupu, Chuang Tzu menyatakan bahwa ada
problem untuk memastikan apakah ia sedang bermimpi atau ia sedang dimimpikan.
Problemnya tidak ada kriteria yang tidak dapat diragukan untuk membedakan antara
keadaan terjaga dan bermimpi.
Jawaban terhadap skeptisisme ialah keragu-raguan itu punya arti hanya dalam
skema kognitif. Dalam skema ini hal-hal tertentu dapat dianggap sebagai benar. Chuang
Tzu berargumen bahwa jika perangkat kognitif yang biasa tidak cocok, maka perlu
mengadopsi satu perangkat baru yakni perngkat kognitif universal untuk
menghindarkan keterbatasan perangkat kognitif terbatas yang biasa digunakan.
Pengakuan akan keterbatasan perangkat kognitif yang biasa dan pengadosian satu
perspektif yang universal (transenden) bukan berarti menolak perangkat kognitif
yang biasa dan dunia.
seorang yang bijak adalah orang
yang mampu mentransendensikan perkara duniawi secara penuh, menemukan
kebahagiaan dakam perkara duniawi. Chuanh Tzu mengatakan Tidak pernah ada
seorang yg berjalan diam-diam melewati dunia transcendental menuju dunia yang
paling tinggi tetapi secara diam-diam tidak hidup selaras perkara duniawi.
Dunia transcendental dan dunia ini bertemu, karena Tao manusia identik dengan
Tao alam semesta.
Derida
Jacques
Derrida dilahirkan di El-Biar, Algeria pada tahun 1930. Ia merupakan salah satu
dari banyak pemikir terkemuka yang berdarah Yahudi. Ayahnya bekerja sebagai
salesman. Dan Derrida adalah anak kedua dari tiga bersaudara.Pada tahun 1942 terjadi
gerakan anti-semit yang cukup marak di Algeria. Pada suatu hari di tahun yang
sama, Derrida mulai bersekolah. Ia belum tahu jika pergolakan yang sedang
terjadi itu ditujukan kepada kaumnya, Yahudi. Derrida kecil memulai hari
pertama sekolahnya dengan suka cita hingga kemudian kepala sekolah memanggilnya
ke kantor dan menyuruh Derrida kecil pulang. “Pulanglah, orangtuamu akan
menjelaskan semua ini padamu,” demikian ujar Derrida menirukan ucapan sang
kepala sekolah. Masa kecil Derrida diwarnai oleh teror Nazi yang membuat
hidupnya dipenuhi oleh ketegangan-ketegangan kecil yang cukup membekas di dalam
benaknya.
Pada
usia 22 tahun ia menuju Perancis untuk melanjutkan studinya di Ecole Normal
Superieur, Paris. Di sanalah ia memperdalam filsafat fenomenologi Edmund
Husserl dan banyak belajar kepada Michel Foucault dan Louis Althusser. Setelah
melakukan studi mendalam pada Arsip Husserl di Leuven, Belgia, ia kemudian
menjadi pengajar di almamaternya. Pada saat terjadinya perang kemerdekaan di
Algeria, sejak tahun 1957-1959 Derrida diminta bekerja untuk mengajar
bahasa Perancis dan Inggris bagi anak-anak tentara Algeria.
Ia
menyelesaikan disertasi doktornya pada tahun 1980, dan kemudian disertasi ini
diterbitkan menjadi buku dalam bahasa Inggris dengan judul “The Time of a
Thesis Punctuation.” Hingga akhir hayatnya, Derrida tercatat sebagai direktur
penelitian di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris.
Derrida juga dikenal sebagai pendiri dan ketua pertama dari International
College of Philosophy, sebuah lembaga riset yang memberikan tempat bagi para
filsuf untuk meneliti.
Pada
tahun 1966 ia memberi ceramah di John Hopkins University, Amerika Serikat.
Pada saat itu ia menyajikan sebuah makalah yang berjudul “Structure, Sign
and Play in the Discourse of The Human Sciences” makalah yang ia bawakan
dalam ceramahnya itu menarik minat banyak orang kepada Derrida. Kemudian
dimulai sejak saat itulah ia banyak bepergian untuk memberikan kuliah-kuliahnya
dan bahkan menjadi pengajar tetap di berbagai universitas di Amerika Serikat.
Pada tahun 1986 ia dikukuhkan menjadi profesor dalam bidang humaniora pada
University of California, Irvive, di mana di tempat inilah sebagian besar
manuskripnya disimpan.
Derrida
juga dalah anggota dari Amrican Academy of Arts and Sciences dan pada
tahun 2001 menerima penghargaan Adorno. Sepanjang hidupnya ia menerima doktor
kehormatan dari Cambridge University, Columbia University, University of Essex,
University of Leuven dan Williams College. Pada tahun 2003 Derrida didiagnosa
menderita kanker pankreas. Akibatnya kesehatannya makin menurun, dan
aktivitasnya untuk memberikan kuliah semakin jarang dilakukannya. Setelah
menderita sakit yang cukup parah dan perawatan medis yang cukup lama, Derrida
meninggal pada malam Jum’at 8 Oktober 2004 di rumah sakit Paris.Walaupun si
pengeluh itu wafat, tetapi sampai sekarang “Konsep” dekonstruksinya (Derrida
sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya)
mampu mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata
busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana
pemikiran filsafat kontemporer seperti struturalisme, pascastrukturalisme,
pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).
Pada
masa-masa awal karirnya sebagai filsuf, Derrida mempelajari filsafat
fenomenologi dari Edmund Husserl. Karya tulisnya tentang fenomenologi Edmund Husserl
itu kemudian diterbitkan pada tahun 1954 dengan judul “The Problem of
Genesis on Husserl’s Phenomenology.” Dalam sebuah konferensi di John
Hopkins University, ia menulis sebuah makalah yang cukup membuat banyak orang
“melirik” padanya. Makalah dengan judul “Struktur, Tanda, dan Permainan Wacana
dalam Ilmu Humaniora” itu mengajukan sebuah kritik terhadap kaum strukturalis.
Dan ia menjadi satu-satunya orang di dalam konferensi yang tidak begitu saja
tunduk faham strukturalisme. Makalah yang ia presentasikan itu kemudian
diterbitkan pada tahun 1970 dengan judul “Kontroversi Strukturalis.” Dalam
konferensi tersebut ia bertemu dengan Paul de Man, yang akan menjadi teman
kontroversialnya. Di sana juga ia bertemu dengan seorang psikoanalis
berkebangsaan Perancis, Jacques Lacan, yang kemudian menjadi teman kerja
Derrida.
Konsep
dekontruksi yang ia ajukan sebagai cara pandang baru yang mengkritisi
strukturalisme menjadikan Derrida sebagai seorang filsuf yang terkemuka, juga
kontroversial. Dekonstruksi adalah sebuah upaya untuk membongkar makna dan
interpretasi sebuah teks (sastra, filsafat atau lainnya). Pada mulanya banyak
orang bingung memahami sistem dekontruksi yang diciptakan oleh Derrida, dan hal
itu menyebabkan tidak sedikit kritik baginya. Derrida meninggal tanggal 9
Oktober 2004 karena kanker pankreas.
Dekostruksi,
Logosentrisme dan Fonosentrisme.
Untuk
mengerti mengenai pemikiran Derrida pertama-tama kita harus memulainya pada
pembicaraan tentang dekonstruksi. Mengapa dekonstruksi? Karena dekonstruksi adalah
proyek awal yang digagas oleh Derrida sebagai filsuf posmodern. Dekonstruksi
adalah usaha pembongkaran dari sebuah narasi besar yang sering kita sebut
sebagai metafisika atau onto-teologi. Dekonstruksi pada awalnya
adalah cara atau metode untuk membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara
masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung terhadap
teks-teks tertentu. Proyek utama Derrida adalah mendekonstruksi segala upaya yang
mendasari segala sesuatu dengan metafisika atau onto-teologi atau kebenaran universal. Kebenaran ini identik dengan
kehadiran, oleh karena itu ia mengkritik mengenai metafisika kehadiran atau
yang lebih dikenal dengan“Logosentrisme”.
Logosentrisme ini mengandaikan bahwa Ada itu hadir dalam kekiniaan, inilah pokok
dari segala dekonstruksi Derrida. Menurut Derrida metafisika barat melupakan
dan mengabaikan dimensi temporal Ada. Gagasan ini bersumber dari pemikiran
Heidegger yang berusaha menemukan makna dari Ada yang hadir (being as presence) yang hadir dalam waktu dan subjek.
Logosentrisme
menurutnya adalah tradisi filsafat yang memberi identitas pada Ada yang dipahami sebagai kehadiran diri
di dalam pengetahuan absolut, dan kesadaran diri. Dalam logosentrimelah
kebenaran ditemukan dan mendapat tepatnya. Logos adalah asal usul kebenaran.
Logos adalah prinsip asali yang lahir dan hadir
pada dirinya sendiri, terpisah dari dunia, berada di luar bahasa. Ia dapat
dipahami dalam arti filosofs pra-Sokratik atau dalam arti Allah,[iii]
atau dalam arti antrpologis sebagai subjek. Di dalam Logos ini, kebenaran itu
hadir; di luar Logos, tidak ada kebenaran. Konsekuensinya apa yang berlaku
untuk kebenaran, maka berlaku pula untuk makna.
Makna juga berasal dari Logos dan hadir dalam Logos. Makna ternyata juga
berkaitan erat dengan suara (phone).
Suara ini diyakini memiliki hubungan asali dengan Logos atau pikiran: atau
lebih tepatnya, manusia mengenal kebenaran dan makna yang berasal dari Logos
universal lewat pikiran, lalu orang mengenal isi pikiran lewat ucapan.
Persoalannya Logosentrisme melupakan jarak antara Logos pikiran dan ucapan.
Konsekuensinya ucapan yang dianggap sebagai sarana paling memadai untuk
menyampaikan kebenaran tidak lagi diperhitungkan.
Derrida
memberi perhatian khusus pada fonosentrisme
karena ucapan memilki keunggulan dari bentuk tertulis, bahasa lisan lebih
unggul dari bahasa tulisan. Fonosentrisme muncul dari adanya fakta bahwa ketika
kata-kata terucapkan, baik si pembicara dan pendengar disepakati berada secara
bersamaan tanpa perantara. Pembicara dan pendengar dianggap mempunyai pemahaman
yang sama. Sebaliknya, bahasa tertulis dianggap justru menciptakan perbedaan
jarak dan waktu antara pembicara dan pendengar. Si pengarang (bisa jadi) tidak
berada di tempat sehingga bisa-bisa kita tidaklah terlalu yakin akan makna teks
tertulis tersebut. Keunggulan suara yang melebihi bentuk tertulis ini muncul
juga di kebudayaan-kebudayaan lain, namun dalam tradisi Yunani dan Eropa, hal
ini dibentuk menjadi suatu metafisika logosentris yang sistemeatis. “Fonosentrisme “ menyatu dengan
ketetapan historis akan ketetapan (arti)
yang umum tentang ‘sesuatu yang ada’ , dengan segala subdeterminasi yang
bergantung pada arti umumnya tersebut.
Fonosentrisme
yang Derrida geluti berangkat dari pemikiran Saussure. Lewat fonosentrisme
Derrida mencoba meneliti soal bahasa dan ucapan sebagai bagian dari usaha
mendekonstruksi metafisika kehadiran. Namun demikian fonosentrisme yang
dikembangkan oleh Saussure ternyata juga tidak lepas dari logosentrisme.
Gramatologi
Ketika
logosentrisme menguasai seluruh pemikiran filsafat maka pemikiran dan konsep
mengenai kebenaran sesungguhnya berada dalam wilayah ke-tunggalan.
Logosentrisme menutup dirinya untuk sebuah kebenaran yang tidak sekedar A-B,
atau hitam-putih. Kemungkinan untuk sebuah kebenaran AB atau abu-abu tidak ada
sama sekali. Kebenaran semacam inilah
yang mencoba di runtuhkan oleh Derrida. Setelah ia bergulat dengan teks dan
bunyi ia mencoba menewarkan cara pandang yang baru (non-site/non-lieu[iv])
yaitu gramatologi. Gramatologi
adalah ilmu tentang gramma,
huruf-huruf, inskripsi atau tulisan. Gramma
adalah “tanda dari tanda”[v]
atau tanda yang menunjuk pada tanda lain. Lewat grammatologi Derida
mendekonstruksi filsafat Barat dengan membalik dari tuturan ke tulisan, bunyi
ke “teks”[vi].
Teks dari kata aslinya (textum-textere)
yang artinya tenunan, mengandaikan bahwa yang disebut teks itu adalah sebuah
tenunan dari tanda menuju tanda yang lain.
Dalam
metafisika tanda secara umum merupakan apa yang sifatnya sekunder apa lagi
tulisan yang sebenarnya merupakan tanda dari tanda. Jika tanda telah dipandang
sebagai seuatu yang sekunder dalam metafisika kehadiran dan tidak memiliki
makna apapun maka tulisan sesungguhnya menjadi hal sekunder dari yang sekunder
sehingga tidak ada artinya sama sekali. Melalui grammatologi Derrida berusaha
mengatasi oposisi antara ucapan dan tulisan- antara suatu hal dan tandanya -
antara kehadiran dan ketidakhadiran. Jika oposisis ini dapat teratasi maka
sistem yang dibangun oleh logosentrisme dengan sendirinya diruntuhkan.
Gagasan tentang différance-Differance
Salah
satu warisan dari logosentrisme atau filsafat yang sampai saat ini kita yakini
sebagai kebenaran pertama-tama diturunkan dalam teks. Teks tidak lain adalah
tulisan. Dalam tulisan inilah kebenaran disampaikan turun-temurun dan didalamnya
terdapat satu kebenaran tunggal atau universalitas. Lewat teks yang kita baca
kita menemukan satu sistem yang mengarahkan kita pada satu kebenaran tunggal. Teks menyusun dirinya secara
sistematis, logis dan metodologis. Sehingga dalam setiap teks yang kita baca
kita dihadapkan pada situasi untuk bersama-sama mengiyakan kebenaran yang sama.
Derrida
memulai proyek dekonstruksinya melalui teks. Teks inilah yang hendak di bongkar
karena didalam teks ini setiap pembaca sebenarnya memiliki kebebasan untuk
melihat tulisan atau filsafat dari banyak sisi. Teks adalah jalinan tanda yang
menyembunyikan kebenaran-kebenaran lain. Dibalik teks-teks ini tidak ada lagi
pusat atau subyek
yang dapat diacu oleh pengarang. Pengarang
atau subjek dengan sendirinya “mati”. Ketika tulisan itu ada ditangan pembaca
pengarang itu mati, sehingga teks ini bukanlah pusat yang harus mengikuti apa
yang digariskan pengarang. Teks yang mengalami dekonstruski adalah teks yang
tidak lagi memiliki referensi pusat yang menjadi struktur atau teks yang pada
akhirnya memiliki kemungkinan tak terhingga
untuk dibaca dan ditafsirkan. Teks selalu berkaitan erat dengan tanda.
Tanda adalah jalinan yang saling menjalin dengan tanda lain. Konsep ini dikenal
dengan jejak atau bekas trace. Sebuah konsep yang paling penting yang Derrida
temukan dalam penyelidikan ini adalah différance
suatu pengertian yang amat sulit dijelaskan[vii].
Kata ini tidak akan ditemukan dalam kamus bahasa Prancis karena Derrida sendiri
yang menciptakan. Yang ada dalam bahasa Prancis adalah différence (memakai e dan
artinya sama dengan kata Inggris defference
(perbedaan) dan kata différer.
Kata
terakhir ini mempunyai dua arti: sebagai kata kerja intransitif artinya adalah
”berbeda”, “bertolak belakang”, “tidak mempunyai kesamaan” (Inggris: to differ) dan sebagai kata kerja transitif artinya adalah
“menunda”, ”menangguhkan”, “ mengundurkan waktu” (Inggris: to defer). Kata différance
(memakai a) mensubtansikan kata kerja différer.
Yang menarik dalam kata ini adalah,
kata ini akan kelihatan perbedaanya ketika ditulis, sebab jika diucapkan dalam
bahasa Prancis bunyinya akan sama persis. Apa arti sebenarnya différance? Sulit dijelaskan karena jika kata ini bisa
dijelaskan dan menjadi jelas maka sama halnya mengurai suatu “kehadiran”,
padahal konsep ini digunakan untuk mendekonstruksi kehadiran. Oleh karena itu
kesimpulan yang harus dipegang adalah kata ini dimaksudkan melampaui metafisika
kehadiran. Akhirnya harus dipahami bahwa différance
tidak boleh dibayangkan sebagai “asal-usul” sebagai identitas terakhir yang
melebihi identitas yang ada secara faktual. Hal ini harus dihindari karena akan
menimbulkan makna-makna baru yang mengarah pada dimensi transendental. Apa itu différance? Kita bisa menyebutnya “itu yang....” tak
terhingga.
Teologi Derida: Teologi Apofatik
Rasanya
sedikit aneh jika dalam poin ini disinggung mengenai Teologi Derrida.
Kita mungkin berpikir bahwa Derrida adalah filsuf yang selalu bergulat dengan
filsafat dan menjauhi teologi. Proyek dekonstruksi Derrida ternyata mempunyai
dimensi “teologis”. Kata teologis disini jangan dipahami dalam kerangka
metafisika kehadiran yang merujuk pada sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Dalam dekonstruksi
Derrida hal ini merujuk pada ketidakmungkinan itu sendiri. Ketidakmungkinan
untuk membicarakan “Tuhan” sebagai tout
autre[viii],
seperti halnya différance.
Membicarakan
“Tuhan” adalah bagian dari dekonstruksi, bahkan dekonstruksi disebut sebagai
hermeneutik atas “kematian Tuhan”. Kematian Tuhan adalah salah satu cara untuk
menghilangkan “kehadiran”. Meneliti tentang Allah selalu mengandaikan ada dalam
wilayah kehadiran. Taylor menyebut apa yang dikerjakan Derrida sebagai usaha
dekonstruski tentang Tuhan, Sejarah diri sendiri, dan buku dan menurutnya
Derrida mengajak kita membiarkan menunda tulisan/ teks untuk melihat lebih
dalam apa yang ada dibalik teks. Ketika buku sudah ditutup lalu beralih kepada
teks Taylor melihat inilah tanda hilangnya Tuhan atau pengarang.
Derrida memulai dekonstruksi ini
berangkat dari sebuah wacana teologi negatif atau teologi apofatik. Teologi
apofatik ini dinilai sebagai jembatan atau cara mengatasi kebekuan dalam usaha
mengerti Tuhan. Yang dimaksud Teologi negatif atau teologi apofatik adalah
teologi “tidak” tentang Tuhan, atau dengan lebih sederhana mau mengatakan
teologi ketidaktahuan. Jean-Luc Marion salah
satu murid Derrida menulis sebuah buku mengenai Tuhan-Tanpa-Ada. Dia berangkat
dari pemikiran Heidegger tantang Being dalam usahanya menyelidiki tentang Allah
dalam kerangka teologis. Bagi dia untuk mengetahui Allah kita harus berangkat
dari apa yang disebut wahyu. Begitu sulitnya menguraikan siapa itu Allah Marion
menjembatani konsepnya dengan menciptakan konsep Ikon. Hanya melalui Ikonlah,
Allah itu dapat di ketahui dan ikon yang langsung diciptakan oleh Allah adalah
Kristus sendiri. Kehadiran Kristus di dunia itulah ikon Allah yang
sesungguhnya. Hanya dengan ikon inilah kita bisa menjangkau Allah. Ikon ini
dipakai untuk menghindari kehadiran, karena ikon mewakili ketidakhadiran.
Teologi kehadiran, metafisika dan logos identik dengan pemberhalaan. Bagi dia
pemberhalaan terjadi ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai kehadiran. Namun
demikian apa yang dipikrkan Marion sesungguhnya tidak bebas dari kritik. Pertanyaannya adakah teologi yang tidak lepas dari tendensi
pemberhalaan?
Melanjutkan apa
yang dipikirkan Derrida, Marion juga
mencoba mengunakan tanda sebagai cara memahami Allah lewat gagasan
fonosentrisme yang lepas dari logosentrisme. Bagi Marion Allah itu bisa
didekati atau ditemukan pada situasi dimana Sabda/Alkitab dibacakan oleh imam.
Ketika sabda itu dibacakan Allah menjadi tampak menunjukan dirinya dalam diri
imam yang membaca. Peristiwa ini adalah bagian dari usaha mendekati Allah.
Sesunggunya pemikiran Marion adalah cara baru dalam melihat teologi yang bebas
dari logonsetrisme namun belum sepenuhnya lengkap. Apa yang dipikirkan oleh
Marion ternyata mendapat tempat dalam pemikiran Derrida. Marion mengira “Tuhan-Tanpa-Ada”
yang bisa terbebas dari sejarah dan bahasa. Gagasan ini tetap tidak
menyelesaikan apa yang Marion pikirkan tentang Allah. Dalam situasi ini Derrida
menolong dengan kalimat sederhana bahwa bahasa sesungguhnya mengalami keterbatasan untuk membuktikan Ada atau
Allah. Marion akhirnya mengerti bahwa ketika para teolog mau membicarakan
mengenai Tuhan, teolog harus diam, meninggalkan segala konsep dan wacana-wacana
tentang Allah dan membiarkan Allah berbicara pada dirinya.
Bagi Derrida
sesungguhnya Allah itu tidak mampu disingkapkan dengan bahasa karena bahasa itu
terbatas. Hanya ada satu usaha ketika kita berbicara tantang Allah yaitu bahwa
di hadapan Allah kita berusaha untuk tidak tahu. Ketidaktahuan ini menuntun
kita pada pengharapan apokaliptik atau eskatologis bahwa Tuhan akan datang, Viens!
Titik Singgung
え
Jalan alamiah
Jalan alamiah
adalah situasi dimana Tao itu menjadi pedoman bagi semua makhluk. Jalan alamiah
mengikuti kodrat alami. Jalan alamiah adalah jalan dimana keinginan-keinginan
pribadi tidak diikuti.
Melalui jalan alamiah inilah setiap orang bisa sampai pada Tao dan sejalan dengan Tao,
semakin Tao itu diberi konsep dan pengertian
semakin kita jauh dari Tao. Tao akan
semakin lenyap ketika setiap manusia berusaha mengikuti keinginan-keinginan
pribadi. Keinginan pribadi ini berupa konsep, definisi dan usaha-usaha untuk
mencari apa sesungguhnya Tao. Semakin
kita mendekati Tao dengan
konsep-konsep maka akan semakin jauh dari Tao.
Hanya ada satu jalan untuk bisa sampai pada Tao
yaitu mengikuti jalan alamiah.
Derrida
berbicara soal jalan alamiah[ix]
ketika pada akhirnya manusia tidak lagi mampu menemukan dan mengerti Tuhan. Ketika
kita berusaha mendekati Ada dan medefinisakan ada maka ada akan menjadi tidak
jelas. Keterbatasan bahasa akhirnya mengarahkan pada satu keputusan bahwa jika
kita ingin menemukan Ada jalan yang harus kita tempuh adalah membiarkan dia
datang dan berbiacara pada kita.
え
Keterbatasan bahasa
Salah
satu sarana yang dipakai oleh filsafat dari masa ke masa untuk mengerti konsep
mengenai Ada, Allah, Logos adalah bahasa. Bahasa menjadi sarana yang paling
sering digunakan untuk mendefenisikan ‘apa itu Ada’. Dalam pemikiran timur
banyak sekali nama-nama yang dipakai untuk menyebut Ada. Demikian pula dalam
pemikiran barat ada banyak nama untuk Ada. Barangkali memang kebenaran semacam
inilah yang sampai saat ini sampai pada kita. Namun bagi Taoisme dan Derrida
bahasa pada akhirnya memiliki keterbatasan untuk merumusakan dan mendefinisikan
Ada. Dalam situasi yang paling konkrit dan amat real ternyata bahasa memiliki
keterbatasan karena justru dengan adanya nama-nama, konsep dan atribut-atribut
tertentu yang terwakili oleh bahasa
dalam menyebut Ada justru mengurangi makna yang sesungguhnya.
Pada
akhirnya ketika kita mau menemukan Ada yang sesungguhnya kita tidak membutuhkan
konsep. Lao Tzu dan Chuang Tzu sendiri menemukan bahwa untuk mengerti Tao maka
harus mengikuti jalan alamiah. Jika kita masuk lebih dalam lagi kita harus
berhadapan dengan konsep Wu-wei (non-aksi). Berhadapan dengan Tao kita tidak perlu berbuat apa-apa
karena semakin kita membuat konsep dan pengertian tentang Tao sesungguhnya Tao
tidak ada. Dalam poin
ini sesungguhnya bahasa memang mengalami keterbatasan. Derrida dalam konteks
yang sama akhirnya juga berhenti pada situasi bahwa penyelidikanya untuk
mengerti Ada, ada dalam disposisi keterbatasan bahasa. Melalui penyelidikan
Marion, Derrida mengungkapkan bahwa bahasa tetap tidak mampu menyingkap
mengenai Ada. Dihadapan Ada kita hanya bisa diam, dan tidak berbuat apa-apa. Ada
selalu menjadi dan tidak pernah berhenti pada satu konsep. Jika Ada masih
dimengerti dalam pengertian “kehadiran” Ada sesungguhnya tidak lebih dari
berhala.
え
Soal nama dan eksistensi Ada
Tao pada intinya tidak bisa diberi nama, tak berkarakter.
Begitu halnya dengan Ada, Ada menurut Derrida tidak bisa diberi nama. Ketika
Ada dapat dirumuskan dengan konsep-konsep maka Ada sesungguhnya bukan Ada.
Ketika Ada itu mampu kita mengerti maka yang terjadi adalah kehadiran. Ada
sesungguhnya melampaui kehadiran. Eksistensi ada; Tao adalah imanen karena Tao
dekat dengan kita dan menjadi bagian dari kita. Tetapi Tao mengawasi kita dari jauh. Derida
melihat bahwa Ada itu dekat dan bukan makna transendental. Jika Ada itu
memiliki makna transendental maka Ada itu tidak lain dari kehadiran. Namun Ada
itu non-site, berada pada tempat yang
bukan tempat.
[i] Ada sebagaimana dipikirkan oleh
banyak pemikir juga bisa di sebut, Allah, Logos, Syan Hyang dll.
[ii] Pemikiran ini adalah buah-buah
dari pemikiran Konfucius/Konghucu bukan pemikiran Lao Tze. Bdk Filsafat Asia
hlm.538-544
[iii] Bdk dengan Yoh. 1.1 “ Pada
mulanya adalah logos (sabda); “ ‘En arkhe en ho logos’
[iv] Site atau non-site/non-lieu
diartikan Sebuah tempat; tetapi bukan-tempat. Makna ini merujuk pada tempat
yang tidak bisa dijangkau oleh konsep atau distingsi-distingsi tertentu.
[v] Derrida memikirkan tanda ini
dengan istilah trance ( bekas) dimana tanda itu menandakan objek lainya, dan
objek lainya itu mendahului tanda. Tanda itu adalah bekasa atau jejak dari
tanda lain.
[vi] “Teks” yang dimaksud disini
tidak sekedar teks tulisan tapi teks sebagai sesuatu yang tidak hanya sekedar
tulisan melainkan sebuah teks dimana
tanda itu menandakan tanda lain. Sehingga secara lebih luas teks sebagai teks
dapat ditafsir dan dibongkar. Teks disini memiliki makna yang lebih luas dari
pada sekedar tulisan meski pada akhirnya Derrida akan menyelidiki juga tulisan.
[vii] K.Bertens, Filsafat Prancis
2006. “ betapa sulitnya pengertian ini sudah dapat diperkirakan, jika Derrida
mengatakan: ini bukan sebuah konsep dan bukan pula sebuah kata. Alasanya bahwa
setiap konsep dan kata terjalin dalam suatu rangkaian konsep ( atau rangkaian
kata) dimana setiap konsep menunjuk kepada konsep lain dalam suatu” permainan”
perbedaan-perbedaan. Tetapi différence (yang
tidak lain dari seluruh “permainan” tadi) sendiri tidak merupakan konseo atau
kata tetapi syarat kemungkinan untuk timbulnya konsep atau kata. Karena itu
Derrida mengatakan lagi bahwa différence (
sama seperti trace atay bekas) tidak
dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan, sebab tidak tertangkap dnegan”
kehadiran” yang merupakan suatu peandaian tetap dalam ilmu pengetahuan.
[viii] Artinya : Yang sepenuhnya lain.
[ix] Jalan
alamiah dalam Derrida tidak dimaksudkan sama persis seperti dalam Taoisme namun
masih sejajar.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!