RAPUHNYA PANCASILA
RAPUHNYA PANCASILA
Salah satu persoalan yang senantiasa
mengusik bangsa Indonesia ialah tentang dasar Negarakita: Pancasila.
Berulangkali dengan pelbagai cara dan tujuan, Pancasila ingin dirobohkan, ingin
diganti. Dua kekuatan atau ideologi yang menborehkan sejarah ingin mengganti
Pancasila ialah komunis dan Islam. Tahun 1965, terlepas dari segala polemiknya
akhir-akhir ini tentang siapa sebenarnya dibalik peristiwa itu, PKI ingin
mengganti dasar Negara Pancasila dengan dasar Negara komunis.[1] Cita-cita komunis
ini kandas sebelum berkembang. PKI dihapuskan dari Indonesia dan dinyatakan sebagai
organisasi terlarang. Sejak dulu sampai sekarang, golongan Islam Fundamentalis
ingin mengganti dasar Negara itu dengan syariat Islam.[2] Namun sampai
sejauh ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia masih tetap bertahan, entah
sampai kapan.
Dari beberapa fenomena tersebut kita
melihat bahwa Pancasila selalu rentan posisi dan kedudukannya sebagai dasar
Negara. Dengan kata lain, Pancasila nampaknya rapuh sebagai dasar atau ideologi
Negara. Mengapa? Ada banyak faktor penyebab rapuhnya Pancasila itu. Tulisan ini
hendak menelusuri faktor-faktor penyebab rapuhnya Pancasila itu. Kami akan
menelusuri faktor-faktor itu dalam keempat hal berikut. Pertama, Pancasila
sebagai kristalisasi budaya bangsa. Kedua, problematika sekitar lahirnya
Pancasila yang menyisakan banyak persoalan. Ketiga, problematika Pancasila di
masa pemerintahan Soekarno. Dan keempat, problematika Pancasila di masa
kediktatoran Soeharto.
Pancasila Sebagai Kristalisasi Budaya Bangsa?
Dalam buku-buku yang membahas Pancasila,
pada umumnya dikatakan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa
Indonesia. Pancasila itu merupakan intisari dari kebudayaan bangsa Indonesia
yang beraneka ragam itu.[3] Dan nampaknya pendapat ini sudah diterima begitu saja sebagai kebenaran. Gagasan ini menyisakan persoalaan. Sejauh
mana Pancasila itu mewakili seluruh budaya bangsa yang sangat berabeka ragam di
Indonbesia? Sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, demokrasi, keadilan) itu khas Indonesia? Bukankah
nilai-nilai itu juga dimiliki oleh kebanyakan masyarakat dunia? Apakah gagasan
bahwa “Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa” merupakan fakta historis
atau hanya merupakan payung pemersatu? Itulah beberapa problematika yang ada
menyangkaut gagasan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa Indonesia.
Secara kultural,
kita melihat bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu memang ditemukan
dalam berbagai suku bangsa Indonesia. Nilai ketuhanan misalnya, kita temukan
dalam pada umumnya budaya bangsa Indonesia. Dunia kebatinan atau kepercayaan
tradisional yang ada di Indonesia pada umumnya mempunyai kemiripan. Demikian
juga dengan nilai-nilai yang lain, kemanusiaan, persatuan, musyawarah,
keadilan, kita temukan dalam berbagai fenomena suku di Indonesia. Pada umumnya budaya di Indonesia menempatkan nilai kemanusiaan sebagai
nilai yang tinggi. Nilai musyawarah dan persatuan juga kita temukan dalam
berbagai fenomena budaya bangsa Indonesia. Singkatnya, nilai-nilai Pancasila
itu memang kita temukan dalam budaya-budaya Indonesia secara sporadis.
Namun persoalannya, suku bangsa
Indonesia sangat banyak dan beragam. Apakah Pancasila itu sudah merangkum
semua nilai-nilai budaya bangsa itu sehingga semua suku itu merasa terwakili
jati dirinya dalam Pancasila, dan merasa memiliki Pancasila itu?
Apabila Pancasila itu sudah merangkum nilai-nilai dari berbagai suku bangsa
Indonesia, maka dasar itu akan kuat menjadi landasan Negara. Namun apabila sebagian
suku merasa tidak terwakili jati diri mereka dalam Pancasila itu, maka mereka
tidak akan pernah merasa puas dengan dasar Negara itu. Tidak mudah mengatakan
bahwa Pancasila itu telah merangkum segala nilai yang ada dalam budaya bangsa
Indonesia. Masih ada banyak nilai budaya yang belum
terwakili dalam Pancasila itu. Maka dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
tidak jarang kita temui berbagai macam ancaman disintegrasi atau rongrongan
terhadap Pancasila.
Persoalan kedua, nampaknya nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila itu sangat umum. Nilai-nilai itu dimiliki oleh
semua bangsa di dunia. Semua bangsa di dunia menempatkan nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah sebagai nilai-nilai yang tinggi. Apa yang
khas Indonesia dari muatan Pancasila itu? Sulit mengatakan bahwa sila kedua atau kelima hanya khas Indonesia. Jadi
nilai-nilai itu bersifat universal. Pertanyaannya, apakah nilai yang universal
berlaku di seluruh dunia ini dapat menjadi dasar yang kokoh suatu bangsa yang
mempunyai aneka macam kebudayaan yang khas, unik, dan
beragam seperti Indonesia?
Dari beberapa persoalan di atas, ungkapan
bahwa Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa Indonesia nampaknya tidak
mempunyai dasar yang kuat. Mengapa? Pertama, karena tidak semua nilai-nilai
budaya bangsa yang terwakili dalam Pancasila itu. Masih ada banyak nilai yang
belum terangkum dalam Pancasila itu. Kedua, karena semua nilai yang ada dalam
Pancasila itu kita temukan bukan hanya dalam budaya bangsa Indonesia
tetapi dalam semua fenomena budaya di dunia. Apakah tidak lebih tepat
mengatakan bahwa Pancasila itu adalah kristalisasi budaya dunia? Nampaknya,
gagasan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budyaa bangsa, atau kepribadian
bangsa, atau intisari budaya bangsa Indonesia, tidak kuat sebagai argumentasi
yang dijadikan sebagai dasar Negara. Dengan dasar ini, Pancasila rapuh sebagai
dasar atau ideologi Negara Indonesia.
Lahirnya Pancasila: Suatu Kompromi yang Menyisakan Persoalan
Lahirnya Pancasila pada tahun awal
kemerdeaan Indonesia menyisakan banyak polemik. Dasar Negara menjadi perdebatan
yang sengit antara berbagai kelompok yang masing-masing mengusung ideologinya.
Berbagai kelompok yang dimaksud itu ialah Islam, nasionalis[4] dan Kristen. Kita
akan melihat sejenak bagaimana jalannya perumusan Pancasila hingga mencapai
perumusan formal seperti yang ada sekarang ini.
Latar belakang historis kemerdekaan
Indonesia ialah Perang Dunia II. Pada masa itu, Jepang menduduki Indonesia, bahkan
menguasai Asia. Namun Sekutu terus-menerus mendesak dan ingin melumpuhkan
Jepang. Pada tahun 1945 Jepang semakin terdesak oleh tentara sekutu. Setelah
Pearl Harbor dibom Jepang, tentara Sekutu terus-menerus menggempur Jepang.
Nampaknya Jepang sudah menduga kekalahan mereka akan datang. Dalam situasi itu,
pada tanggal 1 Maret 1945, Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan
pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).[5]
BPUPKI mengadakan sidang pada tanggal 28
Mei-1 Juni 1945. Persoalan yang sangat penting yang hendak dijawab dalam sidang
itu ialah: apa yang akan menjadi dasar Negara Indonesia? Ada banyak tokoh yang memberikan pendapatnya terhadap pertanyaan itu.
Supomo mengusulkan bahwa Negara yang akan dibentuk ialah Negara integralistik. Negara
integralistik yang dimaksud ialah Negara yang bersatu degan seluruh rakyatnya,
yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun.[6] Nilai-nilai yang hendak diusung Supomo melalui pidatonya itu ialah nilai persatuan, budi
pekerti kemanusiaan yang luhur, moral yang luhur yang dianjurkan agama,
permusyawaratan dan keadilan sosial melalui sosialisme Negara.
Sementara Soekarno dalam pidatonya
mengusulkan dasar Negara yang akan dibentuk ialah kebangsaan,
internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan. Dalam pidatonya Soekarno
berkata, “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Darma,
tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya
ialah Panca Sila. Sila artinya asas, dasar, dan di
atas kelima sila itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”[7] Dari situlah
akar dasar Negara kita, Pancasila. Selain kedua tokoh itu masih
ada tokoh-tokoh lain yang memberikan gagasannya seperti Muhammad Yamin dan
sebagainya.[8]
Dari hasil sidang itu, yang dilanjutkan
secara intens pada hari-hari kemudian, dicapailah suatu dasar Negara dengan
kelima sila sebagai berikut: 1) ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2) kemanusiaan yang adil dan beradab, 3)
persatuan Indonesia, 4) dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan, 5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dasar Negara yang dihasilkan ini masih
menisakan polemik menyangkut sila pertama. Latuharhary, yang mewakili Kristen,
berkeberatan dengan sebagian isi dari sila pertama yaitu “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun ia ditentang oleh para
tokoh yang memperjuangkan kepentingan Islam seperti Agus Salim dan Wakhid
Hasyim. Soekarno juga mengatakan bahwa kalimat itu diperoleh melalui kompromi
yang alot antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Kalau kalimat itu
tidak dimasukkan maka tidak dapat diterima oleh pihak Islam.[9] Akhirnya teks
Pancasila itu disetujui dengan masih tetap menyisakan persoalan.
Setelah melalui proses yang panjang dan
alot, Indonesia akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya. Setelah Soekarno
mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada pukul 10.00 tanggal 17 Agustus itu,
masih banyak hal yang masih akan dikerjakan berkaitan dengan Negara yang baru
merdeka. Salah satunya ialah melengkapi UUD Negara yang baru merdeka itu.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia akan menggelar sidang lanjutan pada
tanggal 18 Agustus untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan itu. Pada
tanggal 17 sore, seorang opsir Kaigun
(Angkatan Laut Jepang) menemui Muhammad Hatta. Dia adalah utusan Kaigun yang datang untuk memberitahukan
bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai oleh AL
Jepang sangat berkeberatan terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang
berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Mereka mengakui bahwa kalimat itu tidak mengikat mereka,
hanya mengikat yang beragama Islam. Tetapi tercantuman ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD berarti
mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika diskriminasi
itu ditetapkan juga, maka mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.[10] Melalui polemik yang alot, akhirnya kalimat itu dikeluarkan dari pembukaan
UUD atau dari Pancasila. Soekarno beranggapan bahwa kalau hal itu dipaksakan,
Negara Republik Indonesia yang baru dibentuk akan terpecah kembali. Untuk menjaga
keterpecahan itu, PPKI akhirnya mengeluarkan kalimat itu. Namun
tentu saja kelompok Muslim sangat keberatan dengan dikeluarkannya bagian itu.
Dari pembahasan di atas kita melihat bahwa dasar Negara kita Pancasila, dihasilkan
melalui perdebatan panjang. Kaum nasionalis atau sosialis ingin membawa
ideologinya, Islam membawa ideologinya dan demikian juga dengan Kristen. Dengan
demikian, Pancasila itu merupakan kesepakatan yang dihasilkan sebagai kompromi antara golongan nasionalis atau sosialis, Islam dan
Kristen. Pancasila yang merupakan hasil kompromi ini rupanya terus menerus
menjadi polemik di hari-hari kemudian pasca kemerdekaan. Kaum sosialis ingin
menggeser Pancasila itu dan menggantikannya dengan dasar sosialis. Kaum Muslim
juga ingin menggeser Pancasila itu dan menggantinya dengan syariat Islam.
Dari sini kita melihat bahwa sudah sejak
awal, dasar Negara kita Pancasila itu mempunyai fondasi yang rapuh. Fondasi itu
tidak kuat karena merupakan hasil kompromi yang dipaksakan. Masing-masing
golongan ingin mendesakkan ideologinya sebagai dasar Negara. Saya berpandangan
bahwa Pancasila itu disetujui sebagai dasar Negara bukan karena masing-masing
golongan itu setuju dengan dasar Negara seperti itu, tetapi karena terpaksa
demi Indonesia merdeka yang baru terbentuk. Jadi, kalau banyak pendapat yang
mengatakan bahwa para bapa pendiri Negara ini telah meletakkan landasan yang
kokoh sebagai dasar Negara, hal itu terlalu melebih-lebihkan. Mengapa? Karena
ternyata landasan itu tidak kokoh, tetapi rapuh. Dari fakta yang kita lihat
sampai sekarang ini, Pancasila terus-menerus ditarik ke sana-kemari.
Pancasila di Masa Soekarno
Setelah Indonesia merdeka, keadaan
Indonesia bukannya membaik tetapi tetap mengalami berbagai macam kekacauan. Pancasila
pun tetap menjadi bahan perdebatan. Kelompok Islam tetap menginginkan agar
Pancasila yang dipakai seperti yang ada dalam Piagam Jakarta, yang di dalamnya
termuat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tahun
1950, Pancasila mengalami pergeseran. Sila ketiga “Persatuan Indonesia” diganti
dnegan “Kebangsaan”. Pada tahun itu juga UUD yang dipakai bukan UUD 1945
melainkan UUDS 1950. Disebut UUDS karena Konstituante masih akan mendiskusikan
dan merumuskan ulang UUDS itu. Pada tahun 1956, perdebatan di Konstituante menjadi sangat sengit. Terjadi
perpecahan internal di dalam tubuh parlemen. Golongan-golongan di situ terpecah
menjadi tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang menghendaki Pancasila sebagai
dasar Negara. Kedua, mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar Negara.
Ketiga, mereka yang menghendaki sosialisme sebagai dasar Negara.[11] Karena
perdebatan di Konstituante ini tak kunjung selesai, sementara rakyat semakin
risau akan terpecahnya Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang membubarkan
Konstituante dan memberlakukan kembali Pancasila dan UUD 1945.
Pasca dekrit presiden 5 Juli itu
Pancasila masih tetap menjadi bahan perdebatan. Soekarno sendiri membuat arah pemerintahan
yang menggabungkan antara nasionalisme, agama dan komunisme yang disingkat
dengan NASAKOM. Dia mengatakan bahwa jiwa Pancasila adalah NASAKOM. Oleh karena
itu setiap Pancasilais haruslah menjadi Nasakomis.[12] Dari sini kita
lihat bahwa Pancasila menjadi alat pemerintah untuk melanggengkan ideologinya,
bukan lagi ideologi bangsa. Dekrit presiden 5 Juli ini mengubah wajah pemerintahan
Soekarno. Semenjak itu, Soekarno tidak lagi dilihat
sebagai pemimpin yang demokratis, melainkan sang penguasa. Melalui Demokrasi
Terpimpin, Soekarno menjadi penguasa yang totaliter.[13]
Dari uraian singkat tentang perdebatan
mengenai Pancasila di masa pemerintahan Soekarno ini, kita melihat bahwa
Pancasila itu semakin rapuh karena ternyata tetap menjadi bahan perdebatan yang
ditarik ke sana-kemari, ingin diganti, lalu dikembalikan, lalu diperalat plitik
penguasa. Pancasila, yang dari akarnya dan dari pembentukan formalnya sudah
rapuh, semakin rapuh lagi ketika diperalat untuk mencapai kepentingan politik.
Indoktrinasi Pancasila
di Masa Soeharto
Tragedi 30 September 1965 mengubah wajah
pemerintahan Indonesia. Orde Baru serta-merta mengoreksi praktek Pancasila yang menyimpang di zaman Soekarno, sekaligus
membawa penyimpangan baru terhadap Pancasila itu. Setelah menjadi presiden pada
tahun 1966, Soeharto mengembalikan Pancasila kepada yang asli seperti yang
disahkan pada 18 Agustus 1945.
Namun setelah pemerintahan Soeharto
berjalan, pelan-pelan tapi pasti Pancasila kembali dipolitisasi. Penafsiran
terhadap Pancasila merupakan penafsiran tunggal yang dilakukan oleh penguasa.
Penafsiran tunggal itu dibuat dalam bentuk butir-butir Pancasila (45 butir)
yang harus dihafalkan bukan hanya oleh para pelajar, tetapi juga oleh para
pegawai negeri dan masyarakat luas. Indoktrinasi Pancasila itu dilakukan
melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang ditetapkan oleh
MPR nomor II/MOR/1978.[14] Dengan
demikian Pancasila akhirnya menjadi slogan yang dipakai pemerintah untuk
melanggengkan kekuasaannya.
Pelaksanaan P4 ini mempunyai dampak yang
sangat fatal, yaitu Pancasila menjadi kaku, monopoli tafsir
oleh pemeritah, pelecehan terhadap Pancasila dan membuat warganya terutama
generasi mudanya menjadi beo,[15] tidak berpikir
kritis dan tidak bertanggung jawab.[16] Inilah yang
dilakukan oleh Soeharto pada masa pemerintahannya, pem-beo-an rakyat sehingga
ia bisa bertahan menjadi penguasa otoriter selama 32 tahun. Dalam bahasa Paulo
Freire, Soeharto menciptakan kebudayaan bisu melalui ideologi-ideologi yang
disusupkan ke berbagai aspek kehidupan masyarakatnya,
seperti politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dengan terciptanya
kebudayaan bisu ini, kebudayaan kritis menjadi mati, dan ia tetap menjadi
penguasa.
Dari penjelasan ini jelaslah bahwa pada
masa pemerintahan Soeharto juga Pancasila dipolitisasi. Pancasila menjadi
ideologinya mempertahankan kekuasaan. Pancasila yang sudah rapuh sejak akar dan
awalnya, semakin rapuh di tangan Soeharto ini. Kediktatoran Soeharto membungkam
suara-suara kritis dan pergerakan-pergerakan rakyat, termasuk ormas-ormas
agama. Selama masa pemerintahannya itu, sangat jarang terjadi konflik agama,
atau sangat jarang terjadi keinginan kaum Islam ingin mengganti Pancasila
dengan syariat Islam. Namun berbagai penelitian setelah lengsernya Soeharto
menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena Soeharto membungkam segala gerakan
itu. Gerakan mana saja yang berseberangan dengan pemerintah akan dibungkam oleh
Soeharto. Setelah ia lengser kita menyaksikan banyaknya kekerasan atas nama
agama, terorisme dan fundamentalisme agama, serta keinginan-keingian kaum Islam
fundamentalis ingin mengganti Pancasila dengan syariat.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik
suatu garis: bahwa Pancasila itu rapuh sebagai dasar Negara. Mengapa rapuh?
Pertama, karena akarnya tidak kuat. Pancasila yang dikatakan berakar dalam
budaya bangsa Indonesia lebih merupakan payung untuk kemerdekaan daripada fakta yang
sebenarnya. Kedua, sejak pembentukan Pancasila itu secara formal, ada banyak polemik
serta perdebatan yang sengit mengenai dasar Negara ini. Setiap golongan ingin
memasukkan ideologinya sebagai dasar Negara. Persoalan ini tidak selesai sejak awal kemerdekaan sampai sekarang ini. Berbagai macam golongan ingin
menggantikan Pancasila dengan ideologinya. Ketiga, Pancasila itu semakin rapuh
karena ternyata pada masa pemerintahan Soekarno, Pancasila itu
ditarik ke sana-kemari serta dipolitisasi oleh pemerintah yang berkuasa.
Keempat, semakin rapuh lagi karena pada pemerintahan Soeharto Pancasila itu
bukannya dikembalikan kepada semangat aslinya, melainkan dipolitisasi untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto.
Pertanyaan kita sekarang, kalau memang
Pancasila itu rapuh, layakkah Pancasila itu diteruskan sebagai dasar Negara?
Kalau layak, upaya apa yang harus dilakukan sehingga ia tidak terus-menerus rapuh?
Kalau tidak layak, adakah suatu ideologi yang tidak rapuh yang bisa
menggantikan Pancasila itu? Kalau ada, ideologi apakah itu? Pertanyaan-pertanyaan
ini belum saya jawab dalam tulisan ini. Kiranya hal ini menjadi eksplorasi
lebih lanjut, baik oleh saya, maupun oleh kita semua.
[1] Sejarah peristiwa genocida PKI tahun 1965 semakin sulit
dipahami sekarang ini. Ada berbagai tafsir terhadap peristiwa itu. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa di balik peristiwa itu sebenarnya Soekarno. Namun ada pendapat sebaliknya bahwa di balik peristiwa
gelap itu sebenarnya Soeharto-lah yang menjadi dalangnya.
[2] Pergerakan Islam Fundamentalis ini merebak dan gencar
melakukan serangan pasca tumbangnya kediktatoran Soeharto. Pada masa kekuasaan Soeharto,
nampaknya tidak ada masalah dengan agama ini. Golongan Islam nampaknya bisa
menerima Pancasila dengan damai. Namun setelah tumbangnya Soeharto, fakta
menunjukkan lain. Islam Fundamentalis sangat getol memperjuangkan syariat
Islam. Apakah ini dapat disebut hanya fenomena pasca Soeharto atau ada
kaitannya dengan Soeharto? Nampaknya pendapat kedua inilah yang lebih masuk
akal. Pada masa kekuasaan Soeharto, semua organisasi dibugkam dengan berbagai
macam cara, entah itu peraturan, Tap MPR, P4 dan sebagainya.
[3] Bdk. Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 5. Bdk. Juga P.J.
Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 17. Hardono Hadi mengatakan bahwa
Pancasila itu merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Bdk. Hardono Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila,
Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 66. Selain ketiga buku itu, masih sangat
banyak buku lain yang berpendapat sama, yang mengatakan bahwa Pancasila itu
merupakan kristalisasi budaya bangsa Indonesia.
[5] Suwarno, op.cit., hlm. 43.
[6] Ibid., hlm. 46.
[7] Ibid., hlm. 49.
[8] Dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Yamin, dia menulis
bahwa dia juga mengusulkan lima dasar Negara
Indonesia: peri kebangsaan, kemanusiaan,
ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Namun banyak kalangan
(salah satunya Muhammad Hatta) menilai bahwa hal ini merupakan kelicikan Yamin.
Kelima gagasan itu sebenarnya hasil dari rapat panitia kecil, namun diklaim
oleh Yamin sebagai hasil gagasannya. Ibid., hlm. 51-52.
[9] Ibid., hlm. 57-59. Sebenarnya Maramis, yang juga mewakili
Kristen, merupakan salah satu anggota tim perumus UUD. Namun ia juga tidak
berhasil menyingkirkan kalimat mengenai pelaksanaan syariat Islam itu.
[10] Ibid., hlm. 73.
[11] Eka Darmaputera, Pancasila
Identitas dan Modernitas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hlm. 110-111.
[12] Ibid., hlm. 113.
[13] F. Rahardi, “Politik
Menentang Totaliterisme” dalam Mikhael Dua dkk. (ed), Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama, (Jakarta: Obor, 2008),
hlm. 73.
[14] Eka Darmaputera, op.cit., hlm. 115.
[15] Pendidikan Pancasila melalui penataran P4 ini cuma membuat siswa menjadi sinis dan
munafik. Jenis pendidikan moral yang mereka terima tidak menawarkan panduan
apapun secara moral dan realistis dalam masyarakat modern. Bdk. Niels Mulder, Mistisisme Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2001,
hlm.151.
[16] Bdk. J. Soedjati Djiwandono, Setengah Abad Negara Pancasila, Jakarta: CSIS, 1995, hlm. 20-22.
* Penulis adalah mahasiswa Program Magister Filsafat Teologi STFT Widya Sasana Malang
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!