New Age
Spiritualitas Dalam Gerakan New Age
dan
Tinjauan Kritisnya Menurut Iman Kristiani
1. Pengantar.
Gerakan New Age seringkali dipandang oleh banyak orang maupun New Agers sendiri sebagai satu gerakan spiritualitas.[1] Gerakan ini menandai fenomena kebangkitan spiritualitas di jaman modern ini, terutama di Amerika , Inggris dan negara lainya termasuk Indonesia. Spiritualitas yang diusung dalam gerakan ini, tidaklah murni sebagai spiritualitas baru, tetapi mengambil dari sekian banyak spiritualitas dari aliran kepercayaan dan agama yang sudah ada, terlebih mengarah pada agama atau pemikiran timur. Pengaruh gerakan ini begitu kuat mengakar pada diri orang-orang yang merindukan ketentraman jiwa atau kedamaian batin. Bahkan tidak menutup kemungkinan gerakan ini juga masuk dalam umat kristiani.
Melalui tulisan ini diharapkan kita semua menjadi lebih kritis dan tidak terburu-buru untuk ikut arus gerakan ini dan terlalu dini menjustifikasi aliran ini sebagai sesuatu yang sesat serta bertentangan dengan Kristianitas. Untuk memahami “isi” dari gerakan ini, kami mencoba untuk menguraikannya dari perspektif “spiritualitas”, yang akan dipaparkan nati pertama-tama adalah pandangan umum apa itu spiritualitas, kemudian pengertian spiritualias dan konsep mengenai Yang Ilahi/”Allah”, kemudian konsep tentang manusia, serta hubungan manusia dan Allah dalam gerakan New Age ini. Kemudian hal yang sama juga akan dipaparkan dari sudut pandang kristiani. Yang terakhir akan dipaparkan pula tinjauan kritisnya menurut iman kristiani sehingga menolong kita untuk melihat sisi positif dan negativ Gerakan New Age ini.
2. Pandangan umum mengenai spiritualitas
Spiritualitas adalah istilah yang agak baru yang menandakan kerohanian atau hidup rohani. Kata ini menekankan segi kebersamaan, bila dibandingkan dengan kata yang lebih tua yaitu kesalehan yang menandakan hubungan orang perorangan dengan Allah. Selain itu spiritualitas dapat diterapakan pada aneka bentuk-bentuk hidup rohani, misalnya spiritualitas modern atau spiritualitas kaum awam. Spiritualitas mencakup dua segi. Yakni askese atau usaha melatih diri secara teratur supaya terbuka dan peka pada sapaan Allah. Askese menandakan jalan dan mistik tujuan hidup keagaman manusia[2].
Dalam Kristianitas spiritualitas dikenal sebagai gerakan menuju Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus. Kata ‘spiritualitas’ sendiri berasal dari St. Paulus yang menggunakan kata pneumatikos, dalam hal ini berarti apa pun yang mendapat ciri atau dipengaruhi oleh Roh Allah.[3] Menurut Hans Urs von Balthasar, Spiritualitas adalah sikap dasar praktis atau eksisitensial manusia yang merupakan konsekuensi atau ekspresi dari cara bagaimana ia mengerti eksisitensi keagamaannya. Dengan kata lain eksisistensi-eksistensinya, dalam ia bertindak atau bereaksi secara tetap dalam seluruh hidupnya menurut tujuan dan pemahaman-pemahaman serta keputusan-keputusannya yang dasariah.
Definisi di atas menampilkan unsur-unsur pokok pengertian umum spiritualitas. Pada awalnya, ia mendasarkan bahwa spiritualitas berkenaan dengan sikap dasar manusia, entah sebagai individu ataupun kelompok. Sikap dasar tersebut terbentuk dan didasari oleh sistem nilai mutlak agama (atau idiologi) yang dianut. Perkembangan selanjutnya, definisi ini berkembang menjadi tidak terbatas hanya pada hidup batin, melainkan menyangkut keseluruhan tingkah laku manusia pada setiap saat dalam kehidupannya. Manusia sebagai subyek spiritualitas tetaplah satu roh dalam dunia atau roh badani tersendiri. Dimana rohnya merupakan aspek sentral, dan ini berarti bahwa dia berada dalam sesuatu hubungan dengan “Yang Lain” yang transenden, walaupun Yang Lain itu hanya dibayangkan atau realitasnya sungguh disangsikan. Spiritualitas merangkum apa yang terdapat dalam budi manusia, bagaimana itu dipikirkan dan bentuk pengungkapannya dalam hidup sehari-hari seseorang. Semua itu dilandasi dan berorientasi kepada Yang Transenden, yang oleh manusia disadari memanggilnya secaara total dan tanpa syarat.[4]
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya spiritualitas itu hendak berkata mengenai sebuah relasi personal dan transenden. Relasi antara manusia dengan Allah yang senantiasa diwujudkan dalam praktek atau keseluruhan tingkah laku setiap manusia untuk menemukan yang ilahi dalam hidupnya sehari-hari. Didalamnya terangkum keseluruhan sikap batin dan perilaku hidup setiap manusia yang selalu mengarah kepada sesuatu yang lebih tinggi atau transenden.
3. Spiritualitas dalam Gerakan New Age
3.1. Spiritualitas
Dalam terminologi New Age, spritualitas berarti mengalami status kesadaran yang dikuasai oleh rasa harmoni dan lebur dengan Sang Keseluruhan[5]. Spiritualitas New Age mengarah pada pengalaman batin dari keterpaduan atau harmonisasi dan kesatuan dengan keseluruhan realitas yang menyembuhkan orang dari perasaan ketidak-sempurnaan dan keterbatasanya. Spiritualitas dalam pengertian ini lebih memiliki tujuan fungsional yang mengarah pada diri sendiri. Sehingga pendekatanya terletak pada kekuatan-kekuatan kosmis atau alam semesta. Orang menemukan relasinya yang kuat dengan energi yang ada dalam alam semesta, yang merupakan inti dari segala kehidupan. Ketika mereka sudah menemukan keterkaitannya dengan alam ini, maka mereka dapat melangkah di jalan menuju kesempurnaan, dimana mereka mampu melepaskan relasinya dengan dunia dan mengambil tempat dalam proses menjadi universal[6].
Spiritualitas dalam New Age memiliki dua unsur, yaitu unsur metafisis dan unsur psikologis. Komponen metafisis berasal dari akar-akar New Age yang esoteris[7] dan teosofis[8], yang pada dasarnya bentuk baru dari gnosis. Sedangkan komponen psikologisnya datang dari perjumpaan antara budaya esoteris dan psikologi. Maka New Age menjadi “sebuah pengalaman dari transformasi psyko-spiritual pribadi, dilihat sebagai yang analog dengan pengalaman rohani”. [9]
Seorang komponen penting dalam New Age, David Spangler, melihat bahwa spiritualitas New Age semacam narcisisme spiritual atau mistisme-gadungan, karena ia menganggap para new ager hidup dari fantasi mereka pada petualangan dan kekuasaan,yang umunya berbentuk occult dan millenarisme. New Age menjadi tempat kekuatan-kekuatan psikis dan misteri occult, tempat konspirasi-konspirasi dan ajaran-ajaran rahasia[10].
Praktek-praktek yang menjadi sarana untuk mewujudkan spiritualitas itu bisa kita lihat dalam praktek-praktek seperti channeling, bola kristal, penyembuhan holistik, enagram dll. Dengan melakukan praktek-paraktek itu diharapakan orang menjadi terbantu untuk menemukan atau mendapatkan energi yang mampu membawa kesembuhan dan menentramkan jiwa. Dengan cara pandang yang amat sederhana kita bisa melihat bahwa dari parktek-praktek itu spiritualitas New Age mengandung unsur-unsur sinkretisme, dan pada dasarnya gerakan New Age sendiri mendapatkan spiritualitasnya dengan mencampuradukkan berbagai macam spiritualitas yang berbeda-beda, dari berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Mereka berpendapat bahwa tradisi spiritual lintas agama ini tidak hanya mengobati kegersangan spiritual yang sudah lama hilang dari agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Age ke arah terwujudnya Universal Religion.
3.2 “Yang Ilahi” dalam Gerakan New Age
Seperti telah disebutkan diatas bahwa gerakan New Age ialah gerakan yang mengambil atau menggabungkan berbagai macam spiritulitas, sehingga dalam visi spiritualnya, bercampurlah berbagai macam aliran keagamaan dan kepercayaan. Akibat dari banyaknya unsur-unsur dari berbagai macam aliran ini konsep ‘Yang Ilahi’[11] dalam New Age menjadi kabur. New Age memandang ‘Yang Ilahi’ sebagai keseluruhan semesta. Yang ilahi dipahami sebagai hakekat terdalam dari realitas. Dalam hal ini pengaruh panteisme begitu kuat sehingga apa yang disebut “Allah” dalam agama-agama monoteisme tidak ada dalam New Age.
Pada dasarnya panteisme berprinsip pada all is God and God is all[12]. Allah itu ada dalam segalanya dan sebaliknya dalam segala sesuatu itu dianggap sebagai Allah. Dalam point ini bisa dijelaskan bahwa Allah itu tidak dimaksudkan sebagai pencipta dan segala sesuatu seperti alam dan seluruh isinya ini sebagai ciptaan. Sehingga Allah bukan pencipta dan penyelenggara, bukan juga sebagai Allah yang personal dan transenden, melainkan Ia sebagai suatu ‘energi impersonal imanen dalam dunia dan membentuk kesatuan kosmik[13]. “Yang Ilahi” dalam New Age pada kenyataanya adalah suatu eksistensi khusus atau komponen dari kosmos, yang merupakan kekuatan-hidup atau jiwa dari dunia. Keilahian dapat ditemukan dalam segala sesuatu, dari kristal yang paling bawah sampai diluar jagad raya. Ia bukan manusia tetapi suatu “Kesadaran Agung”.[14]
Jika Allah itu adalah kesatuan kosmik maka konsekuensinya Allah itu adalah bagian dari realitas yang hadir bersama manusia, dengan kata lain Allah tidak memiliki arti apa-apa secara metafisis. Allah adalah bagian dari pengalaman keseharian manusia yang tidak punya nilai yang lebih tinggi. Kesatuan inilah yang disebut panteistik, akibatnya Allah diletakkan pada segala sesuatu yaitu segala ciptaan. Konsep ini begitu kuat mempengaruhi para New Ager, sehingga ketika setiap orang sudah mencapai tingkat kesadaran tertentu pada alam semesta mereka menemukan dan mengalami pencerahan atau kesempurana penuh.
Pandangan lain tentang Yang Ilahi juga tidak diletakkan pada Kristus. Kristus dalam pandangan New Age adalah bagian dari alam semesta yang memiliki kesamaan dengan tokoh-tokoh historis yang lain seperti Budha, Muhammad, Avatar dan lainya. Yesus adalah emanasi dari yang ilahi, ia percikan bukan Yang Ilahi itu sendiri. Pada intinya Kristus bukan dianggap sebagai Allah yang turun dari Bapa. Ia adalah manusia biasa yang karena memiliki tingkat kesadaran yang tinggi melihat dirinya sebagai yang ilahi sehingga Yesus seringkali dilihat sebagai gambaran manusia yang mencapai kesadaran spiritual yang tinggi. Maka Yesus sebagai penyelamat tidak pernah ada.
3.2 Konsep Manusia dalam Gerakan New Age
Berangkat dari gagasan Nietszche kita bisa melihat bagaiaman konsep manusia itu dapat dipahami dalam gerakan New Age. Ketika Nietszche mengatakan bahwa ‘Tuhan telah mati’, maka secara otomatis manusia ditinggal sendiri, ‘tanpa Tuhan’. Manusia sendirian dan dalam kesendirian itulah manusia menemukan kemandirianya. Karena Tuhan telah mati maka manusia bebas melakukan sesuatu tanpa ada yang mengatur. Dari gagasan inilah manusia mulai melihat dirinya sebagai tuhan dalam dirinya sendiri. Ketika tuhan tiada maka yang menjadi penguasa atas alam semesta adalah diri sendiri. Kini waktunya ketika Allah harus diletakkan pada tempatnya, yaitu didalam manusia, dan tidak mustahil untuk melakukan itu. Kita adalah Allah secara tersamar[15]. Dalam naskah klasik New Age dikatakan bahwa “manusia dimaksudkan untuk memikirkan dirinya adalah allah. Allah tidak usah dicari di luar dunia, tetapi di dalam kedalaman diri saya”. Ketika “Allah” ini adalah sesuatu di luar saya, ia ada untuk dimanipulasikan[16].
Konsep all is God and God is all, muncul lagi dalam konsep manusia. Manusia adalah Tuhan, jika demikian maka apalah artinya pencipta dan ciptaan. Dalam point ini ada satu perubahan kesadaran dari yang dulunya manusia sebagai ciptaan sekarang sebagai’pencipta’. Manusia adalah co-creator dan manusia menciptakan sendiri kenyataan keberadannya. Dengan kata lain pengagungan kemanusiaan ini menjungkirbalikkan hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan.
Manusia adalah ilahi secara kodratnya, ketika mereka mampu melihat kemampuan yang ada pada dirinya ia akan mencapai kesatuan dalam hidup, kasih dan perkembangan diri, tujuan akhir manusia adalah memenuhi kebajikan manusia itu sendiri[17]. Manusia sendirilah yang memenuhi segala sesuatu yang menyangkut dengan kehidupannya, dalam suatu visi dimana setiap pribadi dipandang sebagai sumber yang berdaya-cipta dari jagad-raya ini. Oleh karena itu manusia harus menempuh suatu perjalanan untuk mengetahui kedudukan kita dalam kesatuan seluruh kosmos ini. Perjalanan ini adalah psikoterapi dan pengenalan diri dari kesadaran universal, inilah keselamatan[18].
Identitas manusia dilarutkan ke dalam “berada secara universal” tersebut ke dalam proses reinkarnasi yang progresif . Manusia tunduk pada pengaruh binatang-binatang, namun manusia tetap terbuka bagi keilahian yang hidup di dalam diri mereka dan dalam pencarian terus-menerus untuk mendapatkan harmoni yang semakin sempurna antara dirinya dengan energi kosmik-ilahi. Yang diperlukan manusia adalah pengalaman keselamatan yang tersembunyi dalam diri manusia. Pengalaman keselamatan ini didapatkan melalui penguasaan teknik-teknik psiko-fisik yang bisa membawa mereka ke pencerahan yang defintif. Oleh karena itulah dalam New Age manusia tidak membutuhkan Wahyu dan Penyelamatan. Tujuan pribadi manusia adalah serangkaian inkarnasi suksesif jiwanya ke dalam pelbagai tubuh berbeda-beda[19].
Dalam New Age terkandung suatu keyakinan mendasar mengenai manusia, yaitu “bahwa manusia dapat disempurnakan dengan banyak teknik dan terapi. Kesempurnaan yang dimaksud di sini yaitu mencapai pemenuhan diri, menurut suatu tata-nilai yang kita ciptakan sendiri dan yang dapat kita capai dengan kekuatan sendiri”[20].
Segi antroposentris secara amat mendasar menjadi gagasan yang dominan dalam hal ini. Proses pencarian dalam kesadaran manusia tidak pertama-tama tertuju pada Allah tetapi pada manusianya. Jika ‘dulu’ Allah itu yang menentukan dan manusia yang mengusahakan, sekarang justru sebaliknya, manusia yang menentukan dan Allah yang mengusahakan.
3.3 Hubungan personal manusia dan “Yang Ilahi” dalam gerakan New Age
Spiritualitas New Age secara eksplisit tidak mengarah kepada suatu pertemuan/persatuan dengan Allah yang transendent dalam kepenuhan kasihNya, melainkan lebih pada pengalaman yang ditimbulkan oleh suatu perasaan membiarkan kepribadian seseorang tenggelam di dalam samudra raya Sang Ada. Jalan pemurnian dalam spiritualitas New Age tidak mengarah pada hubungan personal dengan Yang Ilahi. “Jalan pemurnian ini didasarkan pada kesadaran akan ketidaknyamanan atau alienasi yang harus diatasi dengan tenggelam dalam The Whole”. Untuk mencapai hal ini seseorang harus mengikuti beberapa teknik yang membawa mereka pada pengalaman diterangi. Pengalaman ini akan membawa mereka pada suatu kesadaran seseorang dan membuka kemungkinan untuk berkontak dengan yang ilahi, dan yang ilahi itu dipahami sebagai hakekat yang terdalam dari realitas. Maka dengan kata lain, jalan pemurnian ini tidak mengenal konsep Allah sebagai pribadi dan “bergerak dari bawah”. Usaha-usaha yang dipakai untuk mencapai pengalaman religius yang immanentis ini merupakan usaha yang sepenuhnya bersifat manusiawi. Dimana mereka berusaha untuk mencapai keilahian dengan usahanya sendiri[21].
Jadi dalam pandangan New Age ada proses pendekonstruksian antara peran manusia dan “Yang Ilahi”. Dimana pencipta dan ciptaan tidak lagi dihadirkan dalam tatanan yang lebih tinggi dan lebih rendah, semuanya dianggap sebagai satu dan setara. Kosep kesatuan ini didasarkan pada konsep monism. Dengan demikian kesatuan atau persatuan itu tidak diarahkan pada satu pribadi yang lebih tinggi dalam hal ini Allah, tetapi semuanya dianggap sama dan sejajar. Kesatuannya lebih pada universalitas dari segala apa yang ada.
Pada akhirnya spiritualitas New Age memang berangkat dari hal-hal yang mengarah pada sinkretisme dan okultisme. Sehingga Allah tidak ditemukan sebagai pusat persatuan antara manusia dan Allah, sehingga pengalaman ‘mistik’ yang mereka sebut hanya sebatas fantasi dari dalam diri. Tidak jarang untuk membantu mengalami kesatuan dengan yang ilahi para New Agers juga memanfaatkan sarana pengetahuan misalnya: musik, ‘tangki samadi’[22] dan sebagainya yang justru menampakan kepalsuan mistik mereka. Persatuan dengan Allah tidak berangkat dari keseluruhan hidup mereka dalam memandang relitas dan Allah sendiri, seperti askese dan praktek-prektek matiraga pada jaman monastik. Impian mereka hanya pada kesatuan virtual yang pada akhirnya tetap membiarkan orang lebih sendirian dan tidak puas[23].
4. Spiritualitas dalam Iman Kristiani
4.1. Spiritualitas
Spiritualitas dalam iman Kristiani merupakan sebuah permenungan atas hidup Kristiani yang ditandai oleh doa, kebaktian dan disiplin. Di dalamnya peran pembimbing rohani dan Roh Kudus membantu pribadi-pribadi atau komunitas-komunitas untuk melangkah menuju ke suatu tujuan yang tertinggi[24]. Spiritualitas merupakan keinginan yang dilahirkan oleh iman pribadi serta kerinduan untuk semakin bersatu dengan Allah[25]. Dengan kata lain tujuan dari setiap spiritualitas yang ada dalam Gereja[26], memiliki satu tujuan yaitu persatuan dengan Allah, dan bukan sebuah spiritualitas yang mengarah pada kesatuan manusia dengan seluruh realitas. Selain itu spiritualitas Kristiani tidak terlepas dari bimbingan Roh Kudus, manusia tidak mencapai tujuan “spiritualitasnya” dengan usaha sendiri.
4.2. “Yang Ilahi” dalam Iman Kristiani
Konsep Allah dalam New Age berbeda dengan konsep Allah dalam iman Kristiani. Allah dalam iman kekristenan ialah sebagai pencipta langit dan bumi, sumber segala kehidupan personal. Allah adalah personal : Bapa, Putra dan Roh Kudus, yang menciptakan alam semesta dalam wujudnya yang personal. Ia dapat membagikan komunio hidupNya kepada setiap pribadi ciptaanNya. Allah tidak diidentifikasikan dengan sumber hidup yang dimengerti sebagai “roh” atau “energi dasar” alam semesta, tetapi Allah adalah cinta, yang benar-benar berbeda dengan dunia, namun Ia hadir secara kreatif dalam segala sesuatu dan membawa manusia menuju keselamatan[27]. Allah dalam iman Kristen bukan Allah yang impersonal, namun Ia adalah Allah yang transenden dan sekaligus immanen. Allah adalah Sang Pencipta dari alam semesta Ia ada di dalam alam semesta tetapi sekaligus mengatasi alam semesta.
4.3. Manusia dalam Iman Kristiani
Dalam konsep Kristiani manusia, pria dan wanita diciptakan Allah menurut citra dan gambaranNya ( Kej 1:27 ). Manusia hanyalah ciptaan, namun Allah sungguh-sungguh memperhatikannya[28]. Manusia bukan pusat segalanya, manusia merupakan bagian dari alam semesta. Pendekatan Kristiani tentang manusia berkembang dari Ajaran Kitab Suci mengenai kodrat manusia, yakni dalam Kitab Kejadian 1 :27, manusia diciptakan menurut citra dan rupa Allah. “Ia disempurnakan dalam panggilannya ke dalam kebahagiaan dan ia memiliki tugas untuk menyongsong penyempurnaan itu di dalam kebebasannya. Ia memakai seluruh kemampuan cita rasa dan rohnya sebagai sarana pertumbuhannya..…Dengan bantuan rahmat, ia tumbuh dalam kebajikan[29]. “Pribadi manusia adalah sebuah misteri yang hanya terbuka sepenunya di dalam Yesus Kristus dan pada kenyataannya ia menjadi manusiawi secara otentik terutama di dalam hubungannya dengan Kristus melalui penganugerahaan Roh Kudus”.[30] Manusia sejak pembuahannya diarahkan kepada Allah dan ditentukan untuk kebahagiaan abadi.
4.4. Hubungan Antara Manusia dan Yang Ilahi dalam Iman Kristiani
Bagi orang Kristiani hidup spiritual adalah suatu relasi yang personal dengan Allah -yang adalah pribadi- melalui rahmatNya dan terjadi secara bertahap, semakin lama semakin mendalam. Relasi yang personal dengan Allah ini juga akan memberikan cahaya bagi relasi kita dengan sesama dan dengan alam semesta. Hubungan yang personal dengan Allah ini mengarah kepada persatuan antara manusia dengan Allah, yang dicapai bukan dengan usaha manusia semata-mata tetapi juga dengan bantuan rahmat Allah. Persatuan dalam Teologi Mistik Kristiani adalah persatuan dengan Allah melalui cinta dan merupakan buah perjalanan cinta. Satu hal yang harus dipahami ialah, bahwa dalam mistik Kristen, persatuan bukanlah semata-mata hanya karena usaha manusia, namun lebih kepada rahmat Allah dan kehendak bebas manusia[31]. Dalam iman Kristiani, untuk mencapai persatuan dengan Yang Ilahi usaha manusia tidak menjadi sesuatu yang mutlak, karena unsur hakikinya adalah Allah yang turun kepada makhluk ciptaanNya. Ada teknik-teknik yang bisa dipelajari tetapi Allah dapat melewatkannya, dengan kata lain persatuan ini merupakan rahmat Allah. Namun tetap dengan suatu keyakinan bahwa manusia dapat ambil bagian pada kodrat ilahi[32].
Persatuan ini akan tercapai, jika manusia mau membebaskan diri dari segala sesuatu yang bukan kehendak Allah. Dalam kehidupan orang kristiani semua persatuan dengan Allah terjadi melalui Yesus Kristus. Melalui persatuan dengan Yesus Putera Allah, manusia juga dipersatukan dengan Allah Bapa-Nya yang akan mencapai puncaknya di akhirat : “pada hari itu kamu akan mengetahui bahwa Aku ada di dalam Bapa-Ku, kalian ada di dalam diriku dan Aku ada di dalam diri kalian” ( Yoh 14:20 ).[33]
5. Perbandingan Spiritualitas New Age dan Spiritualitas Kristiani
Konsep / Spirituaitas | Spiritualitas New Age | Spiritualitas Kristiani |
“Yang Ilahi” | X Energi impersonal imanen X Semuanya adalah Allah X Allah ada dalam kesatuan kosmik X Identik dengan energi dasar atau roh | X Pribadi yang transenden dan sekaligus immanen X Sang Pencipta alam semesta X Allah adalah ‘cinta’ |
Manusia | X Tuhan dalam dirinya sendiri X Manusia ilahi secara kodratnya X Manusia penentu kehidupannya sendiri X Manusia adalah segalanya dan dapat menjadi segala | X Diciptakan oleh Allah menurut citra dan rupaNya X Manusia bukan pusat segalanya X Manusia bagian dari alam semesta X Manusia bekerjasama dengan rahmat Tuhan dalam menentukan hidupnya |
Hubungan Personal manusia dengan Yang Ilahi | X Bukan pertemuan dengan Allah yang transcendent X Pengalaman yang bersatu dengan The Whole X Usaha untuk mencapainya adalah usaha manusiawi belaka | X Pertemuan dengan Allah yang transcendent X Bersatu dengan Allah sebagai pribadi, melalui Yesus Kristus X Usaha manusia bukan hal yang mutlak X Pengalaman persatuan ini adalah anugrah Allah |
6. Kesimpulan
Setelah melihat spiritualitas New Age dan tinjauan kritisnya kita dapat mengambil beberapa kesimpulan :
1. Spiritualitas New Age dan spiritualitas Kristiani secara “in se” berbeda, secara khusus dalam pendasaran teori dan tujuannya. Ada perbedaan haikiki antara ajaran New Age dan iman Kristen.
2. Satu segi positif dari spiritualitas New Age adalah membuat orang menjadi “pencari-pencari kebenaran yang serius”, meskipun pada akhirnya mereka tidak sampai pada kebenaran yang sejati dan terjebak dalam realitas diri
3. Kita harus lebih kritis dalam menyikapi fenomena New Age, karena meskipun terlihat tidak berbahaya, tetapi banyak hal dalam spritualitas New Age yang dapat membahayakan iman Kristiani. Oleh karena itu pentinglah mendalami ajaran iman Gereja.
4. Penting bagi setiap pelayan pastoral untuk mengerti setiap gejala yang terjadi dalam kehidupan setiap anggota Gereja, dan tahu bagaimana harus menyikapinya, sehingga umat tidak dibingungkan, bahkan disesatkan dengan gerakan-gerakan yang muncul dari gejala-gejala sosial yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Groothuis, Douglas R., Membuka Topeng Gerakan Zaman Baru, Jakarta: Stephen Tong Evangelistic Ministries International. 1996.
Jhonston, William, Mystical Teology The Science of Love, penterj. Willie Koen, (London : Harper Collins Publisher)
O’Colins, Gerald, SJ dan Edward G Farrugia, SJ, A Concise Dictionary Of Theology, penterj.I.Suhary, Pr, ( New Jersey : Paulist Press )
Rausch, Thomas P., Katolisime ; Teologi Bagi Kaum Awam, Yogyakarta :Kanisius.2001.
Seri Dokumen Gerejawi, Yesus Pembawa Air Hidup, Jakarta: Dokpen KWI.2005
Sumber Internet
http//www. Andrew Ministry, 2005.com, diakses tgl 2 September
http://www.duniaesai.com , diakses 13 Okt 2008
http//www. Musafir.wordpress. com, diakses 13 Oct 2008
[1] Bdk. http://www.aquariusage.com
[2] A. Heuken SJ,Spiritualitas Kristiani,Yogyakarta: Cipta Loka Caraka. 2002. hlm. 11
[3] Thomas P. Rausch, Katolisime ; Teologi Bagi Kaum Awam, Yogyakarta :Kanisius.2001.hlm 278.
[4] http//www. Musafir.wordpress. com; akses 13 Oct 2008
[5] Pontifical Council for Culture & Pontifical Council for Intrreligious Dailogue , Jesus Christ The Bearer of The Water of Life, A Christian Reflction on The New Age, diterjemahkan oleh R.P.G. Widyo Soewondo, MSC, (Jakarta: Dokpen KWI.2005), hlm.57
[6] Ibid,hlm 51
[7] “Sebuah pencarian kepada Yang Ada jauh mengatasi keberadaan yang terpisah-pisah ini” Ibid.hlm 52.
[8] “Sebuah istilah kuno yang semula dipergunakan untuk menunjuk kepada semacam mistisisme…cenderung bersifat monistis, dengan penekanan pada kesatuan hakiki dari komponen-komponen spiritual dan material dari alam semesta.” Ibid, hlm. 99
[9] Ibid, hlm.52
[10] Ibid,hlm.53
[11] “Yang Ilahi” Mengenai term ini untuk selanjutnya akan muncul term Allah, tetapi perlu dicatat dengan menyebut Allah kami tidak bermaksud mengatakan bahwa New Age memiliki konsep Allah. Penyebutan ini hanya untuk mempermudah atau memperjelas tentang paham “Yang Ilahi” yang dalam pandangan Agama monoteisme disebut atau digunakan kata Allah.
[12] http://www.duniaesai.com , diakses 13 Okt 2008
[13]Pontifical Council for Culture, opcit, hlm 40
[14] Ibid, hlm.61> “ Kesadaran Agung ini menurut kami adalah yang Ilahi, dan berasal dari gagasan manusia yang sampai pada satu kepenuhan kesadaran dirinya.”
[15] Douglas R. Groothuis, Membuka Topeng Gerakan Zaman Baru,Jakarta: Stephen Tong Evangelistic Ministries International. 1996. hlm. 23
[16] Ibid
[17] http//www. Andrew Ministry, 2005.com, diakses tgl 2 September.
[18] Pontifical Council for Culture, opcit, hlm.38
[19] Ibid
[20] Ibid, hlm.37
[21] Ibid, hlm.57.
[22] Semacam tempat meditasi berbentuk tabung yang ada di India
[23] Ibid, hlm.54.
[24] Gerald O’Colins, SJ dan Edward G Farrugia, SJ, A Concise Dictionary Of Theology, penterj.I.Suhary, Pr, ( New Jersey : Paulist Press ), hlm.304.
[25] A. Heuken SJ,opcit, hlm127
[26] Dalam Gereja Katolik ada berbagai aliran spiritualitas yang membangun Tubuh Kristus, misalnya spiritualitas Karmel, spiritualitas Vincentian, spiritualitas Ignasian, dsb. Namun semuanya memiliki pendasaran yang satu yakni iman akan Yesus Kristus.
[27] Seri Dokumen Gerejawi, opcit, hlm.61-62
[28] Ibid, hlm.64
[29] Katekismus Gereja Katolik, art 356.
[30] Ponticifical Council for Culture, opcit, hlm. 64l
[31] Bdk. William Jhonston, Mystical Teology The Science of Love, penterj. Willie Koen, (London : Harper Collins Publisher), hlm.282
[32] Ponticifical Council for Culture, opcit, hlm.57-58
[33] Bdk.ibid, hlm.285
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!