“Ecce Ego Quia Vocasti Me!”
“Ecce Ego Quia
Vocasti Me!”
Situasi awal
Ketika saya menulis refleksi ini
saya sedang mencoba “berteman” dengan sebuah buku karya St. Josemaría Escrivá
(pendiri Opus Dei). Dalam hati saya menyesal mengapa saya baru mengenal buku
ini baru-baru ini. Judul buku itu Camino,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Jalan”. Awalnya saya hanya ingin mencari
literatur tentang Opus Dei untuk mendapatkan sedikit informasi, apa tujuan dan
yang ada didalamnya. Rupanya saya mendapatkan dua buku, satu tulisan pengikut
Opus Dei dan satunya tulisan pendirinya. Saya ambil tulisan pendirinya karena
saya rasa akan lebih valid. Sub judul buku ini sedikit bombastis yang berbunyi
“Tulisan Suci dan Inspirasional”. Saya pikir buku ini berisi ajaran/doktrin
mengenai Opus Dei, tetapi setelah saya membaca pengantar di halaman pertama
ternyata saya salah. Buku ini ternyata adalah buku rohani, atau lebih tepatnya
ajaran rohani yang sifatnya reflektif, pendek dan sederhana, bahkan begitu
dekat dengan kehidupan sehari-hari tetapi mendalam. Kesan yang saya rasakan
ketika membaca no 1 sungguh mengejutkan. Saya terkejut dengan cara berturtur
yang begitu sederhana tetapi mendalam. Saya merasa belum banyak tulisan yang
bertutur secara sederhana seperti buku ini yang mirip dengan tulisan Henry
Nouwen. Itulah sejenak pijakan untuk mengawali refleksi ini hingga membuahkan
judul diatas “Ecce Ego Quia Vocasti Me!” -Inilah aku, sebab Engkau telah
memanggilku-.
Dengan sedikit cerita diatas saya
mau mengatakan bahwa ternyata selama perjalanan saya mengikuti panggilan Tuhan,
saya baru menemukan kesadaran yang paling sedikit lebih mendalam dari pada
sebelum-sebelumnya baru-baru ini. Kesadaran bahwa saya dipanggil oleh Dia
rupanya tidak diberikan sejak dulu, tetapi sekarang. Telah begitu lama, kalau
boleh saya hitung kurang lebih 10 tahun saya mencoba menjalani kehidupan yang
khusus karena mengikuti panggilan Yesus, begitu kata orang dan kata
teman-teman. Panggilan yang harus
ditempuh dengan pengalaman sakit, lelah, gembira dan sukacita. Ada banyak
sekali aneka pengalaman antara sakit dan sukacita melebur menjadi satu.
Akhir tahun lalu menjelang pengajuan
lamaran pembaharuan kaul, saya juga menulis hal yang sama, sebuah refleksi yang
bagi saya waktu itu amat melelahkan karena saya harus memetakan kembali
perjalanan pangilan saya yang mulai keluar dari rel yang sesungguhnya. Syukur
pada Tuhan karena lewat banyak orang yang baik hati dan penuh perhatian, saya
dikembalikan pada “jalan yang benar” meski belum sepenuhnya sempurna.
Kesempatan refleksi waktu itu adalah kesempatan saya untuk memilih kembali kepada
jalan yang benar, atau ke jalan yang salah. Ketaatan untuk bersedia dibentuk
akhirnya membawa saya pada pengalaman rohani ketika menjalani live in di Ambulu.
Rupanya bukan sebuah kebetulan saat inipun saya dipertemukan juga dengan
pengalaman rohani seoarang suci pendiri Opus Dei. Sudah begitu lama saya tidak
mencoba menenangkan hati untuk sendirian masuk dalam diri, berrefleksi, diam
dan menemukan makna dalam perjalanan panggilan ini. Kesempatan retret,
rekoleksi dan hari-hari heningpun rasanya tidak mampu saya gunakan dengan
sebaik-baiknya. Rasanya hanya dalam keadaan sedikit dipaksa saja saya mau lebih
dalam melihat kembali pengalaman rohani yang selama ini sudah terbengkalai
dengan tugas-tugas studi.
Selama beberapa bulan ini kesibukan
mengerjakan sekripsi semakin memperparah situasi, sehingga hidup rohani yang
seharunya selalu disirami supaya tetap segar akhirnya menjadi kering, layu dan
hampir mati. Namun lagi-lagi moment yang tepat terjadi pada waktunya. Setelah
dipusingkan dengan buku-buku dan mengerjakan skripsi saya masih diberi
kesempatan untuk membuat refleksi. Waktu yang tepat untuk mengembalikan dan
memberikan kesegaran dalam melihat hidup rohani saya.
Kilas balik
perjalanan tahun lalu.
Banyak hal rupanya telah berlalu dan
mungkin juga mengalami kemajuan dan kemunduran. Apapun itu saya rasa semuanya
adalah proses yang harus saya lewati, harus terjadi dan saya maknai. Satu tahun
yang lalu pengalaman yang tidak pernah bisa saya lupakan. Berdiri sendirian
dalam situasi sulit, kering dan jauh dari Tuhan, tetapi bukan Tuhan yang jauh
melainkan saya yang menjauhkan diri. Pengalaman ini adalah pergulatan yang
kedua setelah masa novisiat dan itu cukup panjang namun toh saya merasa sudah
sedikit aman. Pengalaman bahwa saya merasa sendirian begitu dekat dan nyata.
Dan itu semua disebabkan karena saya begitu dalam menyelam dalam samudera
filsafat dan pencarian diri saya.
Akibatnya keseimbangan dalam hidup menjadi tidak teratur, idelisme-idealime
dari jiwa muda saya melejut dengan begitu kuatnya sehingga membuat saya menjadi
pribadi yang semakin nyata bahwa saya keras, melihat segala bentuk aturan dari
satu sisi dan merasakan itu semua sebagai kekangan. Saya tidak menemukan
kebebasan. Sampai saya melupakan Tuhan yang selalu mencintai saya. Sampai
akhirnya pilihnya hanya 1 tetap mau dibentuk dan bertahan dalam Karmel atau
segera menentukan pilihan lain. Rasanya sulit sekali menentukan meski sudah
dihadapkan pada dua pertimbangan yang matang di depan mata. Entahlah saya waktu
itu tidak punya kekuatan untuk memberi jawaban dan kepastian. Dalam kapasitas
apapun waktu itu saya menjadi lemah, rapuh dan sendiri. Entah atas dorongan
apa, saya kira dari doa-doa yang dipanjatkan orang-orang yang mengasihi saya
saya punya keberanian untuk datang dan mengatakan kepada Rm. Dion bahwa saya
mau dibentuk. Akhirya hal pertama yang harus saya kerjakan adalah membuat
refleksi dan bimbingan rutin setiap bulan. Ada tiga poin yang harus saya
refleksikan, 1) mau diarakan menjadi karmelit seperti apa/ kemana? 2) dimana
posisi saya saat ini dan apa fokus yang harus saya kerjakan? 3) pergulatan apa
yang sedang terjadi? Itulah 3 point yang harus saya gumuli kurang lebih 3 bulan
sampai akhirnya saya diberi kesempatan untuk memperbaharui kaul.
Pengalaman diterima untuk
memperbaharui kaul adalah sesuatu yang luar biasa yang saya syukuri, karena
keyakinan untuk mampu menjalani panggilan ini waktu itu begitu tipis. Syukur
karena Tuhan masih mencintai dan memperkenankan saya untuk terus menjawab
panggilanya meskipun dengan keadaan dan situasi yang bagi saya secara pribadi
amat mustahil. Selanjutnya semuanya berjalan dengan situasi yang belum
sepenuhnya baik. Saya harus berusaha untuk terus memperbaiki segala kelemahan
dan sikap-sikap yang menghambat untuk tetap terus bersemangat dalam menjalani
hidup membiara. Pelan-pelan semuanya dilengkapi oleh Tuhan sendiri. Sungguh
saya waktu itu tidak berharap banyak bahwa persoalan dan pergulatan saya segera
cepat diselesaikan. Satu demi satu saya belajar untuk menata kembali
serpihan-serpihan yang sudah mulai tidak teratur. Mengumpulkan kembali dan
menyusunya menjadi bagian-bagian yang membantu saya untuk mengembalikan
kepercayaan diri, bahwa saya masih mencintai panggilan saya.
Pijakan yang paling menuntut saya
untuk bekerja lebih ekstra dalam mengembalikan situasi hidup rohani saya di
dalam biara adalah hasil rekomendasi kaul saya. Saya mengakui dengan jujur
bahwa formator sudah berusaha dengan kejujuranya untuk memberi penilaian pada
saya dan saya yakin itu semua diberikan sesuai dengan apa yang mereka lihat,
pahami dan alami sejauh mengenal saya. Saya sendiri akhirnya menjadi mengerti
bahwa selama ini saya adalah pribadi yang rapuh yang harus bekerja lebih ekstra
untuk menjadi lebih baik. Dan kesempatan yang diberikan hanya satu tahun. Waktu
yang cukup singkat dan mungkin juga cukup sulit untuk melihat bukti bahwa saya
akan dan mungkin telah berubah. Satu keyakinan yang muncul saat itu, ketika
saya bebincang dengan sahabat-sahabat saya dimana saya berbagi cerita adalah demikian apapun usaha yang saya bangun dan perbaiki
tidak menjadi soal apakah yang akan menjadi hasilnya nanti, tetapi keberanian
untuk memulai itulah yang saya pegang dan harus saya syukuri. “Ukuran waktu
satu tahun bukanlah sebuah penentu bagimu untuk harus menjadi sempurna seperti
malaikat, tetapi bahwa dalam waktu yang singkat itulah keberanian untuk memulai
menjadi penentu dalam hidupmu.” Begitulah teman-teman menghibur saya. Entah
apakah itu sebenarnya bentuk penghiburan atau ejekan bahwa saya tidak akan
mampu berubah, saya hanya memegang bahwa saya harus berani memulai.
Menata dengan susah payah tetapi saya
tidak merasakan rasa lelah, karena saya mulai berpikir dan meyakini bahwa kini
saya tidak akan mengerjakan sendirian, tetapi saya bersama Dia yang selalu
memberikan penghiburan dan kekuatan. Luar biasa saya dikembalikan pada
disposisi hati yang tenang. Saya masih ingat hal pertama yang saya mohon pada
Tuhan “Tuhan saya minta Engkau menunjukan kerapuhan saya, tambahkanlah iman dan
kerendahan hati. Bukalah hatiku untuk tidak menjadi tuli dan terbuka untuk
selalu mencintaimu” itulah sepenggal doa yang saya temukan setelah begitu lama
tidak pernah mengucap syukur atas segala rahmat yang diberikan oleh Tuhan. Lalu
apa yang terjadi sekarang?
Pengalaman yang kini sedang terjadi
Saat
ini jika saya boleh jujur saya merasakan ada banyak sekali hal yang sudah mulai
berubah, situasi batin mulai tenang sehingga rasanya masalah yang dulu begitu
berat dipikul kini sudah sedikit ringan. Hal lain mungkin ada juga kekurangan
dan kelemahan yang masih melekat dan perlu terus untuk diperbaiki.
Hal-hal apa yang terus meningkat dalam diriku?
Berangkat dari rekomendasi tahun lalu saya rasa poin pokok yang harus
saya syukuri untuk saat ini adalah saya sudah mulai merasa tenang dalam
menjalani hidup membiara, rela dengan rendah hati untuk dibimbing dan diarahkan
saya rasa menjadi hal mendasar pula yang harus saya syukuri selain ketenangan
hati. Dalam menjalankan disiplin biara saya sudah mengusahakan untuk mulai
menunjukan keteraturan meskipun satu, dua kali masih telat. Waktu-waktu doa
pribadi meski tidak seperti ketika prof I saya rasa juga sudah mulai saya
perhatikan dengan lebih serius dan saya yakin dorongan ini pulalah yang
mendorong saya untuk pelan-pelan mencintai kitab suci dengan menyempatkan diri
membaca dan renungan singkat sebelum tidur. Mengurangi waktu “melarikan
diri”dari aktifitas atau kegiatan biara yang selama ini saya lakukan untuk
menyenangkan diri, pada minat dan hobby ( komputer, acara kampus, pergi keluar
dll) meskipun hal ini sulit dan terus selalu saya geluti. Mencoba mengenal Karmel
lewat para kudus, dan mengusahakan satu atau dua hal yang baik untuk diendapkan
dan diteladani (mis; rela untuk melakukan hal sepele yang tidak menjadi tugas
saya, tidak mudah mengeluh dan mengusahakan untuk menjadi lebih sederhana dalam
penampilan). Juga doa-doa spontan yang
tidak pernah saya panjatkan karena saya toh bisa berdoa dalam hati, demi
ketaatan dan solidaritas pada Gereja saya berusaha sebisa mungkin mengucapkan
doa saya secara spontan ketika ofisi. Saya rasa ini merupakan bentuk pertobatan
saya untuk tidak berpikir menurut cara atau kemauan saya. Saya rasa itulah
beberapa hal yang sempat saya renungkan dan saya kenali yang menjadi
peningkatan dalam diri saya.
Apa yang baik kemudian merosot?
Selain hal-hal baik yang terus
meningkat saya rasa masih banyak juga hal-hal yang dulunya baik kini merosot.
Misalnya yang paling kelihatan adalah nilai-nilai tiap semester tidak mengalami
perkembangan yang signifikan, berada dalam posisi yang konstan. Keterampilan
diri atau kecakapan praktis, saya rasa tidak seperti sebelumnya mungkin karena
tugasnya tidak sebanyak seperti dulu sehingga tidak kelihatan mana yang harus
menjadi prioritas. Tugas biara hanya satu menjadi seksi listrik dan yang satu
inipun kadang masih sering lalai, ya dengan rendah hati saya harus mengatakan
mungkin saya terlalu mengangap tugas ini sepele sehingga ada banyak sekali
kecenderungan untuk melalaikan. Selaian itu aktifitas bersama dalam rekreasi
mungkin juga mengalami penurunan. Saya rasa ini terjadi karena saya terlalu
memforsir diri dalam mengerjakan skripsi. Diantara 3 hal diatas rasanya saya
sudah tidak mampu mengenali mana hal baik yang ada dalam diri saya sebelumnya
dan yang sekarang merosot mungkin karena saya tidak pernah melakukan hal yang
baik sebelumnya sehingga saya tidak melihat ada kemerosotan.
Yang dulunya kurang baik sekarang ada perubahan?
Seperti yang saya temukan diatas yang paling kelihatan menonjol
mengalami perubahan dari yang dulu kurang baik adalah soal disiplin biara
khususnya datang ke kapel dengan tepat waktu. Saya berusaha untuk tidak lagi
terlambat dan tidur larut malam supaya pagi bisa bangun tepat waktu. Selain itu
kesadaran untuk berdoa bersama Gereja lewat doa umat juga saya usahakan.
Kesadaran diri untuk tidak mudah memberi kritik dan komentar-komentar negatif
pada apa yang dikerjakan atau terjadi pada orang lain dengan jatuh dan bangun
saya usahakan untuk tidak saya keluarkan dengan kata-kata. Saya mencoba untuk
mengekang lidah saya yang liar.
Hal pokok yang saya temukan juga
berkaitan dengan ketaatan pada pemimpin atau formator atas setiap keputusan dan
alasan yang diberikan untuk suatu permohonan atau apapun, pelan-pelan saya
usahakan untuk saya terima dengan lapang dan rendah hati dan endapkan dengan
kejernihan hati.
Pergulatan saat ini
Salah satu yang menjadi pergulatan saya selama ini yang mungkin belum
selesai sampai saat ini adalah: kesadaran untuk menggunakan HATI saya. Selama
ini saya selalu menomorsatukan rasio, sehingga hati ini tidak pernah
sungguh-sungguh terasah dengan tajam. Rasanya kerinduan ini sudah begitu lama
tidak pernah mendapatkan jawaban. Hati saya terlalu bebal dan keras untuk
diukir dan dibentuk menjadi sesuatu yang lembut. Implikasinya saya seringkali
jatuh pada rasionalisai diri. Selalu lari pada pemikiran logis dan tidak logis.
Sungguh saya sebenarnya merindukan berbicara dan merasakan pengalaman itu
dengan hati secara mendalam tidak sekedar di permukaan.
Modal yang saya miliki sejauh saya
rasakan saat ini adalah hati saya sudah mulai tenang dan tidak lagi menutup
diri. Sekarang tinggal melembutkan sesuatu yang keras didalamnya. Saya yakin
Tuhan selalu memberi kesempatan dalam diri saya untuk kembali masuk dan
menengok kedalaman hati saya. Saya yakin Tuhan saat ini sedang memulai
menganyam sebuah rencana baru untuk saya didalam hati saya yang telah keras
begitu lama. Ketertutupan dan kekerasan hati inilah rasanya yang menjadi akar
dan sumber utama pergulatan saya selama ini. Yang membuat saya menjadi pribadi
yang tidak peka atas situasi dan hal baik yang diberikan orang lain. Kerasnya
hati ini pulalah yang mendorong saya bertindak berdasarkan pikiran, penolakan
dan sikap menutup diri pada banyak hal.
Sekarang saya hanya ingin berkata
pada Tuhan“Ecce Ego Quia Vocasti Me!” Ya inilah
saya yang begitu rapuh yang telah Kau panggil. Dengan kepasrahan bahwa
saya telah dipanggil inilah saya mau berkata pada Tuhan bahwa Tuhanlah yang
punya hak atas diri saya. Dengan hati saya yang keras Tuhan pasti mampu
melembutkan dan membantu saya mengerti lebih dalam mengapa Ia memanggil saya.
Hal ini akan saya ubah dengan (tujuan, sarana,
perwujudan, ukuran.)
Bagaimanapun juga persoalan yang
saya hadapi adalah persoalan yang harus senantiasa saya atasi. Mengubah hati
memang bukan perkara mudah yang terjadi seketika itu juga. Dengan menyadari
bahwa ternyata hati saya kurang peka, kurang mendapat sentuhan secara rohani
maka tujuan yang harus saya lakukan tidak ada hal lain kecuali menyembuhkanya.
Membangun kepercayaan bahwa diri saya membutuhkan hati huntuk mendengar ,untuk
merasakan dari kedalaman. Lalu sarana apa yang harus saya tempuh? Sarana yang
paling dekat adalah mencari pribadi yang mampu mengajarkan saya bagaimana
megolah dan memelihara hati yaitu lewat seorang pembimbing rohani. Saya
berharap dengan menemukan pribadi yang membantu saya dalam mengerti segala
persoalan ini saya menjadi lebih terbuka. Juga dengan refleksi pribadi. Sebagai
wujud nyatanya saya harus berani melepaskan segala kecenderungan untuk selalu
bertindak atas dorongan rasio. Kesediaan untuk mau mempercayakan diri saya pada
satu orang yang saya anggap tepat juga merupakan usaha saya untuk membangun
kembali kepercayaan yang mungkin sudah mulai luntur, menjadi terbuka, rendah
hati dan selalu sedia untuk diubah. Bagaimanapun juga apa yang ingin saya
uasahakan ini adalah usaha yang cukup berat dan rumit tetapi saya sendiri sadar
bahwa sekali lagi saya tidak boleh berhenti pada keadaan diam, bagaiamanpun
juga saya harus memulai dan meminta Dia untuk campur tangan dalam hidup saya. “Ecce
Ego Quia Vocasti Me!”
Aris O.Carm Rjbs 04 [20/04/2010]
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!