filsafat asik
KRITIK ATAS GAGASAN KEHENDAK UNTUK BERKUASA
Oleh : Nanang Aris K
PENGANTAR
“Pada mulanya adalah kehendak untuk berkuasa” begitulah mungkin prolog tandingan injil Yohanes yang dikarang oleh Nietzsche dalam karyanya, ”Der Wille Zur Match”. Gagasan kehendak untuk berkuasa begitu besar pengaruhnya dalam ideologi para penguasa di dunia ini meski sebenarnya tidak dimaksudakan sebagai cikal bakal ideologi kekuasaan( negara). Adolf Hitler adalah contoh pemimpin yang menganut gagasan ini. Ia mengadopsi gagasan ini untuk merancang kekuasan dan perang anti semit pada masa pemerintahanya, sehingga jutaan orang Yahudi dibantai dalam kam-kam konsentrasi. Der Wille Zur Match, memang karya yang rawan untuk disalah tafsirkan. Kehendak untuk berkuasa yang dimaksud Nietzsche sebenarnya tidak ada kaitanya dengan kekuasaan politis ( negara), Nietzsche membenci negara. Sesungguhnya Nietzsche dengan gagasan kehendak untuk berkuasa ini, mau mengatakan bahwa natura dunia dan hidup manusia adalah Kehendak Untuk Berkuasa.[1] Dunia adalah kehendak untuk berkuasa, oleh karena itu jika kita mengamini gagasan ini maka konsekuensinya kita harus merancang sebuah “perang” melawan segala sesuatu yang menghalangi kehendak untuk berkuasa.
”Der Wille Zur Match” merupakan karya yang cukup rumit, karena tidak ditulis secara sistematis. Pemikiran yang amat menantang yang mencoba menjungkir balikkan nilai-nilai lama ini dimaksudkan untuk tidak diamini begitu saja. Maka melalui tulisan ini penulis mau mengajak secara kritis apakah karya Nietzsche ini sungguh tepat dalam konteks hidup kita saat ini. Melalui beberapa analisis kritis, penulis hendak mengkritik gagasan ini dan menunjukan titik-titik lemah karya ” Der Wille Zur Match” yang sebenarnya mengandung kontradiksi atas kritik Nietzsce terhadap pemikiran sebelumnya dan pemikiranya sendiri.
HAKEKAT KEHENDAK UNTUK BERKUASA
Salah satu karya terbesar yang akan menjadi opus magnum Friederich Nietzsche (1844-1900) adalah ” Der Wille Zur Match” atau dalam bahasa Inggris di terjemahkan The Will of Power. Karya-karya Nietzsche secara keseluruhan tidak ditulis dalam bentuk yang sistematis, gaya tulisanya dikenal dengan gaya tulisan aforisme. “Kehendak untuk berkuasa” merupakan judul dari kumpulan catatannya yang diterbitkan oleh kakanya.[2] Gagasan kehendak untuk berkuasa merupakan karya yang menarik untuk ditafsir ulang dan dianalis secara lebih mendalam. Nietzsche sendiri dalam beberapa karyanya memasukan term mengenai kehendak untuk berkuasa dalam beberapa konteks berbeda, maka sebenarnya gagasan ini cukup rumit. Dalam bukunya “Beyond Good and Evil” Nietzsche menyebutkan bahwa hakikat dunia adalah kehendak untuk berkuasa, dan dalam “The Genealogy of Morals” dikatakan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan dalam “The Will to Power” hakikat terdalam dari ada adalah kehendak untuk berkuasa. Dalam “Thus Spoke Zarathustra” kehendak berkuasa dihubungkan dengan kelahiran manusia adi kuasa atau Übermensch sang pemilik kekuasaan setelah “ kematian Tuhan ” diwartakan oleh Zarathustra. Singkatnya kehendak untuk berkuasa merupakan hakikat dari dunia, hidup dan ada. Bagi Nietzsche kehendak untuk berkuasa merupakan khaos yang tak memiliki landasan apapun. Semangat Nietzsche untuk mendobrak konsep metafisik terlihat dalam makna yang terkandung pada kata kehendak (will) dan kuasa (power). Kehendak merupakan gejala yang sifatnya plural yang muncul karena terjadinya perbedaan kekuatan (power).
Gagasan kehendak berkuasa ini sebenarnya dipengaruhi oleh gagasan Schopenhauer. Mula-mula Schopenhauer menilai bahwa kehendak adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Hal ini disebakan karena kehidupan itu tragis, berbahaya, mengerikan, dan ini semua dikedalikan oleh kehendak. Oleh karena itu jika hidup ingin lepas dari penderitaan dan nafsu-nafsu maka manusia harus menolak kehendak.[3] Apa yang menjadi gagasan Schopenhauer seluruhnya bersifat metafisis, tetapi Nietzsche menyangkal hal itu. Berangkat dari konsep kehendak Schopenhauer, Nietzsche justru mendekonstruksi apa yang dimaksud oleh Schopenhauer sebagai yang metafisis dan fenomenal. Ia memandang bahwa bahwa duni ini adalah nyata tidak ada distingsi antara fenomen nmeral. Kehendak itu tidak distingsi oleh dua hal ini maka dengan sendirinya tidak harus dihindari. Apa yang menjadi kenyataan dari kehendak itulah yang justru harus diterima. Penerimaan itu didasarkan karena kehendak itu sendirilah yang pada akhirnya mampu membebaskan manusia dari penderitaan. Dengan mengatakan bahwa tujuan dari kehendak untuk berkuasa adalah untuk mencapai kebahagiaan dan kebebasan yang sesungguhnya, Nietzsche menawarkan nilai-nilai baru moralitas yang membebasakan. Dalam Thus Spoke Zarathustra dengan jelas di katakan, “ kehendak itulah sebutan untuk pembebas dan pembawa kabar gembira : demikianlah telah aku ajarkan kepada kalian, sobat-sobatku...”[4]. Secara lebih jelas Gilles Deleuze dalam bukunya Filsafat Nietzsche mengatakan bahwa gagasan kehendak untuk berkuasa ini memiliki dua prinsip yang membentuk sebuah kabar baik: “ berkehendak = menciptakan” dan “ kehendak = kegembiraan”. Kehendak membebasakan: inilah doktrin sejati dari kehendak dan kebebasan menurut Nietzsche.[5]
Kehendak untuk berkuasa dalam konteks pemikiran Nietzsche merupakan sebuah rantai pembebasan atas situasi yang menjadi bahan kritik Nietzsche atas Gereja dan orang-orang yang mengambil bagian dalam kehidupan yang penuh dengan “kenormalan”. Dalam Genealogi of Morals Nietzsche ingin menjungkir balikkan apa yang telah berabad-abad diyakini oleh manusia-manusia normal kepada Gereja atau Kekristenan. Baginya hidup manusia pada masa itu ada dalam tataran normal dan terkungkung dengan moraliitas Gereja yang tidak membuat manusia menentukan hidupnya. Moralitas yang diproduksi oleh Gereja membuat manusia-manusia tidak mampu menentukan dirinya atau hidupnya secara bebas. Maka dalam konteks ini Nietzsche mengkritik Gereja karena telah membuai manusia-manusia pada masa itu dengan nilai-nilai cinta kasih, pengorbanan dan pengampunan, yang membuat manusia tidak memiliki atau kehilangan kehendak untuk berkuasa.
Dengan mengadopsi gagasan Hegel moralitas semacam ini disebutnya sebagai moralitas Tuan dan Budak, Tuan yang diwakili golongan Aristokrat dan Budak diwakili Gereja sebagai representasi manusia yang selalu datang dan meyakini dirinya sebagai pemuja Tuhan dan hukum cinta kasih. Moralitas tuan dan budak sesungguhnya merepresentasikan sebuah pembagian dua jenis kehidupan manusia yaitu, manusia atas dan manusia bawah. Manusia atas adalah para aristokrat yang terhormat, kuat, dan memiliki segalanya. Sedangkan manusia bawah adalah para budak yang lemah, tidak menarik secara seksual dan miskin. Menurut Nietzschean Indonesia Donny Gahral Adian, “keadaan inilah yang memicu sebuah sikap welas asih yang dikritik oleh Nietzsche sebagai moral welas asih”.[6] Moralitas welas asih ini dipicu karena rasa benci dan cemburu pada golongan aristokrat. Agama Kristen dalam hal ini mejadi pemicu utama karena mengajarkan cinta kasih, kesediaan untuk menerima, untuk tidak membalas dendam dan memuji mereka yang miskin dan lemah ( bdk Mat 5).
Moralitas Kristiani yang semacam ini dianggap oleh Nietzsche sebagai moralitas kas budak, maka untuk melawan moralitas budak ini Nietzsche menempatkan moralitas tuan sebagai pemilik kehendak untuk berkuasa, yang kuat, berani, tidak cengeng, tidak lemah dan penakut. Moralitas tuan adalah representasi yang sesungguhnya dari kehendak untuk berkuasa dan pemilik atas kebaikan. “ Kita merupakan orang-orang yang terhormat, baik, cantik dan bahagia”.[7] Atas dasar inilah muncul konsep “Baik” dan “Buruk”. Baik yang dikenakan pada Tuan dan buruk dikenakan pada Budak. Dengan mendistingsi dua hal ini maka dengan sendirinya segala bentuk kehendak untuk berkuasa selalu diarahkan sebagai sebuah “kebaikan”. Moral semata-mata disistemasi dalam dua kasta yang menentukan hakekat hidup manusia yaitu baik dan jahat.
”Bagi Nietzsche moralitas tuan adalah moralitas yang melampaui kategori-kategori baik dan jahat. Seorang Dionisian harus mengukur kualitas nilai dengan kategori baik dan jelek, dan bukan dengan baik dan jahat. Apa itu baik? Baik adalah apa saja yang meningkatkan kehendak untuk berkuasa. Apa itu jelek? Semua yang keluar dari sikap yang lemah.”[8] Sebagai cara untuk melanggengkan kualitas nilai para dionisian maka perintah “cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” dengan sendirinya diubah berperanglah melawan sesamamu dan dirimu sendiri!” Disinilah seruan perang sebagai tanda dan legitimasi kehendak untuk berkuasa dimulai dan berusaha dipertahankan. Sebab hanya dengan peranglah eksistensi moralitas tuan mendapat legitimasi dalam kehidupan yang harus selalu meningkat dan menjadi kuat. Oleh karena itu lawan dari golongan ini adalah Gereja. Maka Gereja tetap dipelihara untuk menjadi musuh dalam melanggengkan kehendak untuk berkuasa. Jika keduanya saling berperang pertanyaan yang muncul, siapa sebenarnya pemilik kehendak untuk berkuasa yang sesungguhnya?
WARTA “ KEMATIAN TUHAN” DAN NIHILISME
Munculnya gagasan kehendak untuk berkuasa tidak bisa dilepaskan pula pada gagasan mengenai nihilisme. Keduanya merupakan dua sisi dari satu mata uang.[9] Nihilisme adalah keadaan yang tanpa nilai-nilai, biasanya selalu dihubungan dengan keadaan tanpa Allah, “ Tuhan telah mati”. “ Nihilisme adalah sautu keadaan tanpa makna, hilangnya keprecayaan akan nilai-nilai yang berlaku dalam agama Kristen akibat “ Kamatian Allah”.[10]
Konsekuensi dari hilangnya kepercayaan dan “ kamatian Allah” adalah manusia akhirnya sendirian dan kehilangan nilai-nilai yang sudah dianutnya selama ini. Manusia akhirnya kehilangan tujuan dan arah hidupnya. Maka terjadilah kaos, Nietzsche mengambarkan sebagai bumi yang kehilangan matahari, bumi kehilangan orientasi sebagai pusat, tidak tahu harus mengelilingi apa. Dengan “ kematian Tuhan” maka terbukalah horison kehidupan manusia seluas-luasnya. Tidak ada lagi hukum moral, larangan, perintah dan pengekang atas kebebasan manusia. Oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal diam, ia harus memulai hidupnya yang baru dengan aktif. Caranya manusia harus melakukan pembalikan nilai-nilai dan menentukan nilai-nilainya sendiri. Manusia bebas dan tidak ada yang membatasi hidupnya, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri. Dalam keadaan yang demikianlah manusia menjadi pemilik atas seluruh “keadaan”. Manusia berdiri dengan kehendak untuk berkuasa dengan gagah.
Dalam point ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji dari pemikiran Nietzsche sebelumnya. Kehendak untuk berkuasa akhirnya benar-benar terwujud dan perang mulai dan sedang dimainkan dalam arena laga yang kaos. Manusia-manusia super sudah datang dan mengatakan pada dirinya sebagai pemilik kehendak berkuasa. Maka gagasan kehendak untuk berkuasa mulai berperang untuk menundukan kehendak-kehendak dalam diri manusia. Kebahagian yang diindentikan dengan baik menjadi ambigu dan bias dalam jahat. Disinilah Nietzsche mengalami kebuntuan dalam menjelaskan moralitas dan kehendak yang sesunguhnya. Kebaikan dan kejahatan yang menjadi nilai-nilai pembalikan dari nilai-nilai dalam moralitas lama telah bercampur dan tak mampu diurai dalam realitas kebenaran. Apakah Nietzsche mengurai sebuah kebenaran dalam kehendak untuk berkuasa-nya?
KRITIK ATAS GAGASAN KEHENDAK UNTUK BERKUASA
Meski Nietzsche berusaha menghindari yang bersifat metafisis sukar kiranya untuk menafsirkan kehendak untuk berkuasa sebagai bukan metafisis. Konsep ini menembus batasan psikologis karena mencakup segalanya: mental maupun fisik, hidup maupun mati. Dalam hal ini kehendak untuk berkuasa agaknya merupakan jawabab atas pertanyaan “apa yang sebenarnya ada?” karena segala sesuatu akhirnya bisa direduksi menjadi kehendak untuk berkuasa. Dalam hal ini Nietzsche masuk dalam jebakan metafisis dan mistis, padahal dia ingin sekali menghindarinya.
Dengan menyatakan bahwa segala sesuatunya adalah kehendak untuk berkuasa ada suatu bahaya berupa melemahnya konsep itu sehingga menjadi pdanan “segala sesuatu." Dalam hal ini kehendak untuk berkuasa menjadi sebuah istilah yang tanpa makna.Mereduksi segala sesuatu menjadi kehendak untuk berkuasa tidak menjelasakan mengapa beraneka macam fenomena di dunia ini. conth, apa kah memang perlu mengatakan bahwa seseorang yg memperhatikanorg lain atau seseorang yang memberi derma atau pun mengajar semata-mata hanya melaksanakan kehendak untuk berkuasa mereka dan tidak lebih. Dalam hal ini ia mereduksi kehendak untuk berkuasa menjadi sebuah konsep yg lemah dan tak bermakna.
Mungkinkah ada prinsip2 lain yg bukan merupakan bagian dari kehendak untuk berkuasa? Contoh kehendak untuk merusak contoh dlam sejarah adalah adolf hitler yg dalam penretian Nietzsche bisa dikatakn melaksanakan kehendak untuk berkuasa secara negatif. Nistscehe meyakini bahwa sebuahkehendak destruktif yg merupakan salah satu unsur kehendak untuk berkuasa, juga bersifat positif. Mungkinkah sebuah kehendak destruktif memag murni negatif dan karenanya merupakan dorongan independen?
Nietzsche tidak menyoal mengenai benar atau salah tetapi soal kemanfaatan, karena pd akhirnya tidak ada yg disebut benar.
Dalam Roy Jackson ( Frederich Nietzsche) ( Nietzsche a beginner’s guide” hodder&stoughton London 2001( bentang budaya)yogya; 2003 hlm67-58
[1] Bdk F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004. hlm 272.
[2] Elisabeth saudarinya menerbitkan karya Nietzsche setelah kematianya dengan beberapa tafsiran yang sedkit keliru. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius,1997. hlm 197.
[3] F. Budi Hardiman Op Cit hlm. 224
[4] Nietzsche, Zarathustra, ( terj. HB. Jasin), Yogyakarta: Jejak, 2007, hlm. 188
[5] Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, (terj ), Yogyakarta: Ikon Tralitera, 2002, hlm. 118
[6] Bdk tulisan Donny Gahral Adian dalam pengantar buku Genealogi Moral terjemahan Bahasa Indonesia, dalam Nietzsche,Genealogi Moral, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hlm vi.
[7] Nietzsche,Genealogi Moral, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hlm.36.
[8] St. Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta: LKiS,2003, hlm. 87
[9] Ibid hlm 43
[10] F.Budi Hardiman Op Cit hlm. 280http://lumensophie.blogspot.com/2011_01_08_archive.html
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!