filsafat asik
Politik dan Banalitas Korupsi
Akhir-akhir ini kita semua dipaksa untuk menikmati segala polemik negeri kita yang disuguhkan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Informasi mengenai ketimpangan hukum mulai dari Prita, mbok Minah sampai KPK, dan yang paling hangat adalah sajian mengenai makelar kasus menjadi “makanan” keseharian kita. Jika boleh mengatakan dengan jujur sepertinya nasi yang menjadi makanan pokok kita sudah tidak enak lagi rasanya karena digantikan dengan informasi yang membuat perut ini menjadi mual. Jika kita bertanya lebih mendalam apa sebenarnya yang terjadi dengan seluruh adegan politik di negeri kita ini? Mengapa pula kita semua mulai dari tukang becak sampai akademisi begitu terhanyut dalam pembicaraan seperti yang diberitakan dalam media dan apa alasan kita terlibat didalam persoalan yang sebenarnya bukan menjadi urusan kita? Inilah setidaknya pertanyaan yang masih terhampar dalam pikiran saya. Rasanya tidak ada untungnya menguras pikiran untuk hal-hal yang berada di luar ranah kehidupan kita yang setiap hari masih bingung untuk mencari makan, mencari biaya sekolah untuk anak dan menyelesaikan pekerjaan yang jauh lebih mendesak.
Sayangnya pertanyaan saya ini buru-buru meminta jawaban dan terpaksa saya harus mencari jawaban. Jawaban yang saya peroleh ternyata persoalan yang ada di negeri ini adalah persoalan politik yang amat pelik dan secara langsung menyangkut kita semua sebagai warga negara. Persoalan politik adalah persoalan kita bersama karena bertautan dengan segala bentuk tata kehidupan kita dalam suatu negara. Politik berakar dari peradaban Yunani yang artinya sebagai tata hidup bersama di dalam polis. Maka konsekuensinya segala apa yang kita sebut politik baik dalam pemerintahan atau keseharian kita, selalu diarahkan dalam kerangka hidup bersama dan kebaikan bersama. Karena kita menjadi bagian dari polis makajika di sekitar kita terjadi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tata hidup bersama dengan sendirinya kita ikut berpikir dan mencari solusi bersama supaya terwujud tata hidup yang lebih baik.
Kenyataan bahwa sebagian dari kita telah bekerja keras dalam kapasitas masing-masing untuk turut berpikir dengan segala pernak-pernik persoalan negeri ini patut diapresiasi, tetapi apakah itu sudah cukup membawa pada perubahan yang lebih baik? Inilah kiranya pertanyaan kritis yang saya ajukan. Sungguh suatu kegembiraan bahwa sebagai warga negara kita semua turut berpikir untuk mengatasi itu semua, tetapi sesungguhnya negara tidak hanya membutuhkan sebuah hasil pikiran tetapi juga sebuah tindakan. Sangat disayangkan bahwa kita sudah begitu keras berpikir tetapi tidak juga terwujud dalam tindakan. Pikiran hanya berhenti pada wacana teoritis yang tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan negeri ini. Bukti yang amat jelas adalah pemerintah kita menyerukan pemberantasan korupsi. Disana sini diserukan untuk jangan pernah korupsi, menindak tegas koruptor dan kabarnya di sekolah-sekolah akan dimasukan kurikulum khusus tentang korupsi, namun itu semua belum terwujud. Korupsi akhir-akhir ini menyeruak dan menghantam segala pondasi hukum di negeri kita, masihkan kita hanya terus berbincang dalam wacana dan teori-teori? Korupsi adalah persoalan yang konkrit yang harus diatasi dengan tindakan yang serius. Alasanya sederhana, karena korupsi adalah suatu realitas yang banal (meminjam istilah Hannah Arendt).
Banalitas Korupsi
Korupsi adalah realitas yang banal. Dimana letak banalitasnya? Letaknya amat jelas yaitu pada maraknya praktek korupsi yang sudah amat biasa dilakukan. Orang menjalankan praktek korupsi tanpa berpikir lagi, tanpa perasaan bersalah, seakan hanya menjalankan aktivitas biasa-biasa saja (Basis No 03-04/Maret- April 2007). Praktek korupsi seolah-oleh seperti kita mandi tiga kali sehari yang sudah menjadi rutinitas alamiah yang tanpa kita sadari kita pasti melakukan. Banalitas korupsi adalah suatu yang sungguh berbahaya, bagaikan hama yang sulit dibasmi, bahkan kebanyakan orang mengatakan sudah menyatu dengan darah dan daging. Analogi ini mau mengatakan dengan jujur bahwa sesungguhnya korupsi sudah begitu sulit untuk diatasi. Korupsi bahkan telah menjadi titik nyaman atau comfort zone(Kompas, 17/04/2010). Korupsi yang dulunya minoritas kini telah menjadi mayoritas, sehingga orang-orang yang secara minoritas memiliki nurani, kini harus tunduk pada yang mayoritas.
Ketika korupsi ini menjadi mayoritas dan dengan satu suara, hati nurani kita sepakat untuk diam lantaran muak dengan anjuran moral dan agamis yang berupa wacana-wacana etis apa yang harus kita kerjakan? Akankah kita terus tunduk pada hati nurani kita yang dengan sengaja kita tumpulkan? Naif sekali jika kita hanya diam saja melihat korupsi mengurita dalam daging dan seluruh lapisan hidup kita. Dari akarnya banalitas korupsi didiagnosa terjadi karena orang-orang sudah kehilangan kesadaran. Banalitas semacam ini muncul bukan pertama-tama karena kemerostan moral tetapi karena kebanyakan orang sudah kehilangan kesadaran. Masih menganut apa yang dipikirkan Hannah Arendt bahwa karena hilangnya kesadaran maka banalitas terjadi. Kesadaran menjadi sanggat penting artinya karena tidak hanya mendorong orang bersikap etis tetapi juga menentukan manusia untuk dapat bertindak. Bertindak tidak melulu sekedar berbuat karena fungsi, dan apa yang harus dikerjakan. Bertindak pertama-tama adalah aktivitas yang diawali dengan bertanya mengapa sesuatu itu dikerjakan (Hannah Arendt, Human Condition 1958). Tindakan harus selalu diarahkan pada pemberian arti dalam hidup bersama dan dalam perbedaan. Arendt menyebut seni semacam ini sebagai Politik. “ Politik itu mengenai pluralitas manusia.... politik itu berhubungan dengan kebersamaan dan keperbedaan” (Basis No 03-04/Maret- April 2007). Politik itu tidak melulu soal wacana atau bahkan wicara, melainkan politik adalah sebuah tindakan dimana dengan kemampuan bertindaknya setiap orang memungkinkan untuk berkumpul, bertindak bersama, mengejar tujuan yang ada didalam pikiranya, lebih-lebih yang menjadi hasrat hatinya dan selanjutnya memulai sesuatu yang baru. Politik tidak menunggu sebuah jawaban tetapi membuat jawaban yang datang, dihimpun dan ditujukan untuk kebaikan bersama. Maka dengan demikian segala persoalan sulit akibat banalitas korupsi dapat dijawab dalam cara dan bahasa politik yang merupa dan nyata dalam tindakan. Selamat berpolitik !
Nanang Aris K 30/04/2010
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!