RAPUHNYA PANCASILA


RAPUHNYA PANCASILA

 oleh: Lamtaraida Simbolon*

Salah satu persoalan yang senantiasa mengusik bangsa Indonesia ialah tentang dasar Negarakita: Pancasila. Berulangkali dengan pelbagai cara dan tujuan, Pancasila ingin dirobohkan, ingin diganti. Dua kekuatan atau ideologi yang menborehkan sejarah ingin mengganti Pancasila ialah komunis dan Islam. Tahun 1965, terlepas dari segala polemiknya akhir-akhir ini tentang siapa sebenarnya dibalik peristiwa itu, PKI ingin mengganti dasar Negara Pancasila dengan dasar Negara komunis.[1] Cita-cita komunis ini kandas sebelum berkembang. PKI dihapuskan dari Indonesia dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sejak dulu sampai sekarang, golongan Islam Fundamentalis ingin mengganti dasar Negara itu dengan syariat Islam.[2] Namun sampai sejauh ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia masih tetap bertahan, entah sampai kapan.

Dari beberapa fenomena tersebut kita melihat bahwa Pancasila selalu rentan posisi dan kedudukannya sebagai dasar Negara. Dengan kata lain, Pancasila nampaknya rapuh sebagai dasar atau ideologi Negara. Mengapa? Ada banyak faktor penyebab rapuhnya Pancasila itu. Tulisan ini hendak menelusuri faktor-faktor penyebab rapuhnya Pancasila itu. Kami akan menelusuri faktor-faktor itu dalam keempat hal berikut. Pertama, Pancasila sebagai kristalisasi budaya bangsa. Kedua, problematika sekitar lahirnya Pancasila yang menyisakan banyak persoalan. Ketiga, problematika Pancasila di masa pemerintahan Soekarno. Dan keempat, problematika Pancasila di masa kediktatoran Soeharto.

Pancasila Sebagai Kristalisasi Budaya Bangsa?
Dalam buku-buku yang membahas Pancasila, pada umumnya dikatakan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa Indonesia. Pancasila itu merupakan intisari dari kebudayaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu.[3]  Dan nampaknya pendapat ini sudah diterima begitu saja sebagai kebenaran. Gagasan ini menyisakan persoalaan. Sejauh mana Pancasila itu mewakili seluruh budaya bangsa yang sangat berabeka ragam di Indonbesia? Sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, keadilan) itu khas Indonesia? Bukankah nilai-nilai itu juga dimiliki oleh kebanyakan masyarakat dunia? Apakah gagasan bahwa “Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa” merupakan fakta historis atau hanya merupakan payung pemersatu? Itulah beberapa problematika yang ada menyangkaut gagasan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa Indonesia.
Secara kultural, kita melihat bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu memang ditemukan dalam berbagai suku bangsa Indonesia. Nilai ketuhanan misalnya, kita temukan dalam pada umumnya budaya bangsa Indonesia. Dunia kebatinan atau kepercayaan tradisional yang ada di Indonesia pada umumnya mempunyai kemiripan. Demikian juga dengan nilai-nilai yang lain, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan, kita temukan dalam berbagai fenomena suku di Indonesia. Pada umumnya budaya di Indonesia menempatkan nilai kemanusiaan sebagai nilai yang tinggi. Nilai musyawarah dan persatuan juga kita temukan dalam berbagai fenomena budaya bangsa Indonesia. Singkatnya, nilai-nilai Pancasila itu memang kita temukan dalam budaya-budaya Indonesia secara sporadis.
Namun persoalannya, suku bangsa Indonesia sangat banyak dan beragam. Apakah Pancasila itu sudah merangkum semua nilai-nilai budaya bangsa itu sehingga semua suku itu merasa terwakili jati dirinya dalam Pancasila, dan merasa memiliki Pancasila itu? Apabila Pancasila itu sudah merangkum nilai-nilai dari berbagai suku bangsa Indonesia, maka dasar itu akan kuat menjadi landasan Negara. Namun apabila sebagian suku merasa tidak terwakili jati diri mereka dalam Pancasila itu, maka mereka tidak akan pernah merasa puas dengan dasar Negara itu. Tidak mudah mengatakan bahwa Pancasila itu telah merangkum segala nilai yang ada dalam budaya bangsa Indonesia. Masih ada banyak nilai budaya yang belum terwakili dalam Pancasila itu. Maka dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak jarang kita temui berbagai macam ancaman disintegrasi atau rongrongan terhadap Pancasila.
Persoalan kedua, nampaknya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sangat umum. Nilai-nilai itu dimiliki oleh semua bangsa di dunia. Semua bangsa di dunia menempatkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah sebagai nilai-nilai yang tinggi. Apa yang khas Indonesia dari muatan Pancasila itu? Sulit mengatakan bahwa sila kedua atau kelima hanya khas Indonesia. Jadi nilai-nilai itu bersifat universal. Pertanyaannya, apakah nilai yang universal berlaku di seluruh dunia ini dapat menjadi dasar yang kokoh suatu bangsa yang mempunyai aneka macam kebudayaan yang khas, unik, dan beragam seperti Indonesia?
Dari beberapa persoalan di atas, ungkapan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budaya bangsa Indonesia nampaknya tidak mempunyai dasar yang kuat. Mengapa? Pertama, karena tidak semua nilai-nilai budaya bangsa yang terwakili dalam Pancasila itu. Masih ada banyak nilai yang belum terangkum dalam Pancasila itu. Kedua, karena semua nilai yang ada dalam Pancasila  itu kita temukan bukan hanya dalam budaya bangsa Indonesia tetapi dalam semua fenomena budaya di dunia. Apakah tidak lebih tepat mengatakan bahwa Pancasila itu adalah kristalisasi budaya dunia? Nampaknya, gagasan bahwa Pancasila adalah kristalisasi budyaa bangsa, atau kepribadian bangsa, atau intisari budaya bangsa Indonesia, tidak kuat sebagai argumentasi yang dijadikan sebagai dasar Negara. Dengan dasar ini, Pancasila rapuh sebagai dasar atau ideologi Negara Indonesia.

Lahirnya Pancasila: Suatu Kompromi yang Menyisakan Persoalan
Lahirnya Pancasila pada tahun awal kemerdeaan Indonesia menyisakan banyak polemik. Dasar Negara menjadi perdebatan yang sengit antara berbagai kelompok yang masing-masing mengusung ideologinya. Berbagai kelompok yang dimaksud itu ialah Islam, nasionalis[4] dan Kristen. Kita akan melihat sejenak bagaimana jalannya perumusan Pancasila hingga mencapai perumusan formal seperti yang ada sekarang ini.
Latar belakang historis kemerdekaan Indonesia ialah Perang Dunia II. Pada masa itu, Jepang menduduki Indonesia, bahkan menguasai Asia. Namun Sekutu terus-menerus mendesak dan ingin melumpuhkan Jepang. Pada tahun 1945 Jepang semakin terdesak oleh tentara sekutu. Setelah Pearl Harbor dibom Jepang, tentara Sekutu terus-menerus menggempur Jepang. Nampaknya Jepang sudah menduga kekalahan mereka akan datang. Dalam situasi itu, pada tanggal 1 Maret 1945, Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).[5]
BPUPKI mengadakan sidang pada tanggal 28 Mei-1 Juni 1945. Persoalan yang sangat penting yang hendak dijawab dalam sidang itu ialah: apa yang akan menjadi dasar Negara Indonesia? Ada banyak tokoh yang memberikan pendapatnya terhadap pertanyaan itu. Supomo mengusulkan bahwa Negara yang akan dibentuk ialah Negara integralistik. Negara integralistik yang dimaksud ialah Negara yang bersatu degan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun.[6] Nilai-nilai yang hendak diusung Supomo melalui pidatonya itu ialah nilai persatuan, budi pekerti kemanusiaan yang luhur, moral yang luhur yang dianjurkan agama, permusyawaratan dan keadilan sosial melalui sosialisme Negara.
Sementara Soekarno dalam pidatonya mengusulkan dasar Negara yang akan dibentuk ialah kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan. Dalam pidatonya Soekarno berkata, “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas, dasar, dan di atas kelima sila itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”[7] Dari situlah akar dasar Negara kita, Pancasila. Selain kedua tokoh itu masih ada tokoh-tokoh lain yang memberikan gagasannya seperti Muhammad Yamin dan sebagainya.[8]
Dari hasil sidang itu, yang dilanjutkan secara intens pada hari-hari kemudian, dicapailah suatu dasar Negara dengan kelima sila sebagai berikut: 1) ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2) kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) persatuan Indonesia, 4) dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, 5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar Negara yang dihasilkan ini masih menisakan polemik menyangkut sila pertama. Latuharhary, yang mewakili Kristen, berkeberatan dengan sebagian isi dari sila pertama yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun ia ditentang oleh para tokoh yang memperjuangkan kepentingan Islam seperti Agus Salim dan Wakhid Hasyim. Soekarno juga mengatakan bahwa kalimat itu diperoleh melalui kompromi yang alot antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Kalau kalimat itu tidak dimasukkan maka tidak dapat diterima oleh pihak Islam.[9] Akhirnya teks Pancasila itu disetujui dengan masih tetap menyisakan persoalan.
Setelah melalui proses yang panjang dan alot, Indonesia akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya. Setelah Soekarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada pukul 10.00 tanggal 17 Agustus itu, masih banyak hal yang masih akan dikerjakan berkaitan dengan Negara yang baru merdeka. Salah satunya ialah melengkapi UUD Negara yang baru merdeka itu. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia akan menggelar sidang lanjutan pada tanggal 18 Agustus untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan itu. Pada tanggal 17 sore, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) menemui Muhammad Hatta. Dia adalah utusan Kaigun yang datang untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai oleh AL Jepang sangat berkeberatan terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mereka mengakui bahwa kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat yang beragama Islam. Tetapi tercantuman ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, maka mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.[10] Melalui polemik yang alot, akhirnya kalimat itu dikeluarkan dari pembukaan UUD atau dari Pancasila. Soekarno beranggapan bahwa kalau hal itu dipaksakan, Negara Republik Indonesia yang baru dibentuk akan terpecah kembali. Untuk menjaga keterpecahan itu, PPKI akhirnya mengeluarkan kalimat itu. Namun tentu saja kelompok Muslim sangat keberatan dengan dikeluarkannya bagian itu.
Dari pembahasan di atas kita melihat bahwa dasar Negara kita Pancasila, dihasilkan melalui perdebatan panjang. Kaum nasionalis atau sosialis ingin membawa ideologinya, Islam membawa ideologinya dan demikian juga dengan Kristen. Dengan demikian, Pancasila itu merupakan kesepakatan yang dihasilkan sebagai kompromi antara golongan nasionalis atau sosialis, Islam dan Kristen. Pancasila yang merupakan hasil kompromi ini rupanya terus menerus menjadi polemik di hari-hari kemudian pasca kemerdekaan. Kaum sosialis ingin menggeser Pancasila itu dan menggantikannya dengan dasar sosialis. Kaum Muslim juga ingin menggeser Pancasila itu dan menggantinya dengan syariat Islam.
Dari sini kita melihat bahwa sudah sejak awal, dasar Negara kita Pancasila itu mempunyai fondasi yang rapuh. Fondasi itu tidak kuat karena merupakan hasil kompromi yang dipaksakan. Masing-masing golongan ingin mendesakkan ideologinya sebagai dasar Negara. Saya berpandangan bahwa Pancasila itu disetujui sebagai dasar Negara bukan karena masing-masing golongan itu setuju dengan dasar Negara seperti itu, tetapi karena terpaksa demi Indonesia merdeka yang baru terbentuk. Jadi, kalau banyak pendapat yang mengatakan bahwa para bapa pendiri Negara ini telah meletakkan landasan yang kokoh sebagai dasar Negara, hal itu terlalu melebih-lebihkan. Mengapa? Karena ternyata landasan itu tidak kokoh, tetapi rapuh. Dari fakta yang kita lihat sampai sekarang ini, Pancasila terus-menerus ditarik ke sana-kemari.

Pancasila di Masa Soekarno
Setelah Indonesia merdeka, keadaan Indonesia bukannya membaik tetapi tetap mengalami berbagai macam kekacauan. Pancasila pun tetap menjadi bahan perdebatan. Kelompok Islam tetap menginginkan agar Pancasila yang dipakai seperti yang ada dalam Piagam Jakarta, yang di dalamnya termuat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tahun 1950, Pancasila mengalami pergeseran. Sila ketiga “Persatuan Indonesia” diganti dnegan “Kebangsaan”. Pada tahun itu juga UUD yang dipakai bukan UUD 1945 melainkan UUDS 1950. Disebut UUDS karena Konstituante masih akan mendiskusikan dan merumuskan ulang UUDS itu. Pada tahun 1956, perdebatan di Konstituante menjadi sangat sengit. Terjadi perpecahan internal di dalam tubuh parlemen. Golongan-golongan di situ terpecah menjadi tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang menghendaki Pancasila sebagai dasar Negara. Kedua, mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar Negara. Ketiga, mereka yang menghendaki sosialisme sebagai dasar Negara.[11] Karena perdebatan di Konstituante ini tak kunjung selesai, sementara rakyat semakin risau akan terpecahnya Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali Pancasila dan UUD 1945.
Pasca dekrit presiden 5 Juli itu Pancasila masih tetap menjadi bahan perdebatan. Soekarno sendiri membuat arah pemerintahan yang menggabungkan antara nasionalisme, agama dan komunisme yang disingkat dengan NASAKOM. Dia mengatakan bahwa jiwa Pancasila adalah NASAKOM. Oleh karena itu setiap Pancasilais haruslah menjadi Nasakomis.[12] Dari sini kita lihat bahwa Pancasila menjadi alat pemerintah untuk melanggengkan ideologinya, bukan lagi ideologi bangsa. Dekrit presiden 5 Juli ini mengubah wajah pemerintahan Soekarno. Semenjak itu, Soekarno tidak lagi dilihat sebagai pemimpin yang demokratis, melainkan sang penguasa. Melalui Demokrasi Terpimpin, Soekarno menjadi penguasa yang totaliter.[13]
Dari uraian singkat tentang perdebatan mengenai Pancasila di masa pemerintahan Soekarno ini, kita melihat bahwa Pancasila itu semakin rapuh karena ternyata tetap menjadi bahan perdebatan yang ditarik ke sana-kemari, ingin diganti, lalu dikembalikan, lalu diperalat plitik penguasa. Pancasila, yang dari akarnya dan dari pembentukan formalnya sudah rapuh, semakin rapuh lagi ketika diperalat untuk mencapai kepentingan politik.

Indoktrinasi Pancasila di Masa Soeharto
Tragedi 30 September 1965 mengubah wajah pemerintahan Indonesia. Orde Baru serta-merta mengoreksi praktek Pancasila yang menyimpang di zaman Soekarno, sekaligus membawa penyimpangan baru terhadap Pancasila itu. Setelah menjadi presiden pada tahun 1966, Soeharto mengembalikan Pancasila kepada yang asli seperti yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Namun setelah pemerintahan Soeharto berjalan, pelan-pelan tapi pasti Pancasila kembali dipolitisasi. Penafsiran terhadap Pancasila merupakan penafsiran tunggal yang dilakukan oleh penguasa. Penafsiran tunggal itu dibuat dalam bentuk butir-butir Pancasila (45 butir) yang harus dihafalkan bukan hanya oleh para pelajar, tetapi juga oleh para pegawai negeri dan masyarakat luas. Indoktrinasi Pancasila itu dilakukan melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang ditetapkan oleh MPR nomor II/MOR/1978.[14] Dengan demikian Pancasila akhirnya menjadi slogan yang dipakai pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pelaksanaan P4 ini mempunyai dampak yang sangat fatal, yaitu Pancasila menjadi kaku, monopoli tafsir oleh pemeritah, pelecehan terhadap Pancasila dan membuat warganya terutama generasi mudanya menjadi beo,[15] tidak berpikir kritis dan tidak bertanggung jawab.[16] Inilah yang dilakukan oleh Soeharto pada masa pemerintahannya, pem-beo-an rakyat sehingga ia bisa bertahan menjadi penguasa otoriter selama 32 tahun. Dalam bahasa Paulo Freire, Soeharto menciptakan kebudayaan bisu melalui ideologi-ideologi yang disusupkan ke berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, seperti politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dengan terciptanya kebudayaan bisu ini, kebudayaan kritis menjadi mati, dan ia tetap menjadi penguasa.
Dari penjelasan ini jelaslah bahwa pada masa pemerintahan Soeharto juga Pancasila dipolitisasi. Pancasila menjadi ideologinya mempertahankan kekuasaan. Pancasila yang sudah rapuh sejak akar dan awalnya, semakin rapuh di tangan Soeharto ini. Kediktatoran Soeharto membungkam suara-suara kritis dan pergerakan-pergerakan rakyat, termasuk ormas-ormas agama. Selama masa pemerintahannya itu, sangat jarang terjadi konflik agama, atau sangat jarang terjadi keinginan kaum Islam ingin mengganti Pancasila dengan syariat Islam. Namun berbagai penelitian setelah lengsernya Soeharto menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena Soeharto membungkam segala gerakan itu. Gerakan mana saja yang berseberangan dengan pemerintah akan dibungkam oleh Soeharto. Setelah ia lengser kita menyaksikan banyaknya kekerasan atas nama agama, terorisme dan fundamentalisme agama, serta keinginan-keingian kaum Islam fundamentalis ingin mengganti Pancasila dengan syariat.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik suatu garis: bahwa Pancasila itu rapuh sebagai dasar Negara. Mengapa rapuh? Pertama, karena akarnya tidak kuat. Pancasila yang dikatakan berakar dalam budaya bangsa Indonesia lebih merupakan payung untuk kemerdekaan daripada fakta yang sebenarnya. Kedua, sejak pembentukan Pancasila itu secara formal, ada banyak polemik serta perdebatan yang sengit mengenai dasar Negara ini. Setiap golongan ingin memasukkan ideologinya sebagai dasar Negara. Persoalan ini tidak selesai sejak awal kemerdekaan sampai sekarang ini. Berbagai macam golongan ingin menggantikan Pancasila dengan ideologinya. Ketiga, Pancasila itu semakin rapuh karena ternyata pada masa pemerintahan Soekarno, Pancasila itu ditarik ke sana-kemari serta dipolitisasi oleh pemerintah yang berkuasa. Keempat, semakin rapuh lagi karena pada pemerintahan Soeharto Pancasila itu bukannya dikembalikan kepada semangat aslinya, melainkan dipolitisasi untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto.
Pertanyaan kita sekarang, kalau memang Pancasila itu rapuh, layakkah Pancasila itu diteruskan sebagai dasar Negara? Kalau layak, upaya apa yang harus dilakukan sehingga ia tidak terus-menerus rapuh? Kalau tidak layak, adakah suatu ideologi yang tidak rapuh yang bisa menggantikan Pancasila itu? Kalau ada, ideologi apakah itu? Pertanyaan-pertanyaan ini belum saya jawab dalam tulisan ini. Kiranya hal ini menjadi eksplorasi lebih lanjut, baik oleh saya, maupun oleh kita semua. 



[1] Sejarah peristiwa genocida PKI tahun 1965 semakin sulit dipahami sekarang ini. Ada berbagai tafsir terhadap peristiwa itu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa di balik peristiwa itu sebenarnya Soekarno. Namun ada pendapat sebaliknya bahwa di balik peristiwa gelap itu sebenarnya Soeharto-lah yang menjadi dalangnya.
[2] Pergerakan Islam Fundamentalis ini merebak dan gencar melakukan serangan pasca tumbangnya kediktatoran Soeharto. Pada masa kekuasaan Soeharto, nampaknya tidak ada masalah dengan agama ini. Golongan Islam nampaknya bisa menerima Pancasila dengan damai. Namun setelah tumbangnya Soeharto, fakta menunjukkan lain. Islam Fundamentalis sangat getol memperjuangkan syariat Islam. Apakah ini dapat disebut hanya fenomena pasca Soeharto atau ada kaitannya dengan Soeharto? Nampaknya pendapat kedua inilah yang lebih masuk akal. Pada masa kekuasaan Soeharto, semua organisasi dibugkam dengan berbagai macam cara, entah itu peraturan, Tap MPR, P4 dan sebagainya.
[3] Bdk. Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 5. Bdk. Juga P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 17. Hardono Hadi mengatakan bahwa Pancasila itu merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Bdk. Hardono Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 66. Selain ketiga buku itu, masih sangat banyak buku lain yang berpendapat sama, yang mengatakan bahwa Pancasila itu merupakan kristalisasi budaya bangsa Indonesia.
[4] Kelompok nasionalis nampaknya ungkapan yang diperhalus dari sosialis.
[5] Suwarno, op.cit., hlm. 43.
[6] Ibid., hlm. 46.
[7] Ibid., hlm. 49.
[8] Dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Yamin, dia menulis bahwa dia juga mengusulkan lima dasar Negara Indonesia: peri kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Namun banyak kalangan (salah satunya Muhammad Hatta) menilai bahwa hal ini merupakan kelicikan Yamin. Kelima gagasan itu sebenarnya hasil dari rapat panitia kecil, namun diklaim oleh Yamin sebagai hasil gagasannya. Ibid., hlm. 51-52.
[9] Ibid., hlm. 57-59. Sebenarnya Maramis, yang juga mewakili Kristen, merupakan salah satu anggota tim perumus UUD. Namun ia juga tidak berhasil menyingkirkan kalimat mengenai pelaksanaan syariat Islam itu.
[10] Ibid., hlm. 73.
[11] Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hlm. 110-111.
[12] Ibid., hlm. 113.
[13] F. Rahardi, “Politik Menentang Totaliterisme” dalam Mikhael Dua dkk. (ed), Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama, (Jakarta: Obor, 2008), hlm. 73.
[14] Eka Darmaputera, op.cit., hlm. 115.
[15] Pendidikan Pancasila melalui penataran P4 ini cuma membuat siswa menjadi sinis dan munafik. Jenis pendidikan moral yang mereka terima tidak menawarkan panduan apapun secara moral dan realistis dalam masyarakat modern. Bdk. Niels Mulder, Mistisisme Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm.151.
[16] Bdk. J. Soedjati Djiwandono, Setengah Abad Negara Pancasila, Jakarta: CSIS, 1995, hlm. 20-22.


* Penulis adalah mahasiswa Program Magister Filsafat Teologi STFT Widya    Sasana Malang

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato