Tinjauan Buku


PERANG  SALIB DALAM IDENTITAS KAUM BARAT
Sebuah Tinjauan Kritis Atas Buku “ Perang Suci” Karya Karen Armstrong

1.    AWAL MULA PERANG  SALIB
Awal mula Perang  Salib dari seruan  Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont. Seruan ini didasarkan pada invansi orang-orang Saljuk, Turki ke Tanah Suci. Pertama mereka menggangu para peziarah Kristen dan pada akhirnya merebut Tanah Suci. Kemudian kaisar Bizantium meminta pertolongan dari Barat. Mereka meminta pertolongan Paus. Bersamaan dengan peristiwa ini di Eropa para kesatria sedang berperang dengan kelompok mereka sendiri. Paus melihat energi mereka yang besar terbuang dengan cuma-cuma, bahkan mengancam keutuhan agama Kristen. Maka, dengan alasan untuk memerangi musuh-musuh Tuhan, Paus menyerukan untuk berhenti berperang dan mulai bersatu untuk merebut kembali Tanah Suci. Seruan Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont ini menarik minat banyak orang Kristen, terutama para pengkhotbah.
Para pengkhotbah ini dengan penuh semangat meneruskan seruan paus, untuk merebut kembali Tanah Suci. Para pengkotbah populer seperti Peter si Pertapa sungguh menginspirasi banyak orang. Setiap orang yang rela untuk pergi ke Tanah Suci menempelkan sebuah salib dari kain merah pada bahu atau dadanya. Setiap orang yang mengikuti Perang  Salib tidak mengharapkan keuntungan finansial tetapi lebih didorong oleh keinginan spiritual.
Tentara Perang  Salib yang pertama sebenarnya sudah berangkat sebelum paus Urbanus menyerukan Perang  Salib. Peristiwa ini menunjukkan betapa besarnya hasrat orang-orang Barat untuk berperang. Perang sepertinya sudah mendarah daging dalam diri mereka. Bahkan sepertinya perang dapat menjadi  cara mengakhiri setiap masalah. Akan tetapi, pasukan yang terdiri dari para ksatria, para bangsawan, petani dan para peziarah ini terkesan kurang persiapan dan terlalu terburu-buru. Mereka menganggap bahwa mereka adalah garda depan Perang  Salib. Bahkan mereka tidak mengindahkan nasihat dari paus Urbanus untuk menunggu hingga usai panen tahun 1096. Tentara ini akhirnya tidak cukup membawa perbekalan, sehingga mereka hanya bergantung pada pemberian penduduk kota atau desa yang mereka lewati.
Penduduk setempat lama-kelamaan tidak mampu lagi memenuhi keperluan para tentara itu sehingga terjadi pertempuran dengan penduduk setempat. Para tentara salib yang pertama ini mulai menjarah orang-orang setempat, terutama di Nitram Hungaria, sehingga membuat orang-orang Hungaria marah dan melakukan perlwanan. Tentara yang pertama itu kalah dan membuat  trauma tersendiri bagi tentara yang akan berangkat dan tindakan mereka sangat memalukan, sehingga tentara salib berikutnya tidak menganggap para tentara yang gagal itu sebagi bagian dari mereka. Mereka bahkan membuat suatu legenda “Perang  Salib Petani”. [1]
Hal ini menunjukkan bahwa betapa para kesatria Eropa waktu itu, sangat tidak menerima dengan kegagalan. Mungkin dalam hal ini Karen Armstrong benar, apa lagi jika menyinggung konflik dengan kaum muslim.[2]  Fanatisisme Perang  Salib telah memperpanjang konflik kaum Kristen dengan kaum muslim, terutama orang-orang Arab di Timur Tengah saat ini.
Perang masih berlanjut setelah kejadian paling memalukan yang terjadi atas diri para tentara Perang  Salib pertama. Silih berganti serangan demi serangan menggempur wilayah Timur Tengah, terutama Tanah Suci. Serangan yang datang, tidak hanya berasal dari para pasukan kesatria Eropa, tetapi juga dari orang-orang muslim, yang berasal dari Timur Tengah. Banyak nyawa telah dikorbankan dalam perang yang berlangsung dalam dua abad itu. Banyak sejarawan mencatat bahwa telah terjadi tujuh kali Perang  Salib.
Dalam kurun waktu dua abad, telah timbul beberapa gelombang besar serangan yang datang dari orang-orang Eropa, demi merebut kembali Tanah Suci dari kaum muslim. Akan tetapi dari sekian banyak serangan, mereka lebih banyak menelan kekalahan dari pada kemenangan.[3] Lebih-lebih banyak dari kaum kesatria yang menanggung kekalahan.  Bahkan banyak dari mereka  yang bukan tentara akibat tidak mengerti teknik berperang mati secara sia-sia, mereka hanya terdorong oleh motivasi ilahi


2.    PERKEMBANGAN PERANG  SALIB
Perang  Salib pada akhirnya akan terus berlanjut di luar Tanah Suci, khususnya di daratan Eropa. Karen Armstrong dalam bukunya ini (Perang Suci), lebih menonjolkan bahwa inisiatif perang berasal dari orang-orang Kristen Eropa terhadap kaum muslim dan Yahudi. Perang  Salib ini pada akhirnya dipandang oleh Karen Armstrong sebagai sarana pemurnian agama Kristen.
Karen Armstrong berpendapat bahwa Perang  Salib sangat mempengaruhi kejadian-kejadian yang mengaitkan masalah agama yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan pada awal bagian ketiga dari buku Perang Suci ini, dia mengatakan bahwa: “Tesis utama buku ini adalah bahwa ada keterkaitan era antara Perang  Salib di Abad Pertengahan di Tanah Suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di Timur Tengah saat ini.”[4]
Karen melihat bahwa anti-semitisme sungguh terjadi di Eropa. Orang Eropa yang identik dengan Kristianisme lebih ditunjukkan sebagai anti orang-orang Yahudi. Bahkan pada paragrap-paragrap berikutnya, penulis menceritakan ulang bagaimana tentara Perang  Salib pertama membantai kaum Yahudi dalam perjalanannya memerangi kaum muslim. Penjelasan ini kemudian diikuti dengan kekejaman Hitler saat membantai kaum Yahudi dalam Perang Dunia II, yang disebutnya sebagai Perang  Salib Nazi.[5] Pada bagian ini, Karen menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Hitler sebagai efek dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara Perang  Salib, yang telah membantai kaum Yahudi dimana mereka jumpai. Hitler membunuh semua orang Yahudi, walaupun mereka sudah menjadi Kristen. Dia melihat bahwa, kebencian orang-orang Barat pada abad pertengahan terhadap orang-orang Yahudi disebabkan karena penyaliban Yesus yang dilakukan orang-orang Yahudi. Perang  Salib telah menyebabkan anti-Semitisme yang berkepanjangan pada abad Pertengahan sampai abad modern.
Orang-orang Yahudi di Spanyol masih diberi pilihan menerima baptisan atau keluar dari negara Spanyol. Tawaran ini mungkin bukan tawaran manusiawi, tetapi tawaran ini lebih baik dari apa yang dilakukan oleh Adolf Hitler, yang memusnahkan seluruh orang Yahudi tanpa terkecuali. Kemudian, Karen juga mempertanyakan apakah ada hubungan antara Perang  Salib, yang terjadi pada abad pertengahan itu dengan kebijakan dan prasangka Barat saat ini.[6]
Perang  Salib berlangsung dalam kurun waktu dua ratus tahun. Seperti yang telah disinggung dalam bagian pertama dari tulisan ini, selama waktu itu telah banyak korban yang telah berjatuhan. Selain itu banyak kerugian yang telah ditimbulkan. Selama enam kali penyerangan, telah digunakan berbagai macam cara untuk merebut kembali Tanah Suci dari orang Arab, bahkan dengan cara-cara yang sebenarnya kurang manusiawi. Pada Perang  Salib ke lima tatkala orang-orang dewasa tidak suka lagi berangkat lagi ke Palestina maka diserukan suapaya anak-anak juga ikut berperang ke tanah suci.[7] Kembali pada pendapat Karen Armstrong mengenai Perang  Salib. Menurutnya, meskipun biaya untuk ikut dalam tentara salib sangat mahal, tetapi masih banyak juga orang yang mau ikut dalam pertempuran yang penuh emosi itu.[8] Banyak orang rela menjual segala harta miliknya untuk ikut dalam rombongan para kesatria ke Tanah Suci untuk merebut kembali makam suci dan terutama kota suci Yerusalem. Selain itu, banyak raja yakin bahwa dengan merebut kembali Tanah Suci, mereka akan memperoleh kerajaan abadi. Pandangan ini berasal dari pandangan apokaliptik yang muncul saat itu, bahwa akan muncul Yerusalem baru (bdk. Kitab Wahyu).[9] Pandangan apokaliptik dalam kitab ini telah memunculkan semangat baru dalam diri setiap tentara Perang  Salib bahwa dengan berperang melawan musuh Tuhan mereka akan masuk surga.
Peristiwa Perang  Salib yang terjadi kurang lebih selama dua abad membuat masyarakat Eropa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dengan Perang  Salib tidak membawa banyak keuntungan. Meraka sadar bahwa pada akhirnya mereka telah tertinggal jauh dengan peradaban Arab yang semakin berkembang. Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan yang dialamai masyarakat Eropa dari orang-orang Arab maka banyak orang mulai menyadari pentingnya mengembangkan pengetahuan. Kebangkitan     ilmu pengetahuan muncul di Barat seiring berjalannya waktu.  Selain itu muncul juga  semangat individualisme yang besar. Semangat ini mendorong setiap individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Setiap orang mempunyai potensi diri yang dapat dikembangkan. Periode-periode selanjutnya gagasan Perang  Salib yang dikobarkan oleh Urban II sudah mulai lenyap, tetapi semangatnya masih dibawa oleh orang-orang Eropa samapai saat ini dalam bentuk-bentuk yang lain.
 Dari seluruh rentetan pemikiran Perang  Salib dari awal hingga saat ini bagi Karen ternyata memiliki hubungan kausalitas dengan konflik-konflik modern yang terjadi saat ini. Bahkan Karen mengklaim bahwa Perang  Salib yang telah terjadi di masa lalu menjadi identitas kaum Barat.

3.    PERANG  SALIB DALAM IDENTITAS KAUM BARAT
            ‘Perang  Salib’ pada akhirnya lebih berkembang di Barat. Perang  Salib yang semula sebagai usaha untuk merebut Tanah Suci, pada akhirnya berkembang menjadi pemusnahan agama Islam dan Yahudi di Eropa. Perang  Salib tidak memungkinkan kaum Yahudi Eropa dan kaum muslim Timur Dekat untuk tetap hidup. Tapi, Perang  Salib juga menjadi sebuah taruhan untuk menempatkan Eropa kembali ke peta dunia dan menjadikan Kristen sebagai kekuatan dunia.[10] Pemikiran ini siap mengorbankan apa saja demi kemasyhuran Perang  Salib. Bahkan, keberhasilan Perang  Salib ini selamanya dianggap lebih penting daripada jatuhnya korban dari pihak kaum muslim dan Yahudi. Semangat Barat pada Abad Pertengahan ini sungguh menginspirasi orang Eropa pada saat itu untuk membentuk identitas Eropa Kristen. 
Pada akhirnya dalam agama Kristen sendiri timbul pemurnian dari usaha sekelompok orang yang ingin mencoba menawarkan alternatif lain dari kekakuan otoritas Gereja. Salah satu diantaranya adalah kaum Cathari. Kaum Cathari menghabiskan hidup mereka dengan mencoba untuk menyucikan diri dari dunia material dan mencari dunia spiritual.[11] Kelompok ini sangat menarik bagi banyak penduduk Eropa pada saat itu karena hidup mereka sederhana, saleh dan jauh dari kemapanan seperti kebanyakan para biarawan dan imam saat itu. Namun, kelompok ini tidak menghayati sepenuhnya ajaran Gereja yang resmi dan benar.
            Paus Innocent menyadari bahwa semua orang Kristen harus mengikuti ajaran Kristen yang benar sesuai ajaran Magisterium. Semua kelompok dari agama Kristen yang menyimpang dari ajaran resmi Gereja ini disebut bidaah. Para bidaah ini pada akhirnya sedikit demi sedikit harus diminimalkan. Usaha yang dilakukan paus adalah mengirimkan para pengkotbah seperti jemaat Ordo Biarawan Putih dan para Dominikan. Mereka ditugaskan untuk meredam perkembangan ajaran bidaah kaum Cathari di kalangan umat Kristen. Usaha mereka ini sedikit banyak meredam perkembangan ajaran kaum Cathari. Namun ajaran bidaah ini tidaklah musnah seluruhnya. Paus Innocent merasa tak ada solusi lain dari mengatasi masalah ini kecuali mengangkat pedang untuk memerangi kaum bidaah.[12] Dia menyerukan kepada pemimpin Negara untuk membunuh para bidaah. Seruan ini sungguh merupakan seruan yang sangat tragis karena pemimpin tertinggi agama Kristen sendiri menyerukan perang dengan sesama Kristen.
            Seruan paus ini sungguh menimbulkan dampak yang sangat dahsyat karena beberapa pemimpin negara menanggapi seruan paus itu. Mereka mengejar para bidaah dan membunuhnya. Pada zaman itu masyarakat Eropa menyaksikan begitu banyaknya kaum bidaah yang terbunuh. Penyerangan terhadap kaum bidaah ini juga disebabkan karena rasa frustrasi terhadap kegagalan Perang  Salib untuk merebut Tanah Suci. Sehingga, kaum bidaah merupakan kelompok yang tepat untuk pelampiasan rasa frustasi itu.
            Para pengkotbah merupakan pejuang yang menyebarkan kabar keselamatan kepada orang non Kristen. Pada saat itu muncul suatu fenomena baru dari sekelompok biarawan baru yang didirikan oleh Fransiskus dari Asisi untuk mewartakan Injil dengan cara damai. Mereka telah jenuh dengan kekerasan dari Perang  Salib. Kelompok  Fransiskus ini menekankan kemiskinan dan hidup damai. Mereka memimpikan untuk mempertobatkan banyak orang dari segala golongan untuk menjadi pengikut Kristus. Fransiskus sendiri melakukan tindakan heroik dengan mewartakan Injil ke wilayah-wilayah muslim tanpa membawa senjata. Kaum muslim sungguh menghargai tindakan heroik dan damai ini. Namun, mereka tidak sudi mendengarkan ajaran keselamatan dan tawaran menjadi Kristen karena Fransiskus menghina Muhammad dan Islam. Pada tahun-tahun berikutnya, apabila bangsa Eropa menjajah suatu daerah; maka mereka juga membawa para misionaris dalam armada perang mereka.
            Para misionaris ini juga membawa budaya Barat dalam misi mereka. Tetapi harus ditegaskan bahwa mencoba untuk memaksakan agama Kristen Barat dan moralitas Barat pada masyarakat yang memiliki tradisi religius dan budaya yang cukup berbeda sungguh tercela, karena sikap ini berarti sama sekali tidak menaruh hormat pada tradisi-tradisi lokal.[13] Kita dapat melihat contoh dari budaya Timor Leste yang sungguh terpengaruh dari budaya Portugal. Para misionaris mempunyai keyakinan yang salah, yaitu ketika mereka meyakini bahwa budaya mereka adalah yang paling benar. 
             Banyak orang Eropa yang masih mengalami kerinduan untuk merebut kembali Tanah Suci. Kerinduan ini akhirnya muncul kembali ketika kaisar Frederick II memegang kekuasaan di Eropa. Bahkan banyak orang meramalkan bahwa Frederik adalah utusan Tuhan terakhir untuk merebut Tanah Suci ke dalam tangan orang Kristen. Dia mempunyai banyak keistimewan yang membuat paus dan banyak bangsawan untuk mengakuinya sebagai pemimpin duniawi yang hebat. Dia mempunyai keunggulan dalam hal diplomasi dan kebijaksanaan. Namun pada akhirnya, dia kurang dihargai karena persahabatannya dengan kaum muslim. Walaupun pada akhirnya, dia mampu merebut Tanah Suci dengan perjanjian damai.
            Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada tahun 1492 memurnikan Eropa dari kekuasaan muslim dengan menaklukan kerajaan muslim di Granada. Pemerintah Spanyol memberi tawaran  kepada para muslim untuk memeluk agama Kristen. Mereka juga memberi tawaran kepada kaum Yahudi untuk memeluk  agama Kristen sehingga pada jaman itu banyak orang Yahudi yang menjadi Kristen. Masyarakat yang tidak mau memeluk agama Kristen diusir dari Spanyol. Sehingga identitas Spanyol sebagai negara Kristen akhirnya menjadi murni.
            Kaum muslim dan masyarakat Yahudi akhirnya berpindah ke negara lain yang lebih bisa menerima mereka. Kaum Yahudi pada akhirnya lebih diterima di banyak daerah karena mereka ahli dan gesit bergerak dalam bidang keuangan. Sejak abad ke-16 dan seterusnya, kaum Yahudi memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pertumbuhan identitas kapitalis Eropa. Sumbangan kaum Yahudi terbukti amatlah berpengaruh penting bagi pembentukan karakter ekonomi Barat hingga masa kini.[14]
            Kehidupan Gereja pada abad ke-16 ditandai dengan munculnya para pembaharu, yang memunculkan Reformasi Protestan dan pembaharuan dalam Gereja Katolik sendiri yaitu Kontra reformasi. Masyarakat pada saat itu mulai menyadari bahwa keselamatan tidak hanya diberikan oleh hirarki Gereja. Setiap orang Kristen bertanggung jawab atas penyelamatannya sendiri dan bertanggung jawab untuk membatinkan kepercayaan religiusnya di tingkat yang lebih dalam.[15] Pemikiran ini timbul karena pengaruh semangat individualisme yang besar pada saat itu.  Konsekuensi langsung dari paham individualisme adalah kemandirian setiap pribadi. Setiap pribadi bertanggung jawab terhadap dirinya karena setiap orang mempunyai potensi untuk mengembangkan dirinya. Kita dapat melihat bahwa akar dari individualisme pada jaman sekarang berasal dari abad pertengahan.
            Christopher Colombus pada tahun 1492 berlayar menyeberangi Atlantik dan menemukan benua baru, yaitu Amerika. Pada saat timbulnya kekacuan di daratan Eropa banyak masyarakat Eropa yang bermigrasi ke benua Amerika. Mereka membangun komunitas masyarakat baru yang hidup mandiri.  Masyarakat baru ini melahirkan agama Kristen baru di Amerika. Mereka membagi-bagi daerah berdasarkan koloni-koloni dari negara asal. Pada tahun 1654, para pemukim Yahudi juga berangkat dari Eropa menuju Amerika. Kaum Puritan Inggris sangat menerima orang Yahudi. Kaum Yahudi diberi status kewarganegaraan penuh sebagaimana yang mereka miliki di Inggris. Kaum Yahudi amat cocok dengan kaum Puritan dan dengan sempurna masuk ke dalam sistem perkumpulan jemaat kaum Protestan Amerika.[16]
            Orang Amerika sangat dekat dengan orang Yahudi bahkan hingga pada jaman ini. Orang Amerika sebenarnya mengidentifikasikan diri mereka dengan kaum Yahudi. Sehingga ketika seruan dari Deklarasi Balfour yang mendukung kembalinya kaum Yahudi ke Yerusalem untuk mempercepat kedatangan kembali Mesias, Amerika sangat mendukungnya. Identifikasi ini mengabaikan kenyataan bahwa selama seribu tahun lebih, orang Islam telah tinggal di Yerusalem dan sekitarnya.
            Identifikasi kuat Amerika terhadap orang Yahudi merupakan salah satu faktor kuat tetap berdirinya Negara Israel. Negara Israel merupakan negara kecil di Timur Tengah serta sewaktu-waktu dapat mendapat ancaman dari Negara Arab di sekitarnya. Namun, bangsa Israel merasa dilindungi oleh Amerika. Ancaman pada Israel dapat dipandang sebagai ancaman bagi identitas Amerika itu sendiri dan sebagai luka bagi integritasnya. Pastilah Amerika memandang Israel sebagai alter-egonya di Timur Tengah.[17] Amerika Serikat tetap mendukung dan membantu Israel baik melalui bantuan finansial maupun latihan perang bersama.
            Karen Armstrong menyadari bahwa kepemimpinan dunia Kristen telah beralih dari Eropa ke Amerika Serikat. Perang  Salib dalam identitas Barat saat ini adalah suatu usaha untuk mewujudkan cita-cita mesianik, yaitu kedatangan Yesus yang kedua kali. Sehingga dukungan Amerika Serikat terhadap Israel yang terkadang terlalu berlebihan, timbul dari visi mesianik ini.
Bangsa Israel harus tetap berdiri dan dilindungi karena mereka adalah pewaris resmi tanah terjanji menurut Kitab Suci dan alasan untuk penantian kedatangan Kristus yang kedua kali. 
  
4.    ANALISIS DAN PENUTUP
Perang  Salib merupakan peristiwa besar yang pernah dialami tiga agama Abraham. Dari Perang  Salib inilah muncul benih-benih kebencian dan pertikaian yang tidak pernah berhenti. Karen Armstrong pun mengatakan bahwa Perang  Salib yang terjadi akibat seruan Paus Urbanus II sampai saat ini masih hidup dalam ketiga agama Abraham. Karen  melihat bahwa sampai saat ini akibat dari Perang  Salib masih ada khusunya dalam  diri kaum Yahudi dan orang-orang arab di Timur Tengah bahkan di  dunia Barat. Perang  Salib  di abad pertangahan masih mempunyai hubungan erat dengan konflik di Timur Tengah saat ini.[18]Sebelum melihat lebih dalam mengenai historisitas dan gagasan Karen dalam bab tentang Perang  Salib dan Identitas kaum Barat Dalam buku “Perang Suci” ini secara garis besar akan ditunjukan gagasan Karen Armstrong dalam seluruh isi buku yang dituliskannya.
Sebelumnya mari kita lihat siapa Karen Armstrong. Karen Armstrong adalah mantan biarawati dari tarekat Society of the Holy Child Jesus yang bergerak dalam bidang pendidikan. Karen  memasuki biara pada usia 17 tahun, usia yang cukup muda dalam usahanya mencari Tuhan. Kemudian ia kuliah di Kolese St. Anne’s, Oxford,  dan akhirnya meningalkan biara setelah ia mengalami pergulatan eksistensial tentang Tuhan. Ia banyak mengalami kegagalan dan musibah dalam hidupnya sehingga ia mengakhiri pencariannya akan Tuhan.  “Saya sudah selesai dengan Tuhan” merupakan kata-kata terakhirnya dan selanjutnya ia menjadi atheis.  Setelah pengalaman selesai dengan Tuhan ia menulis banyak buku di antaranya Through the Narrow Gate, Beginning the World, The Spiral Staircase, In the Beginning, Jerusalem, Crusade, The Battle for God, A History of God, Holy War, Muhammad, Islam, dan Buddha. Buku Perang Suci adalah salah satu karya yang pernah ia tulis. Ia menjadi menjadi ‘sejarawan’ dan mencoba mengungkap sejarah Perang  Salib yang terjadi lebih dari 1 abad yang lalu. Karen melalui buku ini ingin mengungkap sebuah kebenaran tentang sejarah Perang  Salib yang masih menyisakan  akibat sampai saat ini. Ia ingin menunjukan bahwa Perang  Salib bukan gerakan yang kecil pada Abad Pertengahan, baginya Perang  Salib adalah hal pokok bagi proses pembentukan identitas baru orang-orang Barat yang membuka jalan masa kini dan bertahan hingga kini. Perang  Salib menunjukan wajah terburuk  agama. [19] Berangkat  dari gagasan ini ia membuat riset tentang  bukunya Sejarah Tuhan. Ia juga ingin menunjukan gagasan dan visi yang kuat dan positif yang sama-sama ada dalam orang Yahudi, Kristen dan Islam.
Buku ini sepintas menarik jika kita gunakan sebagai referensi sejarah tentang agama-agama. Meski demikian perlu kita ketahui bahwa tulisan Karen ini yang semula diharapkan menjadi sesuatu yang mampu menjadi ‘tempat teduh’ bagi setiap pembaca dalam memahami tiga agama diatas, ternyata cukup memiliki kelemahan yang mungkin akan memicu konflik baru. Visi tiga sisi yang diharapkan menjadi gagasan yang mampu melihat perspektif agama secara seimbang ternyata justru tidak muncul. Karen secara jelas dalam buku ini begitu mendiskreditkan Kekristenan. Gagasan Perang  Salib yang diserukan Urban II sebagai reaksi Barat atas invansi tentara Saljuk dari Turki ke Tanah Suci seolah-olah olah menjadi penyebab atas permusuahan antara tiga agama Abraham yang terjadi hingga saat ini. Karen tidak melihat bahwa Perang  Salib memang gagasan Barat tetapi gagasan ini muncul sebagai reaksi, bukan aksi yang tanpa sebab. Reaksi mengandaikan ada sebab yang mendahului.  Atas dasar apa ia menulis seperti ini sejujurnya kurang begitu jelas. Pertama, ada indikasi kemungkinan besar ia mengambil referensi dari literatur Arab atau pengaruh dari pemkiran-pemikiran Arab yang membuatnya begitu tertarik dengan dunia Islam. Kedua,  karena latar belakang masa lalu, kekecewaan dalam pencariannya akan Tuhan dalam dunia ‘Kristen’ membuatnya berpikir ulang bawa pada dasarnya ia tidak percaya lagi akan segala yang pernah ia pikirkan ketika menjadi biarawati. Tulisan-tulisan mengenai pertempuran para tentara Perang  Salib digambarkan begitu kejam dalam tulisan-tulisannya, sehingga seolah-olah memberi gambaran bahwa tentara Perang  Salib dan Kekristenan itu begitu kejam dibandingkan orang-orang muslim. Dalam tulisan-tulisan sejarah yang lain gambaran Perang  Salib memang didominasi oleh perspektif kekristenan  tetapi tidak sekejam yang digambarkan oleh Karen. Jika dibandingkan dengan perang yang dilakukan tentara muslim kekerasan yang terjadi tidak begitu menonjol bahkan dalam salah satu bab ia menggambarkan perang yang dilakukan tentara muslim begitu sopan dan penuh damai, bahkan ia juga menunjukan dasar-dasar dari Alquran.[20]                   
            Karen begitu timpang dalam bercerita tentang situasi yang terjadi dalam Perang  Salib. Ada perbedaan yang sangat bertolak belakang dengan gagasan penulisan buku ini. Pada akhirnya dengan sangat jelas Karen menunjukan gagasan simpatiknya terhadap kaum muslim yang menjadi model perang yang tepat dan  gambaran tentang perdamaian. Antipatinya pada kehidupan membiara begitu menonjol ketika ia menceritakan Perang  Salib kedua yang di gerakkan oleh St. Bernard Clairvaux. St Bernard yang dalam tradisi Kristen digambarkan sebagai seorang saleh tetapi oleh Karen Armstrong  digambarkan begitu buruk karena latar belakangnya yang pernah menjadi tentara. Gambaran ini menjadi alasan yang masuk akal bahwa ia membenci salah satu bentuk hidup monastik. Salah satu peristiwa yang paling nampak jelas adalah ketika ia mengatakan bahwa, ‘kehidupan  seorang pendeta amatlah sibuk dan bersifat sosial dan kehidupan spiritualnya sebagian besar bersifat komunal dan liturgis. Tak cukup waktu untuk meditasi yang bersifat pribadi.’ [21] Kalimat ini ditujukan  sebagai satu kritik pada Bernard yang pada waktu itu menjadi abas dan digambarkan sebagai penguasa Prancis dan membuat raja tunduk dihadapanya. Pegalaman ini sepertinya merupakan proyeksi dari pengalaman Karen sendiri ketika ia menjalani hidupnya di dalam biara dan pergulatanya ketika tidak menemukan Tuhan dan pencerahan lewat doa. Ia memang mengalami kekeringan rohani pada waktu itu, sehingga ketika ia melihat Bernard sebagai aktor dibalik Perang  Salib ke dua, luka-lukanya hadir kembali. Ia mengatakan bahwa Bernard menghalalakan segala cara dan alasan kesalehan untuk mencari tentara Perang  Salib dengan kotbah dan alsasan yang suci. Kematian dalam membela Tanah Suci merupakan salah satu bentuk kemartiran yang paling indah. Tesis bahwa prang salib yang dikobarkan oleh St Bernard sebagai Perang  Salib yang paling religius, yaitu bahwa Perang  Salib sebagai upaya membunuh musuh-musuh Tuhan adalah kematian yang paling ideal pada akhirnya menjadi tidak jelas.  Ketika Karen menulis ini ia berada dalam posisi yang amat paradoksal karena disatu sisi ia mengatakan Perang  Salib yang di kobarkan oleh Bernard begitu saleh tetapi disatu sisi juga begitu terkutuk, karena mengorbankan nayawa umatnya demi alasan yang amat religius. Religius yang ia maksud tidak berangkat dari sebuah realitas kesalehan yang datang dari Allah seperti digambarkan dalam perangnya tentara muslim. Tetapi ‘religus’ sebagai sebuah sindiran yang berupa tuduhan bagi kekristenan, khususnya Bernard. Selain itu pada akhirnya toh terlihat bahwa perang yang diserukan Bernard tidak hanya sesuatu yang bermotiv religius tetapi justru politik, demi mempertahankan Tanah Suci. Pada akhirnya bab-bab berikutnya sangat jelas sekali bahwa gagasan perang sallib sebagai indentitas kaum Barat juga menjadi salah satu problem dalam tulisan ini. Banyak argument yang Karen tulis mengenai Perang  Salib menjadi dasar identitas kaum Barat. Baginya Perang  Salib bukan sekedar  kaitan analogis dengan konflik modern, tetapi  memiliki hubungan kausal. Argument yang cukup berani karena  dalam hal ini ia mencoba membuktikan hubungan kausalitas antara Perang  Salib dan konflik modern di dunia Barat. Argument ini diperkuat dengan tesisnya yang mengatakan bahwa ketika paus Urban II  menyerukan Perang  Salib pada Konsili Clermont, keadaan tiga agama besar di Tanah Suci relative rukun. Mereka cukup siap hidup berdampingan dengan kaum yahudi di Eropa walaupun dibawah kekuasaan kekaisaran Islam.[22]
Jika kita mau kembali melihat ke depan, bab-bab terdahulu, Karen mengatakan bahwa apa yang dituliskan diatas tidak sesuai dengan kenyataan. Perang  Salib adalah akibat dan reaksi, bukan sebab yang menelorkan sebuah aksi. Perang  Salib diserukan karena ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan orang-orang Yahudi, Kristen,Islam di Tanah Suci dan di Eropa. Klaim bahwa kehidupan mereka berjalan relative rukun dalam point ini tidak bisa dibenarkan. Kenyataan menunjukan bahwa para peziarah Kristen terancam dan Kekasisara Bizantium jatuh ketangan pasukan Turki. Bagaimana mungkin kerukunan bisa terjadi. Paragraph-paragraf selanjutnya dalam bagian ini dituliskan oleh Karen sebagai peristiwa yang menegrikan karena tentara Perang  Salib membantai komunitas Yahudi dan muslim dengan biadab demi menyelamatkan makam suci.
Cukup aneh jika pada waktu itu kehidupan mereka rukun. Sebuah pertanyaan besar mengapa Karen tidak memiliki sikap yang objektif dalam hal ini. Akibat dari peristiwa ini menurut dia kebiasaan atau kecenderungan anti-semitisme berkembang di Barat hingga saat ini. Kaum Barat yang dalam pandangan Karen sebagai anti-semitisme ini bagi kelompok di Timur Tengah diangap sebagai al-salibiyyah, yang ditandai dengan campur tangan mereka dalam urusan dalam negeri Timur Tengah. Dalam kacamata ini Karen melihat bahwa setelah abad kegelapan Eropa mencoba menjadikan Kristen sebagai penguasa dunia. Perang  Salib berhubungan erat dengan atusiasme baru dalam dunia Eropa. Perang  Salib bukan hanya pemujaan minoritas tetapi menjadi hal pokok dalam perkembangan identitas Barat.
Setalah Barat mulai maju dalam ilmu pengetahuan, muncul  sebuah reksi atas kemerosotan gereja mulai muncul, diawali Fransiskus Asisi yang mulai mewartakan injil dengan cara damai dan menonjolkan kemiskinan, kemudian reformasi Protestan dan reformasi-reformasi lainya di kalangan gereja Barat juga semakin melebarkan sayap dengan menyebarkan injil di daerah-daerah jajahan/ kolonialisasi. Mereka pergi ke Mesir dan daerah-daerah Asia.  Dalam konteks yang berbeda dengan Perang  Salib, menurut Karen ketika Barat pergi untuk menguasai negera-negara lain dengan membawa para misionarisnya diangap sebagai kelanjutan dari Perang  Salib. Mereka memaksa penduduk asli untuk menjadi Kristen dan menerima ajaran dan budaya Barat. Apa yang dilakukan oleh Barat ini membuat trauma Negara-negara Timur Tengah. Gagasan Karen dalam konteks ini benar secara historis, tetapi meski dimikian tidak menutup kemungkinan bahwa ia juga memiliki kesalahan interpretasi dalam aksi kolonialisasi Barat. Tujuan pertama mereka memiliki unsur politik bukan untuk melanjutkan Perang  Salib. Alasan utama mereka membawa misionaris pertama-tama bukan untuk mencoba mengkristenkan penduduk pribumi. Motif awal adalah pelayanan untuk para tentara. Dalam abad-abad pertengahan bisa kita lihat kebiasaan orang orapa ketika perang, mereka membawa biarawan atau Klerus bukan untuk mengkristenkan penduduk setempat yang belum menganut Kristen. Ada salah interpretasi dalam gagasan Karen mengenai keterlibatan para misionaris dalam perang kaum Barat.  Pemaksaan menjadi Kristen pada penduduk pribumi memang ada, tetapi itu adalah akibat lanjut dari perang bukan tujuan pertama dari perang itu. Karen dalam analisisnya cenderung mengklaim bahwa misionaris itu ikut serta dalam perang untuk melanjutkan Perang  Salib di masa lalu.
Kelanjutan dari Perang  Salib menurut Karen saat ini terepresentasikan  dalam diri masayrakat Amerika. Sudah sangat jelas bahwa Amerika adalah Negara adikuasa sampai detik ini. Kita juga tahu bahwa intervensi Amerika pada Negara-negara di dunia cukup kuat. Bahkan Israel yang dulu adalah bagian dari konflik Perang  Salib menjadi begitu dekat dimata Amerika. Dalam hal ini Karen melihat ada dua alasan kenapa Amerika memberi perhatian yang begitu dekat pada Israel. Pertama alasan politik dan ekonomis bangsa Yahudi menguasai sektor-sektor penting di Amerika, sehingga ada satu konsekuensi moral bahwa Amerika harus membantu dan berpihak pada Israel. Kedua, alasan religius, Amerika ingin mewujudkan cita-cita mesianik, dalam Deklarasi Balfour di serukan atas dukungan untuk mengembalikan bangsa Yahudi ke Yerusalem sebagai upaya mempercepat kedatangan mesias ke dua. Padangan Karen dapat dibenarkan tetapi kita perlu melihat apa latar belakang Amerika memiliki intervensi begitu kuat pada negara-negara di dunia.  Jika Karen melihat itu sebagai kelanjutan Perang  Salib sepertinya harus dijelaskan secara rinci latar belakangnya. Gagasan yang paling mendasar yang harus dilihat adalah bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika tidak pertama-tama sama seperti yang digambarkan oleh Karen. Kita tidak tahu Karen berangkat dari perspektif mana? mungkin klaim itu dijatuhkan karena Karen melihat kebencian pada Negara Timur Tengah datang dari Amerika. Sehingga Amerika dianggap sebagai penerus dari tentara perang  salib. Bahkan dalam tulisan awal dalam buku ini, Karen mengatakan bahwa benih-benih kebencian dari Perang  Salib telah dibawa oleh Cristoper Columbus ketika menemukan benua Amerika. Disini Karen melihat masa lalu, sedangkan argument yang layak seharusnya tidak dijatuhkan pada apa yang terjadi dimasa lalu. Jika argumen Karen ini dianggap sah seharusnya penilainya berangkat  dan dijatuhkan pada sekelompok masyarakat Amerika yang memang memiliki kebencian terhadap dunia Timur Tengah entah karena alasan politik atau stigma religius, bukan digeneralisasi menjadi kebencian yang datang dari orang-orang Amerika secara keseluruhan. Pandangan Karen cacat, karena ia jatuh pada gagasan yang mengeneralisasi penduduk Amerika sebagai pembenci negara Timut Tengah. Disinilah visi tiga sisi Karen menjadi tidak bisa diterima secara objektif.
Sebagai bagian akhir, secara singkat bisa dijelaskan bahwa apa yang dikatakan Karen Armstrong dalam buku ini memang memiliki argumen yang bisa dibenarkan, tetapi tidak semuanya. Ada beberapa bagian yang dirasa memiliki satu ruang ambigu sehinga jika pembaca tidak teliti  dan mengetahui sejarah Perang  Salib secara benar akan menimbulkan interpretasi yang negativ terhadap kekristenan. Pemikiran Karen tidak bisa dilepaskan dari latar belakang kehidupan pribadinya, maka untuk mengetahui jalan pikiranya dalam seluruh karyanya kita tidak bisa melepaskan dari apa yang pernah ia alami. Sebagai catatan pendek dalam buku Perang Suci ini, Karen terlalu mendiskreditkan kekristenan.
           
Sumber Bacaan
Armstrong, Karen, Perang Suci. Jakarta: Serambi. 2003
Berkhof. H, Dr, Sejarah Gereja, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,2000


[1]  Karen Armstrong, Perang Suci. Jakarta: Serambi. 2003. hlm 124-125
[2] Ibid hlm 581
[3] Lih. Berkhof. H, Dr, and D. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,2000, hlm. 82-83
[4]  Opcit hlm 579
[5]  Ibid 581
[6] ibid
[7] Loccit Sejarah Gereja hlm. 83
[8] Opcit Perang Suci. hlm.245
[9] Ibid hlm 132
[10] Ibid., hlm. 581.
[11] ibid, hlm. 606.
[12] Ibid., hlm. 609.
[13] Ibid., hlm. 637.
[14] Ibid., hlm. 718.
[15] Ibid., hlm. 720.
[16] Ibid., hlm. 738.
[17] Ibid., hlm. 811.
[18] Bdk: Karen Armstrong Perang Suci, hlm 579
[19] Ibid. hlm 12
[20] Bdk  hlm 403
[21]Ibid.  hlm 323
[22] Ibid. hlm580

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato