Resume Theology of The Body ( Teologi Tubuh )
SEKSUALITAS MANUSIA: DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI TUBUH YOHANES PAULUS II
by
Fr. Bastian-Wawan, CM
Seksualitas manusia ini menjadi tema yang penting dibahas
dalam konteks Teologi Penciptaan karena masyarakat dewasa ini seringkali jatuh
dalam pandangan seksualitas yang sempit. Ada yang begitu mendewakan
seksualitas; ada pula yang menganggap rendah seksualitas.
“Karena seks dilihat melulu dari segi libido dan tubuh, seks lalu
memperbudak tubuh dan nafsu manusia sendiri. Sebaliknya, jika seks terlalu
dilihat sebagai sesuatu yang spiritual, seperti dalam pandangan sebelum
revolusi seksual, maka seks pun terasing dari tubuh, dan menjadi alasan untuk
menghakimi tubuh.”[1]
Pandangan yang serba ekstrem ini membuat manusia jatuh pada sikap mengumbar
segala dorongan seksual atau menjadi takut dan mudah merasa bersalah terhadap
aneka bentuk aktivitas seksual. Masalah seksualitas hanya dipersempit pada
urusan seks belaka, dan masalah seks hanya dipersempit pada urusan libido saja.
Seks sebagai sesuatu yang baik dan alamiah menjadi sesuatu yang kotor dan penuh
rekayasa, yang diperparah secara kultural dalam beberapa masyarakat. Yang
paling merasakan semua ini adalah kaum perempuan, yang ditindas secara fisik,
sosial, dan kultural.
Dengan latar belakang keadaan seperti ini, kami hendak merefleksikan
seksualitas manusia secara lebih utuh dan seimbang, dengan merefleksikan apa
yang menjadi rencana awal Allah sendiri saat menciptakan laki-laki dan
perempuan. Refleksi ini didasarkan pada pandangan teologi tubuh Yohanes Paulus
II yang bisa kita simak dalam audiensinya sejak tahun 1979-1984. Hasil
audiensi ini lalu dikumpulkan dalam dokumen yang berjudul “Theology of The
Body.”
1.
Pengalaman Awali Manusia (The Original Human Experince)
Ketika merefleksikan kisah
penciptaan dan kejatuhan manusia pertama dalam dosa, Paus Yohanes Paulus II
membaginya dalam empat keadaan/pengalaman awali manusia, yaitu: original
solitude, original unity, original nakedness, dan original sin.
Paus mengakui adanya realitas dosa, tetapi Paus mengajak kita untuk melihat
keadaan awali manusia supaya kita dapat sungguh-sungguh menyadari makna
kehidupan dan seksualitas manusia ini sebagaimana dikehendaki oleh Allah sendiri
pada mulanya, sebelum kejatuhan manusia dalam dosa.
1.1.
Original Solitude
Pengalaman awali ini dikisahkan dalam kisah kedua penciptaan (dalam kisah
pertama hal ini tidak ditunjukkan). Kisah kedua ini bercorak antropomorfistis
di mana “Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan
nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7).”
Keadaan kesunyian/kesepian/kesendirian (solitude) ini adalah keadaan
kesunyian seorang manusia (man), bukan kesunyian seorang laki-laki
(male) karena tidak adanya seorang perempuan (female); “Man
is alone… by its nature.”[2]
Kesunyian ini menegaskan kembali kodrat kemanusiaan manusia sebagai laki-laki
dan perempuan. Allah tidak pertama-tama menciptakan tubuh laki-laki dan baru
kemudian perempuan, tetapi Allah menciptakan manusia secara utuh dengan segala
kemanusiannya. Allah menciptakan manusia dalam satu tindakan sebagai laki-laki
dan perempuan (Kej. 1:27).
Original solitude ini memiliki arti bahwa manusia itu sendiri dengan
Allah dan menikmati relasinya yang unik dengan Allah sendiri.[3]
Dari semua ciptaan yang ada, hanya manusia yang dapat berelasi dengan Allah.
Hanya manusia yang dapat mengenal dan mencintai Allah, dunia, dan dirinya
sendiri, karena ia diciptakan secitra dengan Allah. Kejadian bab 1 menampilkan
manusia sebagai puncak dan mahkota penciptaan. Keistimewaan ini memiliki
karakter teologis yang sekaligus menunjukkan dimensi spiritual manusia, yaitu
Allah menciptakan manusia sesuai dengan Citra-Nya. Ini adalah sebuah fakta objektif
yang menyatakan keberadaan (being) manusia sebagai laki-laki dan
perempuan dan cara berada (existence) manusia agar menjadi berbuah dan
bertambah banyak (be fruitfull and multiply).[4]
Allah melihat bahwa penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan ini
sungguh amat baik (1:31). Ini mau mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada (exist)
itu baik dalam dirinya sendiri. Karena itu, being dan existence
manusia itu sungguh amat baik.
Original solitude juga meneguhkan posisi superioritas manusia atas
ciptaan-ciptaan yang lain.[5]
Tindakan memberikan nama kepada semua ciptaan yang hidup (Kej. 2:19) mau
menunjukkan bahwa manusia memiliki kuasa atas ciptaan-ciptaan yang lain.
Original solitude juga hendak menegaskan kesadaran manusia
sebagai pribadi (person). Dalam Kej. 2:7 tertulis, “ketika itulah
TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup
ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.”
Dalam bahasa Ibrani. Kata nafas (breath) serupa dengan kata roh (spirit).
Melalui tubuhnya (his “dust”), manusia hidup dalam roh. Melalui
pengalaman akan tubuhnya sendiri, manusia memahami siapa dirinya dan siapa
Allah; melalui tubuhnya manusia juga memahami perbedaannya dengan binatang dan
memahami identitasnya sebagai pribadi.[6]
Tubuh inilah yang menyatakan pribadi manusia. Kesadaran akan tubuh ini pula
yang membuat manusia tidak menemukan tubuh-tubuh lain yang serupa dengan
tubuhnya. “In naming the animals, Adam found many other “bodies.” But none
of these bodies revealed a person, a did his own body. Here we can sense Adam’
deep longing for an-other body that revelas an-other person who is called to
communion with him.”[7]
Manusia berada dalam kesendirian dan ia merasakana ada sesuatu yang kurang
dalam dirinya. Dengan demikian, original solitude mengantar manusia
kepada original unity.
1.2.
Original Unity
Original unity dimulai saat Allah melihat bahwa tidak baik manusia itu
hidup sendirian, maka Ia menciptakan penolong yang sepadan untuknya (Kej.
2:18). Allah melakukan semuanya itu ketika Adam tidur nyenyak untuk menunjukkan
misteri tindakan Allah saat mencipta. Dapat pula dikatakan bahwa Adam tidur
nyenyak dengan suatu kerinduan yang mendalam untuk menemukan a being
seperti dirinya.[8]
Kejadian bab 2 lebih menampilkan karakter subjektif manusia dengan pengetahuan
dan kesadaran dirinya sendiri.[9]
Ada tiga karakter yang hendak ditampilkan. Pertama, pada mulanya Allah
menciptakan manusia (adam). Pada saat penciptaan perempuan pertamalah
sebenarnya baru mulai muncul kata laki-laki (ish), dalam relasinya
dengan perempuan (ishsh). Di sini tampak permainan kosakata Ibrani
antara ish dan ishsh. Setelah melihat perempuan, laki-laki
itu berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia
akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (2:23).” Karakter
kedua adalah bahwa “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya
dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (2:24).”
Dan karakter ketiga adalah “Mereka keduanya telanjang, manusia dan
isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu (2:25).”
Sekarang Adam tidak lagi sendiri dengan Allah. Ia memiliki teman yang sama
dengannya, untuk bersama sendiri dengan Allah.[10]
Kesatuan ini tampak ketika laki-laki berkata, “Inilah dia, tulang dari
tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil
dari laki-laki.” Lalu, laki-laki itu memutuskan untuk bersatu dengan
perempuan dan menjadi satu daging. Demikianlah manusia dicipta untuk berelasi
dan bersatu. Mereka bukan lagi dua melainkan satu karena mereka telah bersatu
dan menjadi satu daging (one flesh). Mereka telah berbagi dalam
kemanusiaan dan martabat yang sama.
Masculinity and
feminity, then are two “incarnations” of the same solitude before God and the
world, in other words, of being a body-person made in God’s image. Masculinity
and feminity “complete each other.” They are “two complementary dimensions … of
self-consciousness and self-determination and, at the same time, two
complementary ways of being conscious of the meaning of the body.”[11]
Dengan demikian,
manusia menemukan kesempurnaanya dalam “double unity” sebagai
laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam
Kej. 1:27, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar Allah,
laki-laki dan perempuan. Dua kisah penciptaan ini mengatakan hal yang sama
dengan cara yang berbeda. Namun, justru dengan kisah Kejadian bab 2 kita dapat
semakin melihat adanya kesatuan awali (original unity) manusia. Dengan
ini, tampaklah panggilan manusia untuk membentuk persatuan sebagai communio
personarum agar makin serupa dengan kodratnya yang secitra dengan
Allah. “Man became the image of God not only through his own humanity, but
also through the communion of persons.”[12]
Sebagaimana Allah membentuk communio dalam dirinya, demikianlah Allah
memanggil agar laki-laki dan perempuan bersatu. Persatuan ini merupakan sebuah
proses menerima dan memberi, “accepting and giving.” Adam dengan
gembira menerima Hawa dengan seluruh bentuk tubuhnya, sifatnya, dan segala yang
dimiliki Hawa. Demikian pula dengan bebas Hawa menerima Adam dengan seluruh
bentuk tubuhnya, sifatnya, dan segala yang dimiliki Adam. Mereka berdua bersatu
dan saling memberikan diri mereka satu sama lain.
Namun, kesatuan ini harus dipahami dalam arti yang luas, bukan sekedar
persatuan seksual antara laki-laki dan perempuan, melainkan persatuan antara
dimensi maskulinitas dan feminitas manusia. Dan bahkan, lebih lanjut rasul
Paulus merefleksikan ini semua sebagai persatuan antara Kristus dengan
Gereja-Nya. “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini
besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef.
5:31-32). Persatuan yang saling menerima dan member inilah yang mengantar
laki-laki dan perempuan kepada original nakedness.
1.3.
Original Nakedness
Kitab Kejadian mengisahkan dua kisah mengenai ketelanjangan awali manusia. Yang
pertama adalah “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu,
tetapi mereka tidak merasa malu (Kej. 2:25).” Yang kedua adalah “Kemudian
terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu
mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat (Kej. 3:7).” Dua
pengalaman ketelanjangan ini memiliki makna yang sangat berbeda.
Dalam kisah pertama kita melihat bagaimana ketelanjangan awali ini tidak membuat
mereka malu walaupun sama-sama dalam keadaan telanjang. Perbedaan seksual
antara laki-laki (male sex) dan perempuan (female sex)
tidaklah membuat mereka malu. Tidak ada masalah dengan tubuh mereka, dengan
ketelanjangan mereka. Ketelanjangan ini menjadi simbol kebebasan dalam
komunikasi, di mana manusia yang dipanggil untuk bersatu ini mau dengan bebas
dan total saling memberi dan menerima.[13]
Ketelanjangan ini juga bermakna bahwa yang satu menjadi bagian dari yang lain.
Laki-laki juga memiliki dimensi feminitas dan perempuan juga memiliki dimensi
maskulinitas. Mereka memang berbeda dan sungguh berbeda, tetapi perbedaan ini
justru menjadi saat bagi mereka untuk saling melengkapi satu sama lain. Mereka
mampu mencintai satu sama lain secara utuh.
Dalam kisah kedua, ketelanjangan ini menjadi sesuatu yang menakutkan dan
mencemaskan, sehingga mereka harus bersembunyi dan menutupi ketelanjangan
mereka karena malu. “Aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku
bersembunyi (Kej. 3: 10)” Ketelanjangan ini tidak sekedar mengatakan
ketelanjangan fisik di mana mereka tidak berpakaian, tetapi juga ketelanjangan
di mana mereka telah kehilangan partisipasinya dalam Rahmat Allah. Manusia
menjadi malu karena ia telah terasingkan, bahkan terbuang dari kasih yang
menjadi sumber rahmat, yang menjadi tujuan awal Allah menciptakan manusia.
Mengapa sampai semua ini terjadi? Original sin lah yang membuat
manusia terbuang dari situasi awalinya yang penuh rahmat.
1.4.
Original Sin
Ketiga keadaan awali di atas menjadi hancur akibat dari dosa asal, sebagaimana
diceritakan dalam Kej. 3:1-14. Di sinilah terletak perbedaan yang dahsyat (the
time bomb). Teologi sistematis mengenal dua keadaan kodrati manusia yang
berbeda.[14]
Keadaan pertama disebut “the state of integral natural”, di mana
manusia belum memiliki pengetahuan akan yang baik dan buruk, di mana manusia
hidup sesuai dengan keadaan awali yang dikehendaki Allah. Keadaan kedua disebut
“the state of fallen nature” di mana manusia jatuh dalam dosa (“the
state of human sinfulness”).
Ular datang menggoda manusia. “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi
Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan
kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat
(4-5).” Mengapa ular menggoda manusia tidak dikatakan. Yang pasti adalah
akhirnya manusia tergoda dan jatuh dalam dosa karena keputusan manusia melawan
perintah Allah. “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan
bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah
kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati
(Kej. 2:16b-17).”
Manusia menjadi terpisah dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama,
dan juga dengan alam ciptaan ini. Inilah titik di mana semuanya serentak
berbeda secara dahsyat. Semuanya langsung berubah dan berbalik. Kitab Kejadian
menceritakan bahwa setelah berbuat dosa asal ini manusia menjadi malu karena
mereka telanjang (3:7). Mereka berusaha untuk menutup tubuh mereka yang
telanjang dengan cawat dari pohon ara. Namun, usaha ini tidak mampu
menghilangkan rasa malu mereka di hadapan Allah. Hal ini menunjukkan betapa
hubungan manusia dengan Allah telah rusak. Kerusakan ini tidak bisa dipulihkan
lagi oleh manusia hanya dengan membuat cawat. Hanya Allah sendirilah yang dapat
menghapus rasa malu dan rasa bersalah manusia[15]
dengan membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia (adam) dan isterinya
itu (hawa), lalu mengenakannya pada mereka (3:21).
Kesadaran akan ketelanjangan mereka ini sekaligus menunjukkan bahwa kodratnya
sebagai citra Allah telah rusak.[16]
Keluhuran martabat manusia, sebagai laki-laki dan perempuan, dalam keadaan
awalinya menjadi rusak. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan lalu lebih
mudah jatuh kepada perbedaan seksual antara tubuh laki-laki dan tubuh
perempuan. Manusia hanya melihat tubuhnya sebagai sebuah tubuh fisik (antropologis)
belaka karena telah kehilangan dimensi Ilahi (teologis) dari tubuh itu. Di sini
pulalah kita dapat menemukan makna seksualitas manusia menjadi kabur, sehingga
orang mudah jatuh pada seks belaka. Dosa asal ini menyebabkan manusia memiliki
kecenderungan akan dosa (konkupisensia), sehingga manusia menjadi
semakin sulit untuk menentukan mana yang baik dan buruk bagi dirinya.
2.
Empat Kualitas Kehadiran Manusia[17]
Dalam refleksi Paus Yohanes Paulus II, tubuh manusia memiliki empat karakter,
yaitu: symbolic, nuptial, free and fallen, and redeemed. Masing-masing
pengalaman awali manusia memberikan makna tersendiri untuk tubuh.
“From the experience of
Original, we understand that the human body is symbolic. From the experience of
Original Unity… that the human body is nuptial. From experience of Original
Nakedness … that human body is free and fallen. From experience of knowing and
loving Jesus Christ, we come to understand that human body is redeemed.”[18]
2.1.Kehadiran
Manusia sebagai Simbol
Karakter symbolic mau mengatakan bahwa tubuh manusia berbeda dengan
tubuh ciptaan-ciptaan yang lain. Manusia, dalam tubuhnya, memiliki dimensi spiritual
dan invisible sebagai seorang pribadi. Ketika berjumpa dengan
seseorang, kita tidak hanya berjumpa dengan tubuh manusia, tetapi juga berjumpa
dengan karakter, kepribadian, pemikiran, perasaan, tindakan, bahasanya, dan
sebagainya, sebagai seorang pribadi. Maka, manusia tidak bisa dilihat
hanya dari tubuhnya saja, dari segi fisiknya saja. Dalam diri manusia inilah
terdapat apa yang visible dan invisible, serta apa yang physical
dan spiritual. Tubuh manusia berada dalam ruang dan waktu,
sementara roh berada dalam kekekalan. Oleh karena itu, manusia mengungkapkan
apa yang spiritual dan invisible ini lewat tubuhnya.
Apa yang dilakukan manusiapun memiliki karakter symbolic. Apa yang
dikerjakan oleh tubuh ini bukan aktivitas jasmani belaka, melainkan juga
memiliki makna rohani. Misalnya, seorang laki-laki bekerja keras bukan hanya
demi pekerjaan itu sendiri, melainkan sebagai ungkapan cinta kepada isteri dan
anak-anaknya. Seorang perempuan berdandan bukan hanya demi mempercantik dirinya
sendiri, melainkan juga untuk menyenangkan pasangannya. Seorang imam melakukan
matiraga bukan hanya untuk menahan lapar dan haus, melainkan juga sebagai
ungkapan pertobatannya. Dengan demikian, tubuh manusia dan apa yang dilakukan
manusia lewat tubuhnya ini sesungguhnya kaya akan makna.
2.2.Kehadiran
Manusia yang Relasional
Karakter nuptial mau mengatakan bahwa tubuh manusia memiliki karakter
relasional yang terarah pada cinta. Tubuh laki-laki dan perempuan memang
berbeda. Perbedaan ini justru menjadi alasan bagi mereka untuk bersatu dalam
cinta. Tubuh manusia itu dicipta untuk cinta. Tubuh manusia itu dicipta untuk
berelasi satu sama lain. Adanya rasa tertarik antara seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan atau sebaliknya adalah tanda adanya dorongan untuk bersatu,
atau setidaknya adanya dorongan untuk berelasi.
Karena karakter tubuh adalah symbolic, maka ungkapan karakter nuptial
ini tidak hanya terarah kepada aktivitas jasmani, tetapi juga rohani. Ungkapan
karakter ini bukan hanya lewat aktivitas seksual (a body language)
antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga lewat tindakan berbicara,
mendengarkan, memperhatikan, menyentuh, dan menerima orang lain (a
spiritual language). Oleh karena itu, ungkapan persatuan manusia, antara
pria dan wanita, tidak hanya lewat persetubuhan atau kenikmatan seksual. Itu
hanyalah salah satu cara tubuh manusia mengungkapkan cinta. Dalam aktivitas
seksualpun dibutuhkan bahasa cinta. Ungkapan cinta yang tampak dalam tindakan
saling menyentuh, saling memandang, saling mendengarkan, saling memahami, dan
sebagainya. Tanpa ada ini semua, akivitas seksual manusia hanyalah sekedar
untuk memuaskan nafsu seksualnya semata, tanpa memiliki nilai cinta yang
menjadi dasarnya.
2.3.Kehadiran
Manusia yang Bebas dan Jatuh
Karakter “bebas” dimaksudkan bahwa dengan tubuhnya, manusia bebas untuk memberi
dan menerima cinta. Agar dapat mencintai, manusia itu harus dalam keadaan bebas
karena kebebasan adalah syarat adanya cinta. Namun, manusia ternyata malah
menyalahgunakan kebebasan itu, sehingga jatuh dalam dosa. Dosa asal membuat
tubuh pun terkena akibat dosa asal. Tubuh menjadi jatuh (fallen) dalam
dosa. Secara jasmani akibat dari dosa ini, tubuh akan mati dan hancur. Secara
rohani, dosa membuat manusia memiliki hasrat/dorongan seksual yang tidak
teratur. Manusia tidak lagi mampu melihat tubuhnya secara utuh dan seimbang.
Keadaan semacam ini dengan tepat dikatakan oleh Rasul Paulus, “Sebab kita
tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di
bawah kuasa dosa. Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa
yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku
perbuat (Rm. 7:14-15).”[19]
2.4.Kehadiran
Manusia yang Ditebus
Dosa asal yang melukai kodrat manusia membuat manusia tidak mampu lagi untuk
berpartisipasi dalam kodrat Ilahi. Kodrat ini tidak dapat dipulihkan oleh usaha
manusia sendiri. Karakter “ditebus” mau menunjukkan bahwa berkat wafat dan
kebangkitan Kristus, tubuh manusia yang sudah tercemar akibat dosa, dipulihkan
kembali, bahkan diperbarui jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Peristiwa
inkarnasi Yesus juga menunjukkan suatu relasi yang baru antara Allah dan
manusia. Karena Yesus, manusia dapat mengenal Allah, menyentuh-Nya,
merasakan-Nya, berelasi dengan-Nya, dan mencintai-Nya. Tubuh manusia ditebus
untuk dibangkitkan dalam hidup baru bersama dengan Kristus.
Sebagai orang yang telah ditebus dengan Darah Kristus, Rasul Paulus menegaskan
betapa pentingnya bagi jemaat kristen untuk hidup menurut Roh. “Maksudku
ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging
(Gal. 5:15).” Dengan hidup dalam Roh, orang diajak untuk memiliki pikiran dan
kehendak yang benar dalam hidup ini (inner purity). Dosa bukan hanya
soal telah melakukan hal yang buruk; bahkan Yesus menegaskan, memikirkan dan
menghendakinya saja sudah merupaka dosa (“Kamu telah mendengar: Jangan
berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan
serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”- Mat.
5:27-28).
Karakter “ditebus” ini juga merupakan sebuah undangan bagi manusia untuk
bersatu kembali, bersatu dengan Allah, bersatu dengan sesama, bersatu dengan
dirinya sendiri, dan bersatu dengan alam ciptaan. Persatuan inilah yang menjadi
awal tujuan Allah menciptakan manusia, sebelum manusia jatuh dalam dosa. Rasul
Paulus mengajak umat di Galatia untuk mengungkapkan buah-buah penebusan yang
mereka terima itu dengan melayani sesama dalam kasih. “Saudara-saudara,
memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan
kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan
layanilah seorang akan yang lain oleh kasih (Gal. 5:13-14).”
3.
Seksualitas Manusia sebagai sebuah Anugerah dan Pemberian Diri
Allah memberikan perempuan kepada laki-laki sebagai penolong yang sepadan
dengannya. Kata penolong bukan mau menunjukkan kedudukan perempuan yang lebih
rendah daripada laki-laki atau bahwa peranan perempuan hanya sebagai pelengkap
belaka. Dalam bahasa Ibrani, kata “penolong” digunakan untuk menjelaskan cara
Allah memelihara dan menolong umat-Nya.[20]
Laki-laki dan perempuan dipanggil untuk menjadi anugerah satu bagi yang lain,
di mana mereka belajar untuk saling memberi dan menerima (giving and
receiving).
“The man discovers the
woman and accepts her for who she is. The man does not try to change her or
control her. The man accepts that she complements him – that she helps him to
be human………She helps him reach perfection.”[21]
Laki-laki menerima perempuan dengan seluruh pribadi dan feminitasnya; demikian
pula perempuan menerima laki-laki dengan seluruh pribadi dan maskulinitasnya.
Masing-masing memang berbeda, tetapi justru dalam keberbedaan ini mereka bisa
saling melengkapi dan memperkaya. Dengan demikian, baik laki-laki maupun
perempuan saling diperkaya dalam sebuah relasi yang saling menguntungkan,
saling menumbuhkembangkan untuk mencapai kepenuhan seksualitasnya sebagai
manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai citra Allah.
Seksualitas manusia adalah sebuah anugerah yang harus dibagikan satu dengan
yang lain karena memang demikianlah rencana agung Allah ketika menciptakan
laki-laki dan perempuan. “Sexuality is our human capacity as whole person
to enter into love-giving, life-giving union in and through the body….
Sexuality is the personal power to share (physically, psychically, and
spiritually) the gift of self with self and with others”[22]
Dengan demikian, inti dari seksualitas manusia adalah pemberian diri (the
power of sharing self). Pemberian diri secara total ini seringkali
disamakan dengan aktivitas seksual antara suami dan isteri dalam perkawinan.
Hal ini tidaklah tepat. Aktivitas seksual memang harus dilakukan sebagai
ungkapan pemberian diri yang total, tetapi aktivitas seksual ini hanyalah salah
satu ungkapan pemberian diri yang total ini. Setiap orang, baik mereka yang
menikah maupun yang selibat, tetap dipanggil untuk memberikan diri satu sama
lain, dengan cara yang berbeda, entah secara fisik, psikologis, sosiologis,
spiritual, dan sebagainya- sesuai dengan panggilan hidup mereka masing-masing.
Dengan kata lain, kepenuhan seksualitas manusia terletak pada usaha pemberian
dirinya ini.
4. Penghayatan
Seksualitas bagi Para Calon Imam
4.1.Menghargai tubuh
Dari teologi tubuh ini kita menyadari bahwa tubuh ini bukanlah sumber dosa.
Tubuh ini pada awalnya diciptakan baik adanya. Adanya dosa asal inilah yang
membuat manusia tidak mampu untuk memiliki pandangan yang utuh dan menyeluruh
tentang tubuhnya sendiri. Ia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Bila kita hendak mencari penyebab semua
ini, harus diakui bahwa agama kristen juga ikut terlibat membuat manusia jatuh pada cara pandang yang negatif
tentang seks. Rainer Maria Rilke melontarkan kritik pedas bahwa agama, terutama
agama kristenlah yang membuat seks menjadi homeless di Eropa.[23]
Semua keinginan dan kenikmatan seksual dituduh sebagai sesuatu yang hina dan
merendahkan martabat manusia. seks ditampilkan sebagai yang harus disesalkan
dan dosa-dosa seksual dipandang sebagai dosa yang paling berat.[24] Kesadaran seperti ini mendorong kita untuk menerima tubuh
kita secara lebih positif.
4.2.Menghargai dan Menerima Seksualitas
Seksualitas adalah anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia;
dan semuanya itu sungguh amat baik adanya. Kesadaran bahwa seksualitas adalah anugerah dari Allah sendiri sangat
penting agar kita tidak jatuh pada pandangan yang tidak utuh tentang
seksualitas. Menghargai seksualitas berarti kesediaan untuk mengakui dan
menerima bahwa diri kita berbeda dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki
keunikan masing-masing, bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Menerima
perbedaan mengandaikan bahwa kita juga mau mengenal dan menerima diri kita
sendiri. Ini semua membuat kita merasa ”nyaman” dan ”intim” dengan diri kita
sendiri. Kita tidak merasa takut, kecewa, atau merasa bersalah dengan diri
kita. Kemampaun untuk bisa ”sendiri” dengan diri ini menjadi sesuatu yang
sangat diperlukan bagi para calon imam yang memang harus menjalani hidup ini secara
sendiri, dalam arti tertentu. Sebagaimana manusia pertama hidup sendiri dengan
Allah, para calon imampun diminta untuk belajar membangun ”kesendiriannya”
dengan Allah.
4.3.Menjadi Insan Persekutuan
Menghayati seksualitas dengan baik berarti kesediaan untuk mengakui bahwa aku
membutuhkan orang lain untuk meraih kesempurnaan. Kita mau mengundang orang
lain untuk masuk lebih dalam ke dalam diri kita. Kita mau membangun persekutuan
dengan orang lain. Sesungguhnya, ”seksualitas menunjukkan panggilan manusia
untuk menjadi sempurna.”[25]
Baik kehadiran laki-laki maupun perempuan hendak menunjukkan bahwa manusia pada
dasarnya tidaklah lengkap. Ia membutuhkan orang lain untuk meraih kesempurnaan
dalam dirinya.
Hal ini semakin mempertegas panggilan para imam untuk menjadi man of
communion, baik dengan Tuhan dan dengan sesama. Kita mau membangun relasi
yang ”intim” dengan orang lain. Relasi yang intim tidaklah melulu melibatkan
aktivitas seksual. Keintiman dibangun ketika kita mau saling menjadi anugerah
satu bagi yang lain. Usaha untuk saling memberi diri inilah yang membuat orang
menjadi intim. Hal itu dapat diungkapkan dengan sentuhan, sapaan, senyuman, dan
sebagainya yang menunjukkan bahwa kita mau menerima, mengerti, memahami,
mendengarkan orang lain. Karena tubuh kita ini memiliki karakter symbolic,
maka apa yang kita lakukan dengan tubuh kita hendaknya mengungkapkan juga
dimensi rohani tubuh kita.
Adanya rasa tertarik dengan perempuan merupakan suatu dorongan yang alami
muncul dalam diri laki-laki. Ini merupakan suatu kebutuhan atau dorongan yang
tak terelakkans ecara manusiawi. Mereka yang menjalani hidup selibat tentu
menghadapi aneka dorongan ini secara berbeda dengan orang yang menikah. Ini
bukan soal isinya, melainkan hanya soal caranya. Orang yang menikah
mengungkapkan itu semua dalam relasi persetubuhan antara suami dan
isteri. Tetapi, persetubuhan ini bukanlah sesuatu yang mutlak harus ada.
Persetubuhan adalah salah satu ungkapan cinta dan pemberian diri. Maka, orang
yang selibat pun dapat mengungkapkan cinta dan pemberian diri dengan cara yang
berbeda. Orang yang selibatpun tetap dapat mewujudkan diri menjadi insan
persekutuan walaupun tanpa pernikahan, tanpa aktivitas seksual.
Persekutuan yang dimaksudkan di sini bukan hanya persekutuan antara laki-laki
dan perempuan. Imamat juga merupakan suatu bentuk penghayatan persekutuan
antara Kristus dan Gereja-Nya. Rahasia ini besar, tetapi yang aku
maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef. 5:31-32). Hidup selibat
maupun mengungkapkan dimensi rohani pernikahan yang disebut pernikahan mistik
antara Kristus dan Gereja-Nya. Dengan bersatu erat dalam kristus, seorang imam
menghayati pernikahan mistiknya dalam kehidupan seharai-hari dan ia menjadi
tanda kehadiran Kristus di dunia ini (alter Christus).
4.4.Membagikan Anugerah Kehidupan
Gereja mengakui salah satu tujuan perkawinan adalah prokreasi yang melahirkan
kehidupan baru. Untuk mewujudkan ini, pasangan suami-isteri melakukan
persetubuhan. Para calon imam pun juga dipanggil untuk ikut melahirkan
kehidupan yang baru, secara rohani. Para calon imam, dipanggil untuk membagikan
anugerah kehidupan ini kepada semua orang; Kehidupan baru yang telah ditebus
dan diselamatkan oleh sengsara, wafat, dan kebangkitan kristus. Dengan menjadi
pelayan sakramen-sakramen, para imam, sebenarnya juga menjadi pembagi anugerah
kehidupan yang telah ditebus dan diselamatkan ini. Inilah kehidupan baru yang
diberikan oleh para imam. Dengan cara ini pula para imam mewujudkan hakekat
seksualitasnya, yaitu menjadi anugerah dan pemberian diri.
Dalam membagikan anugerah kehidupan inilah seorang imam menghayati Sabda
Tuhan Yesus, “… dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena
kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga (Mat. 19:12a).” Maka,
seorang imam menghayati seksualitasnya sebagai pewartaan akan Kerajaan
Surga, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak
dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga (Mat. 22:31).”
Hidup selibat menjadi kesaksian akan nilai-nilai surgawi, kesaksian akan
kehidupan di masa mendatang. Hidup selibat juga menjadi kesaksian akan dimensi
rohani seksualitas. Ketika banyak manusia begitu mengagung-agungkan seks,
sehingga seksualitas menjadi kehilangan maknanya, hidup selibat hendak memberi
kesaksian akan makna sejati dari seksualitas.
4.5.Menghargai Martabat Perempuan
Penghayatan seksualitas yang baik juga mendorong kita untuk menghargai tubuh
perempuan dan aneka potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan. Dunia saat ini
telah begitu maju dan peranan perempuan dalam kehidupan ini tak
terelakkan lagi. Kita tidak bisa menutup mata untuk tidak mau bekerja sama
dengan kaum perempuan. Bahkan. Harus diakui, lebih banyak kaum perempuan yang
aktif dalam kegiatan menggereja. Penghargaan terhadap martabat perempuan
memampukan kita untuk melibatkan mereka dan bekerja sama dengan mereka.
Penghargaan terhadap perempuan juga membantu kita untuk bisa berelasi dengan
baik dan “aman.” Kata “aman” di sini dimaksudkan agar para imam tidak jatuh
pada relasi yang ekslusif pada perempuan yang bisa mengganggu pelaksanaan
penghayatan kaul kemurnian dan kehidupan selibat yang dihayatinya.
5.
Penutup
Dalam Teologi tubuh ini, Yohanes Paulus II mengajak kita untuk melihat kembali
ke “Awal” yaitu melihat kembali apa
yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Dalam Kitab inilah kita dapat menemukan
refleksi awal pemahaman manusia akan siapa dirinya. Dengan ini, tampaklah bahwa
sejak awal (original plan) Allah menghendaki persatuan antara
laki-laki dan perempuan. Persatuan ini bukan hanya perkara pernikahan,
melainkan juga perkara hidup selibat. Kepada beberapa orang, Allah menghendaki
mereka untuk menjalani hidup selibat demi Kerajaan-Nya. Oleh karena itu, kisah
penciptaan ini memiliki makna yang lebih daripada penciptaan laki-laki dan
perempuan.[26]
Paus Yohanes Paulus II mengajak kita memahami lebih mendalam siapakah laki-laki
dan perempuan itu, bagaimana menghayati relasi antara laki-laki dna
perermpuan, apakah makna seksualitas manusia, dan bagaimana kita menghayati
seksualitas manusia itu sesuai dengan Rencana Awali Allah sendiri. Semuanya itu
mengajak kita menyadari bahwa cinta kasihlah dasar dari segala-galanya. Cinta
kasih menjadi hakekat seksualitas.[27]
Tubuh ini dicipta untuk dicinta. Lewat seksualitas inilah kita menjadi anugerah
bagi sesama kita. Lewat seksualitas inilah kita belajar untuk memberi dan
menerima (giving and receiving). Hanya dalam cintalah segalanya
menjadi kaya akan makna. “Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta,
sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya (Kid. 8:7a).”
Daftar Pustaka
Bergant, Dianne dan Robert
J. Karries (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,
Yogtakarta:Kanisius, 2002
Handoko, Petrus Maria, CM
(penyadur), Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental
(Teologi Penciptaan), Diktat Kuliah STFT Widya Sasana, 1996.
Hershberger, Anne K.
(penyunting), Seksualitas Pemberian Allah, Jakarta: Gunung
Mulia, 2008
Langemeyer, Georg, “Sexuality”,
dalam Wolfgang Beinert dan Francis Schussler Fiorenza (eds.), Handbook of
Catholic Theology, New York: The Crossroad Publishing Company, 2000.
Pable, Martin, “Skill
Needed for Celibacy”, dalam Review for Religious, May-June 1998.
Paul, John II, Man
and Women He Created Them: A Theology of the Body, Boston: Pauline
Books & Media, 2006
Paul, John II, The
Theology of The Body: Human Love in the Divine Plan, Boston: Pauline
Books & Media, 1997
Percy, Anthony, The
Theology of The Body Made Simple: Disccover John Paul II’s radical teaching on
sex, love, and the meaning of life, Philippines: Pauline, 2006
Peszchke, Karl-Heinz,
SVD., Etika Kristiani jild III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi,
Maumere: Ledalero, 2003
Prokes, Mary Timothy, FSE,
Toward a Theology of the Body, Edinburgh: T&T Clark, 1996
Sindhunata, “Seks
Undercover: IKon Bokong Inul”, dalam Basis Nomor 03-04, Tahun
ke-52, Maret-April 2003
Von Hildebrand, D., “Sex”,
dalam New Catholic Encyclopedia, Vol XIII Scu-Tex, Washington D.C., The
Catholic University of America, 1967.
West, Christopher, Theology
of The Body Explained: A Commentary on John Paul II’s “Gospel of the Body”,
Boston: Pauline Books & Media, 2003
[1]
Sindhunata, “Seks Undercover: IKon Bokong Inul”, dalam Basis
Nomor 03-04, Tahun ke-52, Maret-April 2003, hlm. 28.
[2]
John Paul II, The Theology of The Body: Human Love in the Divine Plan,
Boston: Pauline Books & Media, 1997, , hlm. 36
[3]
Anthony Percy, The Theology of The Body Made Simple: Disccover John
Paul II’s radical teaching on sex, love, and the meaning of life,
Philippines: Pauline, 2006, hlm. 20.
[4]
Christopher West, Theology of The Body Explained: A Commentary on John
Paul II’s “Gospel of the Body”, Boston: Pauline Books & Media,
2003, hlm. 63
[5]
John Paul II, Op. Cit., hlm. 36.
[6]
Christopher West, Op. Cit., hlm. 73.
[7] Ibid
[8]
Christopher West, Op. Cit.,hlm. 75.
[9]
John Paul II, Op. Cit., hlm. 30-31.
[10]
Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 22.
[11]
Christopher West, Op. Cit., hlm. 75.
[12]
John Paul II, Man and Women He Created Them: A Theology of the Body,
Boston: Pauline Books & Media, 2006, hlm. 163.
[13]
Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 29.
[14]
John Paul II, The Theology of The Body…, Op.Cit.,
hlm. 30-31.
[15]
Dianne Bergant dan Robert J. Karries (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian
Lama, Yogtakarta:Kanisius, 2002, hlm. 40.
[16]
John Paul II, Man and Women…, Op. Cit., hlm.
113
[17]
Lih., Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 39-54.
[18]
Ibid., hlm. 41.
[19]
Selama berabad-abad Gereja ikut berperan membentuk pemikiran banyak orang bahwa
tubuh ini adalah sumber dosa, padahal tubuh manusia bukanlah sumber dosa. Santo
Agustinus berpendapat bahwa dosa asal ini diteruskan melalui hubungan seksual.
Dosa asal diturunkan melalui kenikmatan seksual waktu bersanggama. Karena tiada
jalan lain untuk mengadakan anak, maka kenikmatan yang dianggap sebenarnya
tidak baik itu dihalalkan. Menurut
Agustinus, hawa nafsu seksual adalah nafsu terbesar dalam diri manusia yang melumpuhkan dan menggelapkan
akal budi. Hubungan seks hanya boleh diadakan demi kelanjutan keturunan, bukan
untuk mencapai kenikmatan seksualitas. Agustinus menasihatkan supaya melakukan
hubungan seks seminimal mungkin supaya tidak berdosa berat. Setiap persetubuhan
menurut Agustinus tidak pernah terlepas dan dosa, sekurang-kurangnya dosa
ringan. Dengan tindakan itu,
dosa asal diteruskan kepada anaknya bagaikan suatu penyakit kelamin
(Bdk. Georg Langemeyer, Sexuality, dalam Wolfgang Beinert dan Francis Schussler
Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology, New York: The Crossroad
Publishing Company, 2000, hlm. 657-658).
Tertulianus berpendapat bahwa hidup keperawanan jauh lebih luhur daripada hidup berkeluarga. Hal ini disebabkan karena kawin
berarti menyerahkan diri pada
hawa nafsu daging. Ambrosius berpendapat bahwa tujuan ideal dan hidup
perkawinan adalah bila suami-isteri berhenti berhubungan seksual. Apalagi bagi isteri yang sudah lanjut
usianya, persetubuhan itu adalah salah satu perbuatan yang sangat memalukan,
karena tidak terpengaruh lagi untuk mendapat keturunan. Hieronimus berpendapat
bahwa wanita yang kawin dapat mencapai kekudusannya kalau ia berhenti sama
sekali berhubungan seksual. Ia hanya menghargai perkawinan sejauh melahirkan
orang-orang untuk hidup menghayati cita-cita keperawanan. Seperti hewan,
manusia setelah hamil, jangan bersetubuh lagi (Bdk. D. Von Hildebrand,
Sex, dalam New Catholic Encyclopedia, Vol XIII Scu-Tex, Washington D.C., The
Catholic University of America, 1967, hlm. 147-150).
[20]
Lih., Anne K. Hershberger (penyunting), Seksualitas Pemberian Allah,
Jakarta: Gunung Mulia, 2008, hlm. 36.
[21]
Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 25.
[22]
Mary Timothy Prokes, FSE, Toward a Theology of the Body,
Edinburgh: T&T Clark, 1996, hlm. 95.
[23]
Sindhunata, Loc.Cit.,
[24]
Karl-Heinz Peszchke SVD, Etika Kristiani jild III: Kewajiban Moral
dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003, hlm. 235.
[25]
Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis
Fundamental (pro manuscipto), Malang: STFT Widya Sasana, 1996, hlm.
38.
[26]
Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 13.
[27]
Petrus Maria Handoko, Op. Cit., hlm. 38
Tentang Penulis:
Artikel ini ditulis oleh Fr. Antonius Kuriawan Diputra,
CM. Beliaua adalah mahasiswa Pasca Sarjana Program Teologi di STFT Widya
Sasana, Malang
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!