Filsafat Asik ( Posmodernisme)

Pergeseran Modernitas Menuju Posmodern
Nanang Aris K

Bermula dari Filsafat Cogito
Gagasan mengenai modernitas adalah bagian yang sangat dekat dengan filsafat Cogito. Filsafat yang memulai pencarian kebenaran dengan berangkat dari subjek.  Berangkat dari subjek mengandaikan bahwa subjeklah yang menjadi penentu pencari kebenaran itu sendiri. Descartes memulai filsafatnya dengan menyangsikan kebenaran-kebenaran yang sudah ada. Bagi Descartes kebenaran itu tidak serta merta muncul dengan begitu saja, melainkan harus dilihat bagaimana kebenaran itu terjadi dan menjadi sebuah kebenaran itu sendiri. Maka filsafat Descartes sering disebut dengan filsafat metodologis.  Metodologis, mau mengatakan bahwa pada dasarnya realitas kebenaran yang sudah ada itu harus jelas asal usulnya. Sehingga apa yang disebut  Cogito Ergo Sum  itu, mau mengandaikan bahwa subjektifitas itu menjadi sangat penting sekali. Dalam tataran ini filsafat sungguh mengalami revolusi metodologis. Lalu yang terjadi tidak hanya mempersoalkan realitas, melainkan lebih dari itu, menguji rasionalitas kebenaran manusia dengan menyangsikan kebenaran yang sudah ada. Inilah yang disebut dengan subjektivitas.

Subjektivitas dan Peradaban Rasionalitas

Subjektivitas berarti pencarian kebenaran itu berangkat dari diri sendiri. Saya berpikir maka saya ada, mengandaikan bahwa untuk menemukan kebenaran itu membutuhkan suatu kesadaran. Berpikir mengandaikan bahwa kita menyadari kehadiran kita. Kesadaran itu sendiri adalah awal dimana kita mengetahui  kebenaran itu muncul. Dalam filsafat cogito ada elaborasi antara kehadiran  dan kesadaran. Disinilah awal mula rasionalitas subjek menjadi sangat kuat dan menjadi dewa atas ilmu pengetahuan. Ketika subjek itu bertanya tentang siapa dirinya maka pada tahap ini menandakan bahwa manusia itu memiliki status kemandirian. Dan apa yang disebut kemandirian ini adalah ratio itu sendiri.  Descartes menjadi awal modernitas menjadi satu-satunya revolusi cara berpikir pada jaman itu. 
Dari sinilah manusia dibawa pada peradaban modern, yang ditandai dengan, subjektivitas, otomatisasi, rasionalitas ilmiah, teknologi. Yang menandai perubahan besar-besaran dari abad modern adalah munculnya revolusi industri. Revolusi industri adalah perubahan cara berpikir manusia pada sesuatu yang teknis.  Bahkan filsafat modern tidak hanya mendekonstruksi  mengenai hal-hal teknis saja melainkan juga agama, idelogi, seni dan politik.  Kemunculan gelombang cara berpikir yang baru ini  memunculkan ‘tardisi ratio’ pada abad ke-18, dan beberapa peristiwa lainya menjadi tanda dimulainya era modern.[1] Apa yang terjadi dalam era modern? Era modern membawa perubahan yang cukup besar dalam kehidupan manusia.

Modernitas dan Kegagalanya
Pengaruh dari modernitas yang cukup besar ternyata tidak hanya dalam hal material tetapi juga menyangkut eksistensi manusia itu sendiri. Dalam tahap ini manusia mulai dihadapkan dengan pilihan untuk menemukan dirinya atau mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Seperti yang dikatakan oleh Berman  mengenai identifikasinya terhadap fase perubahan modernitas. Ia membagi dalam tiga fase. Fase pertama membentang dari awal abad ke-16 sampai akhir abad ke-18, dalam waktu itu ‘orang mulai mengalami kehidupan modern’. Tahap  kedua dimulai bersamaan dengan Revolusi Perancis dan timbulnya kekacauan dalam kehidupan sosial, politik dan individu bersama dengan ‘gelombang revolusi besar tahun 70-an yang luar biasa. Dan ketiga munculnya difusi global dari proses modernisasi dan perkembangan dari suatu kebudayaan dunia modern, yang menimbulkan banyak sekali kekacauan dalam bidang sosial dan politik, lebih banyak ketidakpastian  dan agitasi yang menyebabkan munculnya bentuk pengalaman baru.[2]  Dari pernyataan Berman, pada fase ke dua dan ke tiga inilah modernitas mulai dipertanyakan. Sebab yang paling pokok mengapa modernitas ini dipertanyakan adalah, karena modernitas  telah gagal dalam proyeknya memanusiakan manusia. Gagal berarti fondasi yang telah dibangun oleh Descartes runtuh dan hancur. Kagagalan yang paling nyata adalah karena modernitas ternyata sungguh menjadi tidak manusaiwi lagi. Ratio dan subjetivitas sebagai roh dari filsafat modern ternyata tidak hidup dalam tahap ini.  Kegagalan yang paling megerikan adalah munculnya manusia massa yang disebabkan oleh industrialisasi dan teknologi . Industrialisasi merupakan produk modernitas yang mencerminkan ketidakmanusiawian manusia. Ia menghancurkan manusia yang memiliki esensi sebagai subjek yang luhur. Dalam hal ini manusia sudah tidak memiliki apa-apa lagi dalam hidupnya, tidak ada yang bisa dibanggakan bahkan kebahagiaan pun semuanya dirampas. Mereka menjadi alat- alat teknis yang tertindas subjektivitas individunya.
Selain itu kehidupan manusia menjadi dimonopoli oleh teknologi. Sebuah perubahan yang besar muncul dan mulai menggeser keberadaan manusia, sehingga kekacauan muncul dimana-mana. Internet misalnya menjadikan manusia ‘mati’ secara fisik, karena tubuh dan seluruh kehadiran mereka tidak mejadi penting. Internet mengacaukan hidup mereka karena perjumpaan personal tidak ada lagi. Mereka bisa berbicara dalam ruang yang tak terbatas dan melihat manusia lain di belahan dunia dalam hitungan detik, tanpa mengerakkan tubuh mereka. Berbicara dan melihat dunia diluar sana tanpa bergerak atau move sungguh-sungguh sebuah kekacauan yang akut. Pada akhirnya  ‘buah-buah’ modernitas  telah menghancurkan segala aspek kehidupan manusia. Kehancuran ini selanjurnya memulai satu babak baru yaitu gagsan mengenai postmodern.

Kritik Modernitas dan Pendekatan Bahasa Sebagai Awal Posmodernisme

Setalah modernitas mengacaukan kehidupan manusia timbulah kritik besar-besaran dikalangan para filsuf setelah Descartes. Nietzsche bahkan mengkritik secara terang-terangan bahwa rasio yang telah menjadi dewa pada  Abad Pencerahan hanya bersifat sementara, rasio tidak mungkin menjadi sega-galanya bagi kaehidupan manusia.
Freud mengkritik bahwa modernitas secara moral telah menghancurkan hidup manusia sehingga ia kehilangan identitas dirinya. Bagi Freud rasio itu tidak penting, karena pada dasarnya yang mengerakkan manusia bukan lagi ratio melainkan mimpi-mimpinya. Dalam gagasan ini ia mengatakan bahwa manusia itu digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Kritik Freud ini didasarkan pada efek industrialisasi yang menindas manusia. Para lain seperti Foucult melihat dari sudut pandang  politik dan academic estabilishmen justru membuat manusia semakin teralienasi. Sedangkan para eksistensialis melihat bahwa modernitas membuat keunikan manusia menjadi tidak ada lagi, lenyap ditelan oleh modernitas. Hal ini ditandai dengan manusia massa dimana setiap pengalaman manusia yang kaya dan unik itu tidak dapat dilihat sekaligus.
Kritik-kritik atas modernitas pada akhirnya membuka mata banyak filsuf untuk menemukan cara dan berpikir ulang tentang kelanjutan filsafat setelah modern. Sampai pada tahap inilah gagasan mengenai postmodern muncul. Postmodern muncul di Prancis  pada tahun 1960 an, yang dimulai dengan gerakan menolak kemungkinan yang nyata. Jika merujuk  pada gagasan Nietsche postmodern juga bisa disebut dengan filsafat ketersembunyian atau ketiadaan. Katiadaan dalam arti ini manusia dibiarkan sendirian, tanpa Tuhan.  Sehingga menurut para fenomenolog postmodern adalah gagasan yang menolak paham-paham yang berkaitan dengan keserentakan atau keseluruhan mengenai realitas; karena realitas itu hanyalah reperesentasi dari symbol-simbol yang mewakili realitas yang sebenarnya. Yang dianggap sebagai  pengetahuan adalah apa yang diketahui, dikenali dan dicermati pada waktu itu. Posmoderan juga menolak norma-norma sebagai kebenaran. Penolakan ini didasarkan karena norma-norma berasal dari proses.
Sampai pada tahap ini postmodern kemudian mencoba mendekonstruksi glombang cara berpikir baru, dalam memandang realitas, yaitu dengan pendekatan Bahasa. Pendekatan bahasa dimaksudkan bahwa realitas itu hanya dapat dibaca dan dimengerti melalui teks. Maka pada tahap ini postmodern dikatakan tengah mengalami ‘pembalikan ke arah bahasa’. Seratus tahun lalu filsafat mungkin masih berbicara tentang ‘kesadaran’, ‘akal’, ‘Roh’, dan ‘pengalaman’. Tapi kini , memasuki ambang posmodernisme, filsafat beralih pada ‘bahasa’.[3] Gagasan ini disatu sisi mencoba mendobarak yang tidak terstruktur menjadi sesuatu yang terstruktur. Bahasa adalah unsur yang paling dekat dengan struktur.  Pendekatan melalui bahasa ini muncul  dan dipengaruhi oleh  sturkturalisme dalam pemikiran  Eropa di tahun 1960-an. Dimana bahasa  diteliti cara-cara dan mekanismenya. Strukturalisme lahir berkat jasa  seorang pakar linguistic kelahiran Swiss, Ferdinand de Saussure. Saussure untuk pertama kalinya menjadikan bahasa sebagai objek kajian ilmiah. Pendekatan yang digunakan Sussure  tergolong baru pada jamanya  karena berusaha melampaui pendekatan historis  yang dilakukan para linguis sebelumnya. Bagi Saussure bahasa adalah system yang tidak berubah-ubah dan stabil.  Dalam pendekatan historis bahasa masih dilihat  memiliki hubungan yang erat dengan sejarah atau peristiwa hidup manusia. Hal inilah menurut Saussure yang membuat lingustik bergantung pada data-data sejarah yang khusus yang terkait dengan waktu dan kelompok.
Peralihan menuju bahasa ini dapat dirunut dalam tiga  periode. Peertama; Periode Positivistic, Kedua; Periode Pragmatik. Ketiga; Periode Hermeneutic[4]. Pendakatan melalui bahasa adalah pendekatan yang cukup revolusioner karena selama ini belum pernah ada. Bahasa tidak pernah mempunyai tempat dalam pembahasan yang ilmiah,  apalagi digunakan untuk melihat realitas. Dalam kaitanya dengan bahasa postmodern melihat bahwa kebenaran itu tidak pernah ada yang selesai dan tak terstruktur. Kebenaran itu selalu berlanjut dan  selalu mencerminkan realitas yang harus dibaca berulang-ulang seperti teks. Dibaca berulang-ulang karena realitas itu selalu baru dan kompleks.

















[1] Barry Smart, Modernitas ,Posmodernitas, dan Masa Kini,( dalam Bryan Turner, Teori-Teori Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000. hlm 27
[2] Ibid hlm 28
[3] I. Bambang Sugiharto, Posmodernisme; Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 179
[4] Muhammad Al-Fayyadl,Deridam, Yogyakarta: LKIS,2005, hlm.29-31

Comments

Popular posts from this blog

IBADAT TUGURAN KAMIS PUTIH DENGAN NYANYIAN TAIZE

BERBAGI TAK PERNAH RUGI

Sejarah Filsafat dan Pemikiran Plato