Kebutaan Peradaban Modern
Kebutaan Peradaban Modern
Musibah yang menghujam societas di Porong sampai saat ini tak kunjung menemukan titik penyelesaian yang melegakan. Itu adalah jantung permasalahan yang sangat mendesak dewasa ini. Di beberapa kota besar sebenarnya masih banyak fenomena-fenomena yang tidak kalah hebatnya yang akan mencuat ke permukaan.
Fenomena berdirinya pabrik-pabrik industri, pertambangan, ruko-ruko, mall, plaza, warnet dan berbagai bangunan-bangunan yang berdiri kuat kokoh terus saja digalakan hingga saat ini. Tidak mengherankan itu terjadi di sisi rumah kita sehingga ruang gerak menjadi sempit. Dan fenomena itu tumbuh subur dan bahkan menjamur di kota-kota besar saat ini. Realitas semacam itu belum tersentuh societas untuk disikapi secara bersama.
Fenomena itu bukan hanya bentuk bangunannya tampil beda namun juga melampaui karakter pada umumnya. Kemegahan dan ketinggian suatu bangunan disertai kemewahan perobotannya seakan-akan hanya untuk memenuhui luapan emosi psikisnya belaka. Dan nampaknya hal itu lazim terjadi karena orang-orang kerap memasang embel-embel modernisasi di baliknya.
Orientasi palsu modernisasi
Modern pertama-tama digagas oleh Descartes yang sangat termasyur, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Dengan pernyataan tersebut Descartes menekankan kesadaran subyek. Secara ringkas pemahaman tersebut dimengerti sebagai subyek yang bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya. Sehingga ia berpandangan bahwa realitas hanya sebagai obyek saja. Kesadaran ini sangat mencolok perkembangan selanjutnya pada aplikatifnya.
Terminologi “modern” (bahasa latin moderna: baru, sekarang atau saat ini), dengan pengertian tersebut mau mengatakan bahwa kita sedang berada pada zaman yang baru. Kebaruan di sini mengacu pada sebuah peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya. sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sangat mencolok.
Kemajuan dalam bidang pengetahuan, teknologi dan produksi merupakan kekhasan modernitas. Sehingga orang-orang begitu mengagung-agungkan pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah menampilkan kepastian tetapi power, kekuasaan (Dr. Armada Riyanto, 2005). Semakin nyatalah yang diungkapkan oleh Francis Bacon: science is power. Dengan ilmu pengetahuan mengandaikan bahwa kita menguasai banyak hal yang akan membuat kita semakin memiliki kekuatan.
Penerapan pemikiran yang demikian tidak mengherankan jika ingin melakukan apapun sesuai dengan kekuasaan yang kita miliki. Karena dibalik kekuasaan itu tentu ada berbagai kepentingan yang melekat di dalamnya. Sehingga hambatan apa saja yang ada harus segara dibereskan demi tercapainya kepentingan tersebut.
Pembangunan itu merupakan representasi besarnya mereka yang memiliki kepentingan di mana bangunan itu berdiri. Pembangunan tersebut telah merebut sekian banyak kepentingan societas yang tidak memiliki kekuasaan. Areal yang dulunya digunakan masyarakat untuk bermain, bertemu, berkumpul dan bersosialisasi dengan sangat akrabnya. Kini semuanya lenyap. Diganti dengan bangunan mall, ruko-ruko, pabrik-pabrik industri, pertambangan dan bangunan-bangunan yang megah serta mewah. Societas pun terisolasi dan bahkan ruang geraknya terjempit di lingkungannya sendiri. Dampaknya sangat besar terhadap perkembangan bangsa dan negara ini. Di mana nilai kekeluargaan, solidaritas dan sikap simpatik terhadap sesama mulai memudar. Hal itu tergantikan oleh semangat induvidualisme.
Tidak mengherankan apabila anak-anak memanfaatkan jalan-jalan yang ada didepan rumahnya untuk bermain badminton, sepak bola dan kejar-kejaran. Sarana-sarana untuk anak-anak bermain sudah tidak ada lagi yang gratis. Bahkan mereka kehilangan tempat untuk berlatih mengembangkan keterapilannya sehingga orang tua harus mengeluarkan uang yang banyak untuk menyewa tempat supaya anak-anaknya bisa bermain, disamping dia harus memenuhui kebutuhan sehari-hari keluarga. Semuanya itu beralih ke trend yang baru, yaitu mereka pergi ke warnet atau tempat play station untuk bermain dengan dunia maya.
Dekonstruksi
Fenomena-fenomena itu harus di dekonstruksi (meminjam terminologi Derrida) ulang. Karena itu merupakan kebutaan peradaban modernisasi. Apa yang akan terjadi pada masa depan anak-anak bangsa yang mengalami ketidaksiapannya menghadapi peradaban modernisasi. Masa depan mereka dibebani dengan berbagai pekerjaan yang tidak gampang diselesaikan.
Bila fenomena terus saja berlanjut dan berlarut-larut begitu saja tanpa di tangani dengan cara lebih serius, maka benih-benih komunisme dan individualisme akan bertumbuh subur. Yang harus dilakukan pertama adalah keterbukaan hati. Hal itu bisa dimulai dari berbagai pihak yang berwenang. Karena keterbukaan hati merupakan wujud simpatik terhadap sesama yang ada di sekitarku maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ini yang akan menumbuhkan kembali semangat kekeluargaan. Apabila hal seperti ini tidak diselesaikan lebih dini maka lama-kelamaan bangsa Indoesia akan jatuh pada ideologi-ideologi semacam komunisme dan individualisme. Hingga akhirnya Bangsa Indonesia berada pada jalan tol menuju kemerosotan ke peradaban yang paling rendah.
Kedua, masyarakat perlu kesiapan untuk berhadapan dengan modernisasi. Hal pertama-tama yang harus diakui adalah Indonesia belum siap secara mental dengan pergeseran perode zaman yang mendadak.
Ketiga, fokus utama adalah pendidikan. Kualitas pendidikan yang ada di Indonesia belum memadai. Apabila pendidikan menjadi fokus utama maka bangsa Indonesia akan menuai keberhasilan di masa depan. Kita boleh berbangga sekarang memiliki tenaga handal namun kita tidak bisa mempertahankan hal itu. Maka perlu generasi-generasi yang lebih handal lagi untuk melanjutkan bangsa tercinta ini.
Oleh: Yakobus Nandus
Mahasiswa S-1 STFT (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Widya Sasana, Malang
Musibah yang menghujam societas di Porong sampai saat ini tak kunjung menemukan titik penyelesaian yang melegakan. Itu adalah jantung permasalahan yang sangat mendesak dewasa ini. Di beberapa kota besar sebenarnya masih banyak fenomena-fenomena yang tidak kalah hebatnya yang akan mencuat ke permukaan.
Fenomena berdirinya pabrik-pabrik industri, pertambangan, ruko-ruko, mall, plaza, warnet dan berbagai bangunan-bangunan yang berdiri kuat kokoh terus saja digalakan hingga saat ini. Tidak mengherankan itu terjadi di sisi rumah kita sehingga ruang gerak menjadi sempit. Dan fenomena itu tumbuh subur dan bahkan menjamur di kota-kota besar saat ini. Realitas semacam itu belum tersentuh societas untuk disikapi secara bersama.
Fenomena itu bukan hanya bentuk bangunannya tampil beda namun juga melampaui karakter pada umumnya. Kemegahan dan ketinggian suatu bangunan disertai kemewahan perobotannya seakan-akan hanya untuk memenuhui luapan emosi psikisnya belaka. Dan nampaknya hal itu lazim terjadi karena orang-orang kerap memasang embel-embel modernisasi di baliknya.
Orientasi palsu modernisasi
Modern pertama-tama digagas oleh Descartes yang sangat termasyur, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Dengan pernyataan tersebut Descartes menekankan kesadaran subyek. Secara ringkas pemahaman tersebut dimengerti sebagai subyek yang bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya. Sehingga ia berpandangan bahwa realitas hanya sebagai obyek saja. Kesadaran ini sangat mencolok perkembangan selanjutnya pada aplikatifnya.
Terminologi “modern” (bahasa latin moderna: baru, sekarang atau saat ini), dengan pengertian tersebut mau mengatakan bahwa kita sedang berada pada zaman yang baru. Kebaruan di sini mengacu pada sebuah peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya. sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sangat mencolok.
Kemajuan dalam bidang pengetahuan, teknologi dan produksi merupakan kekhasan modernitas. Sehingga orang-orang begitu mengagung-agungkan pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah menampilkan kepastian tetapi power, kekuasaan (Dr. Armada Riyanto, 2005). Semakin nyatalah yang diungkapkan oleh Francis Bacon: science is power. Dengan ilmu pengetahuan mengandaikan bahwa kita menguasai banyak hal yang akan membuat kita semakin memiliki kekuatan.
Penerapan pemikiran yang demikian tidak mengherankan jika ingin melakukan apapun sesuai dengan kekuasaan yang kita miliki. Karena dibalik kekuasaan itu tentu ada berbagai kepentingan yang melekat di dalamnya. Sehingga hambatan apa saja yang ada harus segara dibereskan demi tercapainya kepentingan tersebut.
Pembangunan itu merupakan representasi besarnya mereka yang memiliki kepentingan di mana bangunan itu berdiri. Pembangunan tersebut telah merebut sekian banyak kepentingan societas yang tidak memiliki kekuasaan. Areal yang dulunya digunakan masyarakat untuk bermain, bertemu, berkumpul dan bersosialisasi dengan sangat akrabnya. Kini semuanya lenyap. Diganti dengan bangunan mall, ruko-ruko, pabrik-pabrik industri, pertambangan dan bangunan-bangunan yang megah serta mewah. Societas pun terisolasi dan bahkan ruang geraknya terjempit di lingkungannya sendiri. Dampaknya sangat besar terhadap perkembangan bangsa dan negara ini. Di mana nilai kekeluargaan, solidaritas dan sikap simpatik terhadap sesama mulai memudar. Hal itu tergantikan oleh semangat induvidualisme.
Tidak mengherankan apabila anak-anak memanfaatkan jalan-jalan yang ada didepan rumahnya untuk bermain badminton, sepak bola dan kejar-kejaran. Sarana-sarana untuk anak-anak bermain sudah tidak ada lagi yang gratis. Bahkan mereka kehilangan tempat untuk berlatih mengembangkan keterapilannya sehingga orang tua harus mengeluarkan uang yang banyak untuk menyewa tempat supaya anak-anaknya bisa bermain, disamping dia harus memenuhui kebutuhan sehari-hari keluarga. Semuanya itu beralih ke trend yang baru, yaitu mereka pergi ke warnet atau tempat play station untuk bermain dengan dunia maya.
Dekonstruksi
Fenomena-fenomena itu harus di dekonstruksi (meminjam terminologi Derrida) ulang. Karena itu merupakan kebutaan peradaban modernisasi. Apa yang akan terjadi pada masa depan anak-anak bangsa yang mengalami ketidaksiapannya menghadapi peradaban modernisasi. Masa depan mereka dibebani dengan berbagai pekerjaan yang tidak gampang diselesaikan.
Bila fenomena terus saja berlanjut dan berlarut-larut begitu saja tanpa di tangani dengan cara lebih serius, maka benih-benih komunisme dan individualisme akan bertumbuh subur. Yang harus dilakukan pertama adalah keterbukaan hati. Hal itu bisa dimulai dari berbagai pihak yang berwenang. Karena keterbukaan hati merupakan wujud simpatik terhadap sesama yang ada di sekitarku maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ini yang akan menumbuhkan kembali semangat kekeluargaan. Apabila hal seperti ini tidak diselesaikan lebih dini maka lama-kelamaan bangsa Indoesia akan jatuh pada ideologi-ideologi semacam komunisme dan individualisme. Hingga akhirnya Bangsa Indonesia berada pada jalan tol menuju kemerosotan ke peradaban yang paling rendah.
Kedua, masyarakat perlu kesiapan untuk berhadapan dengan modernisasi. Hal pertama-tama yang harus diakui adalah Indonesia belum siap secara mental dengan pergeseran perode zaman yang mendadak.
Ketiga, fokus utama adalah pendidikan. Kualitas pendidikan yang ada di Indonesia belum memadai. Apabila pendidikan menjadi fokus utama maka bangsa Indonesia akan menuai keberhasilan di masa depan. Kita boleh berbangga sekarang memiliki tenaga handal namun kita tidak bisa mempertahankan hal itu. Maka perlu generasi-generasi yang lebih handal lagi untuk melanjutkan bangsa tercinta ini.
Oleh: Yakobus Nandus
Mahasiswa S-1 STFT (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Widya Sasana, Malang
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!