Lasmi ( Resensi Novel)




Judul Buku : Lasmi
Pengarang : Nusya Kuswantin
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : Pertama, November 2009
Tebal : 232 Halaman
ISBN : 9786028556194

Novel ini berjudul Lasmi. Pendek saja dan sederhana. Judulnya demikian karena ia berkisah tentang Lasmi atau lengkapnya Lasmiyati, mulai dari tahun 1957 hingga penghujung tahun 1965. Penceritanya adalah Sutikno, laki-laki yang telah jatuh cinta pada Lasmi bukan karena alasan-alasan yang fisik tetapi karena Lasmi perempuan yang liyan, berani melawan arus; misalnya pada acara pemilihan umum, ia tidak menggunakan subang/anting-anting di kedua daun telinganya padahal berasal dari keluarga yang berada. Suatu hal yang tak lazim terjadi.
Sutikno sendiri adalah seorang guru desa, pendatang di kampung Lasmi. Meskipun banyak yang tertarik padanya, Sutikno akhirnya memilih jatuh cinta pada Lasmi dan menikahinya. Dan perkara anting itu hanya bagian kecil dari sosok Lasmi di mata Sutikno. Lasmi adalah perempuan yang ingin masyarakat di sekitar tempat tinggalnya bisa maju lewat pendidikan. Meski Indonesia sudah lama merdeka, sudah hampir 20 tahun tapi kemajuan belumlah merata sampai ke desanya di daerah Jawa Tengah. Berawal dari sekedar mengajar Mak Paini, tetangganya untuk baca-tulis, akhirnya banyak warga desa yang belajar membaca di rumahnya.
 Selepas menikah, Pak Kerto ayahnya rela menghibahkan sebagian dari tanahnya untuk dibangun menjadi tempat belajar masyarakat. Maka mulailah ia membangun TK Tunas untuk anak-anak dan membentuk Kerukunan Belajar Bersama untuk orang dewasa. Pemikirannya yang maju dan terbuka membuatnya dikenal dan bertemu dengan banyak orang yang berpikiran sama. Itulah yang menyebabkan Lasmi bertemu dengan anggota aktif Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan kemudian terlibat aktif di dalamnya. Pada masa itu, ada kesamaan apa yang diinginkan Lasmi dengan kegiatan yang dilakukan Gerwani. Aktivis-aktivis Gerwani giat memberantas buta huruf, memberikan perempuan berbagai kursus rumah tangga seperti memasak dan menjahit, menentang kenaikan harga-harga, serta menuntut upah buruh perempuan agar setara dengan laki-laki. Yang paling menonjol adalah perjuangan Gerwani yang mempersoalkan soal UU Pernikahan yang lebih banyak merugikan posisi perempuan di dalam rumah tangga, terutama mereka menginginkan dimasukkannya anti-poligami dalam UU tersebut.
 Maka perubahan demi perubahan terjadi pada kehidupan Lasmi. Lasmi terpilih menjadi ketua Gerwani di desanya. TK Tunas berganti nama menjadi TK Melati, rumahnya menjadi kantor cabang Gerwani dan Barisan Tani Indonesia (BTI) di desanya. Sutikno melihat perubahan itu sebagai hal yang wajar dan positif. Siapa yang tak senang melihat istri bahagia dengan aktivitas sosial yang positif. Apalagi masyarakat di desanya, baik itu buruh maupun petani, menjadi terpelajar dan mampu menyampaikan pendapat secara berani. Satu-satunya permintaan Sutikno adalah Lasmi bisa membagi waktu, karena mereka sudah memiliki Gong, anak yang menggemaskan, buah perkawinan mereka.
 Prahara terjadi di tahun 1965, imbasnya meluas kemana-mana. Termasuk ke diri Lasmi dan Sutikno. Sweeping dan pembunuhan sadis menjadi berita sehari-hari. Sasarannya adalah PKI, PGRI Non-vaksentral, SOBSI, BTI, IPPI, CGMI, juga Pemuda Rakyat dan Gerwani. Maka mulailah episode pelarian Lasmi dan keluarganya, yang membawa sengsara dan kesedihan. Ujungnya sudah bisa ditebak : tragis.
 Begitu luar biasa cara penulis Nusya Kuswantin membawa pembaca untuk mengikuti kisah Lasmi ini. Awalnya pembaca disodorkan suatu gambaran perempuan yang tak ada duanya: bersahaja, egaliter, menjunjung kemanusiaan, maju, dan aktif. Mau tak mau, pembaca ikut mengagumi Lasmi, sama seperti Sutikno suaminya. Kemudian cerita yang manis mulai berganti kelam, yang ikut juga bisa dirasakan pembaca dengan turut prihatin (hingga menitikkan airmata) dan gelisah, takut-takut kalau Lasmi tertangkap. Saat sepertinya semua hampir mulus dengan kisah pelarian, tiba-tiba cerita berbelok tanpa bisa diduga pembaca. Nusya mampu menghadirkan plot, meskipun linier dan sederhana, namun tetap menarik untuk diikuti.
 Yang juga pantas diangkat dari novel Lasmi ini adalah kemampuan Nusya menggunakan sastra untuk menulis episode tergelap dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Ia mampu dengan terang-benderang membeberkan kisah tentang aktivitas Gerwani yang tidaklah sama dengan mitos-mitos gelap yang ditanamkan subur lewat propaganda militer kepada kita. Mitos bahwa mereka perempuan sadis yang terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan jenderal di kawasan Lubang Buaya. Juga mereka yang bertelanjang bulat sambil menari-nari, menyayat wajah jenderal dengan silet, bahkan memotong p***s jenderal.
 Nusya berhasil membangun karakter tokoh Lasmi sebagai bagian dari gerakan perempuan feminis terbesar dan tersohor di era demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin, dapat mengambil peranan di luar urusan domestik, dapat berorganisasi dan dapat membuat keputusan-keputusan yang dibangun dari kesadaran. Sebagai bagian dari suatu gerakan perempuan, Lasmi menyimbolkan gerak langkah para feminis di Indonesia pada zaman itu untuk membuat perubahan yang berarti. Namun gerakan ini mengalami beragam tuduhan, termasuk fitnah berkait dengan pembunuhan jenderal-jenderal militer pada 30 September 1965. Akibatnya anggota Gerwani ditangkap, disiksa, hingga dibunuh oleh tentara maupun orang sipil yang termakan propaganda kala itu. Serta merta, gerakan perempuan itupun hancur. Yang tersisa kemudian selama sekian lama adalah ketakutan perempuan untuk membangun kembali gerakan untuk perubahan, terdomestifikasi di dalam rumah dan pasif.
 Mengenai penghancuran gerakan perempuan ini dan upaya untuk mempersoalkan mitos gelap Gerwani, peneliti Saskia Eleanora Wieringa pernah menulis dalam buku “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia” (Jakarta: Garba Budaya & Kalyanamitra, 1999) yang kemudian diterbit ulang oleh Galang Press, April 2010 dengan judul tambahan “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI”. Dalam disertasi yang dibukukan tersebut, Saskia mengutip sebuah puisi yang menggambarkan bagaimana pola pikir perempuan di masa itu:
 Kami bukan lagi
bunga pajangan
yang layu dalam jambangan.
Cantik dalam menurut
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang.
Kami bukan juga
bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak.
Penjual keringat murah
buruh separuh harga
tiada perlindungan
tiada persamaan,
sarat dimuati beban.
Kami telah berseru
dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan:
"Kami manusia"
Sugiarti, 1962
 Perempuan di masa itu bergiat berkumpul dalam Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang tidak hanya berupaya agar perempuan sejajar haknya dalam perkawinan, namun juga dalam bidang sosial-ekonomi: hak-hak pekerja dan keikutsertaan dalam perjuangan revolusi. Kemudian sayap feminis dan sayap komunis dalam Gerwis berdinamika hingga melahirkan Gerwani sebagai hasil Kongres I Gerwis.
 Mengapa banyak perempuan akhirnya memilih turut dalam Gerwani daripada organisasi perempuan semisal Perwari, tidak lain karena hanya Gerwani yang berani memperjuangkan hak-hak perempuan di segala bidang, terutama melawan feodalisme. Melirik paralelisme sejarah dan kesamaan tujuan yang ingin dicapaikan para tokoh, kemungkinan besar Nusya juga melakukan riset yang cukup dalam.
 Namun, novel ini memiliki sejumlah kelemahan. Berbicara mengenai tokoh-tokoh perempuan, sastra Indonesia pernah mencatat cerita mengenai Sanikem alias Nyai Ontosoroh dalam “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, yang menunjukkan betapa nasib seorang perempuan tergantung pada laki-laki yang berkuasa atas dirinya. Mulanya, nasib Sanikem ditentukan oleh ayahnya, yang menjualnya kepada tuan administeur Hans Mellema untuk dijadikan sebagai Nyai. Sanikem mengalami penjualan dirinya itu sebagai sesuatu yang amat mengerikan dan merendahkan dirinya. Akhirnya Nyai Ontosoroh memperjuangkan hak-haknya, meski perjuangannya tak semulus harapannya. Penokohan Sanikem kuat karena pembaca selain bisa turut memahami kekaguman Minke, tetapi bisa melihat bahwa dalam dialog-dialognya, Nyai Ontosoroh memang demikian cerlang.
 Dalam hal ini, tentulah sayang bila Lasmi tidak mendapat porsi dialog-dialog yang demikian. Dialog yang menyuarakan apa yang ada di pikirannya, apa yang menjadi kegelisahannya terhadap kehidupan masyarakat sepertinya tidak ada. Padahal meski disampaikan dalam cerita Sutikno, bukan berarti Lasmi dibiarkan "terdiam" dengan dialog yang sedikit, yang digantikan dengan surat sepanjang 16 halaman (hal. 203-219) atau sekedar mimik/gestur. Sebagai ketua Gerwani, rasanya tak salah mengharapkan ada pidatonya yang tak kalah hebatnya daripada pemuatan pidato Soekarno dengan "Tahun Vivere Pericoloso"-nya (hal. 105-115). Bila Nusya memanfaatkan peluang ini, bukan tidak mungkin penokohan Lasmi akan semakin kuat dan jauh melebihi Sutikno sendiri. Hal lain adalah melemahnya karakter Lasmi di bagian akhir cerita, sebagaimana terkutip dalam isi suratnya kepada Sutikno: "...Aku tak menyangka sama sekali bahwa menjadi bagian dari Gerwani kemudian bisa dikategorikan sebagai dosa sosial. Andaikan aku tahu Sut, tentu aku tak ingin terlibat..." (hal. 210). Membaca kalimat terakhir tadi, tentulah merontokkan bangunan kepercayaan pembaca pada tokoh yang diciptakan penulis. Buat apa bersimpati pada orang yang pada akhirnya menjadi tidak percaya pada apa yang diperjuangkannya. Terlebih lagi menjadi putus asa dan "bunuh diri" pada akhirnya. Rasanya Nusya mengkhianati pembacanya sendiri dengan menyodorkan semua itu sebagai akhir cerita.
 Akan tetapi terlepas dari itu semua, apa yang tersaji dalam novel Lasmi mampu memberi ruang dalam pembacaan sastra kita, ruang yang memungkinkan dimuatnya kisah-kisah perempuan anggota Gerwani bagi khalayak pembaca. Agar semakin benderang apa yang terjadi lewat ditulisnya lebih banyak lagi karya yang membicarakan periode-periode gelap ini.

Amang Suramang,
Pembaca aktif Goodreads Indonesia,
penulis naskah, berdomisili di Jakarta.


Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

“Mereka Sedang Bekerja”

BERBAGI TAK PERNAH RUGI