RITUS KORBAN (Perbandingan antara Pemikiran René Girard dengan Kepercayaan Tradisional Batak Toba tentang Ritus Korban)
RITUS KORBAN
(Perbandingan antara Pemikiran René Girard dengan Kepercayaan Tradisional
Batak Toba tentang Ritus Korban)
Lamtarida Simbolon*
Apakah Barat dan apakah Timur itu? Yang manakah Barat dan yang manakah
Timur? Tidak mudah menarik garis yang jelas untuk membedakan mana Barat dan
mana Timur, terlebih di zaman badai informasi, teknologi dan globalisasi ini. Namun meski
demikian, tidaklah berarti kita tidak perlu bertanya tentang identitas, tentang
Timur dan Barat, tentang budaya lokal dan global. Justru pada situasi seperti
itu sangat pentinglah menggali falsafah lokal, menggali akar budaya dan
kebijaksanaan yang ada dalam masyarakat kita, sehingga kita tidak
kehilangan jati diri. Perlu mengangkat nilai-nilai yang ada dalam budaya kita,
sehingga nilai-nilai itu bisa menjadi kekuatan dalam merangkai identitas kita.
Tulisan ini merupakan suatu eksplorasi terhadap nilai-nilai luhur salah satu budaya Timur yang terkandung dalam kebijaksanaan Batak Toba, yaitu terhadap suatu tradisi ritus korban yang ada dalam kepercayaan
tradisional Batak.[1]
Eksplorasi ini akan dilihat dalam perbandingannya dengan budaya Barat, lebih tepatnya
dibandingkan dengan pemikiran René Girard. Skema tulisan ini sebagai berikut.
Pada bagian pertama akan dijelaskan ritus korban menurut René Girard dan ritus korban dalam kepercayaan tradisional Batak Toba. Pada bagian kedua akan dianalisis perbandingan antara ritus
korban dalam pemikiran Girard dengan ritus korban dalam tradisi Batak Toba.
Pada bagian ketiga akan diberikan sedikit refleksi filosofis-teologis terhadap
perbadingan ritus korban itu.
I.
Ritus Korban Menurut René
Girard dan Ritus Korban Dalam Kepercayaan Tradisional Batak
Toba
René Girard lahir di Avignon, Perancis, pada tanggal 25 Desember 1923. Sejak
usia sepuluh tahun, Girard sudah acuh terhadap kepercayaan. Di masa mudanya, ia
malah aktif sebagai pemikir yang kekiri-kirian secara intelektual dan politik.[2]
Disertasinya berjudul “Private Life in
Avignon in the Second Half of the Fifteenth Century” (1947). Kemudian ia
pindah ke Amerika Serikat, dan di sana menyelesaikan doktoratnya
yang kedua di Universitas Indiana. Sejak itulah ia menghabiskan hidupnya lebih banyak di Amerika Serikat. Ia menjadi
guru besar sastra di berbagai universitas, seperti Universitas John Hopkins dan Universitas Stanford. Ia menulis banyak tentang sastra, etnologi,
antropologi, psikologi, mitologi dan teologi. Setelah 26 tahun menjadi
agnostik, Girard akhirnya kembali ke gereja Katolik.[3] Ia
mengalami semacam pertobatan. Pemikiran Girard yang membuatnya terkenal dan banyak dibahas di mana-mana ialah teori mimesis
dan teori kambing hitam. Di kalangan para teolog Katolik, pemikiran Girard ini
juga dikembangkan dan diaplikasikan.
1.
Teori Kambing Hitam dan Fenomena Kepercayaan
“Violence
is the heart and the secret soul of the sacred.”[4] Teori Rene Girard tentang Kambing Hitam terangkum dalam
kalimat di atas. Menurut dia, apa yang nampaknya diselubungi motif-motif suci,
seperti berbagai macam fenomena agama maupun
kepercayaan tradisional, mengandung kekerasan. Artinya, praktek-praktek atau
ritual-ritual korban dalam agama-agama yang diselimuti oleh
alasan-alasan suci itu, merupakan ungkapan
kekerasan dari pengimannya atau masyarakat yang menghayati kepercayaan
tersebut. Karena kekerasan dalam masyarakatlah maka timbul ritus-ritus kekerasan
itu. Dengan kata lain, kekerasan dan apa yang suci itu bukan hanya tak bisa
dipisahkan, tapi juga tak bisa dibedakan. Kekerasan itu adalah asal-usul
pelbagai institusi masyarakat, termasuk agama.[5]
Pertanyaannya adalah mengapa agama yang
kita pandang suci itu memuat kekerasan? Bukankah agamaitu
seharusnya pembawa damai, tanpa kekerasan? Dengan pertanyaan lain, bukankah
korban yang dipraktekkan dalam kepercayaan-kepercayaan itu merupakan
persembahan kepada Tuhan? Justru di sinilah kaitannya menurut Girard, sekaligus
tesis dasar teori kambing hitamnya.
Menurut Girard, masyarakat itu sangat rawan dengan krisis dan
mudah tersulut kekerasan. Mengapa? Karena di dalam diri manusia itu terkandung
rivalitas yang sewaktu-waktu bisa menyulut balas dendam dan kekerasan. Dalam
teori mimesis[6],
Girard mengatakan bahwa manusia itu saling bersaing dalam menghasratkan
sesuatu. Rivalitas itulah yang memotivasi manusia untuk bertindak, sehingga
tidak sering terjadi kekerasan dengan multi wajah.
Agama, menurut Girard, disusupi oleh kekerasan ini. Dalam arti, agama juga melakukan kekerasan seperti misalnya tradisi korban,
entah itu korban binatang atau korban manusia seperti kisah Abraham yang hendak
mengorbankan Ishak. Mengapa agama melegalkan
kekerasan ini? Karena tindakan tersebut merupakan strategi agama untuk menangani kekerasan. Supaya kekerasan dalam kehidupan
nyata tidak merajalela, supaya masyarakat hidup tenang, kekerasan itu harus
dialihkan. Caranya ialah dengan membuat suatu korban pengalih kekerasan. Inilah
dasar dari teori Girard tentang kambing hitam. Kambing hitam merupakan korban
pengalih kekerasan yang ada dalam hidup manusia itu. Dengan demikian, setelah
kekerasan itu teralihkan, maka terjadilah hidup damai. Bagi Girard, hanya ada
satu alasan yang mendorong manusia melakukan tindakan korban, yakni kekerasan
internal yang mengacaukan masyarakat. Dan tujuan ritus korban hanyalah:
mengharmoniskan kembali masyarakat yang dikacaukan oleh kekerasan itu.[7]
Namun pertanyaan kritisnya, mengapa ritus korban itu harus diselimuti
dengan motif-moti religius? Karena hanya dengan demikianlah maka korban itu
berfungsi efektif. Kalau korban itu terang-terangan disebut sebagai pengalih
kekerasan, malah korban itu tidak efektif. Korban itu akan menjadi sama persis
dengan tindakan kekerasan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi ritus korban itu akan berfungsi mengalihkan
kekerasan kalau melaluinya diadakan penipuan atau disembunyikan di balik
alasan-alasan religius-teologis. Jadi tindakan kekerasan itu disembunyikan
dalam rangka suatu bakti suci. Tapi penyembunyian diri atau lebih tepat
penipuan diri itu mutlak perlu. Kalau tidak, korban tidak bisa efektif, dan
kekerasan akan merajalela.[8] Jadi, menurut Girard, agama-agama itu
mempunyai ritus korban yang merupakan suatu kambing hitam kekerasan. Menurut
Girard, agama berfungsi untuk menundukkan kekerasan dan menjaga supaya
kekerasan itu tidak liar.[9]
2.
Ritus Korban dalam Kepercayaan Tradisional Batak Toba
a. Latar
Belakang Kepercayaan Tradisional Batak Toba
Pada bagian ini akan dijelaskan pandangan
kepercayaan tradisional Batak Toba tentang ritus korban. Lebih
dulu akan dijelaskan secara singkat seperti apa kepercayaan tradisional Batak
Toba itu. Batak Toba[10]
mempunyai kepercayaan atau kepercayaan tradisional. Secara ringkas teologi
mereka dapat dikatakan demikian. Mereka menyembah Tuhan yang disebut dengan Mulajadi na Bolon. Seperti apa
eksistensi Mulajadi na Bolon ini?
Untuk memahaminya, kita perlu membedah kata-kata atau konsep Mulajadi na Bolon itu.
Anicetus B. Sinaga mengatakan, “Mulajadi is the composition of the words mula and jadi. Mula means “beginning” and jadi (in its active intransitive form manjadi) means “to become”. The
combination of both words means “the beginning of becoming” or “the beginning
of genesis”. Bolon means “great”.
Under this name Mulajadi na Bolon is
presented as the Creator.”[11] W. Kodding, seorang Batakolog asal Jerman, dalam Anicetus
(1981) mengatakan bahwa Mulajadi na Bolon
adalah “the great beginner of being or He who has his beginning in
himself”. Johannes Warneck, juga seorang Batakolog asal Jerman, mengatakan
bahwa Mulajadi na Bolon adalah “the
Origin of Genesis”.[12] Dari
pengertian-pengertian di atas kita melihat bahwa Tuhan dalam kepercayaan Batak
tradisional itu atau yang disebut dengan Mulajadi
na Bolon adalah Tuhan yang agung, Pencipta, permulaan. Itulah konsep Tuhan
yang ada atau yang disembah oleh para pengiman Batak Toba tradisional.[13]
Susunan alam semesta dalam pandangan kepercayaan tradisional
Batak Toba itu dibagi tiga. Pertama, banua
ginjang (benua atas). Bagian ini didiami oleh Mulajadi na Bolon beserta dengan seluruh penghuninya, yaitu suru-suruan (malaikat-malaikatNya).[14] Kedua, banua tonga (benua tengah atau dunia). Banua
tonga diciptakan oleh Mulajadi na
Bolon melalui suru-suruanNya Si Boru Deak Parujar. Banua tonga ini merupakan tempat manusia
dan segala mahluk lain, juga dipengaruhi oleh kuasa kejahatan. Pada mulanya banua tonga ini merupakan kediaman yang
damai, paradis bahari, namun kuasa kejahatan terus-menerus merembesinya. Dalam
pesta Mangase Taon, yang akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya, status paradis bahari inilah yang mau
dicipta ulang kembali. Ketiga, banua toru.
Banua toru adalah tempat kediaman Naga Padoha, kediaman kejahatan dan
segala kerajaan setan.[15]
b. Ritus
korban dalam Pesta Mangase Taon
Kisah penciptaan dunia digambarkan sangat imanjinatif dalam
mitologi Batak.[16]
Dalam kisah itu dikatakan bahwa Si Boru
Deak Parujar yang tinggal di kayangan atau surga bersama para penghuni surga, ingin dinikahkan dengan Si
Raja Enda-enda yang berwajah jelek seperti wajah bunglon. Si Boru Deak Parujar tidak menyukai
lelaki tersebut. Ketika diadakan pesta untuk pertunangan, Si Boru Deak Parujar meminta seutas benang sebagai tanda atau
hadiah. Tetapi rupanya Si Boru Deak
Parujar melompat dan terjun ke bawah melalui benang itu, dan akhirnya
sampailah ia di banua tonga. Namun yang ia jumpai di sana ialah Naga
Padoha, naga raksasa si
raja setan yang
tinggal di lautan luas tak bertepi. Si Boru Deak Parujar berdiri di atas Naga raksasa itu. Ia kemudian menangis
karena ternyata tidak ada kediaman di bumi. Lalu ia
memohon kepada Mulajadi na Bolon agar
mengirimkan tempat berpijaknya. Mulajadi
na Bolon, melalui malaikatNya, mengirimkan sekepal tanah. Namun ketika Si Boru Deak Parujar mulai menempa bumi, Naga Padoha
si raja setan, menghancurkan tempaan itu. Begitu terus
sampai berkali-kali. Akhirnya Si Boru
Deak Parujar menikam Naga Padoha
dengan pedangnya, dan akhirnya kuasa kejahatan Naga Padoha dikalahkan.[17] Lalu Mulajadi na Bolon mengirimkan tanah dan
benih pohon tumbur jati atau pohon
kehidupan. Itulah awal kehidupan di bumi. Kemudian Si Boru Deak Parujar menciptakan mahluk-mahluk lainnya dan
menciptakan manusia berkat suruhan dari Mulajadi
na Bolon. Akhirnya kehidupan pun tercipta di bumi, kehidupan yang penuh
dengan pepohonan, buah-buahan, binatang, burung-burung dan juga manusia. Itulah
paradis bahari. Dan paradis bahari itu terletak di lereng suatu gunung yang
bernama Pusuk Buhit,[18] tepatnya
di Sianjurmulamula.[19] Inilah
paradis bahari yang didambakan orang Batak sebagai kehidupan yang ideal, yaitu
dunia yang penuh damai dan kesejahteraan.
Dalam kepercayaan tradisional Batak Toba itu, ada kitab ajaran yang disebut Pustaha,
yang memuat ajaran-ajaran moral dan kebijaksanaan. Selain mempunyai buku
ajaran, ada juga liturgi atau ritus-ritus beserta perayaan-perayaannya.
Perayaan yang paling agung ialah Pesta Mangase
Taon atau Pesta Tahun Baru. Pesta ini biasanya dirayakan pada awal tahun baru. Perayaan
agung tahun baru atau Mangase Taon
ini mempunyai beberapa tujuan. Menurut Dr. Philips Lumbantobing dalam Anicetus
(2007), perayaan ini diadakan untuk memulihkan keselarasan dalam kosmos, untuk
mengakhiri ketidakselarasan yang ditimbulkan oleh ketidakselarasan kosmik.[20]
Menurut Stohr dalam Anicetus (2007) pesta Mangase
Taon adalah dramatisasi mitos penciptaan. Kisah penciptaan paradis bahari
dihadirkan kembali. Seluruh fenomena dalam perayaan berkisar tentang Mulajadi na Bolon. Jadi, pesta Mangase Taon adalah pesta mengkhasiat
tahun, supaya tahun yang akan dijalani membawa kesejahteraan.[21]
Kesimpulannya, makna Mangase Taon
harus dikaji dalam dan diterangkan oleh peristiwa-peristiwa yang dikisahkan
dalam mitos penciptaan dalam mitologi Batak.
Dalam pesta Mangase
Taon ini ada banyak ritus yang harus dijalani mulai dari ritus persiapan
yaitu pemilihan kerbau kurban sampai pada ritus puncak yaitu penyembelihan
kerbau kurban dan makan bersama daging kurban. Upacara-upacara yang dilakukan
dalam perayaan Mangase Taon ini ialah: ritual persiapan yaitu pemilihan kerbau kurban; ritual patedakhon (yaitu upacara eksposisi atau
memamerkan bekas-bekas unsur dunia dari tahun yang lalu kepada Tuhan); ritual
penyucian yaitu ritual pemurnian ciptaan dari unsur-unsur khaotik, dari cacat
dan dosa, dalam ritual ini juga diadakan perecikan seluruh wilayah kampung;
ritual transposisi ke pra-kala, yaitu semacam masa puasa dan dihindarkan dari
pekerjaan-pekerjaan duniawi selama satu pekan; ritual mangahonahoni atau semacam ritual ziarah
ke kuburan dan membawa sesajen; ritual pengurbanan yaitu membuat loka
pengurbanan serta segala perlambangannya, seruan kepada Mulajadi na Bolon dan dewa-dewa, dramatisasi perang-perangan
melawan kuasa kejahatan Naga Padoha,
sampai pada penyembelihan kerbau korban dan makan bersama. [22]
Dalam pesta Mangase
Taon itu, ritus korban yang sangat jelas kelihatan ialah penyembelihan
kerbau kurban. Pada ritual persiapan, kerbau dipilih untuk menjadi kurban. Kerbau tersebut haruslah sehat, bertanduk bulat,
dipilih melalui ritual tersendiri, dipisahkan dari kerbau-kerbau lain, dan
dikonsekrasikan untuk menjadi binatang kurban. Setelah
melewati masa-masa yang menegangkan selama satu minggu itu, setelah melewati
berbagai macam ritual, kerbau itu dipersembhkan kepada Mulajadi na Bolon, lalu pada hari-H pesta Mangase Taon
disembelih kerbau itu lalu semua penduduk kampung makan bersama. Melalui
perayaan itu, terjadilah penciptaan ulang dunia, paradis bahari dihadirkan kembali. Masyarakat
hidup dalam damai dan penuh dengan pesta.
II.
Ritus Korban: Perbandingan antara Pemikiran
Girard dengan Kepercayaan Tradisional Batak Toba
Rene Girard melihat korban sebagai pembelokan kekerasan yang sebenarnya
ada dalam masyarakat. Jika kita melihat ritus korban Mangase Taon ini dalam kaca mata Girard, maka kita akan mudah
melihat bahwa korban ini diperlukan sebagai kambing hitam. Menurut Girard, kepercayaan beserta
ritus-ritusnya ada karena fenomena kekerasan yang mimetis, dan keberadaannya
dapat diterangkan secara rasional dari kekerasan yang mimetis itu.[23]
Dalam pandangan ini, ritus korban dalam kepercayaan tradisional Batak Toba itu
bukanlah suatu sembah bakti kepada Allah atau Mulajadi na Bolon, melainkan sebagai penyaluran kekerasan yang
bercokol dalam masyarakat. Girard mengatakan bahwa orang tak perlu bicara
tentang kualitas kesucian sang korban. Sebab korban perlu hanya sebagai tempat
penyaluran kekerasan.
Menurut tradisi Batak Toba, sebagaimana telah kita lihat yang
ditulis oleh para batakolog, ritus korban ini harus dilihat dalam keseluruhan
pesta Mangase Taon. Dan pesta Mangase Taon ini harus dilihat dalam
kaitannya dengan mitos penciptaan dunia menurut mitologi Batak. Pada mulanya
adalah paradis bahari. Paradis bahari inilah yang mau dihadirkan dalam pesta Mangase Taon itu. Anicetus mengatakan,
“The purpose of the New Year Celebration (in Toba Batak traditional religion) is
the purification of the Middleworld from the elements of the abominable Demon
and in order to be able to live in a peaceful and happy life. The recreation of
the Middleworld is accomplished in order to restore the primordial paradise.
Indeed we do find elements of paradise in the experience of the people and so
we may say that the people see the Middleworld really to have been re-created.”[24]
Di sini kita melihat bahwa perayaan Mangase Taon itu bertujuan untuk menyucikan banua tonga yaitu dunia dari segala kuasa kejahatan. Kuasa
kejahatan itu ialah kerajaan Naga Padoha
yang terus menerus bergentayangan untuk mengacaukan kehidupan. Dalam pandangan
Girard, kekacauan itu bukan berasal dari satu instansi yaitu kuasa kejahatan,
melainkan berasal dari manusia itu sendiri. Karena hasrat mimetis, manusia
terus-menerus ingin balas dendam sehingga kekerasan tidak pernah berhenti.
Sementara dalam Batak Toba tradisional, kekacauan itu dilemparkan kepada suatu
instansi lain, yaitu kejahatan atau kerajaan setan. Pada dasarnya, Mulajadi na Bolon menciptakan dunia ini
sebagai paradis bahari. Kuasa setan sudah dikalahkan. Namun kuasa kejahatan
itu, menurut kisah penciptaan, tidak dipunahkan melainkan hanya ditombak, hanya
dipenjarakan. Namun ia tetaplah mempunyai kekuatan. Inilah yang tetap
mengacaukan dunia ini.
Sebagaimana tujuan pesta Mangase
Taon adalah anamnesis paradis
bahari, maka ritus korban juga harus dilihat dalam rangka itu. Pengurbanan
kerbau, binatang korban yang telah disucikan itu, adalah saat yang paling
penting dan bernakna dalam pesta Mangase
Taon. Kerbau itu sendiri adalah lambang banua
tonga, lambang bumi dan segala unsur dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.[25]
Pengurbanan kerbau berarti “penghancuran” bumi atau peniadaan bumi dari tahun
yang lalu (yang penuh dengan kekacauan, perang, kekerasan, paceklik,
permusuhan), dan “penciptaan ulang” bumi baru seperti yang ada dalam paradis
bahari. Bumi baru itu juga dilambangkan oleh kerbau kurban itu, yaitu setelah
ia dikurbankan, dipersembahkan kepada Mulajadi
na Bolon, daging korban itu menjadi santapan suci. Semua penduduk akan
menyantap makanan suci itu dengan penuh kegembiraan. Makanan itu diyakini
membawa berkah bagi setiap orang yang menyantapnya. Itulah lambang bumi baru,
seperti yang ada dalam paradis bahari.
Dalam kacamata Girard, kita akan segera melihat kerbau korban
itu sebagai kambing hitam dengan segala mekanismenya. Dalam ritus itu, yang
terjadi adalah korban sedemikian disakralisasi. Sejak pemilihan kerbau korban,
ada banyak ritus yang harus dijalani. Kerbau harus dipilih, sehat, bertanduk
bulat, disendirikan selama beberapa hari. Lalu pada saat malam sebelum hari H,
diadakan ritual yang sangat panjang terhadap kerbau korban. Di loka pengorbanan[26]
itu ditancapkan sebuah tiang sebagai lambang Pohon Kehidupan (kayu tumbur jati). Ke sanalah kerbau
ditambatkan. Pada malam itu, diadakanlah ritus penombakan kerbau, yang juga
melalui ritus yang panjang. Setelah melewati semua itu, dan setelah korban itu
mati terbunuh, lalu korban tersebut dibiarkan di tengah halaman itu selama satu
malam dengan dijaga oleh para penjaga. Keesokan harinya barulah korban itu
dipotong-potrong, dibagi, dimasak lalu diadakan pesta makan korban kudus.
Di sini kita melihat korban itu sedemikian disakralisasi sehingga
ia menjadi korban yang suci. Menurut Girard, sakralisasi ini adalah bentuk penipuan.
Namun penipuan ini merupakan penipuan yang mutlak perlu sehingga korban itu
bisa menjadi efektif sebagai pengalihan kekerasan. Apabila tindakan penipuan
seperti sakralisasi itu tidak ada, maka korban itu tidak mempunyai dampak.
Pembunuhan kerbau itu dilihat hanya sebagai kekejaman, kekerasan. Namun karena
korban itu dan segala tindakan ritus itu dibungkus dengan selubung “demi yang
ilahi” atau “dikehendaki yang ilahi”, maka seluruh rakyat meyetujui ritus
korban itu dan menghayatinya sebagai tindakan iman. Alasan-alasan religius dan
teologis itu sangat diperlukan demi efektifnya korban. Dan masyarakat atau
pengiman harus tidak mengetahui motif-motif religius yang sebenarnya merupakan
penipuan itu. Mereka haruslah mempunyai kesadaran bahwa tindakan itu dilakukan
demi yang ilahi. Dengan demikian, terjadilah pengalihan naluri-naluri
kekerasan, naluri balas dendam dari dalam diri manusia itu kepada korban.
Kepercayaan tradisional Batak jelas tidak setuju jika tujuan
ritus korban itu hanya sekadar pengalih kekerasan. Mereka berpandangan bahwa
tindakan ritus korban itu diadakan demi sembah bakti kepada Tuhan atau Mulajadi na Bolon, demi terciptanya
dunia yang baru, demi keselamatan, demi kesejahteraan. Tentu Girard akan sangat
setuju dengan sebagian tujuan ini. Misalnya, ritus itu diadakan demi
keselamatan dan kesejahteraan. Dengan teralihkannya kekerasan, maka manusia
akan hidup tenang, rukun, damai. Namun bagi pengiman kepercayaan Batak, ritus
korban yang sedemikian sakral itu pastilah dikehendaki yang ilahi, pastilah
demi mengalahkan kuasa kejahatan, pastilah bukan hanya supaya kekerasan
dihapuskan. Girard tidak menyangkutpautkan teorinya dengan yang ilahi,
melainkan hanya dengan kekerasan. Hal ini bisa kita pahami karena Girard ingin
membangun suatu teori ilmiah tentang agama. Ilmu perbandingan agama yang
berkembang pada abad XX menuntut suatu sikap ilmiah dari ilmu perbandingan agama.
Dari sudut pandang ilmu empiris positif, jelaslah bahwa apa saja yang bersifat
adikodrati tidak menjadi perhatian mereka.
Namun bagi penghayat kepercayaan Batak, ritus korban adalah
ritus suci. Di sini kita melihat logika pemikiran Girard, bahwa para penghayat
itu tidak menyadari motif-motif kekerasan di balik ritus korban itu. Pesta Mangase Taon dengan segala ritus
korbannya itu, mereka ciptakan sebagai suatu tindakan suci. Tidak satupun dari
mereka yang menyadari motif-motif kekerasan itu. Dengan cara inilah maka ritus
itu sangat berfungsi efektif. Melalui upacara itu, terjadilah pendamain,
terjadi ketenangan karena kuasa kejahatan dan segala dosa sudah dilebur.
Sementara dalam pandangan Girard, terjadi kedamaian, karena naluri-naluri
kekerasan yang ada dalam diri manusia sudah dijinakkan, dialihkan kepada korban
yang tak bersalah itu. Di sini kita melihat kesamaan efek dari ritus korban
baik dalam pandangan Girard maupun dalam kepercayaan tradisional Batak, namun
motif untuk mencapai tujuan itu berbeda. Yang satu mengatakan bahwa motifnya
adalah kekerasan, sedangkan yang lain mengatakan bahwa motifnya adalah kehendak
yang ilahi.
Pesta Mangase Taon
ini diadakan setiap tahun. Pertanyaan kita, mengapa pesta itu diadakan setiap
tahun? Bukankah kuasa kejahatan itu sudah dilumpuhkan? Tidak cukupkah melakukan
ritus korban itu hanya sekali saja? Menurut mereka, kuasa iblis Naga Padoha, tidaklah ditaklukkan untuk
selamanya. Kuasa itu hanya dikalahkan untuk sementara. Kuasa itu tetap
mempunyai kekuatan. Dalam hari-hari setelah pesta Mangase Taon itu, manusia kembali hidup normal. Dan mereka akan
menghadapi aneka persoalan, permusuhan, perang dengan segala macam dinamika
kehidupan. Hal ini terjadi karena kuasa kejahatan tetap berkeliaran di dalam
masyarakat itu. Maka untuk menciptakan banua
tonga yang damai, pesta Mangase Taon
harus digelar setiap tahun. Bumi harus dicipta ulang setiap tahun agar manusia
hidup dalam damai kembali.
Dalam pandangan Girard, tindakan ritus korban itu bersifat
repetitif karena naluri balas dendam, naluri mimetis dan naluri kekerasan yang
ada dalam diri manusia itu tetap ada. Kekerasan itu tidak dapat dipatahkan.
Kekerasan itu tetap ada dan bercokol dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini
bisa dikatan bahwa menurut Girard, manusia itu adalah mahluk kekerasan. Karena
itu, untuk dapat menjinakkan kekerasan itu, maka ritus kambing hitam harus
terus-menerus diadakan. Maka pelaksanaan ritus korban yang diadakan sekali
dalam setahun itu menjadi penting untuk terus-menerus menjinakkan kekerasan
yang ada dalam masyarakat itu.
III.
Refleksi Filosofis Teologis
Salah satu pertanyaan yang sampai saat ini belum bisa dijawab
secara memuaskan oleh agama atau pandangan apapun ialah tentang mysterium malum. Dari manakah asal
kejahatan? Kalau Tuhan ada, mengapa ada kejahatan dan penderitaan di bumi? Namun
masing-masing agama atau pandangan apapun mempunyai jawaban serta metodenya terhadap
persoalan mysterium malum itu. Dalam kepercayaan
tradisional Batak Toba yang sudah kita lihat di atas, metode untuk mengatasi
kaos atau misteri kejahatan itu ialah melalui pesta Mangase Taon dengan segala ritus korbannya. Dalam kepercayaan
Katolik, kita menemukan jawabannya dalam diri Yesus Kristus yang mau menderita
sampai mati di salib demi mengadakan pendamaian untuk manusia. Pendamaian
inilah yang diperingati secara meriah setiap kali perayaan Paskah, dan senantiasa
diperingati dalam setiap perayaan Ekaristi. Yesus adalah sang kurban yang tak
bersalah itu.
Di sini kita melihat adanya kesamaan dan juga perbedaan ritus
korban dalam kepercayaan tradisional Batak dengan ritus korban dalam Katolik.
Kerbau korban adalah korban tak bersalah demi pendamaian manusia. Kristus
adalah korban tak bersalah yang mengadakan pendamaian bagi manusia. Namun
perbedaan mendasarnya ialah bahwa yang menjadi korban dalam kepercayaan Batak
itu adalah kerbau korban, mirip dengan korban paskah Yahudi. Sementara dalam
Katolik, yang menjadi korban ialah Yesus Kristus sendiri, yang adalah Tuhan dan
manusia. Kerbau korban harus dipersembahkan setiap tahun, sementara Kritus
mengorbankan diriNya sekali untuk selamanya. Perayaan Ekaristi adalah anamnesis dari pengorbanan Yesus itu,
bukan pengulangan korban. Dalam hal ini, kita melihat pentingnya peranan korban
dalam masing-masing kepercayaan. Dalam kepercayaan Batak, kerbau korban serta ritus
penyembelihannya merupakan unsur yang amat sangat penting dalam, sementara
dalam gereja Katolik kurban Ekaristi (yang adalah anamnesis pengurbanan diri Yesus) merupakan puncak hidup Gereja. René
Girard mengatakan bahwa ritus korban itu mutlak perlu untuk menangani kekerasan
atau kekacauan yang ada dalam masyarakat. Girard mengatakan bahwa dunia kita
yang sangat sekular ini mengalami krisis korbani. Kita menyaksikan kekerasan
menjadi hal yang sangat banal di dunia kita. Terorisme, perang, korupsi,
fundamentalisme agama, fundamentalisme pasar, beserta dengan aneka macam
kekerasan psikis, kekerasan simbolik senantiasa mengisi ruang-ruang media dan
ruang kehidupan kita. Ritus korban dalam agama-agama nampaknya kurang berfungsi
efektif untuk menangani kekerasan.[27]
Dalam kepercayaan Katolik, ritus korban itu dirangkum dalam
perayaan Ekaristi. Perayaan Earisti merupakan anamnesis akan pengorbanan diri Yesus. Anamnesis yang paling agung ialah perayaan Paskah. Namun kita
melihat bahwa ritus korban dalam Katolik ini tindakan mengorbankan hanyalah
sebagai anamnesis, penghadiran
kembali dalam aneka simbol. Tidak ada korban nyata seperti binatang yang
disakralkan. Menurut kami, ritus korban Katolik ini sangat sulit untuk dihayati
oleh banyak orang sehingga kurang berfungsi efektif. Di tanah Batak misalnya,
perayaan Ekaristi ini masih sangat sulit dihayati sebagai misteri pengorbanan
Kristus. Maka tidak jarang sebagian bapak-bapak Batak merokok di luar gereja
pada saat Doa Syukur Agung berlangsung. Hal ini merupakan satu indikasi bahwa
perayaan Ekaristi itu hanya ritus formalitas yang tidak berpengaruh terhadap
kehidupan mereka. Pastoral di tanah Batak, menurut kami, amat sangat perlu
menggali nilai-nilai kepercayaan tradisional Batak itu beserta dengan ritus
korbannya, lalu mengadakan inkulturasi atau kontekstualisasi, sehingga perayaan
Ekaristi itu mengena dan dapat dihayati umat sebagai misteri pengorbanan
Kristus, yang mendatangkan pendamaian, keselamatan dan kesejahteraan.
[1] Kepercayaan
tradisional Batak Toba ini sekarang masih eksis, yaitu diteruskan oleh aliran
kepercayaan Batak Toba yang
disebut dengan PARMALIM. Mereka berada di beberapa daerah di
Samosir, seperti Laguboti, Porsea, Balige, dan juga di kota Medan sendiri.
Salah satu acara liturgi mereka ialah Mardebata
(penyembahan kepada Debata atau Mulajadi
na Bolon atau Tuhan). Lih. M Burhanudin dan M Hilmi Faiq, Gondang Batak,
Kegeniusan Lokal yang (Nyaris) Terlupakan, Kompas Sabtu 4 Desember 2010.
[4] Rene
Girard, Violence and the Sacred, http://books.google.co.id/books?id=RGVKsW5rQ1kC&printsec=frontcover&dq=violence+and+the+sacred, diakses 2 Desember 2010.
[6] Teori
mimesis Rene Girard dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, hasrat manusia itu tidak pernah otonom secara sempurna.
Hasrat itu mengikuti pola segitiga, artinya ia tidak langsung mengenai objek
yang ditujunya: ia menghasratkan objek itu lewat suatu jalan putar, yaitu lewat
mediator. Kedua, hasrat segitiga itu
mau tak mau menyimpan rivalitas. Sebab, mediator yang semula adalah model,
lama-lama dianggap menjadi rival yang menhalangi hasratnya. Hubungan seorang
subjek dan modelnya sungguh ruwet. Di satu pihak, subjek menginginkan bahwa
modelnya sukses dan berhasil. Di lain pihak, subjek menginginkan modelnya gagal
dan kalah. Bagi subjek, model itu adalah rival. Kemenduaan itu
makin ruwet ketika persaingan mereka makin menajam ketat: Makin model dianggap
rival yang menghalangi, makin subjek menginginkan rival penghalang itu jadi
modelnya. Ibid. hlm. 85-86.
[9] Girard
nampaknya hanya mendasarkan agama itu pada
fungsinya sebagai penanganan kekerasan. Dia tidak berurusan dengan “yang ilahi”
atau Tuhan atau sebutan apa pun yang ada dalam diri agama itu. Hal ini bisa dimengerti karena Girard
dilatarbelakangi tradisi ilmu-ilmu positif-empiris-ilmiah pada abad XX. Dengan
kacamata ilmiah, apa yang adikodrati tidak merupakan urusan ilmu tersebut.
Girard membangun suatu teori agama yang ilmiah,
sehingga menelurkan pemikiran bahwa agama adalah
institusi penanganan kekerasan.
[10] Suku
Batak mempunyai 5 sub suku yaitu, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak
Simalungun dan Batak Mandailing. Masing-masing sub suku itu mempunyai
kepercayaan tradisional.
[11]
Anicetus B. Sinaga, The Toba Batak High
God Transcendence and Immanence, D-5205 St. Augustin West Germany: 1981, hlm. 48.
[13] Kepercayaan
tradisional Batak Toba ini semakin
terkikis semenjak kedatangan kolonial Belanda
beserta dengan para missionaris protestan dan kemudian Katolik. Kaum kolonial Belanda sangat berperan dalam penghancuran kepercayaan
tradisional Batak ini degan strategi divide et impera-nya. Mereka memecah-belah
Batak salah satunya dengan cara menghancurkan kepercayaan tradisional ini. Mereka
membangun ideologi yang kemudian
disebarluasakan, bahwa kepercayaan Batak itu ialah kepercayaan penyembah
berhala. Dengan demikian kepercayaan Batak ini perlahan-lahan
ditinggalkan.
[14] Ada
banyak nama suru-suruan (malaikat) yang
menghuni Banua Ginjang ini, misalnya Debata si tolu sada (dewata Trimurti: Batara Guru, Debata Sori, Mangala Bulan), Si Boru Deak Parujar, Sileang-leang
Nagurasta, Si Raja Indainda si Raja
Indapati, dan sebagainya.
[15] Kepercayaan
tradisional Batak Toba mempunyai pandangan sekaligus jawaban terhadap mysterium malum. Naga Padoha adalah Naga Purba raksasa yang merupakan penguasa kerjaan kejahatan. Menarik bahwa kepercayaan Batak tradisional ini
telah memberikan jawaban bagaimana mengatasi kejahatan itu, yaitu Si Boru Deak Parujar yang berasal dari
surga telah menusukkan tombaknya dan mengalahkan Naga Padoha. Namun antek-antek Naga Padoha ini masih tetap berkeliaran
di bumi. Menurut kepercayaan tradisional Batak Toba, kuasa inilah yang sering
mengacaukan kehidupan di bumi, termasuk menimbulkan penyakit, kegagalan panen,
dan sebagainya.
[16] Tentang
mitologi kisah penciptaan menurut kepercayaan Batak tradisional ini Bdk. Mgr.
Anicetus B. Sinaga, Imamat Batak
Menyongsong Katolik, Medan: Bina Media, 2007, hlm. 132-137.
[17] Dalam
tradisi Batak Toba, gempa bumi dipercayai terjadi karena Naga Padoha menggoyangkan badan atau ekornya. Dalam bahasa Batak
Toba gempa dinamai dengan suhul. Suhul juga berarti gagang pedang atau
parang. Ketika gempa bumi datang, biasanya orang-orang Batak berseru-seru, “Suhul…suhul…” Hal itu bertujuan supaya
gempa berhenti. Kaitannya dengan Naga
Padoha ialah, karena pada masa penciptaan Si Boru Deak Parujar telah mengalahkan kuasa kejahatan dengan
menusukkan pedangnya terhadap Naga Padoha
dengan memegang suhul (gagang)
pedangnya. Dengan menyerukan suhul,
menurut tradisi Batak Toba, akan mengingatkan Naga Padoha terhadap kekalahan
awalinya, sehingga dia akan berhenti menggoyangkan badannya, lalu gempa akan
berhenti.
[18] Sampai
sekarang gunung Pusuk Buhit ini masih ada dan dikeramatkan oleh orang-orang
Batak di Samosir.
[19] Tentang
Sianjurmulamula itu dikatakan dalam mitologi Batak yang kemudian diteruskan
turun-temurun sampai sekarang, demikian: “Sianjurmulamula, Sianjur Mulatompa;
parsirangan nia aek, pardomuan ni hosa; manundalhon hasundutan, mandoppakhon
Toba; mungka ni hangoluan, mula ni onggak marsoara (Tanjung awal-awal,
tanjung awal penciptaan; perpisahan air,
kesatuan nafas; membelakangkan Barat, menghadap Toba; awal segala kehidupan,
asal anak lahir.” Anicetus,
Imamat Batak, op.cit, hlm. 137.
[26] Loka
atau tempat pengorbanan ialah halaman rumah. Di tengah halaman itu ditancapkan
sebuah tiang sebagai lambang Pohon
Kehidupan yang diciptakan pada penciptaan awali, lalu di sekelilingnya
ditempatkan unsur-unsur dunia, unsur-unsur kejahatan yang akan dikalahkan.
Penyu dibuat sebagai lambang kejahatan
atau lambang Naga Padoha si
raja iblis. Dan masih banyak unsur lainnya yang harus ada di loka pengorbanan
itu.
[27] Ritus korban dalam kepercayaan Batak tradisional atau
kepercayaan Parmalim dewasa ini, mempunyai
sarat makna dan nilai. Kami setuju dengan Girard bahwa ritus korban itu
ternyata suatu metode masyarakat tradisional untuk menangani kekerasan. Melalui
ritus itu, masyarakat didamaikan, kekerasan diredam, kejahatan dilumpuhkan
meskipun untuk sesaat. Namun kami tidak sepenuhnya setuju dengan Girard bahwa
ritus korban itu hanya sebatas metode penanganan kekerasan. Kepercayaan Batak
tradisional mempunyai akar yang kuat tentang sesuatu Yang Kudus, yaitu Mulajadi na Bolon. Mereka meyakini bahwa
alam semesta ini diciptakan oleh Mulajadi
na Bolon, oleh Tuhan. Mircea Eliade mengatakan bahwa yang inti dari semua
agama atau kepercayaan di dunia ini ialah penampakan dari Yang Kudus. Dalam
kepercayaan apa pun seperti halnya juga dalam kepercayaan Batak tradisional,
Yang Kudus itu menampakkan diri. Ritus korban, selain mekanisme penanganan
kekerasan, juga merupakan sembah bakti kepada Yang Kudus itu.
Mahasiswa Program Magister Filsafat dan Teologi
Di STFT Widya Sasana
Malang
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!