Jalan Alamiah Kebebasan ; Usaha mengerti Ada


JALAN ALAMIAH KEBEBASAN
Dalam Taoisme dan Derrida




Pengantar
Jalan alamiah kebebasan merupakan sebuah analisis terhadap keterbatasan manusia untuk memahami realitas alam dan Ada[i]. Dalam tulisan ini kami mencoba mendialogkan pemikiran Taoisme dalam pemikiran Timur dan Derrida dalam pemikiran Barat. Konsep jalan alamiah ini adalah usaha atau jalan untuk menggambarkan betapa realitas Ada itu begitu sulit dimengerti dan dipahami. Jalan alamiah kebebasan adalah “pilihan terakhir” yang harus ditempuh tatkala manusia tidak mampu memikirkan realitas Ada. Ketidakmampuan akal budi ini menghantar manusia untuk bersikap diam dan mengalami Ada itu sebagai hal yang alamiah.

Taoisme

Taoisme menemukan pedoman hidup manusia dalam alam, dan bukan dalam praktek moral untuk mengembangkan kebajikan. Taoisme menekankan kebebasan yang diperoleh dengan mengikuti jalan alam. Taoisme di bagi dalam dua traktat dengan dua tokoh yakni:

   Filsafat Lao Tzu
   Visi Chuang Tzu yang menarik implikasi epistemologis dan mistis dari Taoisme.

Taoisme adalah salah satu aliran filsafat Cina yang dikembangkan oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu. Dua pemikir ini merupakan pelopor yang secara serius dan konseptual mengenalkan Taoisme sebagai sebuah ajaran mengenai harmoni alam semesta. Dengan caranya masing-masing Taoisme mendapat tempat dalam pemikiran timur.

Lao Tzu
Taoisme menawarkan pandangan tentang alam semesta dan manusia sebagai satu kesatuan. Pengetahuan manusia melampaui batas-batas persepsi dan konsep. Ia bersifat langsung dan segera, dan tidak bergantung pada dualitas yang salah antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Prinsip yang harus mengatur tindakan manusia adalah prinsip yang mengatur kodrat alam. Jadi hidup yang baik adalah hidup yang dijalani selaras dengan alam semesta, membiarkan ada secara kodrati.
Tujuan pengetahuan adalah untuk menuntun manusia kepada persatuan dengan alam melalui iluminasi Tao (jalan /lorong) (道德經) alam semesta. Ketika tao kemanusian dan tao alam bersatu, maka manusia menyadari kodratnya yang tak terbatas. Ajaran Lao Tzu menghadirkan kembali usaha kontruktif untuk memelihara dan membuat hidup manusia menjadi luhur dan agung. Usaha ini ditempuh dengan mengikuti jalan alamiah segala sesuatu, yakni selaras dengan Tao. Ajaran tentang tao hidup manusia dalam masyarakat dirangkum dalam 9 prinsip:

   Manusia bertindak untuk memenuhi hasrat-hasrat hatinya.
   Akibat yang muncul  adalah persaingan dan konflik.
   Supaya terdapat damai dan harmoni, maka dirancang standar kebenaran dan moralitas manusia.
   Namun, standar moral tidak memecahkan persoalan. konflik tetap ada, karena standar peraturan itu juga dilanggar, sehingga kejahatan tetap ada.
   institusi standar moral dan peraturan tidak memecahkan persoalan, terus  mengapa orang tidak mengabaikannya?
   Standar moral dapat diabaikan, hanya apabila hasrat-hasrat hati sebagai sumber tindakan disingkirkan.
   Tindakan yang keluar dari hati dapat disingkirkan, apabila orang mengadopsi jalan alamiah semua hal.
   Mengikuti jalan alamiah mengandaikan hidup selaras dengan alam semesta dan bertindak sesuai dengan Tao universal.
   Masyarakat yang dipimpin oleh penguasa harus sesuai Tao alam semesta.

Untuk menghilangkan kejahatan dalam masyarakat, perlu mengetahui sebab utama kejahatan itu. Ini penting untuk mengetahui sumber-sumber dan tuntunan perbuatan manusia. Lao Tzu melihat perbuatan manusia lebih bersumber pada pemenuhan dan pemuasan hasrat hatinya. Pertemuan pemenuhan hasrat hati pribadi dan hasrat pribadi orang lain terhadap hal yang sama namun terbatas menyebabkan munculnya persaingan dan konflik. Untuk menekan persaingan dan konflik tersebut dibuatlah aturan-aturan moral. Fungsi aturan moral adalah untuk menata tindakan-tindakan manusia supaya memberi kepuasan maksimum dari hasrat setiap orang. Lao Tzu kemudian mempersoalkan, apakah orang dapat mencapai tujuan ini melalui pengaturan persaingan dan konflik?
       Lao Tzu mengamati penyebab tidak adanya persaingan dan konflik adalah adanya Tao Agung. Tetapi bila Tao Agung menyusut, akan lahir kemanusiaan dan kebenaran. Doktrin kemanusiaan (jen) dan kebenaran (yi) merupakan dasar moralitas Konghucu[ii]. Lao Tzu melihat moralitas tidak memadai untuk memecahkan persoalan, karena moralitas ada sebagai akibat dari merosotnya Tao agung kodrat alam. Moralitas tidak menyerang akar masalahnya. Karena moralitas tidak mampu membawa damai dan kebahagiaan, maka ia dilihat sebagai jalan yang gagal untuk mencapai masyarakat yang ideal. Namun moralitas tidak dapat diabaikan begitu saja karena tindakan untuk memuaskan keinginan hati melahirkan kondisi-kondisi yang menuntut moralitas.
Lao Tzu juga mengatakan alasan tindakan yang keluar dari keinginan hati mengarah kepada kejahatan disebabakan oleh tindakan itu bertentangan dengan Tao (jalan), karena Tao agung hadir tanpa keinginan hati, tetapi oleh non-aksi (wu-wei) (). Ini berarti tidak bertindak apapun kecuali apa yang muncul secara bebas dan spontan dari kodrat alamiah seseorang. Wu-wei seekor burung adalah terbang, bukan merayap. Sedangkan ular adalah merayap bukan terbang.

Tao Dan Manifestasinya
Sebelumnya Lao Tzu sudah terdapat Yin () dan Yang() sebagai sebuah keadaan berlawanan. Karena keadaan berlawanan dituntut unsure ketiga untuk menjadi dasar dan konteks untuk interaksi Yin dan Yang itu. Unsur ketiga itulah Tao. Tao berfungsi sebagai dasar untuk interaksi yin dan yang. Sebagai prinsip absolut pertama dari eksistensi, Tao ada tanpa karakter, tapi merupakan sumber utama dan kondisi semua karakter. Ia adalah non-being, namun bukan berarti ketiadaan, karena ia adalah sumber segala sesuatu. Selain itu Tao tidak diberi nama, karena ia tak terbagi, tanpa distingsi dan tanpa karakter.
Jika Tao tidak dapat dinamakan/ditangkap, apa yang dinamakan oleh kata TaoTao tidak menamakan sesuatu. Ia merujuk pada sesuatu yang memampukan segala sesuatu untuk ada sebagaimana adanya. Tao berfungsi sebagai kata “itu”. Maka ketika dikatakan keituan “itulah” yang menjadi asal usul realitas Ada dan tidak Ada. Tao tanpa nama itu sumber berbagai macam benda partikular yang ada. Ia-lah yang pempersatukan semua benda itu dan yang menentukan fungsi semua benda itu.
Meskipun “Apa itu Tao“ tidak dapat dikatakan tetapi  ia dapat dimengerti dengan memandang fungsinya. Tao terwujud dalam kodrat alam. Tao sebagai satu sumber menyuguhkan eksistensi utama pada semua benda tetapi fungsinya sekaligus memberi perbedaan dan pemisahan pada semua benda.
Lao Tzu kemudian melihat non-aksi (wu wei) sebagai apa yang diwariskan kepada benda-benda dari tao sebagai fungsi mereka. Non–aksi (wu wei) bukan berusaha sekuat tenaga dan mencari akal untuk mengerjakannya sampai selesai, tetapi membiarkan segala sesuatu terlaksana dalam jalan alamiah dan spontan. Ia mencontohkan dalam menjadi seorang pemimpin. Tugas pemimpin adalah membiarkan Tao beroperasi dengan bebas ketimbang mencoba melawan dan mengubah fungsinya. Sehingga keamanan dan ketertiban dapat tercipta.

Apa itu Tao dan Bagaimana ia berfungsi tertuang dalam bab keempat Tao Te Ching:
   Tao itu kosong (seperti sebuah mangkuk)
   Ia bisa digunakan tapi isi muatannya tak pernah terkuras habis.
   Ia ada tanpa alas, barangkali leluhur segala sesuatu.
   Ia menumpulkan ketajamannya.
   Ia menguraikan simpul-simpul talinya.
   Ia melembutkan terang cahayanya. Ia menjadi satu dgn dunia yg berdebu.
   Dalam dan tenang, ia tampak ada selama-lamanya.

Tao itu kosong berarti ia tanpa karakter, kosong dari segala partikularitas. Seperti sebuah rumah, kekosongan ruangannya adalah sangat berguna, demikian juga sesuatu yang sangat berguna pada Tao adalah kekosongannya pada karakter, sehingga muatannya tak terbatas. Jadi, kekosongan Tao sinonim dengan keberadaannya sebagai sumber yg tak terbatas dari segala sesuatu.
Berfungsinya Tao bersifat kekal dan tetap berulang. Ketika sesuatu hal  mencapai satu ekstrem, ia akan bergerak balik dan beralih ke ekstrem yang lain. Ketika udara sangat dingin, maka ia akan bergerak balik dan mulai menjadi hangat. Begitu sebaliknya. Inilah yg disebut kodrat alam seperti peralihan musim. Mis: ketika seorang menjadi sombong dan congkak, maka kemalangan dan kerendahan hati akan menyusul. Gerak balik itu merupakan jalan kedamaian dan kepuasan. Tao tdak bersifat transenden, tetapi imanen. Tao tidak tinggal jauh dari dunia, tapi berfungsi melalui dunia. Tao tidak ditemukan di luar hidup, tapi di dalam hidup. Jadi nasihat Lao Tzu adalah melepaskan keinginan hati dan membiarkan seseorang melebur dalam Tao, sehingga mampu mengatasi perbedaan baik dan buruk.

Chuang Tzu
Hidup ± 369-286 SM. Ia mengembangkan filsafat yang serupa dengan Lao Tzu. Perbedaan adalah ia tidak memberi nasihat kepada para pemimpin, karena kepemimpinan adalah bagian dari problem, maka ia menganjurkan bahwa untuk mengikuti Tao, orang harus menarik diri dari masyarakat. Ia juga mengembangkan spontanitas total kodrat alam (kegiatan segala sesuatu yg tak pernah berhenti, dan kesatuan yang mendasari seluruh eksistensi). Tekanannya adalah kebebasan tertinggi dicapai dengan mengidentifikasi diri dengan Tao dan bukan melalui usaha memainkan peran dan fungsi sosial secara penuh. Menurut Chuang Tzu kebahagiaan sejati itu tergantung pada proses melampaui dunia pengalaman, pengenalan yang biasa dan pada proses mengidentifikasi diri dengan ketakterbatasan alam semesta. Titik pandang yang terbatas yang bergantung pada persepsi biasa dan distingsi konseptual, harus ditukar dengan titik pandang yang tidak terbatas, yakni bersatu dengan Tao.
Argumen-argumen yang melawan sikap untuk menerima skema kognitif biasa untuk berpikir tentang satu titik pandang yang tidak terbatas adalah:
   Argumen yang bertolak dari relativitas distingsi
   Argumen yang bertolak dari sifat saling melengkapi unsur-unsur yang bertentangan
   Argumen yang bertolak dari perspektif-perspektif.
   Argumen yang berasal dari skeptisisme umum.


Relativitas Distingsi
Penilaian tentang nilai dan soal rasa bersifat subjektif karena itu ia bersifat relatif. Contoh: jeruk bisa masam untuk A, dan manis untuk B. Tao mengidentifikasi semua perbedaan sebagai satu. Sebaliknya Chuang Tzu mengklaim semua distingsi itu bersifat relatif dalam perspektif tertentu, perbedaan-perbedaan itu sah hanya dalam satu perspektif tertentu. Dalam perspektif Tao, tidak ada perbedaan semua hal tersebut dan semua perbedaan itu tidak punya arti.
Alasan perbedaan itu bersifat relatif adalah karakter-karakter yang dikenakan pada semua hal atau peristiwa-peristiwa dalam menciptakan perbedaan-perbedaan, justru diturunkan oleh pikiran, yang dipandang bersifat independen dari apa yang dikatakan karakter segala sesuatu.Mis: sebuah jalan dikatakan jalan ketika orang berjalan di atasnya, dan segala sesuatu menjadi demikian, karena manusia menyebutnya demikian. Semua itu untuk membuktikan relativitas pengetahuan. Jika konsep-konsep tentang baik, benar, manis, dan besar bersifat relatif, maka pengetahuan tentang apa itu sifat baik, atau benar, atau besar hanya relatif.
Argumen ini untuk melawan pengikut Konghucu dan Mohis, yang mengklaim bahwa mereka memiliki pengetahuan yang sejati tentang yang benar dan yang salah. Kaum Mohis adalah orang-orang pragmatis yang menerima praktek hidup sebagai kriteria pengetahuan. Pandangannya bahwa pengetahuan itu bisa ada, karena manusia menjalani satu cara hidup untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan. Jadi pengetahuan atas yang baik dan yang buruk berdasarkan pada pengalaman tindakan menyenangkan dan tidak menyenangkan. Sebaliknya, penganut Konghucu menyatakan bahwa pengetahuan yang benar dan salah secara langsung dan intuitif berasal dari rasa moral batiniah.
Chuang Tzu melihat hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan adalah konsep-konsep yang bersifat relatif. manusia tampil baik dalam hidup ini, tetapi mungkin hanya penampakan lahiriah semata dan bukan soal penampilannya ini. Jadi tidak jelas bagaimana cara praktik dapat dijadikan kriteria pengetahuan. Cara praktik bisa berhasil satu waktu dan gagal diwaktu yang lain. Cara praktik tidak bisa dijadikan ukuran pengetahuan.
Jika apa yang benar ditentukan oleh praktek hidup yang berhasil dan apa yang salah ditentukan oleh praktek hidup yang tak berhasil, maka berjuang untuk memperoleh posisi kaisar dan menunggu diberinya posisi itu kadang-kadang sama-sama benar tetapi kadang-kadang sama-sama salah.
Chuang Tzu menggunakan relativitas pengetahuan untuk mendukung posisi skeptis yg mustahil mengetahui bahwa apa yang diklaim sebagai pengetahuan sungguh-sungguh merupakan pengetahuan. Chuang Tzu ragu atas klaim yang diungkapkan oleh Mencius bahwa kehendak baik dan kewajiban dapat dikenal oleh intuisi moral. Klaim “itu benar dan itu salah” tidak bisa ditunjuk sebagai benar. Chuang Tzu bertolak dari argumen skeptisismenya bahwa pengetahuan yang pasti dan tak diragukan adalah mustahil.

Sifat Saling Melengkapi Dari Sisi-Sisi Yang Berlawanan
Setiap konsep melibatkan negasinya, tanpa negasi satu konsep tidak dapat ada. Jika A adalah A, maka A bukan bukan-A. Atau negasi terhadap A adalah afirmasi terhadap bukan-A. Benar dan salah adalah hal yang sama tapi dipandang secara berbeda. Dengan kata lain, apa yang ada melibatkan apa yang tidak ada. Chuang Tzu berkata ketika ada hidup di sana ada kematian, dan ketika ada kematian di sana ada kehidupan.
Chuang Tzu berpikir dalam arti pasangan istilah yang bersifat korelatif. Contoh: jika tidak ada konsep tentang atas, maka tidak bisa ada konsep tentang bawah. Eksistensi yang satu mengandaikan yang lain, menghilangkan yang satu berarti menghilangkan yang lain. Chuang Tzu berargumen bahwa justru satu konsep seperti kuda mengandaikan secara implisit melibatkan konsep bukan-kuda, karena seandainya tidak didukung konsep bukan kuda, maka konsep kuda tidak bisa ditentukan secara pasti dan berbeda. Ketidakmampuan menentukan secara pasti dan berbeda menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki konsep apapun. Apabila argumen ini digabung dengan argumen yang bertolak dari skeptisisme, argumen ini bukan memuat bahwa tidak ada pengetahuan yang riil, bukan juga memuat bahwa pengetahuan yang riil adalah mustahil. Tetapi memuat bahwa kita tidak pernah dapat mengetahui apakah pengetahuan itu sungguh-sungguh berupa ini atau itu. Kita tidak pernah dapat mengetahui apakah kita sungguh memilki pengetahuan atau tidak.

Argumen yang Bertolak dari Perspektif-Perspektif
Bertolak dari perspektif-persepektif. Hal yang sama tampak berbeda pada orang yang berbeda, jika perspektif mereka berbeda. Hal yang sama memiliki banyak penampilan bergantung pada orang yang mempersepsikannya. Jadi penampilan yang mana sebagai penampilan yang benar?
Chuang Tzu berpendapat bahwa setiap hal itu apa adanya dan bukan sesuatu yang lain. Ia termuat dalam dirinya sendiri dan jalan untuk melihatnya melampaui perspektif kita.Memandang dengan perspektif yang berbeda berarti mendistorsikannya. Klaim pengetahuan dan moralitas selalu dihasilkan dari perspektif manusia. Perspektif manusia ini selalu mendistorsi realitas karena klaim itu selalu relatif atau bergantung pada satu perspektif khusus. Maka, penilaian atas yang benar dan yang salah hanya bergantung pd perspektif tentangmanusia.
Benda-benda tidak mengetahui bahwa mereka adalah itunya dari yang lain, mereka hanya mengetahui apakah mereka mengetahui diri mereka sendiri. Ct: Chuang Tzu bermimpi menjadi kupu-kupu. Ketika ia terjaga, ia tidak tahu bahwa ia adalah Chou yang bermimpi menjadi kupu-kupu atau kupu-kupu yang bermimpi bahwa ia adalah Chou.
Orang bijaksana menyadari bahwa apa yang menjadi milik bersama mengikuti jalannya sendiri yang diberi Tao kepada mereka. Chuang Tzu mengatakan hanya orang cerdas yang mengetahui cara mengidentifikasi semua hal sebagai satu. Orang dituntut untuk melepaskan perspektifnya dan mengadopsi perspektif universal.
Menghilangkan perspektif yang terbatas adalah menghilangkan perselisihan yang ditimbulkannya. Mengadopsi perspektif yang tak terbatas adalah menikmati kedamaian dan ketenangan hal yang tak terbatas dengan sukacita. Butir argumen yang bertolak dari perspekti-perspektif adalah kita tak pernah tahu sungguh-sungguh apa itu sesuatu dalam dirinya.

Argumen yang berasal dari skeptisisme
Argumen ini mengedepankan pertanyaan “Apakah hal itu sungguh-sungguh demikian?” sebuah pertanyaan yang tidak pernah dapat dijawab. Mis: A mengatakan bahwa X itu merah. Namun bagaimana X itu dapat diketahui sungguh-sungguh merah? Apakah dengan membandingkan dengan fakta yang diandaikan bahwa X berwarna merah.Hal ini justru diragukan. Membandingkan klaim X berwarna merah dengan fakta yang diandaikan tentang warna merahnya X, hanya  membandingkan satu klaim yang diragukan dengan klaim lain yang dirgukan juga.
Chuang Tzu kemudian mengemukakan juga argument skeptis dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut “Bagaimana dapat diketahui bahwa apa yang saya sebut tahu tidak sungguh-sungguh tidak tahu dan apa yang saya tidak tahu tidak sungguh-sungguh tahu?” selain itu ia juga mengajukan argumen dan pertanyaan sebagai berikut karena pengetahuan bergantung pada sesuatu yang harus tepat, tapi apa yang padanya pengetahuan itu bergantung tidak pasti dan berubah. Bagaimana kita mengetahui bahwa apa yang saya sebut alam kodrat bukan manusia sesungguhnya, dan apa yang saya sebut manusia bukan alam kodrat sesungguhnya.
Argumen Chuang Tzu yang bertolak dari skeptisisme didasarkan pada pemahaman bahwa tidak ada kriteria yang tidak dapat diragukan, kriteria yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa apa yang diklaim sebagai yang benar sungguh-sungguh benar. Dalam contoh Kupu-kupu, Chuang Tzu menyatakan bahwa ada problem untuk memastikan apakah ia sedang bermimpi atau ia sedang dimimpikan. Problemnya tidak ada kriteria yang tidak dapat diragukan untuk membedakan antara keadaan terjaga dan bermimpi.
Jawaban terhadap skeptisisme ialah keragu-raguan itu punya arti hanya dalam skema kognitif. Dalam skema ini hal-hal tertentu dapat dianggap sebagai benar. Chuang Tzu berargumen bahwa jika perangkat kognitif yang biasa tidak cocok, maka perlu mengadopsi satu perangkat baru yakni perngkat kognitif universal untuk menghindarkan keterbatasan perangkat kognitif terbatas yang biasa digunakan. Pengakuan akan keterbatasan perangkat kognitif yang biasa dan pengadosian satu perspektif yang universal (transenden) bukan berarti menolak perangkat kognitif yang biasa dan dunia.

seorang yang bijak adalah orang yang mampu mentransendensikan perkara duniawi secara penuh, menemukan kebahagiaan dakam perkara duniawi. Chuanh Tzu mengatakan Tidak pernah ada seorang yg berjalan diam-diam melewati dunia transcendental menuju dunia yang paling tinggi tetapi secara diam-diam tidak hidup selaras perkara duniawi. Dunia transcendental dan dunia ini bertemu, karena Tao manusia identik dengan Tao alam semesta.



Derida

Jacques Derrida dilahirkan di El-Biar, Algeria pada tahun 1930. Ia merupakan salah satu dari banyak pemikir terkemuka yang berdarah Yahudi. Ayahnya bekerja sebagai salesman. Dan Derrida adalah anak kedua dari tiga bersaudara.Pada tahun 1942 terjadi gerakan anti-semit yang cukup marak di Algeria. Pada suatu hari di tahun yang sama, Derrida mulai bersekolah. Ia belum tahu jika pergolakan yang sedang terjadi  itu ditujukan kepada kaumnya, Yahudi. Derrida kecil memulai hari pertama sekolahnya dengan suka cita hingga kemudian kepala sekolah memanggilnya ke kantor dan menyuruh Derrida kecil pulang. “Pulanglah, orangtuamu akan menjelaskan semua ini padamu,” demikian ujar Derrida menirukan ucapan sang kepala sekolah. Masa kecil Derrida diwarnai oleh teror Nazi yang membuat hidupnya dipenuhi oleh ketegangan-ketegangan kecil yang cukup membekas di dalam benaknya.
Pada usia 22 tahun ia menuju Perancis untuk melanjutkan studinya di Ecole Normal Superieur, Paris. Di sanalah ia memperdalam filsafat fenomenologi Edmund Husserl dan banyak belajar kepada Michel Foucault dan Louis Althusser. Setelah melakukan studi mendalam pada Arsip Husserl di Leuven, Belgia, ia kemudian menjadi pengajar di almamaternya. Pada saat terjadinya perang kemerdekaan di Algeria, sejak tahun  1957-1959 Derrida diminta bekerja untuk mengajar bahasa Perancis dan Inggris bagi  anak-anak tentara Algeria.
Ia menyelesaikan disertasi doktornya pada tahun 1980, dan kemudian disertasi ini diterbitkan menjadi buku dalam bahasa Inggris dengan judul “The Time of a Thesis Punctuation.” Hingga akhir hayatnya, Derrida tercatat sebagai direktur penelitian di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris. Derrida juga dikenal sebagai pendiri dan ketua pertama dari International College of Philosophy, sebuah lembaga riset yang memberikan tempat bagi para filsuf untuk meneliti.
Pada tahun 1966 ia memberi ceramah di John Hopkins University, Amerika Serikat.  Pada saat itu ia menyajikan sebuah makalah yang berjudul “Structure, Sign and Play in the Discourse of The Human Sciences” makalah yang ia bawakan dalam ceramahnya itu menarik minat banyak orang kepada Derrida. Kemudian dimulai sejak saat itulah ia banyak bepergian untuk memberikan kuliah-kuliahnya dan bahkan menjadi pengajar tetap di berbagai universitas di Amerika Serikat. Pada tahun 1986 ia dikukuhkan menjadi profesor dalam bidang humaniora pada University of California, Irvive, di mana di tempat inilah sebagian besar manuskripnya disimpan.
Derrida juga dalah anggota dari Amrican Academy of Arts and Sciences dan pada tahun 2001 menerima penghargaan Adorno. Sepanjang hidupnya ia menerima doktor kehormatan dari Cambridge University, Columbia University, University of Essex, University of Leuven dan Williams College. Pada tahun 2003 Derrida didiagnosa menderita kanker pankreas. Akibatnya kesehatannya makin menurun, dan aktivitasnya untuk memberikan kuliah semakin jarang dilakukannya. Setelah menderita sakit yang cukup parah dan perawatan medis yang cukup lama, Derrida meninggal pada malam Jum’at 8 Oktober 2004 di rumah sakit Paris.Walaupun si pengeluh itu wafat, tetapi sampai sekarang “Konsep” dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) mampu mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti struturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).
Pada masa-masa awal karirnya sebagai filsuf, Derrida mempelajari filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl. Karya tulisnya tentang fenomenologi Edmund Husserl itu kemudian diterbitkan pada tahun 1954 dengan judul “The Problem of Genesis on Husserl’s Phenomenology.” Dalam sebuah konferensi di John Hopkins University, ia menulis sebuah makalah yang cukup membuat banyak orang “melirik” padanya. Makalah dengan judul “Struktur, Tanda, dan Permainan Wacana dalam Ilmu Humaniora” itu mengajukan sebuah kritik terhadap kaum strukturalis. Dan ia menjadi satu-satunya orang di dalam konferensi yang tidak begitu saja tunduk faham strukturalisme. Makalah yang ia presentasikan itu kemudian diterbitkan pada tahun 1970 dengan judul “Kontroversi Strukturalis.” Dalam konferensi tersebut ia bertemu dengan Paul de Man, yang akan menjadi teman kontroversialnya. Di sana juga ia bertemu dengan seorang psikoanalis berkebangsaan Perancis, Jacques Lacan, yang kemudian menjadi teman kerja Derrida.
Konsep dekontruksi yang ia ajukan sebagai cara pandang baru yang mengkritisi strukturalisme menjadikan Derrida sebagai seorang filsuf yang terkemuka, juga kontroversial. Dekonstruksi adalah sebuah upaya untuk membongkar makna dan interpretasi sebuah teks (sastra, filsafat atau lainnya). Pada mulanya banyak orang bingung memahami sistem dekontruksi yang diciptakan oleh Derrida, dan hal itu menyebabkan tidak sedikit kritik baginya. Derrida meninggal tanggal 9 Oktober 2004 karena kanker pankreas.

Dekostruksi, Logosentrisme dan Fonosentrisme.
Untuk mengerti mengenai pemikiran Derrida pertama-tama kita harus memulainya pada pembicaraan tentang dekonstruksi. Mengapa dekonstruksi? Karena dekonstruksi adalah proyek awal yang digagas oleh Derrida sebagai filsuf posmodern. Dekonstruksi adalah usaha pembongkaran dari sebuah narasi besar yang sering kita sebut sebagai metafisika atau onto-teologi. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode untuk membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung terhadap teks-teks tertentu. Proyek utama Derrida adalah mendekonstruksi segala upaya yang mendasari segala sesuatu dengan metafisika atau onto-teologi atau kebenaran universal. Kebenaran ini identik dengan kehadiran, oleh karena itu ia mengkritik mengenai metafisika kehadiran atau yang lebih dikenal dengan“Logosentrisme”. Logosentrisme ini mengandaikan bahwa Ada itu hadir dalam kekiniaan, inilah pokok dari segala dekonstruksi Derrida. Menurut Derrida metafisika barat melupakan dan mengabaikan dimensi temporal Ada. Gagasan ini bersumber dari pemikiran Heidegger yang berusaha menemukan makna dari Ada yang hadir (being as presence)  yang hadir dalam waktu dan subjek.
Logosentrisme menurutnya adalah tradisi filsafat yang memberi identitas  pada Ada yang dipahami sebagai kehadiran diri di dalam pengetahuan absolut, dan kesadaran diri. Dalam logosentrimelah kebenaran ditemukan dan mendapat tepatnya. Logos adalah asal usul kebenaran. Logos adalah prinsip asali yang lahir dan hadir pada dirinya sendiri, terpisah dari dunia, berada di luar bahasa. Ia dapat dipahami dalam arti filosofs pra-Sokratik atau dalam arti Allah,[iii] atau dalam arti antrpologis sebagai subjek. Di dalam Logos ini, kebenaran itu hadir; di luar Logos, tidak ada kebenaran. Konsekuensinya apa yang berlaku untuk kebenaran, maka berlaku pula untuk makna. Makna juga berasal dari Logos dan hadir dalam Logos. Makna ternyata juga berkaitan erat dengan suara (phone). Suara ini diyakini memiliki hubungan asali dengan Logos atau pikiran: atau lebih tepatnya, manusia mengenal kebenaran dan makna yang berasal dari Logos universal lewat pikiran, lalu orang mengenal isi pikiran lewat ucapan. Persoalannya Logosentrisme melupakan jarak antara Logos pikiran dan ucapan. Konsekuensinya ucapan yang dianggap sebagai sarana paling memadai untuk menyampaikan kebenaran tidak lagi diperhitungkan.
Derrida memberi perhatian khusus pada fonosentrisme karena ucapan memilki keunggulan dari bentuk tertulis, bahasa lisan lebih unggul dari bahasa tulisan. Fonosentrisme muncul dari adanya fakta bahwa ketika kata-kata terucapkan, baik si pembicara dan pendengar disepakati berada secara bersamaan tanpa perantara. Pembicara dan pendengar dianggap mempunyai pemahaman yang sama. Sebaliknya, bahasa tertulis dianggap justru menciptakan perbedaan jarak dan waktu antara pembicara dan pendengar. Si pengarang (bisa jadi) tidak berada di tempat sehingga bisa-bisa kita tidaklah terlalu yakin akan makna teks tertulis tersebut. Keunggulan suara yang melebihi bentuk tertulis ini muncul juga di kebudayaan-kebudayaan lain, namun dalam tradisi Yunani dan Eropa, hal ini dibentuk menjadi suatu metafisika logosentris yang sistemeatis. “Fonosentrisme “ menyatu dengan ketetapan historis akan ketetapan (arti) yang umum tentang ‘sesuatu yang ada’ , dengan segala subdeterminasi yang bergantung pada arti umumnya tersebut.
Fonosentrisme yang Derrida geluti berangkat dari pemikiran Saussure. Lewat fonosentrisme Derrida mencoba meneliti soal bahasa dan ucapan sebagai bagian dari usaha mendekonstruksi metafisika kehadiran. Namun demikian fonosentrisme yang dikembangkan oleh Saussure ternyata juga tidak lepas dari logosentrisme.

Gramatologi
Ketika logosentrisme menguasai seluruh pemikiran filsafat maka pemikiran dan konsep mengenai kebenaran sesungguhnya berada dalam wilayah ke-tunggalan. Logosentrisme menutup dirinya untuk sebuah kebenaran yang tidak sekedar A-B, atau hitam-putih. Kemungkinan untuk sebuah kebenaran AB atau abu-abu tidak ada sama sekali.  Kebenaran semacam inilah yang mencoba di runtuhkan oleh Derrida. Setelah ia bergulat dengan teks dan bunyi ia mencoba menewarkan cara pandang yang baru (non-site/non-lieu[iv]) yaitu gramatologi. Gramatologi adalah ilmu tentang gramma, huruf-huruf, inskripsi atau tulisan. Gramma adalah “tanda dari tanda”[v] atau tanda yang menunjuk pada tanda lain. Lewat grammatologi Derida mendekonstruksi filsafat Barat dengan membalik dari tuturan ke tulisan, bunyi ke “teks”[vi]. Teks dari kata aslinya (textum-textere) yang artinya tenunan, mengandaikan bahwa yang disebut teks itu adalah sebuah tenunan dari tanda menuju tanda yang lain.
Dalam metafisika tanda secara umum merupakan apa yang sifatnya sekunder apa lagi tulisan yang sebenarnya merupakan tanda dari tanda. Jika tanda telah dipandang sebagai seuatu yang sekunder dalam metafisika kehadiran dan tidak memiliki makna apapun maka tulisan sesungguhnya menjadi hal sekunder dari yang sekunder sehingga tidak ada artinya sama sekali. Melalui grammatologi Derrida berusaha mengatasi oposisi antara ucapan dan tulisan- antara suatu hal dan tandanya - antara kehadiran dan ketidakhadiran. Jika oposisis ini dapat teratasi maka sistem yang dibangun oleh logosentrisme dengan sendirinya diruntuhkan.

Gagasan tentang différance-Differance
Salah satu warisan dari logosentrisme atau filsafat yang sampai saat ini kita yakini sebagai kebenaran pertama-tama diturunkan dalam teks. Teks tidak lain adalah tulisan. Dalam tulisan inilah kebenaran disampaikan turun-temurun dan didalamnya terdapat satu kebenaran tunggal atau universalitas. Lewat teks yang kita baca kita menemukan satu sistem yang mengarahkan kita pada satu kebenaran tunggal. Teks menyusun dirinya secara sistematis, logis dan metodologis. Sehingga dalam setiap teks yang kita baca kita dihadapkan pada situasi untuk bersama-sama mengiyakan kebenaran yang sama.
Derrida memulai proyek dekonstruksinya melalui teks. Teks inilah yang hendak di bongkar karena didalam teks ini setiap pembaca sebenarnya memiliki kebebasan untuk melihat tulisan atau filsafat dari banyak sisi. Teks adalah jalinan tanda yang menyembunyikan kebenaran-kebenaran lain. Dibalik teks-teks ini tidak ada lagi pusat atau subyek yang dapat diacu oleh pengarang. Pengarang atau subjek dengan sendirinya “mati”. Ketika tulisan itu ada ditangan pembaca pengarang itu mati, sehingga teks ini bukanlah pusat yang harus mengikuti apa yang digariskan pengarang. Teks yang mengalami dekonstruski adalah teks yang tidak lagi memiliki referensi pusat yang menjadi struktur atau teks yang pada akhirnya memiliki kemungkinan tak terhingga  untuk dibaca dan ditafsirkan. Teks selalu berkaitan erat dengan tanda. Tanda adalah jalinan yang saling menjalin dengan tanda lain. Konsep ini dikenal dengan jejak atau bekas  trace.  Sebuah konsep yang paling penting yang Derrida temukan dalam penyelidikan ini adalah différance suatu pengertian yang amat sulit dijelaskan[vii]. Kata ini tidak akan ditemukan dalam kamus bahasa Prancis karena Derrida sendiri yang menciptakan. Yang ada dalam bahasa Prancis adalah différence (memakai e dan artinya sama dengan kata Inggris defference (perbedaan) dan kata différer.
Kata terakhir ini mempunyai dua arti: sebagai kata kerja intransitif artinya adalah ”berbeda”, “bertolak belakang”, “tidak mempunyai kesamaan” (Inggris: to differ) dan sebagai kata kerja transitif artinya adalah “menunda”, ”menangguhkan”, “ mengundurkan waktu” (Inggris: to defer). Kata différance (memakai a) mensubtansikan kata kerja différer.  Yang menarik dalam kata ini adalah, kata ini akan kelihatan perbedaanya ketika ditulis, sebab jika diucapkan dalam bahasa Prancis bunyinya akan sama persis. Apa arti sebenarnya différance?  Sulit dijelaskan karena jika kata ini bisa dijelaskan dan menjadi jelas maka sama halnya mengurai suatu “kehadiran”, padahal konsep ini digunakan untuk mendekonstruksi kehadiran. Oleh karena itu kesimpulan yang harus dipegang adalah kata ini dimaksudkan melampaui metafisika kehadiran. Akhirnya harus dipahami bahwa différance tidak boleh dibayangkan sebagai “asal-usul” sebagai identitas terakhir yang melebihi identitas yang ada secara faktual. Hal ini harus dihindari karena akan menimbulkan makna-makna baru yang mengarah pada dimensi transendental. Apa itu différance?  Kita bisa menyebutnya “itu yang....” tak terhingga.

Teologi Derida: Teologi Apofatik
Rasanya sedikit aneh jika dalam poin ini disinggung mengenai Teologi Derrida. Kita mungkin berpikir bahwa Derrida adalah filsuf yang selalu bergulat dengan filsafat dan menjauhi teologi. Proyek dekonstruksi Derrida ternyata mempunyai dimensi “teologis”. Kata teologis disini jangan dipahami dalam kerangka metafisika kehadiran yang merujuk pada sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Dalam dekonstruksi Derrida hal ini merujuk pada ketidakmungkinan itu sendiri. Ketidakmungkinan untuk membicarakan “Tuhan” sebagai tout autre[viii], seperti halnya différance.
Membicarakan “Tuhan” adalah bagian dari dekonstruksi, bahkan dekonstruksi disebut sebagai hermeneutik atas “kematian Tuhan”. Kematian Tuhan adalah salah satu cara untuk menghilangkan “kehadiran”. Meneliti tentang Allah selalu mengandaikan ada dalam wilayah kehadiran. Taylor menyebut apa yang dikerjakan Derrida sebagai usaha dekonstruski tentang Tuhan, Sejarah diri sendiri, dan buku dan menurutnya Derrida mengajak kita membiarkan menunda tulisan/ teks untuk melihat lebih dalam apa yang ada dibalik teks. Ketika buku sudah ditutup lalu beralih kepada teks Taylor melihat inilah tanda hilangnya Tuhan atau pengarang.
Derrida memulai dekonstruksi ini berangkat dari sebuah wacana teologi negatif atau teologi apofatik. Teologi apofatik ini dinilai sebagai jembatan atau cara mengatasi kebekuan dalam usaha mengerti Tuhan. Yang dimaksud Teologi negatif atau teologi apofatik adalah teologi “tidak” tentang Tuhan, atau dengan lebih sederhana mau mengatakan teologi ketidaktahuan. Jean-Luc Marion salah satu murid Derrida menulis sebuah buku mengenai Tuhan-Tanpa-Ada. Dia berangkat dari pemikiran Heidegger tantang Being dalam usahanya menyelidiki tentang Allah dalam kerangka teologis. Bagi dia untuk mengetahui Allah kita harus berangkat dari apa yang disebut wahyu. Begitu sulitnya menguraikan siapa itu Allah Marion menjembatani konsepnya dengan menciptakan konsep Ikon. Hanya melalui Ikonlah, Allah itu dapat di ketahui dan ikon yang langsung diciptakan oleh Allah adalah Kristus sendiri. Kehadiran Kristus di dunia itulah ikon Allah yang sesungguhnya. Hanya dengan ikon inilah kita bisa menjangkau Allah. Ikon ini dipakai untuk menghindari kehadiran, karena ikon mewakili ketidakhadiran. Teologi kehadiran, metafisika dan logos identik dengan pemberhalaan. Bagi dia pemberhalaan terjadi ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai kehadiran. Namun demikian apa yang dipikrkan Marion sesungguhnya tidak bebas dari kritik. Pertanyaannya adakah teologi yang tidak lepas dari tendensi pemberhalaan?
Melanjutkan apa yang dipikirkan Derrida, Marion juga mencoba mengunakan tanda sebagai cara memahami Allah lewat gagasan fonosentrisme yang lepas dari logosentrisme. Bagi Marion Allah itu bisa didekati atau ditemukan pada situasi dimana Sabda/Alkitab dibacakan oleh imam. Ketika sabda itu dibacakan Allah menjadi tampak menunjukan dirinya dalam diri imam yang membaca. Peristiwa ini adalah bagian dari usaha mendekati Allah. Sesunggunya pemikiran Marion adalah cara baru dalam melihat teologi yang bebas dari logonsetrisme namun belum sepenuhnya lengkap. Apa yang dipikirkan oleh Marion ternyata mendapat tempat dalam pemikiran Derrida. Marion mengira “Tuhan-Tanpa-Ada” yang bisa terbebas dari sejarah dan bahasa. Gagasan ini tetap tidak menyelesaikan apa yang Marion pikirkan tentang Allah. Dalam situasi ini Derrida menolong dengan kalimat sederhana bahwa bahasa sesungguhnya mengalami keterbatasan untuk membuktikan Ada atau Allah. Marion akhirnya mengerti bahwa ketika para teolog mau membicarakan mengenai Tuhan, teolog harus diam, meninggalkan segala konsep dan wacana-wacana tentang Allah dan membiarkan Allah berbicara pada dirinya.
Bagi Derrida sesungguhnya Allah itu tidak mampu disingkapkan dengan bahasa karena bahasa itu terbatas. Hanya ada satu usaha ketika kita berbicara tantang Allah yaitu bahwa di hadapan Allah kita berusaha untuk tidak tahu. Ketidaktahuan ini menuntun kita pada pengharapan apokaliptik atau eskatologis bahwa Tuhan akan datang, Viens!

Titik Singgung

   Jalan alamiah
Jalan alamiah adalah situasi dimana Tao itu menjadi pedoman bagi semua makhluk. Jalan alamiah mengikuti kodrat alami. Jalan alamiah adalah jalan dimana keinginan-keinginan pribadi tidak diikuti. Melalui jalan alamiah inilah setiap orang bisa sampai pada Tao dan sejalan dengan Tao, semakin Tao itu diberi konsep dan pengertian semakin kita jauh dari Tao. Tao akan semakin lenyap ketika setiap manusia berusaha mengikuti keinginan-keinginan pribadi. Keinginan pribadi ini berupa konsep, definisi dan usaha-usaha untuk mencari apa sesungguhnya Tao. Semakin kita mendekati Tao dengan konsep-konsep maka akan semakin jauh dari Tao. Hanya ada satu jalan untuk bisa sampai pada Tao yaitu mengikuti jalan alamiah.
Derrida berbicara soal jalan alamiah[ix] ketika pada akhirnya manusia tidak lagi mampu menemukan dan mengerti Tuhan. Ketika kita berusaha mendekati Ada dan medefinisakan ada maka ada akan menjadi tidak jelas. Keterbatasan bahasa akhirnya mengarahkan pada satu keputusan bahwa jika kita ingin menemukan Ada jalan yang harus kita tempuh adalah membiarkan dia datang dan berbiacara pada kita.

   Keterbatasan bahasa
Salah satu sarana yang dipakai oleh filsafat dari masa ke masa untuk mengerti konsep mengenai Ada, Allah, Logos adalah bahasa. Bahasa menjadi sarana yang paling sering digunakan untuk mendefenisikan ‘apa itu Ada’. Dalam pemikiran timur banyak sekali nama-nama yang dipakai untuk menyebut Ada. Demikian pula dalam pemikiran barat ada banyak nama untuk Ada. Barangkali memang kebenaran semacam inilah yang sampai saat ini sampai pada kita. Namun bagi Taoisme dan Derrida bahasa pada akhirnya memiliki keterbatasan untuk merumusakan dan mendefinisikan Ada. Dalam situasi yang paling konkrit dan amat real ternyata bahasa memiliki keterbatasan karena justru dengan adanya nama-nama, konsep dan atribut-atribut tertentu yang terwakili  oleh bahasa dalam menyebut Ada justru mengurangi makna yang sesungguhnya.
Pada akhirnya ketika kita mau menemukan Ada yang sesungguhnya kita tidak membutuhkan konsep. Lao Tzu dan Chuang Tzu sendiri menemukan bahwa untuk mengerti Tao maka harus mengikuti jalan alamiah. Jika kita masuk lebih dalam lagi kita harus berhadapan dengan konsep  Wu-wei (non-aksi). Berhadapan dengan Tao kita tidak perlu berbuat apa-apa karena semakin kita membuat konsep dan pengertian tentang Tao sesungguhnya Tao tidak ada. Dalam poin ini sesungguhnya bahasa memang mengalami keterbatasan. Derrida dalam konteks yang sama akhirnya juga berhenti pada situasi bahwa penyelidikanya untuk mengerti Ada, ada dalam disposisi keterbatasan bahasa. Melalui penyelidikan Marion, Derrida mengungkapkan bahwa bahasa tetap tidak mampu menyingkap mengenai Ada. Dihadapan Ada kita hanya bisa diam, dan tidak berbuat apa-apa. Ada selalu menjadi dan tidak pernah berhenti pada satu konsep. Jika Ada masih dimengerti dalam pengertian “kehadiran” Ada sesungguhnya tidak lebih dari berhala.

   Soal nama dan eksistensi Ada
Tao pada intinya  tidak bisa diberi nama, tak berkarakter. Begitu halnya dengan Ada, Ada menurut Derrida tidak bisa diberi nama. Ketika Ada dapat dirumuskan dengan konsep-konsep maka Ada sesungguhnya bukan Ada. Ketika Ada itu mampu kita mengerti maka yang terjadi adalah kehadiran. Ada sesungguhnya melampaui kehadiran. Eksistensi ada; Tao adalah imanen karena Tao dekat dengan kita dan menjadi bagian dari kita. Tetapi Tao mengawasi kita dari jauh. Derida melihat bahwa Ada itu dekat dan bukan makna transendental. Jika Ada itu memiliki makna transendental maka Ada itu tidak lain dari kehadiran. Namun Ada itu non-site, berada pada tempat yang bukan tempat.



[i] Ada sebagaimana dipikirkan oleh banyak pemikir juga bisa di sebut, Allah, Logos, Syan Hyang dll.
[ii] Pemikiran ini adalah buah-buah dari pemikiran Konfucius/Konghucu bukan pemikiran Lao Tze. Bdk Filsafat Asia hlm.538-544
[iii] Bdk dengan Yoh. 1.1 “ Pada mulanya adalah logos (sabda); “ ‘En arkhe en ho logos’
[iv] Site atau non-site/non-lieu diartikan Sebuah tempat; tetapi bukan-tempat. Makna ini merujuk pada tempat yang tidak bisa dijangkau oleh konsep atau distingsi-distingsi tertentu.
[v] Derrida memikirkan tanda ini dengan istilah  trance ( bekas)  dimana tanda itu menandakan objek lainya, dan objek lainya itu mendahului tanda. Tanda itu adalah bekasa atau jejak dari tanda lain.
[vi] “Teks” yang dimaksud disini tidak sekedar teks tulisan tapi teks sebagai sesuatu yang tidak hanya sekedar tulisan melainkan sebuah  teks dimana tanda itu menandakan tanda lain. Sehingga secara lebih luas teks sebagai teks dapat ditafsir dan dibongkar. Teks disini memiliki makna yang lebih luas dari pada sekedar tulisan meski pada akhirnya Derrida akan menyelidiki juga tulisan.
[vii] K.Bertens, Filsafat Prancis 2006. “ betapa sulitnya pengertian ini sudah dapat diperkirakan, jika Derrida mengatakan: ini bukan sebuah konsep dan bukan pula sebuah kata. Alasanya bahwa setiap konsep dan kata terjalin dalam suatu rangkaian konsep ( atau rangkaian kata) dimana setiap konsep menunjuk kepada konsep lain dalam suatu” permainan” perbedaan-perbedaan. Tetapi différence (yang tidak lain dari seluruh “permainan” tadi) sendiri tidak merupakan konseo atau kata tetapi syarat kemungkinan untuk timbulnya konsep atau kata. Karena itu Derrida mengatakan lagi bahwa différence ( sama seperti trace atay bekas) tidak dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan, sebab tidak tertangkap dnegan” kehadiran” yang merupakan suatu peandaian tetap dalam ilmu pengetahuan.
[viii] Artinya : Yang sepenuhnya lain.
[ix] Jalan alamiah dalam Derrida tidak dimaksudkan sama persis seperti dalam Taoisme namun masih sejajar.

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

“Mereka Sedang Bekerja”

BERBAGI TAK PERNAH RUGI