TUHAN DALAM PANDANGAN PARA FILSUF ANALITIS



TUHAN DALAM PANDANGAN PARA FILSUF ANALITIS


Lamtarida Simbolon*

Professor Nielsen merupakan salah seorang pembela verifiabilitas teori makna. Dalam tulisanya, Tuhan Skeptisisme dan Modernitas dan Filsafat dan Ateisme, kaum teist akan condong percaya kepada Allah kecuali kalau mereka menetapkan pendiriannya. Kalau tidak hal itu tidak menegaskan apa-apa. Yang dia maksudkan ialah kaum fideis pengikut Wittgenstein atau yang dia sebut dengan fideist wittgensteinian. Kecuali kalau kita dapat menunjukkan apa artinya kata “Allah” itu, maka tidak ada artinya realitas Allah dalam iman. Nielsen mengatakan bahwa kita tidak dapat menemukan pembicaraan tentang kebenaran dalam Yudaisme dan Kristianitas. Baik Yudaisme maupun Kristen mengklaim dirinya sebagai yang lebih superior daripada betuk atau cara kehidupan lainnya. Pandangan seperti inilah yang menurut Nielsen tidak bisa diterima.
Nielsen berkata bahwa orang-orang percaya membicarakan dan berdoa kepada Tuhan. Tetapi tidak jelas kepada apa mereka tujukan doanya itu. Tuhan itu tidak bisa didefinisikan secara tepat dan definitif. Dia hanya diberi gambaran-gambaran antropomorfistis seperti ada-ada yang lain, misalnya Tuhan disebut sejenis Mickey Mouse kosmik, Tuhan yang menciptakan dunia, realitas paling tinggi, yang tak terbatas dan sebagainya. Kita tidak bisa mengerti definisi-definisi itu karena mereka tidak mempunyai fondasi empiris. Pengertian-pengertian transendental tidak kapabel untuk terhadap pengalaman empiris. Menurut Nielsen, tidak ada satupun penjelasan yang memuaskan tentang eksistensi Tuhan. Dengan percaya kepada Tuhan, kaum teist itu menurut Nielsen melakukan kebohongan. Dia mengatakan bahwa sangat irasionallah bagi orang-orang terdidik secara filosofis dan saintis untuk mempercayai Tuhan di abad ke dua puluh ini.
Problem kejahatan menjadi motivasi kaum ateis untuk tidak mempercayai Allah. Dalam bab ini saya memberikan sebagian perhatian terhadap problem kejahatan yang telah menyibukkan pikiran para filsuf. Dalam literatur kontemporer, ada pembedaan yang jelas tentang problem kejahatan ini. Pada tahun 1995, J.L. Mackie dalam artikelnya Kejahatan dan Kemahakuasaan mengatakan bahwa secara logis inkonsistenlah mengafirmasi bahwa Tuhan itu mahakuasa dan mahabaik, padahal ada fakta kejahatan di dunia. Menurut dia, ini merupakan problem logika bukan problem praktis atau saintis. Dia mengatakan, “inilah problemnya: Tuhan itu mahakuasa; Tuhan itu mahabaik; namun kejahatan ada. Ada kontradiksi antara ketiga proposisi itu, sehingga dua dari tiga proposisi itu benar, sedangkan yang ketiga salah. Namun ketiganya merupakan bagian esensial dari posisi teologis: para teolog nampaknya setuju pada ketiga proposisi itu, tetapi juga sekaligus tidak bisa secara konsisten mempertanggungjawabkannya.”
Beberapa filsuf agama kontemporer mengatakn bahwa inkonsistensi yang logis ini tidak adequat dan tidak dapat dipertahankan. Professor Filsafat di Universitas Purdue, William Rowe mengatakan bahwa ketidaksesuaian itu tidak dapat diterima, sebagaimana yang digagas oleh Palatinga dan para filsuf lain yang mengatakan bahwa konsistensi logislah mengangap bahwa eksistensi Allah ada bersama dengan eksistensi kejahatan. Bagaimanapun, masih tetap ada bentuk tetap dari problem kejahatan sebagaimana yang diungkapkan oleh para filsuf, termasuk Edward Madden, Peter Hare dan Rowe. Mereka mengatakan bahwa jika problem inkonsistensi dapat diselesaikan, kaum teist tradisional masih harus memberikan penjelasan yang masuk akal tentang fakta kejahatan di dunia. Dalam artikel yang luas didiskusikan pada tahun 1979 itu, Rowe berpendapat bahwa walaupun kejahatan tidak mungkin inkonsisten secara logis dengan kepercayaan kaum teist, banyaknya problem kejahatan menimbulkan pertanyaan apakah Allah itu ada, dan ini menjadi pendorong bagi kaum ateis. Kata “Tuhan” yang dimaksud Rowe adalah sebagaimana yang terdapat dalam agma tradisional Yahudi, Kriste dan Islam. Dia mendefinisikan bahwa seorang teis ialah seorang yang percaya pada suatu eksistensi yang penuh kuasa, mengetahui segalanya dan pencipta yang baik. Seorang ateis menolak semuanya ini. Rowe menadari bahwa kata “teisme” dan “Tuhan” mungkin digunakan dalam arti yang lebih luas. Namun ini hanya perkara bagaimana orang mengerti arti kata.
Argumen para ateis sebagai berikut:
1.      Ada penderitaan yang luar biasa; (seandainya) ada Ada yang mahakuasa dan mahatahu, seharusnya ia dapat mencegah itu tanpa sedikitpun kehilangan kebaikan dan kemahakuasaannya, dan tidak membiarkan kejahatan berkuasa.
2.      Ada yang mahabaik dan mahatahu itu harus mencegah peristiwa-peristiwa penderitaan yang hebat itu kalau ia dapat, kecuali kalau ia tidak dapat melakukannya tanpa kehilangan kebaikan yang lebih besar atau tanpa membiarkan kejahatan atau keburukan.
3.      Tidak ada Ada yang mahabaik, mahakuasa, mahatahu.
Kalau argumennya valid, kita harus bertanya apakah ada dasar yang lebih rasional untuk menerima premis-premis itu. Premis yang kedua, yang meruypakan argumentasi Rowes, sesuai dengan prinsip-prinsip moral kita dan ini lebih dapat diterima baik oleh kaum teis maupun kaum ateis. Banyak orang percaya bahwa Tuhan yang mahabaik, mahatahu dan mahakuasa itu dapat mencegah kejahatan dan penderitaan kecuali kalau Ia mempunyai alasan untuk membiarkannya. Jika kemudian kaum ateis keliru, problemnya haruslah dicari pada premis pertama…Kalau Tuhan memang mahakuasa, mahabaik dan maha-segalanya, maka dia seharusnya dapat mencegah penderitaan dan tidakmembiarkan kejahatan. Rowe memang mengatakan bahwa argumen ini tidaklah kuat untuk membuktikan kebenaran argumen 1. Namun dia juga berpendapat bahwa kita mempunyai dasar rasional untuk membenarkan argumen pertama itu. Dia menyimpulkan, “sangat masuk akallah bagi kita untuk mempercayai bahwa Tuhan kaum teis itu tidaklah eksis.”
Rowe bertanya, bagaimanakah posisi kaum ateis menghadapi kaum teis? Apakah kaum ateis harus berpikir bahwa kaum teis itu juga rasional? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini Rowe membedakan jenis-jenis kaum ateis. Pertama, ada jenis ateis yang tidak bersahabat yang berpendapat bahwa kaum teis itu sangat tidak rasional, dan Tuhan dari kaum teis tradisional itu tidaklah eksis. Kedua, ateisme indifferen. Mereka tidak peduli apakah kaum teis itu rasinal atau tidak, dan tidak peduli apakah Tuhan itu eksis atau tidak. Ketiga, ateisme yang bersahabat. Kelompok ini berpandangan bahwa mungkin sebagian kaum teis itu rasional dalam kepercayaannya. Rowe membela posisi kaum ateis ini.
Kelompok ateis yang bersahabat ini beranggapan bahwa kaum teis mempunyai dasar yang rasional atas keyakinannya walaupun kaum ateis menolak kepercayaannya itu, dan karena itu membenarkan kaum teis itu juga. Seorang ateis mungkin secara rasional membenarkan bahwa seorang teis benar dalam kepercayaannya. Kaum ateis mungkin percaya bahwa argumen kaum teis tentang eksistensi Tuhan, pengalaman-pengalaman religius, menjadi dasar rasional (mereka) bahwa Tuhan itu eksis. Mereka mungkin percaya bahwa kaum teis mengerti seluruh dasar kaum ateis dan membenarkan kepercayaannya. Mereka dapat melakukan ini jika mempunyai alasan untuk percaya bahwa dasar untuk kaum teisme dapat dibenarkan tidak hanya sebatas pembicaraan.


IV
Topik yang akan dibahas pada bab ini ialah tentang pengethuan religius dan pembenaran kepercayaan religus. Selama dua pulh atau tiga puluh tahun terakhir ini, tema-tema yang dibahas oleh para filsuf analitis semakin luas. Salah satu tema yang menarik perhatian mereka ialah doktrin klasik tentang Tuhan. Ada banyak pertanyaan filosofis tentang Tuhan, misalnya tentang model-model alternatif Tuhan, ketegangan antara kategori-kategori Yunani dan biblis tentang TUhan, dan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut atribusi-atribusi Tuhan seerti perubahan dunia (sedangkan Tuhan itu abadi), realitas kejahatan (padahal TUhan itu mahakuasa), dan kebeasan manusia. Saya tidak mungkin membahasa semua tema itu di sini. Saya hanya ingin membahas tentang atribut-atribut Tuhan dengan mendiskusikannya degan doktrin tentang keabadian.
Pertanyaan tentang keabadian Tuhan merupakan suatu topik yang sangat luas diperdebatkan oleh para filsuf agama, dan tema tentang keabadian TUhan ini mempunyai akibat yang signifat dalam usaha-usaha untuk membangun suatu teori tentang Tuhan yang komprehensif. Dengan mengatakan Tuhan itu abadi, mungkin yang dimaksudkan ialah “Tuhan itu (ada) senantiasa”, bahwa Tuhan tidak mempunyai awal dan akhir, bahwa Tuhan selalu eksis. Kaum teis klasik juga berpandangan bahwa TUhan itu tanpa waktu, tanpa masa lalu dan masa depan karena keabadianNya mencakut seluruh waktu secara simultan. Banyak teolog klasik yang berpegang pada ke-tanpa-waktu-an Tuhan ini, seperti Agustinus, Aquinas dan Anselmus. Tetapi Boethius sering menekankan, “keabadian ialah kepemilikian akan hidup yang tanpa akhir secara komplit sebagai suatu yang simultan secara keseluruhan. Hal ini akan semakin jelas kalau dibandingkan dengan halhal temporal. Karena setiap yang hidup dalam waktu, pastilah mempunyai masa lalu, masa sekarang dan masa depan; tidak ada sesuatu pun yang hidup salam waktu dapat mencakup seluruh rentang waktu hidupnya sekaligus, tetapi ia tidak bisa menggenggam masa depan, dan akan selalu kehilangan masa lalu.”
Mungkiun pertanyaan yang paling fundamental ialah menyangkut ke-tanpa-waktu-an Tuhan ini. Bagaimana bisa TUhan yang tanpa waktu itu menjadi pribadi yang memikirkan dan masuk ke dalam relasi-relasi dengan ciptaanNya? Banyak filsuf mengatakan bahwa ke-tanpa-waktu-an TUhan ini inadequat dengan pengertian tentang Tuhan dalam kaitannya dengan proses dunia yang temporal ini. Banyak pemikir analitis juga mempertanyakan tentang atribus Tuhan. Richard Swinburne, dalam bkunya The Coherence of Theism, mengatkan bahwa penafsiran bahwa Tuhan itu kekal dan selalu eksis merupakan penafsiran yang terlalu sederhana tentang keabadian TUhan. Dia berargumentasi bahwa pandangan kaum teis yang mengatakan bahwa Tuhan itu tanpa waktu dan eksis di luar waktu, inkoheren dan inkompatibel dengan banyak hal yang mereka katakan tentang Tuhan. Doktrin tentang keabadian ilahi ini nampaknya masuk ke dalam agama Kristen dari pemikiran neo-Platonis melalui Agustinus dan Aquinas.
Swinburne mengatakan bahwa inkoherensi gagasan ini terletak pada: mengatakan bahwa Tuhan itu tanpa waktu itu berearti bahwa Dia eksis secara simultan pada semua momen waktu manusia. Itu berarti, TUhan hadir secara simultan dalam apa yang saya lakukan kemarin, apa yang sedang saya lakukan sekarang dan apa yang akan saya lakukan esok. Jika demikian, seluruh waktu ini juga (kemarin, sekarang, esok) berjalan secara simultan. Hari kemarin sama dengan hari sekarang dan hari esok. Dan hal ini merupakan hal yang tidak masuk akal sama sekali. Menurut dia, “satu-satunya cara unutk menghindari pengertian ini ialah memperluas pengertian secara simultan (simultaneously), sehingga keserempakan (simultaneity) mencakup antara tindakan-tindakan saya dan tindakan-tindakan yang berbeda dari keserempakan itu.” Menurut Swinburne, keyakinan akan kekekalan Tuhan ini juga membuat kaun teis sulit untuk mengatakan bahwa Tuhan itu mengampuni, menghukum atau memperingatkan kita, karena tidak ada kepastian kapankah Tuhan melakukan hal ini, apakah sebelum atau sesudah waktu yang lain. Jika kita mengatakan P membawa X, hal itu membuat kita bertanya, kapan P membawa X? nelson Pike (seorang professor filsafat di Universitas Californis) mengatakan bahwa memuji Tuhan tidak berarti mengatkan bahwa Tuhan itu abadi atau tanpa waktu. Dengan menolak ke-tanpa-waktu-an Tuhan ini, kita dapat menghindari konflik yang menimbilkan atribut-atribut lain, termasuk kemahatahuan Tuhan dan sebagainya.
Meskipun banya filsuf analitis atau non-analitis yang menolak gagasan keabadian Tuhan itu, ada juga para filsuf yang membela gagasan tersebut, seperti Eleanor Stump dan Norman Kretzmann, dan juga Paul Helm. Saya ingin berfokus pada gagasan Brian Davis tentang pembelaannya terhadap gagasan keabadian Tuhan. Davies menanggapi klaim yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidaklah kekal, tidak immutabel dan tidak sebagai pribadi. Davies mengatakan bahwa gagasan “Tuhan adalah suatu pribadi” bukanlah konsep biblis dan hal itu tidak cocok dengan keyakinan Kristen bahwa Tuhan itu merupakan Trinitas. Davies mengatakan bahwa orang Kristen meyakini gagasan Trinitas, bahwa ada tiga pribadi dalam satu, namun itu bukan berarti ada tiga pribadi dalam satu pribadi. Gagasan bahwa Tuhan adalah pribadi menimbulkan masalah lain yaitu tentang ke-tak-terbagi-an Tuhan. Mungkin mereka mengatakan bahwa pengertian “Tuhan sebagai pribadi” tidaklah dalam arti biasa. Menrut Davies, mengatakan bahwa TUhan adalah pribdi berarti kita tidak dapat mengatakan yang lain lebih daripada itu.
Seseorang mungkin dapat menyetujui Suwinburne atau Pike yang menyangkal argumen Davies. Namun kelirulah menganggap bahwa Swinburne dan Pike berpandangan bahwa Tuhan ada dalam waktu dan terlibat dalam perubahna yang real. Bagi Davies, mengatakn bahwa TUhan membawa sesuatu harus dimengerti dalam term bahwa sesuatu itu datang, bukan dalam arti bahwa Tuhan sungguh terlibat untuk membawa sesuatu itu pada waktu tertentu.
Menurut para teolog eksistensial dan pembebasan, Tuhan harus secara aktual berpartisipasi dalam penderitaan manusia karena Dia adalah Tuhan yang mencinta. Davies menyetujui bahwa cinta manusia sering menuntut penderitaan, bahwa menuntut pengorbanan seseorang terhadap yang lain. Tetapi dia tidak percaya bahwa cinta Tuhan harus dibayar dengan cara seperti itu. Menurut dia, Tuhan itu sungguh bebas dan sempurna. Penderitaan merupakan pembatasan terhadap kekebasan seseorang. Dalam pandangannya, cinta dan pembatasan tidak selalu inseparabel (tidak dapat dipisahkan). Seseornag mungkin dapat mengatakan bahwa cinta adalah mencapai kepenuhannya karena sang pecinta tidak dibatasi oleh apapun. “Dan seseorang mungkin menambahkan bahwa bahkan Tuhan yang kekal itu dapat dikatakan melakukannya jika Dia juga pencipta dan pemilik alam semesta ini. Karena jika Tuhan yang menciptakan segalanya, bukankah Dialah juga yang merupakan sumber kebaikan dari semua ciptaanNya?” davis menemukan akar gagasannya dalam Thomas Aquinas, yang mengatakan, “Tuhan mencintai segala sesuatu. Karena segala sesuatu itu baik sejauh real; eksistensi dari segala sesuatu itu baik. Kami telah menunjukkan bahwa kehendak Tuhanlah yang menciptakan segala-sesuatu itu, dan konsekuensinya, segala yang dikehendaki TUhan itu baik. Dengan demikian, jelaslah bahwa segala sesuatu baik, maka Tuahn mencintai segala yang baik itu.”seseorang mungkin menanggapi ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki apapun, karena kehendak Tuhan itu tidak berubah. Tuhan dapat menghendaki hanya apa yang Dia kehendaki, dan Dia tidak sungguh bebas mencipta. Menanggapi hal itu, Davies mengatakn bahwa dari fakta Allah itu immutabel, tidaklah berarti Tuhan itu terikat untuk mencipta.
Sekarang kita mencoba mernagkung gagasan Davies tentang pembelaannya terbhadap gagasan klasik tentang keabadian. Dia mempunmyai alasan-alasan yang lebih positif untuk mendorong pengertian klasik tentang keabadian. Dia mengatakan, jika kita mempunyai alasan untuk memikirkan bahwa Tuhan itu tak terbatas, kita juga mempunyai alasan menolak bahwa Tuhan itu dapat berubah, dan karena itu kita mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak temporal. Dengan demikian, kita mempunyai alasan untuk mendukung gagasan klasik tentang keabadian Tuhan. Mempercayai keabadian Tuhan juga membantu seseorang merekonsiliasi keyakinannya tentang kemahatahuna Tuhan dalam realitas kebebasan manusia. Mempercayai bahwa Tuhan itu abadi dalam pengertina klasik, berarti meyakini bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan tentang seseorang mendahului yang lain. Kemahatahuna Tuhan tidak berarti bahwa Tuhan tahu segala seluk-beluk tindakan manusia yang sedang terjadi. Kemahatahuan Tuhan tidaklah dapat diaplikasikan secara ketat bawha Dia mengetahui segala tingkah laku manusia.

VII
Banyak teolog Kristen abad ke-20 berpandangan bahwa pengetahuan Tuhan itu diwahyukan, dan pewahyuan itu tergantung pada inisiatif illahi. Beberapa dari mereka membatasi pengetahuan Tuhan itu terhadap revelasi Yesus Kristus. Yang lain berpandnagan lebih umum, mengatakan bahwa Tuhan itu mewahyukan diriNya dalam alam, sejarah dan kesadaran. Sebagian kecil dari para teolog itu menempatkan teologi natural bukan sebagai pembuktian akan eksistensi Tuhan, melainkan lebih pada usaha-usaha untuk membantu mengkonfismasi atau menolak pengalaman tentang keilahian. Lingkungan ini membawa para filsuf analitis kontemporer lebih terbuka pada beberapa posisi teologis ini. Flew, Nielsen, Rowe dan para filsuf lainnya terus menantang kaum teis dalah hal isu-isu tentang makna, kebenaran dan pengetahuan religius.
Meskipun Plantinga tidak menolak fundasionalisme secara keseluruhan, dia menolak kriteria fundasionalisme klasik tentang dasar religiusnya, dan dia mengatakan bahwa sangat masuk akallah bagi seseorang untuk mempercayai Tuhan tanpa dasar bukti-bukti. Dasar kepercayaan seseorang terhadap TUhan ialah dilihat dari berfungsinya sistem kognitif dengan baik. Kepercayaan dasar yang paling utama bergantung pada konteks kepyakinannya itu. Misalnya, pengalaman saya diadili Tuhan menegaskan konteks keyakinan saya itu, yaitu bahwa Tuhan mengadili saya dan TUhan itu eksis. Tekanan Plantinga terhadap pengalaman sebagai dasar keyakinan religius mempunyai kecocokan dengan epistemologi religius Alston. Bagi mereka berdua, pengalaman memberikan pembenaran prima facie untuk keyakinan religius. Plantinga juga namapaknya terbuka pada fakta-fakta yang tegas, namun dia tidak melangkah lebih jauh untuk membela orang-orang yang percaya. Penekanan Alston terhadap pluralitas pengertian pembenaran kepercayaan religius menambahkan sesuatu yang penting terhadap pembenaran keyakinan religius, sehingga dia dapat mengapresiasi teologi natural, termasuk kemungkinan pandangan Swinburne terhadap eksistensi TUhan. Dia mengatakan, bagaimanapun prinsip-prinsi Swinburne tentang kepercayaan diaplikasikan terhadap pasangan keyakinan dan pengalaman yang tertutup. Kebalikannya, dengan mewujudkan keyakinan eksperensial individual dalam rasinalitas sosial yang dibangun dalam praktek-praktek doksastik, Alston telah menempatkan beban pembuktian ini pada mereka yang menolak rasionalitas setiap keyakinan religius.
Plantinga dan Alston membagian metode mereka tentang pengalaman. Dalam terminologi Alston, kesadaran mistik adalah sesuatu yang langsung nampak kepada saya secara demikian. Alston menyadari bahwa pandangannya ini berlawanan dengan banyak filsuf termasuk Steven Katz yang menolak setiap pengalaman mistik yang universal dalam setiapp pengertian atau penilaian teori pengalaman. Pandangan Katz tidak membuatnya mengalami kesulitan, karena orang-orang dari budaya yang berbda menemukan kesamaan dalam pengalaman. Kalau demikian, jika persepsi mistik adalah persepsi seseorang, hal itu lebih merupakan bahwa seseorang itu hidup dalam konteks historisnya. Alston ingin menghindari membicarakannya seakan-akan menerima Tuhan hanyalah bahwa Tuhan ada dan menjelaskan perasaan yang dimiliki seseorang. Tetapi interpretasi dibutuhkan tidak sebagai tambahan terhadap persepsi. Sebagai ada historis, kita menyadari bahwa diri kita selalu mempunyai masa lalu yang memampukan sekaligus membuat batasan terhadap pengertian dan ada. Interpretasi dimengerti sebagai inheren dalam tindakan menerima, karena hal itu membuat eksplisit atau mengidentifikasi apa yang diterima. Tanpa pandangan speerti ini, nampaknya sulit memahami bahwa apa yang diyakini seseorang sebagai kehadiran Tuhan, tetapi merupakan misinterpretasi atau misidentifikasi seseorang terhadap apa yang diyakininya.
Poin  yang berkaitan dengan hal yang dibicarakna di atas ialah diskusi tentang reaslime dan anti realisme. Menurut Alston, kebanyakan praktisi agama adalah pre-Kantian dalam pengertian dan keyakinan mereka. Artinya, mereka meyakini bahwa kebenaran religius itu direvelasikan Tuhan dan bahwa Tuhan memberikan kita proposisi-proposisi yang benar tentang Tuhan. Alston sangat hati-hati berpikir dan dia tidak menolak kemungkian pengalaman akan Tuhan yang tidak langsung atau termediasi, perubahan dalam praktek-praktek doksastik agama, atau analogi dan metafor dalam bahasa agama. Seserang pastilah ingin tahu seperti apa posisi mereka dalam prakte-praktek tradisi-tradisi religius yang berbeda-beda.  Cantwell Smith mengatkan bahwa seseorang berpartisipasi dalam tradisi religius yang disebut Yudaisme, Kristianitas, Hinduisme, Islam atau Buddhisme. Perjumpaan kita dengan tradisi-tradisi religius yang berbeda memperluas batas-batas tradisi religius historis kit amasing-masing. Hick dan para filsuf lainnya mengatakan bahwa perbedaan dan perluasan tradisi-tradisi kita selalu diinterpretasikan, dan realitas transenden dibentuk dan diwarnai konsep-konsep manusia, serta gambaran-gambaran tentangnya dipengearuhi oleh tradisi-tradisi religius partikular kita.
Dalam  pembahasan di atas kita telah melihat perbedaan-perbedaan penting dari konsep-konsep revelasi, iman dan tradisi. Alston nampaknya memenganggap revelasi dan iman sebagai pesan-pesan atau proposisi-proposisi yang direvelasikan, sementara Hick menempatkan revelasi dan iman sebagai reorientasi dari pribadi. Mungkin kedua konsep itu sangat esensial untuk mencari pengertian yang tepat tentang revelasi dan iman,  tetapi yang kedua nampaknya mereduksi revelasi dan iman hanya sebagai keyakinan intelektual. Pertanyaan tentang tradisi berkatian dengan kedua hal itu. Dalam pandangan Gadamer, kita termasuk dipengaruhi tradisi. Dengan demikian, tradisi merupakan mereka yang historis. Mereka hidup dengan meneruskan tradisi dari generasi ke generasi dalam konteks historis kontemporer. Hal ini membuat terjadinya diaog antara penafsir dan yang ditafsirkan, antara yang mempertanyakan dan yang ditanyakan. Dalam pandangan tradisi ini, seseorang tidak dapat sampai pada makna yang benar.
Plantinga, Alston, Swinburne dan Hick disautkan dalam oposisi mereka terhadap pengertian-pengertian bahasa agama yang tidak realis. Jika keilahian tidak merupakan pengertian yang diberikan, keyakinan dan iman kaum teistik religius nampaknya melampaui akal budi. Bagaimanpun, pengertian yang diberikan kaum tradisional ini tetaplah adequat dan menjadi pertanyaan yang terbuka. Bahkan Derrida mengatakan bahwa tidak ada yang melampaui bahasa. Meskipun nampaknya Cupitt mempunyai pandangan yang berbeda, namun dia juga tetap menolak realitas religius yang melampaui proyeksi integritas spiritual manusia. Dia simpatik dengan pandangan Philips tetapi melihat bahwa Philips tidak melangkah lebih jauh. Philips mengatkan bahwa ketika kita memikirkan Tuhan sebagai suatu realitas di antara realitas lain, dan ketika kita mencari pembenaran eksternal untuk memercayai Tuhan, kita menolak karakter keharusan dan absolut dari realitas Tuhan dan tidak mengetahui kesementaraan dari iman religius. Menurut dia, kita akan salah mengerti keyakinan religius kalau kita membuatnya sekadar pengertian teoretis dan memisahkannya dari pernyataan-pernyataan afektif, dan kelirulah hanya menempatkan keyakinan religius hanya dalam pengertian empiris dan sikap-sikap manusiawi. Philips juga menekankan pentingnya keterbukaan suatu keyakinan religus terhadap tradisi-tradisi religius yang lain. Namun posisi ini juga namapaknya lemah berkaitan dengan tugas profetis dari setiap keyakinan religius. Banyak teolog kontemporer yang sependapat dengan Philips. Mereka berbicara tentang Tuhan sebagai nilai tertinggi, realitas tertinggi, atau bahkan ada itu sendiri, dan keyakinan religius dilihat sebagai discernment dan komitmen dari keseluruhan diri kita kepada Tuhan. Konsepsi-konsepsi tentang TUhan dan iman nampaknya melampaui batas-batas ekspresi distingtif dari bentuk hidup religius partikular. Dengan demikian, bentuk-bentuk penghayatan religius sering dipertentangkan dengan yang bukan religius, dan pandangan-pandangan seperti ini seringkali indifferen terhadap realitas atau bahkan absurd. Yang menjadi tiang atau ukuran sebenarnya ialah bagaiaman keseluruhan realitas ditafsirkan dan dimengerti. Nampaknya, pada analisis final seseorang tidak dapat menghindari pertanyaan ini: bagaimana kita menginterpretasikan realitas?

Mahasiswa Program MagisterFilsafat & Teologi Sistematis
di STFT Widya Sasana Malang

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato