Societas Negosiatif
Societas Negosiatif
Oleh: Armada Riyanto
Tata hidup bersama (societas) amat tinggi maknanya bagi manusia,
semata karena memiliki karakter negosiatif, komunikatif.
Anthony Giddens menyimak, society globalised saat ini adalah
societas yang menampilkan karakter negosiatif. Ketika teknologi komunikasi
mendominasi kehidupan global manusia, tidak dimungkinkan lagi saat ini isolasi
kebijakan yang totaliter.
Hannah Arendt memeriksa tragedi totaliterisme Hitlerian sebagai
anomali yang dimungkinkan karena alpanya karakter negosiatif-komunikatif
societas saat itu. Sebab, tidak satu pun orang Jerman yang akrab dikenal
sebagai pemuja humanisme eksistensial-fenomenologis sejak Kant, Hegel, Fichte,
Edmund Husserl sampai J Habermas memandang totaliterisme sebagai tipikal made
in Germany.
Tragedi kemanusiaan
Totaliterisme adalah lawan frontal dari societas negosiatif. Ia
kejam bukan semata pada tataran kebijakan, tetapi juga membuka peluang kegilaan
yang mengakibatkan secara konkret tragedi kemanusiaan.
Auschwitz, Treblinka, Birkenau adalah nama-nama wilayah yang menjadi simbol
ngeri holocaust, produk totaliterisme Hitlerian, di mana orang-orang Yahudi
disekap dan dicekik dalam kamar gas.
Dalam communicative society, dicegah
kesombongan utopis diktatorisme, totalitarianisme, tiranisme, absolutisme,
chauvinisme, sektarianisme, fundamentalisme dan segala "isme" dengan
aneka alasan dari teks-teks suci sekalipun.
Negosiasi mengedepankan bahasa. Bahasa bukan
alat berkomunikasi, tetapi mencetuskan kebudayaan, bahkan struktur tatanan
kebersamaan.
Ketika bahasa kehidupan sarat dengan
terminologi ancaman dan teror, kultur relasi sehari-hari terasa menegangkan dan
menyesakkan. Ketika bahasa komunikasi satu sama lain miskin kebenaran dan
keadilan, tipuan dan kepalsuan mendominasi. Korupsi di mana-mana.
Inilah sebuah “kekalahan" dari bangsa
miskin dalam kancah persaingan global. Bangsa miskin berkutat dalam kehidupan
yang sarat kultur koruptif. Mereka bukan saja gagap dalam tawar-menawar menarik
investasi, atau lambat dalam memproduksi dan memasarkan, tetapi juga tak mampu
bertindak strategis.
Kebijakan kendali pemerintahan juga tak
mempromosikan bahasa kehidupan yang mengedepankan keutamaan sehari-hari.
Cenderung menjadi sebuah kebijakan yang selfish.
"Kembali ke laptop" ala DPR untuk
masing-masing anggota dengan estimasi anggaran satu unit konon menyentuh harga
21 juta dan melubernya lumpur gas Porong yang mengobrak-abrik roda ekonomi
Jatim adalah aneka suguhan menjemukan bukti "gagapnya" societas dalam
bernegosiasi seputar ruwetnya persoalan bangsa sendiri.
Bangsa miskin (dalam kultur humanis)
selalu kalah dalam bernegosiasi. Bukan hanya negosiasi yang menyentuh kebijakan
internasional, tetapi apa yang menjadi ranah kesibukan sendiri pun, societas
miskin selalu kedodoran. Mereka seperti terjajah, tergugat,
bingung-linglung, tidak bisa menjadi tuan di rumah sendiri.
Negosiasi tidak hanya berupa adu argumentasi.
Negosiasi juga mengatakan, pertama-tama bagaimana kehidupan ditata, dikelola,
disimbolkan, dimaknai bersama. Keberhasilan segala perkara tentang keadilan
tergantung implementasi kecerdasan negosiatif.
Totaliter
Totaliter, sebagai lawan frontal kecerdasan
negosiatif, sebenarnya adalah ketundukan secara naif atas kekuasaan
sewenang-wenang. Manusia sebagai pribadi seakan dicabut, dinisbikan. Kekompleksannya
direduksi pada tingkat paling rendah dan tak manusiawi.
Dalam level jalan pikiran demikian, demo-demo
nurani masyarakat Perumtas Sidoarjo menemukan alasan pembenarannya. Teriakan
hati nurani pencarian keadilan memang tak mungkin dinafikan.
Apa yang terjadi di Porong-Sidoarjo adalah
sebuah ujian penting tata societas negosiatif. Dan, sepertinya kita masih tampak
gagap dalam negosiasi.
Ada semburan lumpur.
Menurut analisis, secara konkret (tak lewat sebuah proses peradilan), semburan
lumpur dipandang berasal dari bocornya (atau diakibatkan oleh) pengeboran
Lapindo Brantas. Lumpur gas pada awalnya berupa sebuah tumpahan kecil. Konon,
ketika masih tumpahan kecil, sengaja tak dibendung agar, setelah tanah-tanah
tenggelam oleh lumpur, transaksi pembelian lahan dapat berjalan mudah dan
murah. Alih-alih membendung, lumpur malah "mengalir sampai jauh",
tulis Hotman Siahaan.
Ribuan warga menjadi korban. Ada
tiga stakeholders yang berurusan ketat, yaitu Lapindo, pemerintah, dan
masyarakat yang menjadi korban. Namun, "korban" yang dimaksud jelas
tak hanya sekian ribu orang yang menderita karena rumah telah lenyap, tetapi
juga masyarakat Jatim dan sekitarnya yang langsung terkena imbasnya lantaran
ranah aktivitas perekonomian kini makin kacau. Pasar yang entusias mendadak
menjadi lesu dan segan. Kehidupan terasa sesak dan penat.
Andai dibuatkan sebuah "kanal" ke laut dengan
memanfaatkan ketinggian tanah dan perjalanannya "dikawal" rapi,
tidakkah mungkin lumpur gas ditundukkan? Sebuah pengandaian semata.
Artinya, ketika berbagai teknik penyetopan lumpur menjadi
kemustahilan, diperlukan sebuah kebijakan yang berpihak pada keadilan
manusiawi. Artinya, negosiasi pertama-tama harus
memiliki tujuan pasti, yaitu membela kehidupan manusia. Itulah hakikat
societas negosiatif.
Armada Riyanto
Ketua dan Pengajar Filsafat di STFT Widya Sasana, Malang; Pengajar
Phenomenological Research di Pasca-FISIP, Unair
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!