Kitab Suci ( Perjanjian Lama)
Janji Pemulihan Yerusalem dan Kemurahan Hati Allah
Yehezkiel. 16:59-63
I. Pengantar
Perjanjian adalah sebuah tindakan yang muncul dalam diri dua belah pihak karena ada suatu kesepakatan yang harus ditaati bersama. Konsekuensi dari perjanjian adalah, jika perjanjian yang telah dibuat ini dilanggar maka salah satu pihak yang melangar akan mendapatkan hukuman. Dalam tradisi Yahudi khusunya dalam Perjanjian Lama perjanjian seringkali dilakukan antara Allah dan Isreal.
Istilah ‘ perjanjian’ mengungkapkan kepercayaan bangsa Israel bahwa sejak dahulu sudah ada hubungan istimewa antara Allah dan bangsa itu. Inti ‘perjanjian’ itu ialah; Allah menjadi Allah bangsa Israel dan bangsa Israel menjadi umat pilihan Allah. Prakarsa perjanjian selalau dimulai atau datang dari Allah. Perjanjian juga menunjukan hubungan kasih Allah yang begitu dekat dengan umat Nya . [1] Begitu juga perjanjian antara Yerusalem dengan Allah dalam Yeh 16:59-63, juga sebagai tanda hubungan yang dekat antara Yerusalem dengan Allah. Namun janji yang telah diikat dengan Allah itu tidak berjalan hingga selamanya. Dalam Yeh 16:59-63 Yerusalam ditampilkan sebagai pelanggar janji yang telah dibuatnya dengan Allah. Dalam tradisi Perjanjian Lama pelanggar janji patut mendapatkan hukuman dari Allah. Namun pada Yeh 16:59-63, yang menjadi inclusio dari Yeh 16:1-63 justru ditampilkan sikap Allah yang berbeda dari yang sikap Allah yang sering ditampilkan sebagai penghukum. Disini Yehezkiel menampilkan Allah yang murah hati yang tidak menghukum Yerusalem sebagai pelanggar janji, Allah yang berbelas kasih. Dalam bab-bab sebelumnya Yerusalem ditampilkan sebagai istri yang tidak setia, namun meski ia tidak setia Allah tetap memberikan pengampunan. Dalam Yeh 16:59-63 ini menceritakan bahwa Allah akan memberitahukan melalui Yehezkiel tentang perjanjian (ay:59), lalu disusul dengan cerita tentang ingatan perjanjian (ay:60-61), dan ditutup dengan pendamaian atau pembaruan janji Allah dengan Yerusalem (ay:62-63).
Secara garis besar Yeh. 16:59-63 ini akan menampilkan tiga bagian di atas Bagian ini adalah bagian yang sangat penting karena disini Allah melakukan tindakan yang tidak pernah diduga oleh seluruh pendengar Yehezkiel. Allah menampilkan dirinya yang murah hati, penuh pengampunan.
II. Konteks
Yehezkiel dikenal sebagai filsuf dan kritikus sastra yang telah diakui. Ide-idenya disampaikan dalam bentuk kiasan yang sulit untuk dimengerti. Ia adalah nabi yang cukup keras dalam menyampaikan pesan-pesan Allah. Kekhasan Yehezkiel dalam menyampaikan pesan-pesan Allah dituangkan dalam bahasa kiasan atau Metafor yang seringkali sulit ditangkap oleh pendengarnya. Yeh 16.59-63 ini adalah salah satu bagian kecil dari kitab Yehezkiel yang diambil dari Yeh 16:1-63 yang sarat dengan Metafor. Pesan ini disampaikan Yehezkiel untuk penduduk di pembuangan. Yeh 16:59-63 ini adalah bagian penutup dari Yeh 16:1-63 yang dibagi dalam tiga bagian besar. Tiga bagian besar dari Yeh 16:1-63 adalah sebagai berikut:[2]
Bagian pertama (ay;1-43) menceritakan tentang bayi perempuan yang terlantar dan hampir mati, diterlantarkan di ladang oleh Amori ayahnya dan Hiti ibunya (ay;1-3). Kemudian Allah lewat dan menyelamatkan hidupnya (ay;6-7). Ketika anak itu bertumbuh dewasa secara seksual, Allah lewat menolongnya kembali, menikahinya dan memberikan hadiah-hadiah yang mewah. Dia menjadi wanita yang luar biasa cantik, pantas menjadi ratu, dan terkenal di seluruh negeri (ay; 8-13). Namun Yerusalem melupakan asal-usulnya dan suami yang telah menolongnya dari kematian. Ia menjadi pelacur, pemuja berhala, menawarkan tubuhnya di jalanan. Selain perbuatan zinahnya, ia juga bergaul dan berhubungan dengan bangsa asing, Mesir, Asiriya, dan Babilonia. Pada intinya bagian pertama ini Yehezkiel mencoba menceritakan bahwa perempuan yang di gambarkan sebagai Yerusalem itu akan mendapat malu dan hukuman dari suaminya yaitu Allah (ay: 14-43).
Bagian kedua ( ay ;44-58) Yehezkiel meremehkan atau menyindir Yerusalem dengan istilah “ Begitu ibu, begitu juga anaknya” ( ibu dan anak sama saja), mengingat asal-usulnya yang menjijikan dan sifatnya yang berlawanan dengan kedua kakaknya Samaria dan Sodom. Allah membandingkan dosa-dosa Yerusalem dengan dosa-dosa kakak/ saudara-saudaranya,; Sodom dan Samaria (ay; 51). Selain mempermalukan Yerusalem dengan saudara-saudaranya Allah juga mengemukakan “ harapan” untuk masa depan Yerusalem. Allah berharap bahwa dengan membangkitkan kembali Sodom yang dulu begitu menjijikan akan membuat Yerusalem malu (ay; 53-55).
Bagian ketiga, (ay;58-63) ini merupakan bagian penutup dan dimulai dengan pernyataan tegas Allah. Sebuah pemberitahuan Yehezkiel bahwa Allah akan membuat perjanjian dengan Yerusalem “ Aku akan memperlakukanmu sepantasnya” (ay;59). Allah juga berjanji akan mengingat perjanjiannya dengan Yerusalem. Dengan kemurahan hati Nya, Allah juga akan memaafkan kesalahan Yerusalam. Pada bagian terakhir ini Yehezkiel merangkum pengharapan atas Israel.
Jika dilihat dari tiga bagian besar diatas, Yehezkiel 16:59-63 adalah bagian penutup yang merupakan janji Allah untuk mengadakan perjanjian kembali dengan Yerusalem. Perjanjian yang selalu dimulai dari Allah. Dalam Yeh 16:59-63 ini, melalui Yehezkiel, Allah akan memberitahukan pada Yerusalem tentang perjanjian. Tujuan Allah melakukan perjanjian ini adalah, supaya Yerusalem mengingat perjanjianya yang pernah dibuat dengan Allah. Selanjutnya sebagai penutup, Yerusalem akan dipulihkan dengan mengadakan perjanjian dan pendamaian yang datang dari Allah. Bagian ini sungguh menampilkan kemurahan hati Allah dan pengharapan untuk Yerusalem.
III. Struktur Teks[3]
Ø Pasal 16:59 : Pemberitahuan Allah tentang Perjanjian.
Bagian ini diawali dengan firman ALLAH sendiri, yang menyatakan suatu pernyataan yang tegas. Allah memberitahukan melalui Yehezkiel mengenai perjanjian yang akan dilakukan dengan Yerusalem sebagi istri yang tidak setia. Allah akan melakukan suatu tindakan yang sama dengan apa yang telah diperbuat Yerusalem kepada- Nya.
Ø Pasal 16:60-61 : Ingatan akan Perjanjian
Bagian ini berisi ajakan untuk mengingat perjanjian antara Allah dengan Yerusalem.
Allah sendiri yang akan memulai mengingat perjanjianya. Allah dengan tindakanya yang memulai lebih dahulu mengingat perjanjian, meminta secara tidak langsung, supaya Yerusalem menjadi malu karena masa lalunya
Ø Pasal 16: 62-63 : Pembaharuan Janji Allah dengan Yerusalem
Bagain ini adalah bagian inti yang tidak pernah diduga sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya keburukan dan ketidaksetiaan Yerusalam telah disebutkan dengan jelas. Persundalanya dengan bangsa asing dan penyambahan berhala serta perbuatan mempersembahakan anak-anaknya merupakan perbuatan yang sanggat keji. Bisa dikatakan Yerusalem akan mendapat hukuman yang berat bahkan lebih berat dari saudaranya Samaria dan Sodom. Namun apa yang terjadi, setelah Yerusalem dipermalukan dan akhirnya sadar akan kelakuan-kelakuanya, Allah tidak jadi menghukum. Dalam bagian akhir ini Allah justru berbuat yang sebaliknya, yaitu memaafkan Yerusalem, “ istrinya” yang tidak setia. Tindakan Allah ini rupanya berbeda dari biasanya. Allah sungguh murah hati dan penuh pengampunan. Bahkan ia rela memulai lebih dahulu perjanjian yang baru dengan Yerusalem.
Tiga bagian diatas memiliki satu kesatuan yang utuh dan pola yang menarik. Dalam pewartaannya melalui Yehezkiel, Allah memulai dengan pemberitahuan kemudian meminta Yerusalem mengingat, selanjutnya Allah membarui janji Nya dan memberikan pengampunan kepada Yerusalem.
IV. Eksegese
Pasal 16: 59 ; Pemberitahuan Allah tentang Perjanjian
Ayat 59 berbunyi: “…Aku akan melakukan kepadamu seperti engkau lakukan, yaitu engkau memandang ringan kepada sumpah dengan mengingkari perjanjian” Di sini, sebagaimana dalam Ay.43, Yehezkiel mencoba menghilangkan adanya tuduhan bahwa hukuman Allah terhadap Istrinya itu tidak adil, tidak sepadan dengan kejahatannya dengan mengatakan bahwa hukuman itu sebagai akibat perbuatan Yerusalem sendiri.
Ay.59b menegaskan dosa Yerusalem dalam bahasa “sebab-akibat” dari Ay.8: Allah telah membuat perjanjian dengan sumpah kepadanya, dengan demikian masuk dalam sebuah ikatan perjanjian dengannya. Namun sebaliknya, ia telah “memandang rendah” sumpah itu dan merusakkan perjanjian itu. Kita dapat menafsirkannya bahwa Yerusalem jalang ini telah meninggalkan kewajibannya sebagai istri Allah. Greenberg sendiri mempertahankan tafsirannya bahwa sumpah pada ayat 8 merupakan suatu gabungan antara janji ilahi terhadap para bapa bangsa dan pernyataan tegas mengenai kewajiban bersama sehubungan dengan peristiwa eksodus dan perjanjian dengan Israel (yang termuat dalam kitab para Imam dan Ulangan). [4]
Ayat 59 ini juga sebagai awal atau penghantar untuk masuk pada misteri perjanjian yang akan diperbaharui oleh Allah dengan Yerusalem. Kira-kira pernyataan Allah melalui Yehezkiel ini merupakan suatu janji bahwa Allah akan membuat perjanjian lagi dengan Yerusalem. Pemberitaan ini memang kelihatan tegas, tetapi sebenarnya di dalamnya juga terkandung satu penghiburan untuk Yerusalem. Penghiburan mengenai Perjanjian yang baru yang akan dilakukan Allah karena Yerusalem telah mengingkari janjinya. Disposisi batin Allah sebagai pribadi yang setia pada janji sanggat tampak dalam ayat ini. Kata “Aku akan melakukan kepadamu seperti yang engkau lakukan…..” menjadi tanda bahwa ia masih ingat akan janji yang telah dilakukan dengan Yerusalem. Ingatan akan janji merupakan satu bentuk kesetiaan yang paling mendasar.
Pasal 16:60-61 ; Ingatan Akan Perjanjian
Hal mendasar dari semua kesalahan Yerusalem adalah bahwa ia telah gagal mengingat perjanjiannya dengan Allah (ayat 43: “Oleh karena engkau tidak teringat lagi kepada masa mudamu, tetapi dengan semuanya ini membuat Aku gemetar kemarahan”). Sebaliknya Allah sungguh-sungguh tetap mengingat perjanjianNya (ay.60) dan inilah yang mendorongNya meneguhkan kembali perjanjian dalam sebuah perjanjian yang kekal. Gagasan bahwa Allah mengingat perjanjian yang telah dibuatnya dan membaharuinya kembali bukanlah sebuah gagasan baru: Im. 26:40, 42, 44-45.
Sikap Allah yang memulai lebih dahulu mengingat perjanjian yang telah dibuat dengan Yerusalem merupakan satu tindakan bahwa Allah mulai mewujudkan janjinya. Allah ingin memulai sesuatu yang baru, memulihkan Yerusalem dari dosa-dosanya. Dengan memulai lebih dahulu Allah ingin supaya Yerusalem menginggat perjanjianya. Inilah cara yang cukup berbeda yang dilakukan Allah. Allah meminta umatnya atau Yerusalem untuk bertobat tidak dengan memberikan hukuman, tetapi dengan tindakan yang mengajak untuk melihat kemurahan hati Allah dan dosa-dosa yang telah dibuat.
Pada akhirnya, Yerusalem akan mengingat kembali kelakuannya dan menjadi malu ketika Allah mengambil saudari-saudarinya dan menyerahkan kepadanya sebagai anaknya. Maksudnya bahwa meskipun awalnya Samaria dan Sodom digambarkan sebagai saudara kandung Yerusalem yang lebih benar, namun sebuah pemulihan akan dilakukan di mana status mereka akan kembali berada di bawah kepemilikan Israel. Dulunya mereka adalah saudari-saudarinya (kota-kota yang bebas), sekarang menjadi anak-anaknya (kota-kota kecil yang sangat bergantung) yang menjadi bagian dari teritorial Yudea, tapi mereka tidak akan ambil bagian dalam perjanjian unik (perkawinan) Yerusalem dengan Allah.
Perbuatan atau tindakan Allah dengan mempermalukan Yerusalem ini tergolong baru, dalam perjanjian lama. Dalam Yehezkiel sendiri kata dipermalukan muncul pada bab 36:32. Sepertinya Allah punya maksud tertentu dengan tindakan mempermalukan Yerusalem. Usaha untuk membuat Yerusalem bertobat ternyata sudah tidak dapat dilakukan dengan hukuman yang kejam atau penghancuran. Kebebalan Yerusalem, membuat Allah memilih cara yang berbeda yaitu dengan mempermalukan Yerusalem di depan saudara-saudaranya. Tindakan ini ternyata mampu menyadarkan Yerusalem untuk kembali bertobat dan menginggat perjanjian yang telah dibuat dengan Allah. Kesadaran bahwa Yerusalem pada akhirnya telah mengingat segala kelakuannya dan janjinya pada Allah inilah yang menjadi bukti bahwa Yerusalem punya inisiatif untuk bertobat.
Pasal 16:62-63 ; Pembaharuan Janji Allah dengan Yerusalem
Ay.62: “Aku akan meneguhkan perjanjian-Ku dengan engkau, dan engkau akan mengetahui bahwa Akulah Allah. Rumusan penyadaran ini sering mejadi kesimpulan warta Yehezkiel dengan maksud menunjukkan tujuan semua perjanjian Allah dengan istrinya yang tidak setia tadi, bahwa Yerusalem dipaksa untuk menyadari dan mengakui kedaulatan “Suaminya” dengan segala implikasi tentang bagaimana Ia mesti menjalani kehidupannya sesuai dengan perjanjiannya dengan Allah. Dengan begitu, Ia akan ingat masa lalunya: kesetiaan Allah kepadanya dan sebaliknya perbuatan-perbuatan jahatnya (ay.63). “Mulutnya akan terkatup karena rasa malu” ketika Allah memaafkan segala yang telah ia perbuat. M. Odell menyinggung problem teologis yang timbul dari Ayat 62-63 bahwa biasanya kesadaran akan dosa akan diikuti oleh pengampunan, tetapi hal itu menjadi terbalik dalam ayat ini. Yerusalem merasa malu hanya karena setelah Allah memaafkannya. Warta Yehezkiel ini tidak perlu ditafsirkan ke arah peran rahmat Allah di tengah rasa tidak pantas manusia.
Dalam komunitas Israel kuno, rasa malu itu dialami dengan kehilangan status. Ketika kehilangan status menjadi konsekuensi dari sebuah kesalahan pribadi atau kelompok, pengalaman rasa malu juga bisa menimbulkan rasa bersalah terhadap orang lain karena kesalahan yang telah dilakukan. Dalam kasus-kasus seperti itu, rasa malu tidak sama dengan rasa tidak pantas. Malu mengungkapkan rasa terhina secara individual.
Odell menemukan sikap sosial dalam rasa malu sebagaimana yang direfleksikan dari Mazmur-mazmur ratapan Israel bahwa permohonan untuk tidak mendapat malu sering digabungkan dengan pengakuan iman pemazmur bahwa Ia telah percaya akan Allah. (Mzm. 25:2, 20; 31:2). Permohonan itu nampak sebagai ungkapan kebergantungan pemohon kepada Allah. Pemazmur tidak pertama-tama merasa malu karena apa yang telah ia lakukan, tapi ia malu lebih karena relasinya dengan Allah telah gagal.[5]
Dalam ayat 63 mengungkapkan bahwa keterdiaman Yerusalem lebih disebabkan karena rasa malunya dan pandangan ini didukung oleh Zimmmerli dan yang lainnya. Frase ”membuka mulut” yang muncul hanya dua kali dalam Kitab Suci (dalam teks ini dan di Yeh. 29:21), dalam tulisan-tulisan “post-biblis Mishnaic” berarti saat untuk mengeluh, berdalih terhadap tuduhan. Maka dalam arti ini, mulut terkatup bisa berarti tidak dapat lagi berdalih karena rasa malu.[6]
Dalam Bab.16 ini, Yehezkiel menunjukkan bahwa rasa malu Yerusalem adalah konsekuensi dari kesalahannya sendiri. Ia telah tidak percaya akan Allah dan berselingkuh dengan kekasih dan sekutunya. Ia telah menganggap remeh janji Allah dan mengabaikan kewajibannya pada Allah. Meski begitu, Allah ingat dan meneguhkan kembali perjanjian kekal dengannya: rasa malu telah mengembalikan segala dalih kepada Yerusalem sendiri dan mengharuskan mereka untuk melihat peran mereka di masa selanjutnya dalam relasinya dengan Allah. Dengan demikan, pentingnya pertobatan terletak pada kejujuran dan tanggung jawab mereka.
Pada Ayat 63 bisa ditemukan bahwa melalui kata”pendamaian” Allah menujukan kemurahan hatinya. Ia menawarkan satu sikap pengampunan untuk Yerusalam yang telah tidak setia pada Nya. Allah disini memulai suatu babak baru dengan Yerusalem, yaitu datangnya sebuah perjanjian dan melupakan segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Yerusalem. Tetapi mungkin bagian penutup ini berasal dari tangan seorang penyunting, bukan dari Yehezkiel sendiri.[7]
V. Refleksi Teologis
Perjanjian adalah sebuah tindakan simbolis dimana setiap pribadi ingin menjalin suatu hubungan yang dekat dan mesra. Dengan perjanjian lebih-lebih jika itu dilakukan dengan Allah setiap pribadi diikat dalam kesatuan yang ilahi. Perjanjian merupakan satu bentuk penyerahan diri pada Allah. Relevansi bagi kita umat beriman baik awam maupun religius, mengenai perjanjian adalah kita diajak untuk menyerahkan diri pada Allah. Dengan mengikat janji dalam pernikahan dan janji-janji injili misalnya, kita sebagai pribadi diminta untuk berusaha menjalin relasi yang lebih mendalam baik dengan suami, maupun istri atau dengan Allah sendiri. Konsekuensi dari perjanjian adalah kita diminta untuk selalu setia dan menginggat isi dari perjanjian itu. Perjanjian sebagai wujud persatuan dengan yang ilahi hendaknya senantiasa hidup terus menerus dalam diri setiap pribadi. Apa yang telah diikat bersama Allah hendaknya senantiasa tetap dipegang dan dilakukan seperti apa yang telah diucakpanya. (bdk Im. 30:2)
Ikatan perjanjian haruslah selalu hidup dan tersimpan dalam hati kita yang telah mengucapkannya, karena dengan cara itulah kita bisa terhindar dari dosa dan kelalaian sehingga jatuh pada sikap tidak setia. “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau.” Mazmur 119:11. Janji yang kita buat dengan Allah adalah satu bentuk pilihan yang paling istimewa maka dengan mengikat janji kita sebagai pribadi dijadikan kekasihnya dan miliknya satu-satunya. Perlakuan Yerusalem yang tidak pernah mengingat janji Allah hendakanya membuat kita tidak jatuh pada ketidak setiaan. Apa yang dialami Yerusalem setelah ia menjadi “cantik” kaya, dan termasyur seringkali kita alami. Sikap-sikap demikian hendaknya tidak kita lihat melulu karena usaha kita pribadi, malainkan karana Allah memberikan kepada kita sebagai rahmat. Apa yang kita miliki dalam bentuk kekayaan dan kemakmuran seriangkali membuat kita jatuh pada kedosaan. Janji yang telah kita buat kiranya bisa menjadi kendali untuk segala sesuatu yang kita miliki. Yehezkiel 16:59-63 mengingatkan akan perlunya kesadaran, sebuah ingatan yang selalu terarah pada Allah
Salah satu hal yang amat penting dalam Yeh 16:59-63 yang harus disadari oleh setiap umat beriman adalah, bahwa dosa itu bukan satu-satunya alasan untuk tidak mau datang pada Allah. Allah selalu memberi yang terbaik jika kita mau datang dan bertobat. Tentunya dengan rasa malu segala kedosaan itu akan mampu kita ingat. Rasa malu memiliki dimensi sosial untuk membatu kita untuk menyadari segala kedosaan yang telah kita buat. Sebagai “ suami yang setia” Allah selalu hadir dan datang lebih dahulu mengampuni kita, seperti ia mengampuni Yerusalem sebagai “ istri Nya” yang tidak setia. Sikap semacam ini haruslah kita miliki sebagai umat beriman lebih-lebih kita sebagai religius. Datang mendahului mereka yang berasalah pada kita adalah sikap yang bersumber pada Allah sendiri. Jika kita memberi pengampunan pada orang lain kita juga akan diampuni oleh Allah. Dalam hal ini rasa malu bukanlah sebuah penghalang untuk memberi ampun. Allah juga meminta pada kita umatnya untuk memiliki rasa malu, untuk menyadari segala kesalahan yang telah kita buat. Allah akan selalu datang lewat dalam hidup kita, Ia tidak pernah meninggalkan kita.
Selain itu kesetiaan Allah akan janji yang ia ucapkan dan selalau dipegang mencerminkan bahwa Allah tidak pernah melupakan apa yang telah ia ucapkan. Janji yang selalu kita buat dalam hidup kita merupakan satu bentuk usaha untuk bertobat terus menerus. Kesetiaan Allah mencerminkan dirinya yang selalu memengang teguh perjanjian.
Daftar Bacaan
NIB ,The New Interpreter’s Bible, Volume VI, Abingdon Press.: USA.
Karris, J Robert, Diane Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius: Yogyakarta, 2006.
Benson, Clarence, Pengantar Perjanjian Lama,( Puisi dan Nubuat Ayub – Maleakhi) Gandum Mas: Malang. 1980
Groenen, C, Pengantar Perjanjian Lama, Kanisius: Yogyakarta.1992
Tafsiaran Alkitab Masa Kini 2 ( Ayub-Maleakhi), BPK Gunung Mulya: Jakarta. 1985
[1] C. Groenen, Pengantar Perjanjian Lama, Kanisius: Yogyakarta.1992 hlm 113
[2] NIB, The Interpreter’s Bible, Volume VI, Abingdon Press: USA. hlm 1220-1221
[3] Bdk Robert J Karris, Diane Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius: Yogyakarta, 2006. hlm.600
[4] Op.cit hlm.1238
[5] Ibid hlm 1239
[6] ibid
[7] Loc.cit .Robert J Karris, Diane Bergant hlm. 600
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!