Tuhan "Mati", Manusia Hidup
Tuhan "Mati", Manusia Hidup
"God is truly present in the wondrous beauty
of the universe, in the skies and sun and stars ... and in all our noble
activities. And yet, God is truly present in a very special way, in all that is
apparently ugly, all that stinks and is broken." - Jean Vanier.
Tuhan hadir dalam keindahan tata ciptaan-Nya. Apakah Ia
absen dalam kerapuhan, kemiskinan, dan kekumuhan? Misteri Agung Paskah
menjelaskan ranah kehadiran Tuhan. Seorang sufi (mistikus) mengalami kesulitan
mengakui adanya Tuhan jika Ia semata-mata diseru-serukan sebagai "Yang
Mahakuasa", tetapi mengelak realitas keseharian hidup yang menyesakkan.
Ketika orang-orang Yahudi, anak-anak, dan perempuan
disesakkan di gerbong- gerbong kereta ternak dari Budapest untuk dibawa ke
Auschwitz dan dicekik gas zyklon B di ruang-ruang mengerikan, filosof W Adorno
merefleksikan "diam absolut"-nya Tuhan. Penderitaan ekstrem kerap
dimaknai sebagai absennya Tuhan. Pemaknaan semacam itu kian mencuat ketika
diserukan "pengadilan Tuhan" oleh kaum postmodernis karena Ia absen
dan membiarkan jutaan manusia meregang nyawanya sia-sia oleh derita tak terkira.
Auschwitz
hanya salah satu. Masih banyak emblem luka dan derita konflik antarmanusia
lainnya, seperti di Lebanon Selatan, Palestina, wilayah Siera Leone Afrika,
Irak, Dharfur-Sudan, atau di Poso. Seorang guru kebijaksanaan Timur
mengajarkan, kebesaran Tuhan tidak semata terletak pada betapa dahsyat
kekuasaan-Nya, tetapi juga betapa konkret kehadiran-Nya dalam pengalaman
sehari-hari, dalam duka dan kecemasan, dalam kesusahan dan kemalangan manusia.
Solidaritas Tuhan
Tuhan sedih saat manusia berduka. Ia sedih saat
manusia bertikai berdarah-darah. Ia penat melihat manusia memanipulasi
sesamanya. Ia prihatin dan marah jika ketidakadilan dan korupsi menjadi bagian
keseharian hidup yang dibela manusia. Tuhan muak saat menyaksikan kemunafikan
penguasa yang selfish, sementara nasib pengungsi dan petani terlunta-lunta. Ia
murka saat nama-Nya dimanipulasi untuk pembenaran tindak kekerasan, pembunuhan,
dan balas dendam meski karena alasan agama sekalipun.
Tuhan tidak minta pembelaan manusia. Ia tidak dapat
diserang siapa pun, tidak bisa dihina siapa pun, entah oleh kaum komunis atau
neokomunis sekalipun. Kebalikannya,
Ia solider. Solidaritas Tuhan
kepada manusia benar-benar kasatmata. Salib, itulah solidaritas absolut dari
Tuhan. Saat manusia terluka, terlilit
bahaya dan kematian, terbebani ketidakpastian dan kemiskinan, Tuhan ikut
menanggung. Ia hadir turut memikul beban beratnya salib kehidupan manusia.
Saat Tuhan memikul salib berat ke Golgota, Ia tidak
memperlihatkan kedigdayaan-Nya, tetapi ketidakberdayaan-Nya, jatuh tersungkur
tiga kali, tertimpa salib. Misteri Paskah adalah misteri Tuhan yang miskin,
rapuh, mati. Di kayu salib tubuh-Nya penuh darah, lunglai oleh deraan sakit tak
terkira. "Tuhan-Manusia Yesus Kristus mati," kata
Karl Rahner. Konsep "Tuhan yang mati" atau The powerless God tidak
mudah dibayangkan. Lebih mudah membayangkan Tuhan yang perkasa daripada Tuhan
yang tak berdaya. Tetapi, "kematian Tuhan" memiliki makna salvific
eksistensial-universal dalam koridor kasih yang melimpah kepada manusia.
Refleksi teologis Rahner menegaskan, misteri
keagungan Tuhan terletak pada kesediaan-Nya menjadi "kecil", sekecil
manusia. "Ke-Maha-segalanya" Tuhan justru terlihat pada
"kerapuhan-Nya", "kematian-Nya", "pengosongan-Nya"
(kenosis). Ketika Tuhan mati di salib, di
situ Ia tampil sebagai "Sang Penebus". Sepanjang hidup-Nya, Yesus
Kristus tidak pernah disebut "Putra Allah" (sebutan yang secara
teologis mengatakan kehadiran sebagai "Penebus" atau
"Penyelamat", bukan dalam makna sebagai orang yang lahir dari ibu dan
ayah). Bahkan, saat Yesus berjalan di atas air atau membangkitkan secara
spektakuler Lazarus yang sudah tiga hari mendekam di kubur, Ia tak disebut
sebagai "Putra Allah". Tetapi, saat nyawa-Nya meregang di kayu salib
dan matilah Dia, Sang Mesias itu, kepala pasukan yang melakukan penyaliban atas
diri-Nya bersimpuh dan menyembah sembari berseru: "Ia benar-benar ’Putera
Allah’ (Sang Penebus)." Tuhan mati? Kematian Tuhan di salib mengatakan
sebuah "pengosongan tuntas diri-Nya yang menyapa, menebus, dan hadir dalam
kehidupan manusia".
Pengosongan diri
Sebelum disalib, Tuhan ditelanjangi. Kala manusia
memandang "ketelanjangan" sebagai sebuah bentuk bias kemaksiatan,
Sang Pencipta kehidupan malah mengalaminya sebagai bukti pengosongan diri.
Ketelanjangan-Nya adalah kesempurnaan kasih-Nya kepada manusia. Teologi
Kristiani merenungkan Tuhan yang mati dan telanjang sebagai peristiwa di mana
manusia ditebus, diselamatkan, serta diangkat dari dosa dan kematian.
Namun, konsep penebusan tidak hendak mengatakan bak
sulapan. Penebusan mengenal ranah komunikasi timbal balik. Artinya, saat Tuhan
mengulurkan tangan-Nya, manusia diminta menanggapi- Nya dengan balik
mengulurkan tangan untuk digandeng, ditarik, diselamatkan. Penebusan meminta
manusia meninggalkan cara hidup lama yang sarat kekerasan, keberingasan,
kemunafikan, sikap intoleran atau sok mau menang sendiri.
Tuhan yang mati adalah Tuhan yang
"mahakuasa". Sedemikian berkuasa Dia, sampai-sampai tidak tinggal
diam dalam keabadian. Tuhan yang mati adalah Tuhan yang "tunduk" pada
cinta-Nya sendiri yang menyelamatkan, menghidupkan manusia. Kematian-Nya
menandai cinta-Nya yang tanpa syarat dan tanpa "barter" apa pun
dengan manusia. Sebuah cinta gratuituous, telak, dan tuntas. Dalam
kematian-Nya, Ia merevelasikan diri sebagai Sang Pencipta kehidupan. Maka,
Paskah mendeklarasikan makna mendalam, kematian Tuhan adalah kehidupan baru
bagi manusia.
Selamat Paskah!
Armada
Riyanto Dosen
Filsafat; Ketua STFT Widya Sasana, Malang
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!