PERAMPASAN KEKEBASAN POLITIK KAUM TIONGHOA DI INDONESIA MENURUT FILSAFAT POLITIK HANNAH ARENDT ( Filsafat Kontemporer)
PERAMPASAN
KEKEBASAN POLITIK KAUM TIONGHOA DI INDONESIA
MENURUT
FILSAFAT POLITIK HANNAH ARENDT
Pengantar
Peristiwa Mei tahun 1998 menyirat sejarah kelam sepanjang
sejarah perkembangan politik Indonesia. Seiring dengan usaha untuk menurunkan
Presiden Soeharto sebagai simbol kediktatoran Orde Baru muncul juga sejumlah
peristiwa yang memilukan seperti pelecehan, pemerkosaan terhadap kaum Tionghoa,
pembakaran toko-toko, rumah, sekolah-sekolah kaum Tionghoa dan lain-lain. Sejumlah
tindakan kekerasan etnis ini hanyalah ledakan dari sejumlah ketidaksukaan
orang-orang tertentu terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan
Orde Baru telah menciptakan suasana politik demokratis yang diskriminatif
terhadap kaum Tionghoa. Kebijakan politik yang diskriminatif ini pada dasarnya
tidak sesuai dengan itu hakikat politik yang diusung oleh Hannah Arendt. Hannah
Arendt adalah salah satu tokoh yang mengusung kebebasan politik setiap orang.
Penulis mau meneropong sejumlah kebijakan
politik Orde Baru terhadap kaum Tionghoa berdasarkan makna dan arti politik
menurut Hannah Arendt. Kita mungkin bertanya mengapa kaum Tionghoa jarang masuk
dalam kancah perpolitikan di Indonesia? Apakah kebijakan atau tindakan politik
Orde Baru sesuai dengan arti dan makna dari HAM khususnya kebebasan politik? Apakah
kita bisa menyamakan diskriminasi politik Tionghoa di Indonesia memiliki
kesamaan dengan paham antisemitis yang dialami oleh Hannah Arendt? Mengapa kaum Tionghoa tidak memiliki hak yang
sama seperti kaum pedagang Arab, Melayu?
Konteks Hidup Hannah Arendt[1]
Hannah Arendt
sebagai salah seorang filsuf politik yang sangat peka terhadap realitas sosial.
Ia kerap mengkritik sejumlah kebijakan kaum totalitarianisme Jerman dibawah
pemerintahan Hitler terutama kampanye anti Yahudi yang berujung pada peristiwa
Holocaust.
Hannah Arendt
dilahirkan dalam keluarga Yahudi di kota Hannover, Jerman tanggal 14 Oktober 1906. Sebagai
seorang keturunan Yahudi Arendt dan keluarganya menjadi target kekecaman Nazi.
Setelah lulus sekolah tinggi Koenigsberg tahun 1924, Ia belajar teologi pada
Rudolf Bultman di Universitas Marburg. Di fakultas yang sama, Ia belajar
filsafat eksistensialisme di bawah asuhan Martin Heidegger dan menjalin hubungan asmara dengannya. Arendt juga menulis
disertasi tentang cinta menurut Santo
Augustinus dalam bimbingan
filsuf-psikolog eksistensialis Karl Jaspers di Heidelberg.
Pada tahun
1926, ia terlibat aktif dalam politik Yahudi dan Zionis. Tahun 1929, ia menikah
dengan Gunther Stern, seorang filsuf Yahudi. Tahun 1933, karena merasa terancam
oleh terror Nazi, ia melarikan diri ke Paris dan berteman kritikus sastra dan
mistikus Marxis Walter Benjamin. Sementara di Prancis, Arendt bekerja untuk mendukung dan membantu para
pengungsi Yahudi. Namun, karena sebagian wilayah Prancis diduduki militer Jerman
setelah Prancis menyatakan perang pada Perang Dunia II, dan dideportasinya orang-orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi, Hannah Arendt harus melarikan diri dari Prancis. Pada 1940,
ia menceraikan Stern dan menikah dengan penyair dan filsuf Jerman Heinrich Blücher. Pada 1941, Hannah Arendt melarikan diri bersama suami dan ibunya
ke Amerika Serikat atas bantuan diplomat Amerika Hiram Bingham IV, yang secara ilegal mengeluarkan visa untuknya dan
sekitar 2.500 orang pengungsi Yahudi lainnya.
Karya-karya
Arendt membahas hakikat kuasa,
dan topik-topik politik, wewenang, dan totalitarianisme. Banyak dari tulisannya terpusat pada pengukuhan
konsepsi tentang kebebasan yang sinonim dengan aksi politik kolektif. Dalam
argumentasinya melawan asumsi libertarian bahwa “kemerdekaan dimulai ketika
politik berakhir,” Arendt menyusun teorinya tentang kemerdekaan yang bersifat
publik dan asosiatif, dengan mengambil contoh-contoh antara lain dari polis
Yunani, kota-kota Amerika, komun Paris, dan gerakan hak-hak sipil pada tahun
1960-an untuk menggambarkan konsepsi tentang kemerdekaan. Dalam laporannya
mengenai pengadilan Eichmann untuk The New Yorker, yang kemudian berkembang menjadi buku Eichmann in Jerusalem, ia mengangkat pertanyaan apakah kejahatan
itu bersifat radikal ataukah sekadar suatu fungsi dari keluguan- kecenderungan
orang biasa untuk menaati perintah dan mengikuti pandangan masyarakat tanpa
berpikir secara kritis tentang akibat dari tindakan atau kelalaian mereka untuk
bertindak.
Ia juga
menulis The Origins of Totalitarianism, yang menelusuri akar-akar Komunisme
dan Nazisme. Buku yang sangat kontroversial
dalam kalangan masyarakat pada waktu itu. Ketika meninggal dunia pada 04
Desember 1975, Hannah Arendt dikebumikan di Bard College Annandale-on-Hudson, New York.
Makna
dan Arti Politik Menurut Hannah Arendt
Hannah
Arendt mengemukan pemikiran tentang
politik secara sistematis dijelaskan dalam bukunya tentang The Origin of Totalitarianism(1951), On Revolution dan The Human Condition. Dia menguraikan
tentang arti dan maka dari sebuah
negara, rasisme, politik, kewarganegaraan, birokrasi, emansipasi politik,
hak-hak warga negara dan lain-lain. Filsafat politiknya tidak terlepas dari
keprihatinannya terhadap gerakan antisemitisme yang sangat gencar di Eropa pada
masa itu.
Bagi
Arendt kehidupan politik bersandar pada pengakuan setiap individu akan satu
sama lain dalam sebuah negara atau komunitas. Prinsip kesamaan hak perpolitikan
ini bukanlah akibat kondisi natural tetapi dengan pengakuan individu ke dalam
sebuah komunitas atau negara.[2]
Sekilas Arendt tidak menguraikan hak politik setiap orang sebagai sesuatu yang
melekat dalam diri manusia tetapi Arendt sebenarnya hanya menekankan aspek
pragmatis atau aktualisasi dari hak itu. Hak perpolitikan itu tidak memiliki
manfaat atau kehilangan identitasnya ketika hak itu hanya ada dalam tuntutan
dasariah manusia tanpa diaplikasikan dalam kehidupan bernegara. Orang yang
tidak memiliki hak kewarganegaraan kerap
menjadi sasaran dan objek dari penindasan kaum mayoritas, pribumi dan bahkan
pemerintah. Sebab negara tidak mengakui dan melindungi hak warga negaranya ini.
Hilangnya hak asasi manusia terletak
pada raibnya status legalitas hak warga negaranya. Kehilangan hak
kewarganegaraan ini menjadi awal dari munculnya kehilangan hak dan kebebasan
untuk berpikir, berpendapat dan bertindak dalam sebuah negara.[3] Hannah Arendt mengunakan istilah tuna negara
kepada kaum demikian. Orang tuna negara telah kehilangan perlindungan dari
pemerintah dan kehilangan hak nasionalnya. Kehilangan hak nasional diidentikan
dengan kehilangan hak asasi manusia.[4] Hannah
Arendt melihat bahwa totalitarianisme merupakan salah satu upaya untuk
menghilangkan atau menghapus identitas hak warga negara.
Bagi
Arendt hak perpolitikan itu tidak terlepas kebebasan dan universalitas hak
setiap orang dalam sebuah negara. Negara menjamin ruang kebebasan publik agar
setiap orang bisa mengemukakan ide mereka dalam percaturan politik yang ada
dalam negaranya. Dengan demikian upaya penyingkiran atau pemisahan
orang-perorangan atau kelompok tertentu merupakan salah satu bentuk
penyimpangan terhadap hak perpolitikan ini. Arendt menegaskan bahwa sesuatu
yang mendasar daripada kebebasan dan keadilan yang merupakan hak-hak warga
negara yang dipertaruhkan bila termasuk dalam komunitas di mana orang
dilahirkan.[5]
Manusia kehilangan hak asasinya bukan pertama-tama berkaitan dengan perbudakan,
keadilan, dan lain-lain tetapi kehilangan suatu komunitas yang mampu menjamin hak
setiap individu. Kehilangan hak untuk
memiliki komunitas berarti ia tidak bisa mengunakan dan berekpresi dalam
komunitasnya. Akhirnya opini dan akses politik individu itu akan semakin
terbatas. Sehingga ia merasa teralienasi dari komunitasnya sendiri.
Singkatnya
teori politik Hannah Arendt di pahami dalam kerangka hak setiap warga negara untuk memiliki
identitas kewarganegaraan dan keterlibatan
aktif dalam ruang publik sebuah negara. Hak kewarganegaraan merupakan
hak asasi manusia dan ia bisa mengaktualisasikan haknya itu dalam peran serta
dalam menentukan opini politik dalam negaranya.
Perampasan Kebebasan Politik Kaum Tionghoa di Indonesia
Di satu sisi politik
demokrasi Indonesia telah memiliki kemajuan tetapi di sisi lain jika kita
menelurusi sejarah perpolitikan kita justru kelompok-kelompok tertentu seperti Tionghoa
tidak sempat terlibat secara aktif dalam perpolitikan itu. Kaum Tionghoa yang
merupakan kelompok etnis yang cukup besar dan memiliki pengaruh yang besar bagi
perkembangan bangsa kita. Apakah idealisme politik demokrasi tidak bisa
direalisasikan di negara kita? Ataukah kebijakan pemrintahlah yang membelokkan
cita-cita demokrasi itu?
Dari sejarah
kita bisa menemukan bukti tindakan kekerasan dan penindasan terhadap kaum
Tionghoa. Permusuhan diawali dengan peristiwa G30 S yang menuduh Tiongkok sebagai
dalang gerakan ini. Dengan demikian seluruh keturunan Tionghoa menjadi sasaran
permusuhan kaum pribumi. Berbagai kekerasan muncul seperti pembunuhan,
pembakaran toko, rumah, dan lain-lain.[6] Apalagi
negeri Tiongkok menganut paham komunisme maka semakin besarlah kecurigaan
terhadap kaum Tionghoa di Indonesia. Pada
25 Maret Pemerintahan mengumumkan penutupan perwakilan kantor berita Hsinhua di Jakarta dan mencabut seluruh
kartu wartawannya. Aksi-aksi pengusiran terhadap orang-orang Tionghoa menyebar di
beberapa daerah di Indonesia seperti Aceh, Makasar, Surabaya dan lain-lain.[7]
Kekerasan
terhadap kaum Tionghoa juga berawal dari anggapan bahwa kaum mereka suka
berkelompok, menjauhkan diri dari pergaulan sosial, berpegang teguh pada
kebudayaan mereka sendiri. Mereka mencintai bangsa Indonesia hanya demi
memeroleh keuntungan perdagangan dan uang.[8] Kaum etnis Tionghoa sungguh diasingkan dan memiliki
perbedaan dengan kaum pribumi dalam aktivitas politik di Indonesia.
Selain itu pemerintah
Indonesia membatasi ruang lingkup organisasi politik sehingga Partai Tionghoa
Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 1930 hilang. Dan tidak banyak orang
Orang Tionghoa yang terlibat dalam berbagai partai politik
yang ada.[9]
Dari kenyataan inilah kita bisa melihat bahwa kaum Tionghoa telah kehilangan
identitas kewarganegaarannya. Mereka
dijauhkan dari percaturan politik Indonesia. Mereka tidak bisa memiliki hak
sebagai warga negara secara natural seperti warga bangsa yang lainnya. Mereka
harus memohon kepada negara agar mereka bisa menjadi anggota warga negara yang penuh. Meskipun mereka
sudah berada di Indonesia bertahun-tahun. Sedangkan etnis Arab dan Melayu yang
datang berdagang di Indonesia tidak memiliki persoalan dengan haknya ini.
Menurut
filsafat politik Hannah Arendt kaum Tionghoa telah kehilangan identitas mereka
sebagai warga negara Indonesia. Mereka tidak bisa terlibat aktif dalam
percaturan politik Indonesia karena mereka tidak memiliki hak penuh sebagai warga negara Indonesia. Maka kelompok
tertentu dengan tahu dan mau tetap melancarkan tindakan kekerasan, penjarahan
dan penindasan terhadap kaum Tionghoa.
Bahkan kaum Tionghoa selalu mengalami kesulitan dalam mengurusi administrasi misalnya izin mendirikan usaha. Kita bisa menghitung seberapa banyak kaum
Tionghoa yang duduk di anggota dewan perwakilan rakyat, kantor-kantor
pemerintahan dan lain-lain. Mereka justru telah dialienasikan dari tanah
kelahiran mereka. Mereka adalah keturunan Tionghoa tetapi mereka telah lahir di
Indonesia. Kaum Tionghoa sungguh mendapatkan diskriminatif dalam perpolitikan
Indonesia. Kaum Tionghoa tidak memiliki
akses dalam bidang politik oleh karena mereka tidak memiliki status
kewarganegaraan yang jelas dan pasti. Hal ini bisa diibaratkan seseorang bisa
mengatur dan terlibat dalam rumah jika ia diterima dan diakui dalam rumah itu.
Ia tidak mungkin bisa menjalankan aktivitas rumah itu jika ia tidak memiliki
kuasa untuk melakukan itu. Mereka tidak merasa nyaman jika harus bergerak dalam
bidang politik. Mereka bukanlah pemilik asli dari bangsa ini. Apalagi mereka
dimasukkan dalam golongan non pribumi.
Memang
tindakan kekerasan terhadap etnis Tionghoa tidak sebesar gerakan totaliter
Hitler terhadap kaum Yahudi. Namun pembunuhan, pengusiran, penjarahan dan pelecehan
membuat mereka merasa bahwa mereka tidak mendapatkan perlindungan dari negara
ini. Negara ini hanyalah miliki kaum kaum pribumi dan mereka adalah pendatang.
Politik demokrasi hanyalah monopoli kaum pribumi. Padahal etinis Tionghoa
memiliki hak untuk mendapatkan kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan adalah hak
asasi dari setiap orang tanpa kecuali. Secara tidak langsung kaum Tionghoa
telah dibayang-bayangi sebuah asumsi bahwa mereka tidak boleh berpolitik.
Mereka seolah-olah tidak memiliki tanggungjawab untuk membangun bangsa dan
negara ini. Mereka hanyalah tamu.
Mereka menjadi tamu di rumah mereka
sendiri. Apalagi Pemerintahan Orde baru memiliki kekuasaan penuh dalam
menjalankan roda pemerintahan. Soehartolah yang mengatur sistem dan tata gerak
para politisi. Idealisme politik demokrasi hanyalah sebuah slogan. Idealisme
itu hanya kedok penutup segala praktik diskrimasi dan mafia perpolitikan.
Tragedi Mei
1998 merupakan puncak upaya untuk menekan kaum Tionghoa di Indonesia. Padahal
usaha untuk melengserkan Soeharto tidak memiliki benang merah dengan kaum
Tionghoa. Namun penjarahan, pengerusakan, pelecehan seksual, pembakaran toko,
mall, terhadap ribuan kaum Tionghoa. Ternyata aksi demonstrasi yang dilakukan
oleh sejumlah besar rakyat Indonesia ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu
untuk menghancurkan kaum Tionghoa.[10]
Tragedi ini yang membangkitkan kesadaran kaum Tionghoa Indonesia bahwa selama
pemerintahan Orde Baru mereka dipinggirkan dan dibuat tidak berdaya. Sebagian
besar hak mereka sebagai warga negara telah dikebiri dan dijadikan kambing
hitam bersama dengan PKI. Harkat sebagai bangsa dan etnis dan bahkan sebagai
manusia telah dilecehkan. Pemerintahan Orde Baru hanya memberikan kebebasan
bisnis tanpa menikmati kebebasan berpolitik.[11]
Penutup
Trauma
pengusiran, pemerkosaan, penjarahan, perusakkan yang dialami oleh kaum Tionghoa
yang membuat mereka tidak melibatkan diri dalam dunia politik. Kebebasan
politik mulai bersemi kembali ketika zaman Reformasi mulai berkuasa. Idealisme
reformasi membuka kebebasan berpolitik kepada setiap warga negara ini. Sejumlah
kebijakan politik yang demokratis dan tidak diskriminatif mulai digulirkan oleh
pemerintah. Setiap orang memiliki akses untuk menikmati perpolitikan itu tak
terkecuali kaum Tionghoa.
Presiden
B J Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/ 1998 yang ditujukan kepada
seluruh birokrasi untuk menghapus istilah pribumi dan non pribumi.[12]
Kaum etnis Tionghoa kembali dirangkul dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres
No. 6/2000 tentang pencabutan Inpres No 14/1967 tentang agama, kepercayaan dan
adat istiadat Cina. Dengan pencabutan itu maka kaum etnis Tionghoa memiliki
kebebasan untuk merayakan upacara-upacara keagamaan, Tahun Baru Imlek, Capgomeh
dan lain-lain.[13] Pada pemilihan legislatif kita melihat
sejumlah kaum Tionghoa masuk dalam bursa pencalonan. Dan banyak kaum Tionghoa
yang terlibat dalam pemerintahan. Idealisme politik Hannah Arendt mulai nampak
dalam zaman Reformasi. Banyak kaum Tionghoa mendapatkan pengakuan akan kewarganegaraan
mereka sebagai warga negara Indonesia(WNI). Pemerintah mempermudah birokrasi
permohonan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia(SKBRI).
DAFTAR
PUSTAKA
Arendt, Hannah. Asal-
Usul Totalitarianisme, Jilid II, diterjemahkan oleh Alois A Nugroho dan J M Soebijanta,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Coppel, Charles, A.
Tionghoa Indonesia dalam Krisis,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
D’ Entreves,
Maurizio Passerin. Filsafat Politik
Hannah Arendt, diterjemahkan oleh M Shafwan,
Yogyakarta: CV Qalam, 2003.
Lechte, Jhon. 50
Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius,
2001.
Setiono, Benny G. Tionghoa
dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2002.
DATA INTERNET
Hannah Arendt
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hannah_Arendt diakses 10 Mei
2010.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Hannah_Arendt
diakses 10 Mei 2010, bdk. Jhon Lechte, 50
Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 277-278.
[2]
Maurizio Passerin D’ Entreves, Filsafat
Politik Hannah Arendt, diterjemahkan oleh M. Shafwan, (Yogyakarta: CV
Qalam, 2003), hlm, 238.
[3]
John Lechte, Op. Cit, hlm, 279.
[4]
Hannah Arendt, Asal- Usul
Totalitarianisme, Jilid II, diterjemahkan oleh Alois A Nugroho dan J M
Soebijanta, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm, 301.
[5] Ibid, hlm, 308, bdk, hlm, 310.
[6]
Charles, A, Coppel, Tionghoa Indonesia
dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 26.
[7]
Bdk., Benny G Setiono, Tionghoa dalam
Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002), hlm, 955-959.
[8]
Charles, A, Coppel, Op.
Cit., hlm. 119- 127.
[9] Ibid, hlm. 42.
[10] Benny G Setiono,
Op. Cit, hlm, 1061.
[11] Ibid.,
hlm, 1062-1063
[12]
Ibid., hlm, 1065.
[13]
Ibid, hlm. 1068.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!