Pastoral OMK
Tantangan Pastoral Kaum Muda di Tengah Budaya Hedonisme
Oleh: Nanang Aris K
I. Pengantar
“Menjadi orang muda adalah menjadi manusia yang siap menerima apa saja yang diberikan dunia.” Begitulah kalimat yang pernah dilontarkan seorang kawan pada saya setelah ia pulang dari temu moderatores regio Jawa-Plus satu tahun yang lalu. Saya sempat berpikir apa maksud perkataan teman tersebut, mengapa orang muda harus menerima apa yang diberikan dunia? Apa yang akan dunia berikan untuk orang muda sehingga orang muda harus menerima, apakah tidak boleh menolak? Rupanya apa yang menjadi persoalan dalam kalimat teman saya itu adalah, orang muda saat ini atau nanti akan segera diserang oleh gelombang dasyat yang disebut dengan Globalisasi. Dengan begitu mudahnya orang muda akan segera terseret arus itu dan larut di dalamnya. Secara nyata yang saat ini sudah muncul adalah budaya hedonisme. Budaya dimana orang muda dibawa pada sebuah pencarian kenikmatan semata. Budaya hedonis menawarkan banyak pilihan yang sifatnya nikmat dan sesaat. Ditengah budaya semacam inilah pastoral kaum muda menjadi amat penting. Lebih dari itu pastoral Kaum muda juga menghadapi tantangan yang cukup berat. Hal senada juga dikatakan oleh ketua komisi kepemudaan paroki Hati Kudus Kramat Jakarta, “saya melihat kecenderungan itu ada.......tantangannya mengajak orang muda aktif terjun kemasyarakat menjadi berat karena mereka seringkali tertarik pada hal-hal yang bersifat hedonis.”[1]
Dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa hal-hal pokok yang berkaitan dengan situasi dan tantangan pastoral kaum muda. Diantaranya siapa kaum muda itu? Mengapa pastoral kaum muda itu dipandang penting dan perlu, apa pengertian budaya Hedonisme? serta apa relevansinya?
II. Siapa Kaum Muda?
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kaum muda mencakup anak-anak manusia dari bawah umur 15 sampai 24 tahun. Menurut UU Perkawinan RI, tahun 1974, kaum muda meliputi para muda-mudi yang sudah melewati umur kanak-kanak dan belum mencapai umur yang oleh UU diperbolehkan menikah: bagi pemuda minimal berumur 19 tahun dan bagi pemudi minimal berumur 16 tahun. Sedangkan dalam organisasi pemuda, kaum muda dapat mencakup semua muda-mudi yang berumur antara 15-40 tahun.[2] Dalam dekrit Vatikan II tentang kerasulan awam, ( Apostolicam Actuositatem art 12), memandang kaum muda sebagai kekuatan yang amat penting dalam masyarakat. Kaum muda adalah garda depan dan agen perubahan masyarakat. [3] Dalam Gaudium et Spes art 7 dikatakan juga bahwa kaum muda acap kali adalah orang orang yang kehilangan kesabaran, bahkan memberontak karena gelisah. Meski demikian mereka juga menyadari bahwa mereka memiliki jasa penting dalam masyarakat.[4]
Dari definisi-definisi yang tertulis diatas bisa disimpulkan bahwa kaum muda adalah pribadi yang berada dalam masa menuju sebuah perubahan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki kekuatan besar untuk bergerak maju mengadapi perubahan. Menurut Paus Yohanes Paulus II didalam diri kaum muda , ada potensi yang luar biasa untuk kebaikan dan kemungkinan kreatif.[5] Dalam pengertian yang sama maka pada intinya kaum muda tidak hanya masa depan, atau tonggak Gereja, melainkan kaum muda adalah masa depan Gereja itu sendiri. Merekalah simbol bahwa Gereja masih hidup, masih berdenyut dan memiliki harapan untuk tetap berkembang jauh kedepan. Tanpa kehadiran orang muda maka Gereja akan kehilangan kehidupanya bahkan akan mati.
III. Penting dan Perlunya Pastoral Kaum Muda.
Kaum muda adalah elemen yang menyusun kehiduan Gereja, maka kaum muda perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Gereja senantiasa menaruh harapan pada orang muda. Oleh karena itu dalam konteks ini peran yang bisa dilakukan oleh Gereja adalah mengupayakan sebuah pendampingan kaum muda atau pastoral kaum muda. Pastoral kaum muda merupakan salah satu bentuk atau wadah dimana Gereja sunguh-sungguh memberikan perhatian untuk kaum muda. Pastoral kaum muda dipandang penting dan perlu karena; pertama inilah usaha Gereja dalam mengembangkan dan mengaktifkan kehidupan kristiani dalam kehidupan kaum muda. Kedua, perhatian Gereja untuk kaum muda dan usaha penyataan yang khas bahwa kaum muda adalah tanda kehadiran Gereja di tengah dunia. Ketiga, Pastoral kaum muda adalah ungkapan hakekat dan tujuan misi Gereja untuk menghadirakan/merealisasikan misi keselamatan khususnya dalam diri kaum muda. [6]
Dari ketiga hal yang diungkapkan diatas sadar maupun tidak, pastoral kaum muda memiliki peran yang amat penting bagi perkembangan Gereja dan kaum muda sendiri. Pastoral kaum muda adalah salah satu cara untuk mengkikis keprihatinan Gereja selama ini atas hidup orang muda yang mudah terbawa arus dari kemajuan dunia. Dunia kaum muda adalah dunia yang penuh pencarian jati diri. Dalam situasi semacam ini kaum muda cenderung mudah sekali menerima perubahan yang datang dan ditemukan dalam pencarian akan jati dirinya. Proses ini adalah proses yang amat alamiah, namun kaum muda mempunyai kecenderungan tidak mampu bersikap kritis atas perubahan yang dijumpainya. Akibatnya kaum muda mudah terbawa arus tanpa mempertimbangkan dampak positif dan negatif atas perubahan itu.
Selain sikap yang demikian, kaum muda dinilai masih memiliki sikap-sikap yang positif. Harapan dan perhatian atas kaum muda atas sikap positif ini juga diserukan dalam Konferensi Para Uskup Asia ( FABC). Gereja Asia digambarkan sebagai benua kaum muda. Mereka mengakui bahwa ada kebangkitan kaum muda di Asia; mereka penuh idealisme, kesadaran dan kepedulian.[7] Ketika peran kaum muda dalam hidup mengereja tidak hanya dibicarakan dalam lingkup Gereja lokal melainkan Gereja universal, disinilah nampak sekali bahwa pastoral kaum muda dipandang memiliki peran dan nilai yang amat penting untuk kehidupan kaum muda.
IV. Pengertian Budaya Hedonisme.
Hidup manusia secara kodrati selalu diarahkan untuk mencari hal-hal yang menyenangkan dan mengejar kebahagiaan. Hal ini tidak bisa dipungkiri dan secara alamiah adalah hal yang amat wajar. Dalam mengejar proses ini selalu dibarengi hasrat untuk mencari kenikmatan. Kenikmatan ini bisa dalam bentuk banyak hal, bisa kenikmatan spiritual, material, intelektual, kenikmatan etis dan masih banyak kenikmatan yang lain. Pada intinya proses pencarian kenikmatan senantiasa mengerakkan segala kemampuan diri kita untuk mencapai suatu yang kita inginkan, dan pemenuhan akan nilai yang lebih tinggi.
Proses semacam inilah yang disebut dengan Hedonisme. Dalam bahasa Yunani kata kenikmatan adalah hedone. Selanjutnya dari kata ini maka muncul kata “hedonisme”. Dalam pengertian etis, hedonisme sebagai kenikmatan, khusunya kenikmatan pribadi, merupakan nilai hidup tertinggi dan tujuan utama dan terakhir hidup manusia.[8] Hedonisme dalam arti yang sebenarnya memiliki pengertian positif dan amat manusiawi. Sehingga bisa dikatakan tidak ada hal yang keliru dari pandangan ini. Dalam perjalananya apa yang pada hakikatnya baik ini direduksi, sehingga memiliki arti atau konotasi yang negatif. Pengertian yang baik ini berubah karena manusia memiliki kecenderungan untuk melupakan proses dari apa yang ia kejar, yaitu kenikmatan. Akibat lupa pada sebuah proses alamiah ini manusia jatuh pada sikap instan,atau dorongan untuk segera mudah dalam mendapatkan sesuatu. Maka dalam pengertian ini hedonisme mulai kehilangan maknanya.
Fenomena yang terjadi dalam diri kaum muda juga berada dalam kerangka yang sama yaitu dalam balutan budaya hedonisme. Kehidupan kaum muda sedikit banyak sudah mulai disusupi atau diwarnai dengan budaya hedonisme dalam pengertian yang negetif. Kecenderungan untuk mencari kebahagiaan hidupnya secara instan, memilih untuk menjadi penikmat, konsumeristis adalah tanda pengaruh itu sudah masuk. Maka jika kaum muda mendapat cap mudah terburu-buru atau tidak sabar dalam kapasitas ini bisa dibenarkan. Beberapa hal yang paling menonjol saat ini adalah mentalitas kaum muda yang jatuh pada sikap tidak kritis, individualis, konsumtis, matrealistis. Maka jika diurai lebih dalam sikap-sikap itu nampak dalam ciri-ciri sebagai berikut;
a. Ciri – Ciri dan bahaya budaya Hedonisme
Kaum muda adalah pribadi yang rentan dan mudah terpengaruh akan hal yang baru. Dalam point ini paling tidak ada dua ciri yang mewakili yaitu kematian sikap kritis dan individualis. Budaya hedonisme mengiring kaum muda pada kematian sikap kritis. Dari sekian banyak pertemuan kaum muda sikap tidak kritis seringkali di singgung. Kaum muda sat ini menjadi tidak kritis dibandingkan kaum muda yang hidup pada 2 atau 3 dasawarsa yang lalu. Orang muda memiliki gerak yang lambat dan kepekaan yang lamban akan situsi sosial,ekonomi dan politik. Budaya hedonisme juga membawa kaum muda pada sikap konsumeristis yang akut. Bayangkan berapa jam dalam satu minggu mereka menghabiskan watunya untuk pergi ke Mall atau pusat perbelanjaan dan berapa jam dalam satu minggu mereka menghabiskan waktunya untuk berkegiatan atau mengembangkan kereativitas pribadi? Kebiasaan konsumtif mendorong mereka untuk engan memproduksi sesuatu dan berkreativitas. Mereka lebih memilih menjadi penikmat dengan suka nonton, ngenet, belanja, konkow-konkow, atau yang paling baru kuliner dll. Sikap-sikap semacam inilah yang sedang menghimpit kaum muda saat ini sehingga kehidupan iman pun sekaan terlupakan dan terkena imbasnya.[9]
Dengan kemajuan teknologi informasi atau ICT yang begitu deras situsi kaum muda semakin diperparah. Akibat globalisasi dari arus informasi ini, kaum muda menjadi cenderung untuk bersikap individualis. Mereka lebih menyukai dunianya sendiri dari pada melebur dalam kegiatan sosial yang melibatkan orang banyak, kegiatan parokial dan kegiatan masyarakat. Dampak dari inernet dan sarana komunikasi seperti HP membuat kaum muda larut dalam kenikmatan yang sesaat. Dimensi asketis atas segala produk dari teknologi informasi menjadi hilang. Yang lebih mengerikan kesadaran akan fungsi alat-alat itu sebagai sarana penunjang tidak lagi menjadi penting, seolah-oleh alat-alat itu menajdi tujuan utama. Siapa yang saat ini tidak menegnal Face book, friendster, google dan black berry? Derasnya arus informasi seolah-oleh membiaskan antara kehidupan nyata dan maya, semuanya lebur dan kabur. Akibat lupa pada fungsi alat-alat tersebut maka muncullah paradigma baru dalam memandang hidup beriman bahkan cara memandang Tuhan. Sehingga tidak jarang praktek kehidupan spiritualpun dituntut untuk menyesuaikan dengan selera kaum muda. Kecenderungan untuk cepat mendapat sesuatu juga dipaksakan kaum muda dalam cara memandang Tuhan dan memperdalam hidup rohaninya. Semuanya didasarkan pada keuntungan dan kerugian, suka dan tidak suka, nikmat dan tidak nikmat. Padahal yang paling esensial adalah membangun sikap iman pada Allah sendiri tanpa ada embel-embel seperti diatas. Jika demikian hidup rohani atau nilai-nilai iman diibaratkan sebagai pasar yang harus memiliki nilai jual, dikemas secara menarik untuk kaum muda.
V. Tantangan Pastoral Kaum Muda dan Beberapa Strategi Yang Bisa Dilakukan.
Dari beberapa persoalan pokok yang muncul dalam budaya hedonisme maka yang menjadi hambatan terberat dalam pastoral kaum muda adalah sebagai berikut: Pertama akibat dari lemahnya budaya kritis kaum muda, pastoral kaum muda ditantang untuk mencari bentuk pastoral yang mampu membangunkan kembali budaya kritis dalam diri kaum muda. Hal yang paling mendasar khususnya yang berkaitan dengan sikap yang inovatif, produktif dan kreatif perlu mendapat perhatian. Sikap-sikap ini hendaknya dibangun supaya mampu membangun sikap kritis dalam diri kaum muda. Selain itu bisa diarahkan juga dalam usaha mengembangkan sikap dan kehidupan rohani, sehingga eleman rohani dalam hidup beriman sungguh hadir. Kedua derasnya arus informasi yang begitu memepengaruhi kehidupan kaum muda membuat pastoral kaum muda harus bisa menyesuaikan lebih keras dengan kehidupan kaum muda. Sebisa mungkin pastoral kaum muda juga memanfaatkan sarana komunikasi dengan segala perkembanganya untuk mendukung sarana pastoral.
Dalam pesan komunikasi sosial sedunia ke 43 Paus Benediktus XVI, mengatakan bahwa sebisa mungkin teknologi baru membantu manusia untuk berelasi dan memajukan budaya menghormati, dialog dan persahabatan. Daya dasyat media baru ini telah digenggam kaum muda dalam mengembangkan jalinan, komunikasi dan pengertian diantara individu. Lewat media baru ini orang-orang muda manjalin relasi dengan teman-teman baru, membangun paguyuban dan jejaring.[10] Meski demikian Paus juga mengingatkan supaya kita tidak terpukau dengan kecangihan dan nilai positif dari kemajuan media baru ini. Secara khusus Paus mengatakan kepada kaum muda yang memiliki hubungan sepontan dengan sarana baru komunikasi supaya bertanggung jawab juga terhadap evangelisasi, melalui benua digital ini. Ketiga akibat budaya hedonisme yang cenderung membawa kaum muda pada kenikamtan dan sikap-sikap konsumeristis dan individualistis kaum muda kehilangan sikap asketis atau ugahari. Sikap ini dipandang perlu karena mampu mengatasi kelekatan atau keterikatan pada sarana-sarana yang dihasilkan oleh media komunikasi. Sikap asketis menjadi cara untuk memberi kesadaran baru pada fungsi alat-alat komunikasi sebagai sarana bukan sebagai tujuan. Tujuan dari kehidupan kaum muda adalah menemukan Tuhan sebagai satu-satunya pegangan dalam hidupnya dan menjadikan dirinya tanda kehadiran Gereja.
a. Startergi Pastoral
Istilah startegi dimaksudkan sebagai pengarahan atau dasar pembinaan kaum muda. Maka ada dua hal besar yang menjadi acuan utama. Dua hal tersebut meliputi: pertama pembinaan kaum muda sendiri dan yang kedua adalah pembinaan bagi pembina kaum muda. Mengapa dipilih dua hal ini? Hal ini dipilih karena dua hal ini adalah unsur yang mendasar yang berkaitan erat dalam proses pastoral kaum muda.
Strategi pastoral yang ditawarkan pertama-tama diarahkan pada kaum muda sendiri. Dalam kerangka ini, maka strategi yang harus dibangun untuk pembinaan kaum muda adalah pertama-tama harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi kaum muda sediri. Yang pertama perlu dilakukan adalah pemetaan situasi.[11] Dalam proses pemetaan situasi ini yang perlu dicatat adalah mengenai bagaimana situasi kehidupan kaum muda, latar belakang, dan keadaan sosio kulturalnya. Pembinaan ini harus diarahkan pada pengalaman kaum muda sendiri, maka sifatnya adalah dialog atau reflektif, bukan indoktrinasi.[12] Konkritnya kaum muda tidak dibina dalam kerangkan sebagai objek tetapi sebagai objek. Kegaiatan yang menunjang misalnya; nonton film bersama dan refleksi, baksos ala kaum muda, menerbitkan majalah orang muda dalam sekup kecil dll. Pada intinya bentuk pastoral ini bisa dikemas dalam selera orang muda tetapi perlu diberi isi yang berkaitan dengan iman. Megemas antara iman dan kehidupan kaum muda dalam hidup konkrit memang tidak mudah maka perlu diupayakan dari pengalaman kaum muda sendiri. Kaum muda harus dirangsang untuk memiliki inisiatif pada bentuk pembinaan dan kebutuhan mereka.
Strategi pastoral yang kedua diarahkan pada pembinaan pembina kaum muda. Pembina perlu mendapat pembinaan supaya mampu menangkap situasi dan perubahan dalam diri kaum muda. Pembina harus pandai dalam membaca kehidupan orang muda. Ia tidak sekedar mendampingi. Tetapi juga menjadi teman dan patner dalam mengatasi persoalan-persoalan kaum muda. Konkritnya pembina kaum muda harus mengupayakan satu bentuk kehidupan yang khas untuk orang muda, yaitu kehidupan komunitas. Komunitas dipandang perlu untuk membina kaum muda, kerena melalui komunitas kaum muda berkumpul, berdoa, dan mengenal pribadi yang lain. Lewat sebuah komunitas pembina menjadi sarana untuk mencurahkan persoalan dan pengalaman kaum muda. Maka perlu tempat dan situsi yang mendukung. Komunitas menjawab kerinduan kaum muda untuk menajdi tempat berbagi, membendung sikap individualis dan menciptakan elemen kreatif dan inovatif.
Komunitas adalah jawaban untuk apa yang dibutuhkan orang muda.[13] Strategi ini mempu mengarahkan hidup kaum muda pada dimensi-dimensi rohani. Intergralisasi antara hidup dan iman harus dibangun. Iman membantu mengatasi dan mengarahkan persoalan-persoalan hidup. Iman juga memberi arti dalam hidup. Kesadaran bahwa mereka adalah anggota Gereja, tanda dan sarana yang menghadirkan Kristus nampak dalam hidup komunitas. Selain komunitas bentuk-bentuk model pastoral yang lain juga perlu dikembangkan untuk menunjang keberhasilan pembinaan kaum muda. Untuk para pembina kaum muda disarankan untuk selalu belajar dan berkumpul dengan pembina kaum muda dari tempat lain supaya memperkaya dirinya dalam pendampingan. Pendamping harus menjadi pribadi yang netral dan tidak memiliki kecenderungan yang sama dengan yang dialami kaum muda.
VI. Relevansi
Sadar maupun tidak sadar ternyata pastoral kaum muda amat dibutuhkan. Pastoral kaum berusaha mengarahkan hidup kaum muda pada pengenalan akan pribadi. Lebih dari itu secara khusus juga harus mengarahkan pada dimensi rohani sebagai umat beriman. Kaum muda dipandang sebagai tanda kehadiran Allah di dunia. Maka pembinaan kaum muda tidak melulu diarahkan pada pengenalan diri tetapi juga iman. Tetapi harus merupakan perpaduan antara iman dan hidup, yaitu bahwa iman memberikan orientasi tetap dalam proses pembentukan diri dan kepribadian. Pastoral kaum muda menjadi cara yang paling mudah untuk mendekati dan mengerti kehidupan kaum muda.
Oleh karena itu persoalan kehiduapan kristiani sebenarnya juga dapat dipetakan dan di lihat dalam kaca mata kehidupan kaum muda. Dari pengamatan pastoral kaum muda kita juga dapat memetakan persoalan yang terjadi juga dalam kehidupan kaum religius. Persoalan yang terjadi dalam diri kaum muda saat ini dialami pula para religius. Kamajuan teknologi informasi sedikit banyak juga membuat kehidupan kaum religius berada pada titik-titik kemunduran. Padahal religius adalah calon-calon atau bahkan pembina kaum muda. Jika calon atau pembina kaum muda juga mengalami persoalan yang sama dengan apa yang dialami kaum muda, lalu siapa yang akan mengarahkan kaum muda dan menjadi tanda kehadiran Gereja? Maka sebenarnya pastoral kaum muda juga menjadi sarana refleksi bagi hidup religius dijaman ini.
Tantangan-tantangan pastoral kaum muda juga menjadi tantangan dalam hidup para religius. Oleh karena itu nilai-nilai yang terdapat dalam pastoral kaum muda pada akhirnya tidak hanya diarahkan pada kaum muda saja tetapi juga untuk orang banyak pada jaman ini. Kesadaran bahwa nilai iman sebagai sesuatu yang esensial, harus kembali dipulihkan dan dinyalakan. Kesadaran akan fungsi alat-alat dan kemajuan dunia sebagai sarana dalam menunjang hidup hendaknya dibangun supaya budaya hedonisme semakin menyebar.
Tulisan ini secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tantangan pastoral kedepan tidaklah ringan dan harus menghadapi berbagai bentuk budaya-budaya baru yang sedang berkembang, seperti hedonisme. Dampak dari hedonisme adalah matinya sikap kritis dan muncul sikap individualis. Oleh karena itu kesadaran akan nilai iman harus mulai dibangun dalam diri kaum muda, dengan memulai menyusun startegi pastoral yang komprehensip. Startegi ini paling tidak dapat diarahkan pada dua hal yang paling mendasar, pembinaan kaum muda sendiri dan pembinaan pembina kaum muda.
Sumber Bacaan
B.S Mardiatmadja, “ Beberapa Catatan Teologis Sekitar Masalah Kaum Muda” dalam Jurnal Orientasi, Bergumul Dengan Masa Depan, Yogyakarta: Kanisius,1985.
Dan, Gomez, Filipe, “The FABC and Youth dalam East Asian Pastoral Review”, no 1, Vol XXII, 1985.
Dok FABC 1970-1991, KWI: Jakarta ,1995 .
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardiwiryana, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.
Firmanto ,A. Deny (ed),OMK Indonesia dalam Pusaran Globalisasi, Malang: STFT Widya Sasana 2007.
Mangunhardjana, A. Isme-Isme dalam Etika dari A-Z, Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Mangunhardjana, A.M. Pendampingan Kaum Muda, Yogyakarta: Kanisius,1986.
Novita, Martha dkk, OMK Kurang Terlibat, dalam majalah Hidup No.13, Thn ke-63, 29 Maret 2009.
Pesan Paus Benediktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia ke-43, dengan tema “Teknologi Baru, Relasi Baru: Memajukan Budaya Menghormati, Dialog dan Persahabatan”.Komsos KWI, 24 Mei 2009.
Prihatanto, Kukuh, M.A.P; Mimbar, Altar, Pasar, Yogyakarta: Lamarera.2007.
Shelton, Charles M.Moralitas Kaum Muda,Yogyakarta:Kanisius,1988
______________Spiritualitas Kaum Muda, Yogyakarta:Kanisius,1987
Widodo ,Adi Sapto dalam diktat Pastoral kaum muda bagian I, 2009
Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Pintu Harapan , Jakarta: Obor,1995.
[1] Martha Novita dkk, OMK Kurang Terlibat, dalam majalah Hidup No.13, Thn ke-63, 29 Maret 2009 hlm 13
[2] A.M. Mangunhardjana, Pendampingan Kaum Muda, Yogyakarta: Kanisius,1986. hlm 11
[5] Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Pintu Harapan , Jakarta: Obor,1995. hlm 152-163
[6] Bdk Rm. Adi Sapto Widodo dalam diktat Pastoral kaum muda bagian I hlm 1
[7][7] Bdk Dok FABC 1970-1991, KWI: Jakarta ,1995 hlm 22-26; atau lihat juga Dan, Gomez, Filipe, “The FABC and Youth dalam East Asian Pastoral Review”, no 1, Vol XXII, 1985.
[8] A. Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A-Z, Yogyakarta: Kanisius. 1997.hlm 91
[9] Bdk Bertold Pareira, “Banjir Kenikmatan dan Pembinaan Kaum Muda Suatu Pelajaran dari Kitab Suci”, dalam A. Deny Firmanto (ed),OMK Indonesia dalam Pusaran Globalisasi, Malang: STFT Widya Sasana 2007.
hlm 66.
[10] Bdk Pesan Paus Benediktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia ke-43, dengan tema “Teknologi Baru, Relasi Baru: Memajukan Budaya Menghormati, Dialog dan Persahabatan”.Komsos KWI, 24 Mei 2009.
[11] Bdk AA 12
[12] Bdk B.S Mardiatmadja, “ Beberapa Catatan Teologis Sekitar Masalah Kaum Muda” dalam Jurnal Orientasi, Bergumul Dengan Masa Depan, Yogyakarta: Kanisius,1985, hlm 166.
[13] Benny Phang op.cit hlm 176
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!