Moral (Kloning)

KLONING MANUSIA DITINJAU DARI MORAL KATOLIK
(Dalam Hubunganya Dengan Hukum Moral Kodrati)
Oleh Agustinus Nanang Aris K

Pengantar
            Abad 21 ditandai dengan begitu pesatnya kemajuan teknologi. Hampir semua segi kehidupan  tidak pernah lepas dari perkembangan kemajuan teknologi. Mulai dari segala macam sarana komunikasi dan eksperimen ilmu pengetahuan, rekayasa genetika, bioteknologi dan masih banyak lagi. Semua perkembangan itu mau tidak mau, tanpa kita sadari juga ikut mempengaruhi segala tingkah laku manusia.  Apa yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi membuat kita menjadi semakin berpikir apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Segala sesuatu dalam dunia teknologi dilihat sebagai suatu kemungkinan. Salah satu contoh yang dulu tidak pernah terpikirkan adalah penemuan tentang kloning. Kloning menjadi satu eksperimen terbaru yang begitu banyak diekspos di media massa. Kloning menjadi sangat menarik karena dalam poin ini manusia seolah-olah mampu menundukan alam dan merekayasa drama tentang kemahakuasaan Allah.  Keberhasilan ilmiah tentang kloning diawali pada 23 Februari 1997 ketika beberapa ilmuwan berhasil mengkloning biri-biri bernama Dolly. Eksperimen pertama terjadi dan dilakukan pada hewan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadi juga kloning manusia. Namun kloning pada manusia masih banyak menimbulkan kontroversi, karena kloning manusia tidak hanya menyangkut keberhasilan sebuah individu baru yang sama persis, tetapi lebih dari itu kloning manusia menyangkut banyak aspek yang harus ditinjau ulang secara lebih serius.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana kloning itu ditinjau dari sudut moral katolik dalam kaitnya dengan hukum moral kodrati. Manusia pada dasarnya melakukan reproduksi secara alamiah yaitu melalui hubungan seks. Maka jika kloning pada manusia itu dilakukan secara tegas menyalahi hukum kodrat dalam moral katolik. Gereja sampai saat ini masih berpegang teguh pada ajaran bahwa reproduksi manusia itu harus dilakukan secara alamiah, melalui hubungan antara suami, isteri.[1]  Selain itu segala bentuk penelitian atau eksperimen ilmu pengetahuan pada manusia harus mengarah pada penghormatan akan anugerah hidup dan martabat prokreasi.[2]  Dalam kaitanya dengan hukum moral kodrati dalam Donum Vitae, kloning  dinilai merendahkan martabat manusia, serta menyalahi kodrat alamiah manusia dalam berreproduksi. Selain itu manusia yang menjadi citra Allah itu akan semakin menjadi tidak jelas identitasnya. Kloning itu bukan lagi gambaran dari Allah, tetapi apa yang menjadi gambaran manusia. Manusia menjadi subjek penentu apa yang akan terjadi pada manusia baru yang ia ciptakan.

Pengertian Kloning dan Problematikanya
            Kloning berasal dari kata Klon (Yunani) yang artinya Tunas. Dari bahasa Yunani kemudian masuk ke bahasa Inggris menjadi Clone (dari kata kerja : mengklon), cloner ( kata benda: orang yang mengklon).[3] Dalam perkembangan sesudahnya kloning memiliki banyak sekali pengertian dalam masing-masing aspek penelitian biomendis. Ada dua kloning yang selama ini menjadi objek untuk eksperimen dalam ilmu-ilmu biomedis. Yang pertama kloning reproduktif, yang kedua kloning terapeutik.
Kloning reproduktif adalah kloning yang memiliki tujuan lengkap sebagi perkembangan lengkap embrio melalui implantasi dalam rahim, bisa juga dikatakan sebagai penganti reproduksi alamiah. Kloning terapeutik  menuntut pengunaan embrio tahap pra implantasi, biasanya untuk tujuan penyembuhan. Jika dipertegas tujuan dari keduanya adalah  untuk memperoleh keturunan manusia dan untuk merencanakan teknik yang lebih efektif untuk prokreasi dengan bantuan, dengan kemungkinan penerapan yang lebih besar dan lebih baik pada pasangan tertentu.[4]
Pembicaraan mengenai kloning tidak hanya berhenti pada keberhasilan pada eksperimen pertama kloning pada hewan yaitu domba Dolly di Edinbrug ( Skotlandia) yang dilakukan oleh Dr, Ian Wilmut dan  kawan-kawanya. Kloning masih memiliki banyak kontroversi. Keberhasilan kloning pada domba Dolly sendiri masih belum bisa dibuktikan apakah ia akan mampu  hidup secara sempurna seperti hewan lain yang dilahirkan secara alamiah. Dr Ian Wilmut dan  kawan-kawanya belum bisa memastikan apakah Dolly mampu menjadi  makhluk hidup baru yang lengkap dengan segala unsurnya.
Ketika kloning pada hewan masih belum bisa dibuktikan secara pasti bagaimana hidupnya selanjutnya, lalu bagaimana dengan kloning yang akan dilakukan pada manusia? Kloning yang dilakukanpada Dolly sendiri  memiliki kegagalan 97%  dengan mengambil ovum 432 buah dari 434 itu  yang berhasil 157 buah jadi bisa disimpulkan ia hanya mengklon 277 dan hanya 29 embrio yang bisa bertahan hidup, dari 29 itu yang bisa bertahan ketika ditanam di dalam rahim hanya 13,  kemudian dari 13 hanya 3 yang dapat  berkembang sampai dengan masa sebelum kelahiran.[5] Dari sini bisa dibayangkan bahwa keberhasilan kloning itu sangat  kecil. Jika ini diterapkan pada manusia berapa embrio yang akan mati dan tidak mendapatkan hak untuk hidup? Sampai pada poin ini Gereja melalui tulisan dalam Pontifica Academia pro Vita menegaskan bahwa kloning bertentangan dengan moral, kerena dalam kasus kloning berhadapan dengan “manusia” meskipun pada tahap embrio. Proyek “kloning insani” merupakan kesesatan paling parah akibat ilmu pengetahuan yang bebas nilai dan tanda keruntuhan yang mendalam  peradaban  kita, yang memandang ilmu, teknolgi dan “ kualitas hidup” sebagai pengganti makna hidup dan penyelamatannya.[6]

Kloning ditinjau dari hukum kodrat
            Dalam moral  katolik kelahiran setiap manusia itu harus selalu melalui reproduksi alamiah. Maka kloning sama sekali tidak dapat dibenarkan. Segala perbuatan manusia harus selalu didasarkan pada kodratnya sebagai ciptaan dan citra Allah, maka manusia harus bertindak selaras dengan kodratnya. Dalam  konteks ini kita menurut aksioma “ tindakan mengikuti keberadaan” , kewajiban moral manusia berasal dari kodrat keberadaanya dan ditakar menurut keberadaanya. Kodrat manusia dipahami dalam arti yang seluas-luasnya menyangkut seluruh unsur kodrati dan adikodrati.[7] Dalam tatanan moral setiap perbuatan manusia  diarahkan pada tujuan akhir manusia yang secara hakiki secitra dengan Allah. Sehingga dari pandangan ini manusia tidak boleh hanya memandang segala  sesuatu yang ada di dunia ini hanya didasarkan pada dirinya sendiri. Manusia memang memiliki kehendak bebas, tetapi kehendak bebas itu harus sesuai dengan makna dan apa yang telah dirancang oleh Allah. Kloning bukan bagian dari rencana Allah kerena hal itu adalah satu bentuk dari pilihan  dasar menusia yang berdasarkan kodratnya, melalui akal budinya.
             Akal budi adalah unsur hakiki dari hukum kodrati, maka setiap manusia diharapkan untuk mengunakannya sesuai dengan tujuan yang sebenarnya. Dalam hal ini hukum moral adalah sebagai rencana dan keputusan Allah sehingga apa yang terjadi dan timbul dari seluruh kegiatan akal budi, haruslah di lihat dan dipandang sebagai yang lebih kecil dari Allah. Sehingga kedudukan manusia sebagai ciptaan tidaklah lebih tinggi dari Allah. Oleh sebab itu jika hal ini dihubungkan dengan prektek kloning pada manusia, bisa dikatakan bahwa manusia yang menciptakan kloning itu berusaha untuk menyamakan dirinya dengan Allah. Jadi jika manusia  berusaha menciptakan manusia melalui kloning manusia, dengan sendirinya ia berusaha menjadi allah-allah kecil. Manusia itu bukan produk yang dibuat oleh kehendak manusia lain, dan para peneliti juga bukanlah allah-allah kecil yang bermain-main menjadi seperti Allah bagi manusia lain yang tak berdaya khususnya embrio, mereka adalah pelayan Allah  yang harus menghargai anugerah kehidupan.[8]
            Sebagai mana diuraikan diatas maka hukum kodrat dipandang sebagai hukum yang dapat diketahui tanpa wahyu kitab suci dengan akal budi kita sebagaima yang didefinisikan oleh St Thomas.  Karena hukum kodrat menyangkut akal budi, maka manusia memang diberi kebebasan. Namun kebebasan dalam hal ini tidak mengarah pada sesuatu yang sesuai dengan kehendak manusia, melainkan harus sesuai dengan  rencana Allah. Selain itu juga harus memperhatikan prinsip  pertama, yaitu yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus dihindari.
            Jadi jika kloning manusia ini  benar-benar terjadi khusunya dalam membantu proses reproduksi jelas sekali bahwa sebenarnya menyalahi prinsip pertama ini. Mengapa demikian? Karena Kloning sendiri justru tidak menghindari yang buruk dan tidak mengasilkan kebaikan yang sesunggunya. Secara lebih rinci apa yang menjadi akibat akan diuraikan dibawah, yang jelas dalam hal ini kloning sungguh bertentangan dengan hukum kodrat.
            Paus Yohanes Paulus  II pernah mengatakan bahwa segala eksperimen yang bertujuan melebih-lebihkan mutu atau keungulan manusia maka itu disebut kejahatan  terhadap martabat pribadi manusia.  Jika mengacu pada apa yang dikatakan Paus Yohanes Puulus II ini maka kloning tidak pernah dianjurkan jika tujuanya adalah untuk menemukan atau mendapatkan manusia ungul dengan metode rekayasa genetika, maupun kloning.
Pandangan  Gereja tentang kloning
            Gereja memandang kloning sebagai sesuatu yang tidak memandang hormat hidup manusia dan martabat prokreasi.  Secara moral Gereja menolak dan melarang praktek kloning dalam riset ilmu pengetahuan. Segala bentuk penelitian ilmiah harus pertama-tama menempatkan penghormatan akan anugerah hidup dan martabat setiap manusia. Kloning secara keras ditolak oleh Gereja kerena kloning memiliki tendensi pada pelanggaran akan martabat dan anugerah hidup manusia khusunya dalam hal prokreasi.
            Secara tegas Gereja mengatakan bahwa manusia itu ada dan diciptakan secara alamiah dari hubungan reproduktif antara suami dan istri. Embrio yang digunakan sebagai ekperimen kloning menyebabkan kerugian yang begitu besar, karena embrio yang memiliki hak hidup dan hak untuk dikandung dibiarkan mati dan tidak  dihargai hidupnya. Setiap embrio itu juga memiliki hak untuk dilahirkan secara normal. Penghormatan pada embrio adalah nilai paling dasar dalam hidup setiap manuisa. Paul Yohanes Paulus II dalam pesan hari Perdamaian Sedunia mengatakan” Hidup manusia tak dapat dipandang sebagai objek yang kita perlakukan sesukanya, melainkan sebagai realitas keduniaan yang paling suci dan tak tergangu gugat. Tak dapat ada perdaamaian bila nilai paling dasar ini tidak dilindungi. Kita harus menambahkan paraktek-preaktek rekayasa genetik yang tidak bertanggung jawab, seprti kloning, dan penggunaan embrio insani untuk riset, yang dibenarkan  dengan himbauan tak legitim akan kebebasan, kemajuan budaya, kemajuan umat manuisa. Apabila anggota masyarakat yang paling lemah dan paling mudah terlukai terkena kekejaman demikian itu, maka gagasan keluarga umat manusia, yang dibangun di atas nilai pribadi manusia, di atas kepercayaan, hormat dan dukungan timbal balik, mengalami kemerosotan yang berbahaya, peradaban yang dibangun atas dasar kasih dan perdamain harus melawan eksperimen itu, yang tak pantas bagi manusia.[9]
           
Kloning Menurut Donum Vitae
 Paus Yohanes XXIII, dalam ensiklik “Mater et Magistra” memaklumkan, “Penyaluran hidup manusiawi merupakan buah tindakan antar-pribadi dan sadar, dan justru karena itu harus mematuhi hukum-hukum Allah yang kudus, tidak boleh dilanggar dan tidak dapat diubah; tidak seorang pun boleh mengabaikan atau melanggarnya.” Dan yang terakhir, seorang anak mempunyai hak untuk dilahirkan. Masing-masing dari kita memikul tanggung-jawab untuk membela hak-hak ini bagi anak yang tak berdaya. Janganlah pernah kita tergelincir ke dalam pemikiran bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan anak bagaimanapun caranya, atau bahwa seorang anak adalah bagaikan sebuah obyek kepemilikan (“Donum Vitae,” II,8).[10]
Berdasarkan hak-hak seorang anak ini, Gereja menyampaikan ajaran moral berikut, yang secara istimewa membahas masalah kloning dan tindakan-tindakan sehubungan dengan teknik kloning: [11]

1.      Prosedur-prosedur yang dimaksudkan untuk intervensi pada warisan genetik seorang anak, yang tidak bersifat terapeutis, adalah salah secara moral. Upaya untuk memperbaiki suatu penyimpangan genetik, misalnya cystic fibrosis, secara moral diperkenankan, sementara memanipulasi struktur genetik untuk membuahkan manusia yang dipilih menurut jenis kelamin atau sifat-sifat lain yang ditentukan sebelumnya adalah salah. Upaya untuk menghasilkan “pembiakan” manusia melalui kloning, pembelahan anak kembar (= fixio gemellaris) atau parthenogenesis di luar konteks perkawinan atau pasangan orangtua adalah amoral. Manipulasi-manipulasi ini melanggar martabat pribadi manusia dan menyerang integritas serta identitas manusia. (bdk. Donum Vitae, I,6.)
2. Segala pengadaan manusia demi kepentingan eksperimen, riset ilmiah, atau demi mendapatkan organ-organ tubuh adalah salah secara moral. Tindakan-tindakan yang demikian merendahkan derajat manusia ke sekedar material biologis yang dapat dibuang. (bdk. Donum Vitae, I,5.)
3.      Riset atau penelitian medis macam apapun yang membahayakan kesehatan atau hidup seorang anak yang belum dilahirkan adalah salah secara moral. (bdk. Donum Vitae, I,5.)

Jika mau diringkas, apa yang dikatakan dalam Dunum Vitae, Nampak sekali Gereja memang tidak pernah menghendaki koning pada manusia. Terlalu besar resiko yang akan ditimbulakan jika kloning pada manusia beanr-benar dilakukan.



Bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat Kloning
Kloning memiliki bahaya  yang cukup signifikan khusunya bagi embrio yang akan ditanam di dalam rahim serta bagi yang mengandungnya. Bahaya kloning secara moral  adalah kita mudah kehilangan pandangan akan martabat manusia, dan kesakralan tindakan kasih suami-isteri dalam perkawinan. Kita menjadi manusia yang egois karena kita berusaha menuruti keinginan kita tanpa melihat makna cinta kasih Allah. Kloning secara psikologis juga mengaburkan identitas  priabdi manusia. Manusia hasil kloning akan mengalami kebingungan dalam menentukan siapa keluarga dan dari mana ia berasal. Dalam praktek kloning seringkali terjadi kematian pada embrio baik yang sudah ditanam maupun yang belum. Bahaya bagi yang mengandung juga sangat besar. Selain itu ada kemungkinan bahwa manusia hasil kloning tidak akan hidup secara sempurna sebagaiman  manusia yang dilahirkan secara alamia. Kloning juga akan membuat manusia tidak “berjiwa” karena pada dasarnya kloning itu berlaku pada sesuatu yang fisik dan tidak bisa mengkloning jiwa. Sangat besar kemungkinan ganguan kejiwaan terjadi.

Kesimpulan dan Refleksi
            Kloning  sebagai efek kemajuan teknologi jika ditinjau dari Moral Katolik adalah salah satu perbuatan moral yang tidak menghormati hidup dan martabat prokreasi. Apapun alasanya kloning reproduktif  pada manusia dipandang buruk oleh Gereja. Proses reproduksi manusia harus selalu dilakukan secara alamiah. Selain itu kloning juga memiliki bahaya-bahaya yang tidak kecil. Manusia pada dasarnya memang memiliki kehendak bebas berdasarkan kodratnya. Manusai bebas melakukan sesuatu dengan akal budinya, tetapi harus tetap berada pada rencana Allah. Segala sesuatu yang dilakukan  oleh  manusia haruslah  mengarah pada tujuan dan rencana Allah. Manusia tidak berhak mengambil keputusan yang melebihi keputusan Allah. kloning pada manusai membuat menusia seolah-oleh menjadi allah-allah kecil dan bermain-main dengan keMaha Kuasaan Allah.
Gereja melalui Donum Vitae dan Instruksi dari kongergasi iman begitu kuat meolak kloning. Maka dari sini bisa dilihat bahwa pada dasarnya kloning memang tidak memiliki keuntungan khusunya kloning reproduksi. Namun untuk kloning terapiutik masih dimungknkan karena mengarah pada kebaikan. Masih banyak alasan yang pada intinya memiliki tendensi untuk menolak segala praktek yang berkaitan dengan kloning.
            Bagi saya secara moral kloning khusunya kloning reproduktif merupakan perbuatan yang tidak tepat dan melangar prinsip-prinsip kebaikan. Oleh karena itu harus dihindari dan dihentikan. Cukuplah terjadi kloning pada Dolly di Edinbrug, dan bukan pada manusia. Bahwa yang sangat fatal karena anugerah hidup dan martabat prokreasi manusia tidak dihormati.  Sikap merendahkan anugerah hidup dan martabat prokreasi pada manusia secagai ciptaan Allah sama hal nya dengan menghinda Allah sendiri. Jadi jika kloning manusia benar-benar terjadi maka tidak hanya menimbukan sesuatu yang buruk tetapi juga mengarah pada dosa. Dosa karena koling juga membahayaakan dan tidak memperhitungkan embrio yang dijadikan sebagai objek penelitian. Kloning merampas hak embrio untuk dikandung dan dilahirkan secara normal. Kloning juga merampas identitas manusia, karena manusia yang dikloning tidak memiliki kejalasan akan asal-usul dan identitas dirinya secara utuh sebagaimana layaknya dikandung secara alami. Hidup itu berharga jika kita mengetahui dari mana kita berasal. Amen



















DAFTAR PUSTAKA

Ashley, Benedict  M. dan Kevin D. O’Rourke, Health Care Ethics: A Theological Analyisis, 4th Edition, Washington, D.C : Gerogetown University Press. 1997
Go,Piet,O.Carm Diktat Moral Fundamental, Malang: STFT Widya Sasana.2003
Heinz Pesche, Karl,  Etika Kristiani Jilid I dan III, Maumere: Ledelaro.2003
Instruksi Kongergasi Ajaran Iman “ Donum Vitae” Tentang  Hormat Terhadap Hidup Tahap Dini dan martabat Prokreasi” (DV) dalam Hormat Terhadap Hidup Manusia Tahap Dini, ter. Piet Go, O.Carm. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI.2006
Kusmaryanto, C.B,  Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo. 2001
Kloning, ter, Piet Go, O.Carm. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI. 2006
Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, ter, R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1996
www.indocell.net/yesaya Romo William P. Saunders Kloning Manusia: Mengapa Amoral? Akses 23 Nov 2007


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 




[1] Bdk Donum Vitae II,8
[2] Bdk Kongergasi untuk Ajaran Iman yang diterbitkan 10 Maret  1987 ( Dokpen KWI, Hormat Trehadap Hidup Manusia Tahap Dini,Seri Dokumen Gerejawi no 75. 2006.)
[3] C.B Kusmaryanto Problem Etis Kloning Manusia, Jakarta: Grasindo,2001. hlm  1
[4]   Kloning . ter, Piet Go, O.Carm, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan, 2006.  hal 29
[5] Opcit. hal 39
[6] Opcit hal 10-11
[7] Bdk Karl-Heinz Peschke SVD Etika Kritiani Jilid I Maumere: Ladelaro 2003 hlm136
[8] Bdk, Benedict  M. Ashley dan Kevin D. O’Rourke, Health Care Ethics: A Theological Analyisis, 4th Edition, Washington, D.C : Gerogetown University Press. 1997 hlm 201
[9]Ibid hal. 20-21.  Pesan Hari Perdamain Sedunia, 1 Januari 2001
[10] www.indocell.net/yesaya Romo William P. Saunders Kloning Manusia: Mengapa Amoral?
Akses 23 Nov 2007
[11] Ibid hlm 1

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato