RELASI ETIS ASIMETRIS MENURUT EMMANUEL LEVINAS (filsafat kontemporer)

RELASI ETIS ASIMETRIS MENURUT EMMANUEL LEVINAS

I. Pengantar
            Dalam membangun filsafatnya, Levinas dipengaruhi oleh tradisi Yahudi, sejarah filsafat barat dan pendekatan fenomenologis dengan dua pemikir terkenal yakni Husserl dan Heidegger. Dari tradisi Yahudi, ia sungguh menaruh perhatian pada  sastra, Alkitab Ibrani dan juga beberapa pemikir terkenal seperti Martin Buber dengan gagasanya Aku-Engkau[1] dan juga Franz Rosenzweig, terutama buku Rosenzweig Stern der Erlosung (Bintang Penebusan).[2]  Gagasan Rosenweig mengenai bintang penebusan bertitik tolak dari teologi pewahyuan.  Alex Lanur menjelaskan demikian ”Bagi Rosenzweig pewahyuan menunjukkan relasi antara Allah dan manusia dan menjadi jaminan untuk cinta kasih Allah. Pewahyuan membangkitkan dalam diri manusia harapan, akan penebusan. Berkat kesadarannya akan cinta kasih Allah, ia mengalami cinta kasih akan sesamanya sebagai sebuah perintah. Cinta kasih akan Allah  diungkapkan dan dikonkretkan dalam cinta kasih akan sesama.[3]
            Dalam sejarah filsafat Barat, Levinas menemukan bahwa filsafat barat telah mengantar manusia dalam jurang egologis misalnya Descartes dengan gagasanya Cogito Ergo Sum. Karena itu, ia mencela filsafat barat yang menghilangkan sebuah nilai penting dalam relasi yaitu etika. Sedangkan dari pendekatan fenomenologi Husserl, Levinas dipengaruhi oleh gagasan Husserl mengenai kesadaran. Kesadaran bagi Husserl adalah kesadaran akan sesuatu; kesadaran selalu bersifat intensional.[4] Meskipun ia mengakui kesadaran intensional sebagaimana digagas oleh Husser, namun akhirnya ia mengkritik Husserl yang tidak mengakui intensionalitas sebagai salah satu ciri kesadaran melainkan kodrat kesadaran itu sendiri. Menurutnya, ”ajaran Husserl tentang intensionalitas terdapat suatu konsepsi terlalu intelektualistis tentang intuisi”.[5] Dari Heidegger, Levinas memperoleh gambaran mengenai dasar eksistensi manusia. Bagi Heidegger, manusia adalah Dasein yang berarti berada di sana. Manusia adalah ”ada” yang hadir bagi dunia dan yang harus menghidupi atau menghayati hidupnya di dalam dan melalui relasi yang tak terpisahkan dengan dunia.[6] 
            Bertitik tolak pada pengaruh beberapa tradisi maupun para pemikir, Levinas sesungguhnya ingin menampilkan suatu warna baru dalam menghayati suatu relasi. Ia ingin menekankan suatu relasi intersubyektif. Relasi intersubjektif adalah suatu relasi yang tidak memandang subyek sebagai sarana melainkan sebagai tujuan. Relasi intersubyektif  harus mendapat sentuhan nilai etis yaitu dalam relasi etis asimetris. Relasi etis asimetris merupakan sebuah relasi keterarahan diriku dengan segenap tugas dan kepentinganku menuju kepada orang lain tanpa gerak timbal balik.[7]

II. Riwayat Hidup Emmanuel Levinas
Levinas lahir di Lithuania dari keluarga Yahudi pada tahun 1906. Sejak kecil, ia sudah berkenalan dengan Kitab Suci dan karya-karya sastra seperti Dostoyesky, Tolstoy, Puskin dan Gogol. Ia mendalami masalah-masalah etis yang dikemukakan para penulis ini, khususnya masalah tanggung jawab bagi Yang Lain dalam Dostoyesky.[8] Pada masa mudanya, ia pernah menyaksikan  revolusi di Rusia tahun 1917. Tahun 1923 ia belajar filsafat di Universitas Strasbourg dan akhirnya tahun 1928-1929, ia mengikuti kuliah Husserl dan membaca karya Heidegger tentang Being and Time di Freiburg. Sesudah itu, ia pindah ke Paris dan menetap di sana sebagai warga negara Perancis. Sebagai warga Perancis, ia terdaftar dalam dinas militer. Sejak itu Levinas mulai sadar akan bentuk totalitarianisme. Ribuan orang Yahudi dieksekusi secara besar-besaran oleh NAZI. Keluarganya pun tidak luput dari kekejaman ini. Semua pengalaman tersebut membuat Levinas bersikap kritis dan hati-hati terhadap bahaya tradisi filsafat barat dan peradaban barat. Menurut Levinas damai di antara manusia tidak dapat dipecahkan secara militer tetapi secara etis. Karena itu dalam etika ia lebih memikirkan tentang “Yang Lain” sebelum ada tindakan apa pun.[9] Ia meninggal dunia 25 Desember 1995.
III. Beberapa Gagasan Penting dalam Filsafat Levinas
3.1. Penampakan Wajah
            K. Bertens di dalam menjelaskan penampakan wajah melukiskan demikian: ”Seluruh filsafat Barat selama ini mengejar totalitas; artinya filsafat ingin membangun suatu keseluruhan yang berpangkal pada ”ego” sebagai pusatnya”.[10] Kehadiran Levinas mendobrak filsafat egologis ini dengan mengedepankan ketakberhinggaan yang dipakainya untuk menggambarkan realitas yang lain. Ketakberhinggaan yang dimaksudkan oleh Levinas adalah suatu realitas yang secara mendasar tidak mungkin dapat direduksi ke dalam pemikiranku.
            Bagi Levinas yang tak berhingga itu adalah Orang Lain. Orang lain adalah sesuatu yang eksterior, transenden berada di luar dan mengatasi kesadaran dan duniaku.[11]       Levinas   mengejawantahkan Yang Lain dalam pribadi orang lain. Yang Lain itu terwahyukan dalam wajah. Istilah wajah yang dimaksudkan oleh Levinas tidak berkaitan dengan hal fisis atau empiris misalnya berkaitan dengan bibir, hidung, dagu dan seterusnya.[12] Karena kalau wajah dimengerti sebagai fakta empiris maka orang lain sebagai wajah disamakan dengan objek. Wajah yang dimaksudkan Levinas adalah ”wajah telanjang artinya wajah begitu saja, wajah dalam keadaan polos. Wajah itu menyatakan diri sebagai Visage Signifiant, Levinas menyatakan lagi: wajah yang mempunyai makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks”.[13]
            Levinas menggambarkan orang lain atau wajah dalam diri para janda, yatim piatu, dan orang asing. [14] Kehadiran orang lain (para janda, yatim piatu, orang asing) merupakan undangan etis bagi saya artinya saya tidak boleh tinggal diam tetapi merespon wajah yang menyapa saya.
            Wajah bagi Levinas tidak hanya menunjukkan tempat kehadiran orang lain tetapi juga sebagai tempat pewahyuan dan kehadiran Allah. Dalam filsafat Wajah, Levinas berbicara tentang Allah. Bagi Levinas, kita tidak mungkin bisa memahami Allah dan membangun relasi dengan Dia tanpa melalui relasi antar manusia. Pengenalan akan keilahianNya hanya mungkin melalui Wajah orang lain. Michael Purcell dengan mengutip pemikiran Levinas dalam  buku Totality and Infinity, mengatakan ”The dimension of the divine opens forth from human face...God rises to his supreme and ultimate presence as correlative of the justice rendered unto man”.[15] Pengenalan akan Allah dan sifat-sifatNya hanya mungkin melalui relasi dengan orang lain. Relasi dengan orang lain terungkap dalam tindakan melakukan kebaikan dan keadilan. Wajah merupakan tempat kita membentuk relasi dengan Allah. Wajah tempat wahyu keagungan Allah itu termanifestasi dalam diri para janda, orang asing, orang lapar, dan lain-lain.
            Injil Matius 25:31-46 secara jelas menguraikan sebuah dimensi kehadiran Allah dalam diri manusia. Dinyatakan di sana bahwa Allah hadir dalam diri manusia yang lapar, telanjang, sakit, dan lain-lain. Memperhatikan mereka ini adalah juga secara tidak langsung memperhatikan Allah yang hadir dalam diri manusia. Kehadiran mereka adalah sebuah tugas dan undangan bagi saya untuk bertanggung jawab. Karena dalam diri orang lain, Allah mewahyukan diriNya; Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat 25:40).  
3.2. Dimensi Etis Penampakan Wajah
            Penampakan Wajah merupakan sebuah bentuk himbauan kepada saya. Wajah itu menghimbau ”engkau tidak boleh membunuh saya”.  Himbauan ini adalah sebuah perintah dan terhadap himbauan ini saya tidak berdaya. Wajah itu menghimbau saya untuk mempraktekan keadilan dan perdamaian. Ketakberdayaan saya di hadapan Wajah itu dimungkinkan oleh karena Wajah itu dalam dirinya sendiri tak berkekuatan apa-apa. Wajah itu hadir tanpa melindungi dirinya sendiri. Ia datang di hadapan saya dalam kepolosannya. Kehadiran wajah itu membuat saya bertanggung jawab terhadap kehadirannya.  Bahkan saya bertanggung jawab ”untuk yang tidak menjadi urusan saya atau bahkan yang tidak menyangkut saya; atau lebih tepat lagi, yang justeru menyangkut saya disapa oleh saya sebagai Wajah”.[16] Singkatnya, saya bertanggung jawab terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak berurusan dengan diri saya.         



3.3. Tanggung Jawab Sebagai Bentuk Relasi Etis Asimetris
            Bagi Levinas,  relasi etis asimetris  adalah ”I am responsible for the other without waiting for reciprocity”.[17]  Relasi etis asimetris adalah relasi yang menekankan bentuk pertanggungjawaban terhadap kehadiran sesama manusia(orang lain) tanpa menuntut orang lain bertanggung jawab terhadap saya. Levinas menekankan ketidaksederajatan relasi. Ia mengibaratkan ketidaksederajatan relasi dengan waktu yang tidak dapat balik.[18]
            Untuk lebih menjelaskan relasi etis asimetris, penulis mengawalinya dengan pernyataan yang diungkapkan oleh K. Bertens ”kewajiban etis yang timbul dengan wajah harus dianggap asimetris. Yang harus saya berikan kepada orang lain, tidak boleh saya tuntut dari dia. Saya boleh memberikan hidup saya bagi sesama, tetapi saya tidak berhak untuk membuat dia menjadi keuntungan dan kegunaan saya”. [19] Pernyataan K. Bertens ini mau mengatakan bahwa melalui relasi etis asimetris terjadilah peristiwa exodus (keluar) dari diriku. Aku keluar dari lingkungan egoismeku,  kepentinganku, keinginanku, dan kemauanku menuju orang lain dan semata-mata hanya untuk orang lain tanpa menuntut orang lain berbuat serupa sesuai dengan apa yang saya lakukan.
            Prinsip mendasar dari relasi etis asimetris adalah saya memberi hanya untuk kepentingan orang lain bukan saya memberi agar engkau memberi juga (do ut des). Sikap memberi tanpa prinsip do ut des adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban saya terhadap kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain menuntut saya untuk bertanggung jawab terhadapnya.
            Jadi, relasi etis asimetris adalah sebuah proses eksodus dari diriku artinya mengarahkan segenap diriku kepada orang lain tanpa prinsip do ut des.

IV. Tinjauan Kritis
            Dari beberapa  poin yang telah diuraikan, penulis dapat mengatakan bahwa Levinas telah memberikan inspirasi baru dalam pemikiran filsafat. Ia membongkar egologi pemikiran  filsafat Barat dengan menempatkan suatu pemikiran baru yaitu tentang kemungkinan lain yaitu orang lain. Menerima kemungkinan adanya orang lain membuka suatu relasi yang tidak melihat orang lain sebagai sarana tetapi sebagai tujuan. Oleh karena adanya orang lain inilah maka saya bertanggung jawab terutama tanggung jawab etis. Saya bertanggung jawab atas orang lain, atas apa yang dialami oleh orang lain, bahkan saya bertanggung jawab atas apa yang diperbuat orang lain. Tanggung jawab saya atas orang lain bukan merupakan suatu kebetulan tetapi suatu keharusan. Saya harus bertanggung jawab atas orang lain bukan karena saya mengharapkan bantuan orang lain, tetapi melulu perhatian saya terhadap orang lain.
            Dengan dipengaruhi oleh gagasan Rosenzweig mengenai bintang penebusan sebetulnya Levinas mau menata kembali kehidupan manusia yang kerapkali menganggap orang lain sebagai lawan atau musuh yang harus dikalahkan bahkan dibasmi. Bagi Levinas, dasar keberadaan manusia adalah bertanggung jawab terhadap sesama. Itu berarti saya dipanggil untuk mengampuni orang lain, solider dengan orang lain, mengakui dan melindungi orang lain dalam keberlainannya.[20]
Suatu kritik dari penulis yang mungkin diajukan kepada pemikiran Levinas yaitu pemikirannya tentang tanggung jawab terhadap orang lain tanpa gerak balik. Menurut hemat penulis, Levinas telah mengabaikan dimensi sosialitas manusia. Kita mengetahui bahwa manusia tidak dapat terpisah satu sama yang lain. Manusia saling menggantungkan dirinya satu terhadap yang lain. Oleh karena ketergantungan inilah mustahil bagi manusia untuk tidak mengharapkan pamrih dalam berelasi yang secara kodrat merupakan bagian dari kehidupan manusia. Manusia dalam lubuk hatinya yang tersembunyi pasti mengharapkan suatu jasa meskipun ia menolak untuk mengakuinya.          
V. Relevansi
            Relevansi pemikiran Levinas ini sangat berarti bagi kita sebagai orang yang dipanggil untuk menjadi pelayan bagi sesama(Man for others). Kita dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap kehadiran orang lain. Tanggung jawab kita terhadap orang lain harus mendapat corak etis yaitu dengan mencintai. Sebab perbuatan mencintai menurut hemat penulis merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban kita terhadap orang lain. Cinta sejati selalu keluar dari diri sendiri dan terarah kepada orang lain. Orang yang mencintai tidak pernah menutup diri. Cinta yang sejati tidak pernah menjadikan orang lain sebagai objek yang mudah dimanipulasi. 
            Di bumi Indonesia ini,  kita menemukan orang-orang yang mengalami duka dan kegelisahan, diperlakukan secara tidak adil, ditindas oleh kaum penguasa, dimanipulasi, diperas dan sebagainya. Pada umumnya orang yang mengalami situasi semacam ini, adalah orang-orang lemah yakni orang-orang yang miskin harta, miskin perhatian, miskin pengetahuan yang menjadi sasaran empuk kaum serakah dan egois. Dalam lembaran-lembaran koran lokal maupun nasional atau pun berita di televisi dari hari ke hari kita menemukan berbagai perilaku ketidakadilan dan pemerasan yang dialami oleh sesama kita khususnya orang-orang kecil yang tidak memiliki pegangan hidup. Persoalan-persoalan tersebut mengundang kita untuk turut serta dan terlibat dengan segala potensi dan kemampuan yang kita miliki  untuk mengatasinya. 

VI. Penutup
            Kehadiran wajah(orang lain) merupakan undangan etis yaitu sebuah undangan untuk bertanggung jawab terhadap kehadirannya. Karena itu tugas kita adalah membangun relasi dengan orang lain yang oleh Levinas disebut relasi etis asimetris yaitu bertanggung jawab terhadap orang lain dalam bentuk memperhatikan dan memandang orang lain  sebagai pribadi yang memiliki harkat dan martabat. Kehadiran orang lain menuntut dari kita suatu pemberian diri seutuhnya dan menerima orang lain apa adanya tanpa mereduksi orang lain ke dalam pemahamanku, dan tidak menjadikan orang lain sebagai objek pemuas kebutuhan dan keuntunganku.














DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia. 2006.
-------------- Fenomenologi Eksistensial, Jakarta: Gramedia.1987.
Lechte, Jhon. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisisus. 2001.
Lanur, Alex, OFM. “FRANZ ROSENZWEIG: Filsuf Eksistensialis dengan Metode Empirisme Mutlak” dalam A. Setyo Wibowo (Ed.). Manusia teka-teki yang mencari solusi.  Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Purcell, Michael. Levinas And Theology. New York: Canbridge University Press. 2006.
Suseno, Franz Magnis . 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisisus. 2000.
Widjanarko, Dr. Robert.  Martin Heidegger, Hand Out Kuliah Filsafat Kontemporer. STFT Widya Sasana Malang.
Wisok, Yohanes.  Dimensi Etis Penampilan Wajah dalam Melintas: Fakultas Filsafat Unpar. 1997.
Desmond Manderson,“Emmanuel Levinas and the Philosophy negligence, dalam http://www.mcgill.ca/files/crclaw-discourse/TortLawReviewArticle.pdf, diakses pada
tanggal 20 Mei 2010 di Seminari Montfort Pondok Kebijaksanaan Malang, Pkl. 11.25.
http://seniindonesia.multiply.com/journal/item/5/belajar_dari_filsuf_Emmanuel_Levinas, diakses pada tanggal 04 Mei 2010 di Seminari Montfort “Pondok Kebijaksanaan”  Malang, Pkl. 09.45.
http://www.scribd.com/doc/20911470/Fenomenologi-Liyan-Emmanuel-Levinas-Wajah-Sebagai-Landasan-Etika, diakses pada tanggal, 20 Mei 2010 di Seminari Montfort Pondok Kebijaksanaan Malang, Pkl. 11.00.


FERDINANDUS SARONG, SMM
NPM.06.09042.000053.















           


[1]              Levinas sangat berutang budi pada Buber terutama dalam memahami relasi dengan orang lain. Dalam memahami relasi Aku-Engkau Buber, Levinas di satu pihak setuju dengan pemikiran Buber yang menegaskan bahwa tidak ada “Aku”  yang berdiri sendiri melainkan selalu dalam relasi. Dalam relasi terjadilah perjumpaan dan saling sapa. Di pihak lain, ia mengkritik relasi Aku-Engkau-nya Buber. Menurut Levinas, relasi Aku-Engkau-nya Buber terlalu formal, tidak etis dan bersifat timbal balik, lihat,  Michael Purcell, Levinas And Theology, New York: Canbridge University Press, 2006, hlm 136.
[2]          http://seniindonesia.multiply.com/journal/item/5/belajar_dari_filsuf_Emmanuel_Levinas, diakses pada tanggal 04 Mei 2010 di Seminari Montfort “Pondok Kebijaksanaan” Malang, Pkl. 09.45.
[3]              Alex Lanur, OFM, “FRANZ ROSENZWEIG: Filsuf Eksistensialis dengan Metode Empirisme Mutlak” dalam A. Setyo Wibowo (Ed.), Manusia teka-teki yang mencari solusi, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 49-50.
[4]              K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Perancis, Jakarta: Gramedia, 2006, hlm. 316.
[5]              Ibid
[6]              Dr.Robert Widjanarko, Martin Heidegger, Hand Out Kuliah Filsafat Kontemporer, di STFT Widya Sasana Malang.
[7]              Yohanes Wisok, Dimensi Etis Penampilan Wajah dalam Melintas:Fakultas Filsafat Unpar, 1997, hlm. 31.
[8]              Jhon Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisisus, 2001, hlm. 185.
[9]              Ibid.
[10]           K. Bertens, Op. Cit, hlm. 319.
[11]           http://www.scribd.com/doc/20911470/Fenomenologi-Liyan-Emmanuel-Levinas-Wajah-Sebagai-Landasan-Etika, diakses pada tanggal, 20 Mei 2010 di Seminari Montfort Pondok Kebijaksanaan Malang, Pkl. 11.00.
[12]           K. Bertens, Op. Cit, hlm. 320.
[13]           Ibid.
[14]           Ibid.
[15]           Michael Purcell, Op. Cit, hlm 132.
[16]           K. Bertens(Ed.), Fenomenologi Eksistensial, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 89.
[17]           Desmond Manderson,“Emmanuel Levinas and the Philosophy negligence, dalam http://www.mcgill.ca/files/crclaw-discourse/TortLawReviewArticle.pdf, diakses pada tanggal, 20 Mei 2010, di Seminari Montfort Pondok Kebijaksanaan Malang, Pkl. 11.25.
[18]           Jhon Lechte, Op. Cit, hlm. 188.
[19]           K. Bertens, Op. Cit, hlm. 321.
[20]           Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisisus, 2000, hlm. 106.

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato