Filsafat Asik ( Globalisasi)
Runtuhnya Identitas Tubuh Ditengah Badai Globalisasi
Setiap peristiwa dalam hidup selalu dimaknai sebagai sesuatu yang baik dan buruk. Pemaknaan akan dua hal yang berbeda ini selalu lekat dalam setiap tindakan dan cara berpikir masing-masing individu. Berangkat dari sebuah pemaknaan akan setiap peristiwa inilah setiap individu menemukan esensi dan juga eksistensi dirinya. Keduanya dimaksudkan sebagai simbolisme akan “kesadaran dan kehadiran”. Simbolisme ini menjadi bagian dari realitas pemaknaan setiap individu, dan tidak dimaknai sebagai sesuatu yang artifisial melainkan sebagai “itu” yang real. Begituhalnya ketika kita memaknai apa yang disebut dengan tubuh. Tubuh yang melekat dalam cara berada setiap individu ini dimaknai sebagi sesuatu yang real, bukan yang artifisial atau simbolisme yang tanpa makna. Tubuh memiliki esensi dan eksistensi yang hendak mengatakan “kesadaran dan kehadiran”. Sehingga peristiwa yang direpresentasikan melalui tubuh, hendak mengatakan akan pentingnya sebuah kesadaran dan kehadiran, karena dua hal inilah inti realitas kita sebagai manusia.
Dengan kata lain setiap peristiwa hidup yang kita alami tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tubuh itu sendiri. Ketika tubuh itu kita lepaskan dari konteks hidup kita, maka hidup itu tidak lagi menujukan esensi dan eksistensi yang real. Tidak ada lagi yang namanya manusia. Maka dalam tataran ini, ketika tubuh itu terlepas dari konteks peristiwa hidup kita maka yang ada adalah ketiadaan atau kematian. Dengan bahasa yang sederhana apa yang menjadi fondasi dari hidup itu pada akhirnya runtuh, porak-poranda. Tubuh itu tidak lagi memiliki identitas. Keberadan kita selalu lekat pada apa yang kita sebut tubuh. Juga peristiwa hidup yang kita rayakan akan selalu lekat pada tubuh itu sendiri.
Badai itu memporak-porandakan Tubuh
Ketika peristiwa hidup itu kita rayakan tanpa tubuh, dalam point ini yang ada adalah ketersembunyian, ketidakhadiran. Dalam cara berpikir metafisis hal ini bisa diringkas dengan menyebutnya sebagai “itu yang tidak ada”. Jika tubuh itu tidak pernah ada lalu apa yang akan direpresentasikan dalam setiap peristiwa? Tubuh sebagai penyusun peristiwa memiliki peran yang begitu penting, tanpa tubuh tidak akan pernah tercipta ruang dan peristiwa. Akhirnya yang tertinggal dari tubuh hanyalah sebuah nama yang tidak pernah hadir, tubuh yang mengalami krisis eksistensinya, tubuh yang kehilangan identitasnya. Kini ditengah pengalaman akan tubuh yang krisis, datanglah badai yang dasyat yang memporak-porandakan identitas tubuh, badai itu bernama globalisasi. Badai globalisasi datang tanpa pernah kita sadari, karena ia menjelma menjadi rupa-rupa yang cantik, angun, glamour, dan begitu dekat dalam hidup kita. Ia muncul dalam rupa teknologi komunikasi, yang saat ini membius kita semua. Dalam hal ini globalisasi tidak lagi dilihat hanya sebagai sebuah terminologi, seperti yang dikatakan oleh Giddens, globalisasi adalah sebuah paradigma. Ia membawa visi ambivalensi dimana didalamnya ada dua hal yang saling bertentangan. Dalam globlasisai ada dua sisi berbeda, yaitu ‘kegembiraan’ sekaligus ‘ketragisan’. Globalisasi adalah perayaan antara dua sisi berbeda dalam hidup. Internet sebagai salah satu instrument global bisa kita jadikan contoh, dimana badai globalisasi memporak-porandakan identitas tubuh kita. Internet bukan lagi sebatas sarana untuk mencari informasi, tetapi juga sebagi instrument yang meruntuhkan tubuh kita. Ia menghancurkan makna kehadiran setiap individu. Dunianya yang maya membuat kita tidak lagi bisa membedakan mana dunia real dan maya. Realitas akan dunia seakan-akan menjadi bias. Dalam tataran ini setiap individu berada pada titik nadir karena runtuhnya identitas tubuh. Globalisasi tidak hanya membawa visi kemakmuran dalam ekonomi dan social, tetapi juga membawa orang pada pinggiran eksistensi dirinya serta kenadiran.
De-teritorialisasi Tubuh
Globalisasi menjadi lebih mengerikan karena ia juga mengapus segala rupa ruang, dimana tubuh seharusnya memiliki relasi sosial yang dekat dengan setiap individu lainya. Dalam hal ini globalisasi juga membawa “virus” baru yaitu De-teritorialisasi. Ia meniadakan ruang dalam ranah hidup manusia, manghapus batas-batas geografis, bahkan ruang dimana lokalitas yang menjadi dasar dan awal hidup setiap manusia dihapus menjadi universalitas. Sampai pada pont ini globalisasi membuat ruang hidup manusia kehilangan nilai kejauhanya, sehingga yang ada hanyalah ‘kedekatan’. Kedekatan dalam arti ini adalah kedekatan yang semu karena manusia tidak secara personal bertemu dalam realitas fisik. Bercakap-cakap lewat internet dan bertatap muka dengan begitu ‘dekat’ tidak mengatakan kedekatan yang real tetapi kesemuan. De-teritorialisasi juga melenyapkan identitas tubuh manusia dari ruang individunya serta ruang sosialnya. Setelah kehilangan identitas tubuh kita dan ruang sosial, maka yang muncul adalah ruang-ruang baru yang dicipta secara artifisial. Kita berusaha mencipta tempat dan identitas diri dengan ruang-ruang maya, seperti Yahoo, Google, Friendster, akibatnya muncul dengan apa yang disebut tubuh – tubuh imajiner.
Tubuh-tubuh imajiner
Tubuh itu adalah satu kesatuan, ia tidak pernah terbagi pada banyak ruang. Kesatuan ini adalah bagian dari esensi manusia. Sehingga tubuh itu tidak bisa dipecah menjadi lebih dari satu. Ia hanya muncul dalam makna ketunggalan sebagai simbolisme kehadiran, ada setiap manusia. Namun setelah tubuh dihantam oleh badai globalisasi, ia runtuh dan lenyap. Sehingga yang tercipta adalah kumpulan tubuh-tubuh imajiner. Tubuh imajiner adalah tubuh yang diciptakan berdasarkan mimpi, kemudian dihadirkan untuk merepresentasi tubuh yang asli. Dengan ruang maya tubuh-tubuh imajiner dengan mudah kita kontrol. Kontrol terhadap diri semacam ini tidak menghadirkan sebuah eksistensi yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Karena apa yang dikontrol bukan realitas yang sesunggunya, tetapi hanya realitas maya yang diciptakan sedemikian rupa, sehingga tampaknya hadir dalam realitas. Kita tidak bisa melepaskan ruang fisik dimana kehadiran tubuh dimaknai secara sesunggunya dalam peristiwa hidup kita. Ruang fisik yang real memang cenderung untuk tidak terkontrol tetapi justru ruang yang demikianlah yang membentuk ruang makna dalam hidup kita. Selama ini kita tidak pernah menyadari akan ruang maya dimana tubuh-tubuh imajiner kita bersemayam, sehingga seringkali ruang maya itu menjadi ekstasi bagi jiwa. Ada kemungkinan besar bahwa akan semakin banyak tubuh-tubuh imajiner yang tercipta dalam hidup kita. Satu hal yang perlu disadari, bahwa semuanya itu adalah kerapuhan karena tubuh itu tidak berdiri pada peristiwa dan ruang real dalam hidup. Tubuh imajiner adalah simbolisme tubuh yang hancur dan tanpa identitas, karena tubuh yang sesungguhnya telah diporak-porandakan oleh badai globalisasi.
Tubuh Yang Meruang
Apa yang dibawa oleh badai globalisasi ternyata tidak hanya sebuah kenikmatan instant yang mempermudah kita menjalani hidup. Lebih dari itu, sesunggunya globalisasi membawa ketragisan yang amat dalam, ia meruntuhkan identitas tubuh, dan membuang ruang dimana tubuh yang real melekat dalam peristiwa yang memiliki makna. Hanya ada satu pilihan untuk mempertahankan identitas tubuh kita ditengah ‘badai’ yang sedang melanda ini, yaitu menyadari datangnya ‘badai’ itu dan berusaha bertahan dan ‘berenang’ tanpa ikut arusnya. Globalisasi memang tidak dapat dihindari, ia sudah menjadi besar. Maka yang harus dilakukan adalah mencoba mencipta ruang-ruang real dalam tubuh dan hidup kita. Tubuh yang meruang merepresentasikan akan kehadiran dan kesadaran kita. Tubuh yang meruang mencoba membantu kita menyusun indentitas kita yang perlahan-lahan mulai runtuh. Tubuh yang meruang mengandaikan kita memiliki fondasi dimana kita bisa tetap berpijak dan menyadari eksistensi diri kita. Ruang adalah tubuh itu sendiri dan begitu sebaliknya tubuh adalah ruang yang menjadi simbol dari kehadiran dimana setiap individu memaknai hidup dan menemukan identitasnya.
Agustinus Nanang Aris K.
Mahasiswa S-1 STFT Widya Sasana Malang
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!